Selasa, 19 Juli 2016

PUASA & KESALEHAN SOSIAL

Puasa memang ibadah yang amat istimewa. Hikmah dan kebajikannya bersifat multidimensional, tak hanya moral dan spiritual, tetapi juga sosial. Puasa tak hanya membentuk kesalehan pribadi (individual), tetapi sekaligus juga kesalehan sosial.
Puasa memiliki dua semangat yang sangat baik dilihat dari perspektif pendidikan akhlak. Pertama, semangat pencegahan (kaffun wa tarkun)dari hal-hal yang destruktif (al-muhlikat). Semangat yang pertama ini menjadi basis kesalehan individual.
Lalu, kedua, semangat pengembangan alias motivasi dan dukungan (hatstsun wa `amalun) terhadap hal-hal yang memuliakan, konstruktif, atau dalam bahasa Imam Ghazali, dukungan terhadap hal-hal yang menyelamatkan manuisa (hatstsun ila al-munjiyat). Semangat yang kedua ini menjadi pangkal kepedulian sosial yang pada gilirannya membentuk kesalehan sosial.
Dimensi sosial dalam ibadah puasa sangat kentara ditilik dari beberapa hal ini. Pertama, orang yang puasa harus menahan diri dari rasa haus dan lapar.
Ini merupakan latihan agar kita mampu mengendalikan diri dari dorongan syahwat yang berpusat di perut (syahwat al-bathn). Ia juga merupakan sarana agar kita bisa berempati kepada orang-orang miskin. 
Orang yang tak pernah lapar, ia tidak bisa berempati kepada orang lain. Mungkin itu sebabnya, ketika Malaikat Jibril AS menawarkan kepada Rasulullah SAW kekayaan melimpah (bukit emas), beliau menolaknya, seraya bekata: "Biarlah aku kenyang sehari dan lapar sehari."
Penting diketahui, lapar itu ada dua macam, yaitu lapar biologis dan lapar psikologis. Lapar biologis lekas sembuh dengan makan. Lapar psikologis, seperti lapar kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan, tak gampang disembuhkan.
Puasa menyembuhkan kedua macam lapar itu sehingga kita bisa terbebas dari penyakit vested interest, untuk selanjutnya lebih peduli dan sadar akan kepentingan orang lain (sosial).
Kedua, orang yang puasa disuruh banyak bederma. Nabi SAW menyebut, bulan puasa sebagai Syahr al-Muwasah atau bulan kepedulian sosial. Rasulullah SAW sendiri merupakan orang yang paling banyak bederma, dan dalam bulan Ramadhan, beliau lebih kencang lagi bederma, melebihi angin barat. (HR Hakim dari Aisyah).
Ketiga, pada penghujung puasa, kita disuruh mengeluarkan zakat fitrah, di luar zakat mal, tentu saja. Kewajiban ini seakan melengkapi dimensi sosial dari ibadah puasa. Karena, tanpa zakat, pahala puasa kita belum sampai kepada Allah. Ia masih bergantung dan berputar-putar di atas langit.
Di luar semua itu, puasa melatih dan mendidik kita agar menjadi manusia bermental giver (pemberi), bukan taker (peminta-minta). Ungkapan take and give yang populer di masyarakat kita, tentu tidak sejalan dengan sepirit puasa. Ungkapan itu semestinya berbunyi,giving and receiving.
Orang puasa sejatinya sedang meneladani Allah SWT, sejalan dengan doktrin, "Takhallaqu bi akhlaq Allah." Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Nabi Muhammad SAW juga demikian. 
Maka, orang yang berpuasa diminta meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu kepada umat manusia dengan cara berbuat baik dan berbagi kegembiraan. Dengan begitu, puasa membuat kita cerdas, baik secara moral, spiritual, maupun sosial, dan inilah karakter orang takwa. Wallahu a`lam.

***)Dr A Ilyas Ismail

Jumat, 15 Juli 2016

MEMULIAKAN TIGA ORANG

Sejatinya, tiada seorang pun yang bisa menggapai kejayaan hidup di dunia ini kecuali ia dibesarkan dengan belaian kasih sayang orang tua. Siapa sajakah orang tua yang wajib dimuliakan dan disebut-sebut namanya dalam lantunan doa seorang anak?
Pertama, orang tua yang melahirkan. Mereka adalah ayah dan ibu yang paling besar jasanya mengantarkan kita menjalani kehidupan. Terutama ibu yang mengandung dan melahirkan bersimbah darah bertaruh nyawa. 
Sekiranya, kita dapat meraih kemegahan dunia dan seisinya untuk membalas jasa mereka, tentulah tak sepadan menggantikannya. Apalagi, mereka tak pernah menghitung dan mengharapkan balasan material dari anaknya, kecuali sekadar bakti (birrul walidain) yang tulus semasa hidupnya dan kiriman doa setelah kematiannya. (QS [17]:23-24, [46]:15).
Betapa mulianya mereka, hingga Allah SWT merangkai pengabdian kepada-Nya dengan kedua orang tua (QS [31]:13), terutama kepada ibu (HR Muttafaq 'alaih). 
Mereka yang menanam benih-benih keimanan (akidah tauhid), menumbuhkan ketaatan dalam pengabdian (syariah), dan menghasilkan buah kebajikan (akhlak karimah). Karenanya, jika tampil seorang anak yang sukses, sungguh kedua orang tua yang hebat mengantarkannya. 
Kedua, orang tua yang mengajarkan. Mereka adalah guru-guru yang mengajar dan mendidik kita di bangku sekolah, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Jika kedua orang tua melahirkan dan membesarkan maka guru menumbuhkan segala potensi dan bakat agar berkembang dengan baik. 
Sungguh, seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemuliaan (transfer of value), mengembangkan keahlian dan kemandirian (transfer of skill), dan mengajarkan kearifan (transfer of wisdom). 
Murid yang hebat lahir dari sentuhan dan goresan tangan seorang guru yang hebat. Guru bukan sekadar orang tua kedua, tetapi mereka juga pewaris misi dan semangat kenabian dalam pendidikan dan dakwah Islam. 
Nabi SAW juga seorang guru yang diutus untuk melahirkan generasi pemimpin dan pendidik terbaik, yaitu Sahabat (HR Muslim).
Beliau SAW guru terbaik karena dididik langsung oleh Sang Maha Guru Terbaik, yakni Yang Maha Mengetahui ('Aalim). “Addabanii rabbii fa ahsana ta`dibii.” (Tuhanku telah mendidikku maka sempurnalah adabku). Begitulah pesan Nabi SAW. 
Guru kehidupan saya, Prof KH Didin Hafidhuddin pernah bercerita. Di tengah kesibukannya yang sangat padat sebagai ulama dan dosen, ia selalu hadir ke sekolah untuk menerima rapor anak-anaknya. Beliau pun selalu memberikan uang kepada guru sebesar biaya sekolah anaknya. Subahanallah. 
Kini, semua anaknya sukses dalam pendidikan, tawadhu, dan dihormati oleh semua kawan. “Muliakanlah guru di depan anakmu agar anakmu memuliakanmu dan menghormati gurunya,” demikian pesan beliau. 
Saya sedih ketika seorang murid kelas 4 SD berani menuduh guru berbohong di depan orang tuanya. Apalagi, orang tua membela anaknya dan balik menyalahkan guru. Perlakuan buruk orang tua kepada guru, apalagi di depan anak, adalah kesalahan besar dalam proses pembelajaran. 
Ketiga, orang tua yang menikahkan. Mereka adalah orang tua pasangan hidup kita (mertua). Jika kedua orang tua melahirkan dan membesarkan penuh pengorbanan, guru mengajar dan mendewasakan penuh ketulusan, lalu mertua menikahkan putri kesayangannya dengan penuh pengharapan. 
Mereka menyerahkan putri yang sudah dilahirkan, dibesarkan, dan didewasakan untuk mendampingi perjalanan hidup kita. Mereka pun bersedia menjadi sandaran dalam membangun rumah tangga, di saat bumi tempat berpijak belum kokoh, hingga mencapai kemapanan. 
Tiadalah patut jika mereka yang menghadiahkan mutiara hidupnya mendapat perlakuan yang berbeda dengan kedua orang tua yang melahirkan. 
Menikahi anaknya itu berarti menyatukan dua orang tua sekaligus, yakni mereka yang melahirkan dan menikahkan. Perlakuan baik kepada mereka menjadi pembuka pintu rezeki. Itu pula anak yang pandai berbakti. Allahu a'lam bish-shawab.  


***) Hasan Basri Tanjung 

Kamis, 14 Juli 2016

DAHSYATNYA KEKUATAN HIDAYA

 Ikrimah bin Abu Jahal. Jika menyebutkan nasabnya, orang akan mengira jika ia adalah salah satu musuh Allah. Abu Jahal tak kurang perbuatan jahatnya dalam menghalangi Rasulullah SAW. Anak yang tumbuh dalam suasana kebencian terhadap Islam, bisa jadi terdampak dan memiliki kebencian yang sama. Itu yang terjadi pada sosok Ikrimah, pada mulanya.
Seperti halnya ayahnya, Ikrimah adalah penentang Islam ketika dakwah mulai merekah di Makkah. Cap musuh Allah disematkan kepadanya bersama sang ayah.Saat Fathul Makkah, semua kaum Quraisy Makkah menyerah tanpa syarat termasuk pemimpin mereka Abu Sufyan. 
Namun tidak begitu dengan Ikrimah. Jiwa pemberontakannya begitu tinggi. Meski ia sadar kalah jumlah, ia terus mengobarkan perlawanan terhadap kaum Muslimin. Ia menyerang kavaleri pasukan Rasulullah. Ikrimah terdesak dan akhirnya kabur hingga Yaman. Saat penduduk Makkah terbuka hatinya menerima Islam, Ikrimah justru masih berkutat dengan kegelapan.
Hidayah, memang hanya milik Allah SWT. Maka sungguh sejatinya tak pantas bagi kita mencap seseorang adalah musuh abadi dakwah. Kita, manusia yang amat lemah ini, tak paham bagaimana skenario perjalanan hidup seseorang. Dan Ikrimah membuktikannya. Cahaya Islam merasuk ke dadanya, saat ia justru berada dalam puncak permusuhan terhadap Islam.
Ikrimah membuktikan imannya tak sekadar kedok untuk menyelamatkan nyawa. Ia, yang tadinya amat bernafsu membunuh kaum Muslimin, kini menjadi sosok yang rela terbunuh demi tegaknya Islam. Pengorbanan nyawa adalah pengorbanan yang amat tinggi.
Sosok kepahlawanannya muncul saat perang Yarmuk. Saat semua usai, tergeletaklah tiga sahabat yang terluka. Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Ikrimah bin Abu Jahal. Ketiganya memerlukan air demi bertahan. Lalu seorang sahabat datang menawarkan air. 
Ikrimah yang hendak diberi minum melihat Ayyasy lebih membutuhkan. Ia pun memerintahkan agar Ayyasy diberi minum terlebih dahulu. Saat Ayyasy hendak diberi minum, ia melihat Harits lebih membutuhkan. Maka sang pembawa air bergerak memberi minum. Belum sempat memberi minum Harits, ketiganya syahid tanpa ada setetes air yang singgah ke tubuh mereka. 
Itulah itsar. Puncak tertinggi ukhuwah. Tidak ada basa-basi, yang ada hanya kejujuran. Sebuah kejujuran dalam pembuktian iman. Ikrimah, telah melesat dari seseorang yang berada dalam titik nadir, kini terbang mengangkasa menjemput janji bersama bidadari. Hanya iman yang jujur yang mampu menggerakkan pengorbanan setinggi itu. Dan bagi mereka yang diberikan hidayah, bukan tak mungkin Allah memberikan percepatan-percepatan iman. 
Kita seharusnya iri terhadap mereka yang diberikan hidayah oleh Allah SWT. Mungkin mereka menerima Islam belakangan. Mungkin saat ini mereka masih mengeja huruf hijaiyah demi azzam bisa membaca Alquran. Mungkin saat ini shalat mereka masih belum sempurna. Mungkin secara kasat mata, mereka orang yang butuh pertolongan. 
Namun bisa jadi, Allah hendak memuliakan mereka dengan pemahaman Islam yang amat sadar. Islam merasuk ke dalam dada mereka seiring dengan pemahaman yang kuat. Iman menancap di nurani mereka jauh lebih kokoh karena hasil dari sebuah pencarian panjang. Mungkin kita seharusnya pantas iri. Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorang pun dapat memberinya petunjuk. Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak seorang pun dapat menyesatkannya….” (QS az-Zumar [39]: 36-37).


***) Hafidz Muftisany

Rabu, 13 Juli 2016

DARI TANPA NIAT KE NIAT YG LUHU

 Masih banyak di antara kita melakukan perbuatan baik, termasuk menjalani rutinitasnya tanpa niat. Padahal, Nabi Muhammad Saw dalam hadis mutawatirnya selalu mengingatkan: Innamal a'mal bi al-niyat (sesungguhnya perbuatan [yang bernilai ibadah] ialah perbuatan yang disertai dengan niat [karena Allah]).
Hadis ini menafikkan nilai ibadah setiap amal dan perbuatan tanpa niat. Sekalipun yang dilakukan adalah ibadah khusus. Sebaliknya amal perbuatan duniawi yang baik dan dilakukan dengan niat ibadah, maka  akan bernilai ibadah di mata Tuhan. 
Ulama fikih menganggap sia-sia amal perbuatan tanpa niat. Karena itu, imam Syafi’ pendiri mazhab Syafi’ yang banyak dianut di Asia Tenggara dan Mesir mengharuskan adanya niat bagi setiap perbuatan jika dikehendaki sebagai ibadah. Kalangan ulama Kalam (teolog) menganggap niat sebagai faktor yang membedakan antara perbuatan manusia (human creations) dan perbuatan binatang (animal creations). 
Senada dengan pandangan ulama tasawuf seperti dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi di dalam Fushush al-Hikam-nya, perbuatan yang dilakukan dengan niat suci dan penuh penghayatan adalah perbuatan keilahian (al-af’al al-Haqqani/Divine Creations).
Niat adalah bentuk keterlibatan Tuhan mulai dari kehendak (masyi’ah), kemampuan (istitha’ah), sampai terjadinya perbuatan (kasab). Semakin terasa keterlibatan Tuhan di dalam sebuah perbuatan maka semakin kuat niat itu. Segala perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan niat, maka semakin berkah pula perbuatan itu. 
Pada hakikatnya niat adalah konsep matang dan penuh kesadaran dari dalam diri kita tentang suatu perbuatan yang kita akan lakukan. Dalam bahasa manajemen, niat dapat dihubungkan dengan programming atau perencanaan yang baik. Tanpa perencanaan sulit mengharapkan hasil yang baik.
Dalam ilmu manajemen modern, selalu dititik beratkan arti penting sebuah programming, karena sebuah pekerjaan tanpa perencanaan yang baik pasti tidak akan menjanjikan out-put dan out-come lebih baik. Niat adalah the first creation dan implementasinya adalah the second creation. 

***) Prof Dr KH Nasaruddin Umar

Senin, 11 Juli 2016

RASULULLAH PUN BERHENTI MENDOAKAN ORANG YG ENGGAN BERSYUKUR

Ishak bin Abdullah bin Abi Thalhah menceritakan, pada suatu hari datanglah seorang laki-laki ke hadapan Rasulullah SAW. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Rasul kepada orang itu. "Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah untukmu, wahai Nabi!" jawab orang itu. Mendengar jawaban tersebut, Rasul lalu mendoakannya.
Pada hari selanjutnya, orang tersebut kembali datang menemui Rasul. Seperti pada pertemuan pertama, Rasul pun menanyakan keadaannya. "Bagaimana keadaanmu?" "Baik," jawab orang tersebut pendek. Rasul hanya diam mendengar jawaban itu. Maka, dengan nada heran orang itu bertanya. "Ya Rasulullah, kemarin engkau menanyakan keadaanku, lalu engkau mendoakanku.
Hari ini engkau bertanya kepadaku, tetapi tidak mendoakanku. Mengapa demikian?". Rasulullah SAW menjawab, "Ketika aku bertanya kepadamu, engkau bersyukur kepada Allah. Sedangkan hari ini aku bertanya, tetapi engkau diam saja, tidak bersyukur kepada-Nya."
Kisah atau dialog yang dikutip dari buku Kitabusy-Syukur karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad tersebut, secara tersirat sedikitnya ada dua hal yang dapat kita ambil hikmah atau ibroh-nya. Pertama, kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah, minimal secara lisan. Yakni, mengucapkan hamdalah.
Kedua, jawaban pendek orang tersebut, ketika ditanya Rasulullah untuk kedua kalinya, menunjukkan ia lupa bahwa keadaan baik pada dirinya, yakni sehat dan masih diberi umur untuk menikmati hidup ini (kesempatan). Sehat dan kesempatan adalah dua nikmat yang sering dilupakan atau tidak disadari. Akibatnya, orang pun lupa mensyukurinya. Sebagaimana ditegaskan Nabi SAW, "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu olehnya, yakni kesehatan dan kesempatan" (HR. Bukhari).
Bahkan, nikmatnya sehat sering baru terasa oleh kita pada saat kita sakit. Misalnya, betapa nikmatnya bernafas sering baru terasakan betul-betul ketika kita terserang flu. Nikmatnya makan baru terasakan ketika kita dilanda sariawan. Nikmatnya berjalan normal baru terasa ketika kita sakit karena kaki keseleo. Dan seterusnya.
Kesempatan pun demikian. Nikmatnya waktu luang sering baru terasakan ketika kita kepepet atau sibuk. Dan kesempatan terbesar, yang merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri, adalah hidup atau masih belum dicabutnya nyawa kita oleh Allah. Syukurilah kesempatan itu dengan menjalani hidup sesuai ketentuan Allah, beribadah pada-Nya, selalu beristighfar, tobat, dan lain-lain, sebelum ajal menjemput. Sedang kita tahu, datangnya ajal dapat kapan dan di mana saja


***)ASM Romli))-Pusat Data Republika

Kamis, 07 Juli 2016

KURMA RASULULLAH UNTUK LELAKI YG “CELAKA

Sahabat Abu Hurairah pernah berkisah, ketika kami (para sahabat) sedang duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang lelaki dan mengadu kepadanya, "Duhai utusan Allah, aku telah celaka." "Apa yang membuatmu celaka?" tanya Rasulullah. "Aku telah menggauli istriku, dan aku sedang berpuasa (Ramadhan)," kata lelaki tadi mengadu.
"Apakah kamu punya budak untuk dibebaskan (sebagai kafarat)?" kata Rasulullah bertanya dengan tenang. "Tidak," jawab lelaki itu. Rasulullah bertanya lagi, "Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?" "Tidak," lelaki itu kembali menjawab. "Kalau memberi makan enam puluh orang miskin, bisa?" Lelaki itu tetap menjawab, "Tidak."
Rasulullah lalu bangkit, dan tidak lama kemudian, beliau datang kembali membawa keranjang besar berisi kurma. Rasulullah memberikan sekeranjang kurma itu kepada lelaki tadi dan berpesan, "Ambil dan bersedekahlah dengan kurma ini."
Tetapi, lelaki tadi protes, "Duhai utusan Allah... Memangnya di Madinah ini ada seseorang yang lebih berhak menerima sedekah dariku? Demi Allah, di antara bumi Madinah ini tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluargaku." Lalu, Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi taringnya. Rasulullah lalu berkata, "Berikanlah kurma ini kepada keluargamu." (HR Bukhari: 1834).
Sepanjang sejarah peradaban, bisa dipastikan tidak ada seorang manusia pun yang memiliki kasih sayang sesempurna Rasulullah SAW (al-Rahmah al-Syamilah). Kasih sayang Rasulullah terhadap manusia, terlebih umatnya, tidak hanya terbatas pada mereka yang taat saja, tetapi juga pada mereka yang sudah jelas melakukan perbuatan dosa.
Sebagai umat Rasulullah, kita malah sering kali berlaku sebaliknya terhadap saudara kita yang melakukan perbuatan dosa, alih-alih membimbingnya kembali kepada kebaikan dengan kasih sayang, kita sering kali malah mencaci maki dan bahkan melakukan perbuatan keji. Dan, kita juga kerap kali "merasa lebih suci" dari saudara-saudara kita yang melakukan perbuatan dosa.
Jangankan kepada saudara kita yang berbuat dosa, tak disadari kita juga berlaku keji dan jauh dari yang Rasulullah ajarkan kepada saudara sesama Muslim yang hanya berbeda pendapat dengan kita.
Bayangkan, Rasulullah SAW sama sekali tak menampakkan kekesalan, kemarahan, atau bahkan kebencian terhadap lelaki yang mengaku telah berbuat dosa di hadapannya. Rasulullah malah menyambutnya dengan penuh kasih sayang, dengan harapan lelaki itu tidak akan mengulangi perbuatan dosanya kembali.
Dakwah yang diajarkan Rasulullah kepada kita umatnya adalah dakwah dengan kasih sayang. Sudah seharusnya kita yang mengaku sebagai umat Rasulullah mengikuti semua ajaran Beliau SAW. Menebarkan kasih sayang kepada sekalian alam, bukan menebar kebencian. 


***) Em Farobi Afandi (( Pusat Data Republika

Rabu, 06 Juli 2016

LAPAR DAN TAKUT

Sudah menjadi suatu kewajaran bahwa manusia itu bisa merasa lapar lantaran perut kosong. Selain itu, menjadi kewajaran pula bahwa di dalam diri manusia itu terkandung sifat takut.
Lapar dan takut merupakan bawaan yang menjadi kekhasan makhluk hidup. Lapar akan hilang ketika kita telah mengisi perut kita dengan makanan. 
Lantas, dari mana makanan itu bisa kita dapat sehingga kita bisa memakannya dan terhindar dari kelaparan? Tentu saja kita harus berusaha untuk mendapatkannya.
Usaha untuk mendapat makanan adalah dengan bekerja yang produktif. Apapun bentuk pekerjaannya, jika pekerjaan itu menghasilkan maka kita akan membelanjakan hasil kerja tersebut untuk mendapatkan makanan. 
Sementara itu, bagaimana jika kita takut? Takut adalah pekerjaan hati. Ia tidak terlihat secara kasat mata tetapi bisa dirasakan begitu ia datang menghampiri kita. Entah ketakutan tersebut ditujukan kepada apa atau siapa, yang pasti ketakutan itu benar-benar membuat kita tidak nyaman. 
Oleh karenanya, kita hendaknya mengelola takut tersebut hanya ditujukan kepada Allah SWT. Takut kepada Allah SWT juga harus dibumbui dengan cinta kepada-Nya. Allah SWT memberikan kita tuntunan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan kita dari ketakutan. 
Tuntunan tersebut termaktub dalam firman-Nya, surah Quraisy ayat 1 sampai 4, "Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." 
Dalam surah Quraisy tersebut Allah mengisahkan kebiasaan orang-orang Quraisy. Mereka senantiasa bepergian di musim dingin dan panas.
Mereka bepergian bukan tanpa maksud, melainkan karena berniaga. Dari hasil perniagaan tersebut, mereka memperoleh rezeki. Mereka berniaga ke Syam pada musim panas dan ke Yaman pada musim dingin.
Dari hal ini, kita bisa merenungkan bahwa mereka bekerja (berniaga atau bernisnis) dengan gigih meskipun musim senantiasa berganti. Mereka justru membaca alam (musim) untuk kelancaran perniagaan yang mereka lakukan.
Walhasil, mereka mendapatkan banyak rezeki dari perniagan tersebut. Rezeki itu pun menghilangkan mereka dari rasa lapar. 
Dalam bepergian untuk berniaga tersebut, mereka mendapatkan jaminan rasa aman dari penguasa Syam dan Yaman. Mereka mendapatkan kenikmatan berupa rasa aman.
Dalam arti lain, mereka tidak usah takut akan keselamatan mereka di perjalanan ketika berniaga. Karena rasa aman tersebut, Allah pun menganjurkan kepada mereka agar senantiasa menyembah-Nya. 
Karena hanya Allah SWT sajalah mereka mendapatkan kenikmatan tersebut. Dengan begitu, menyembah Allah SWT adalah bentuk dari rasa syukur atas nikmat yang mereka peroleh. Dari surah Quraisy tersebut, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa kita bisa meniru orang-orang Quraisy. 
Mereka senantiasa giat dalam bekerja meskipun musim terus berganti. Hendaknya kita juga giat bekerja untuk mencari rezeki sehingga kita tidak kelaparan. Namun demikian, kita juga tidak boleh melalaikan Allah SWT, Dzat yang telah memberikan berbagai kenikmatan. 
Itulah yang bisa membuat kita merasa aman ketika kita takut. Seyogianya, mengingat Allah SWT dengan bertauhid adalah sumber dari keberanian dan penghilang rasa takut akan kehidupan dunia ini.
Surah Quraisy telah memberikan pelajaran untuk menghindari lapar dan mengamankan diri dari ketakutan. Semoga kita bisa mengamalkan semangat Quraisy ini. Wallahu a’lam. 


 ***) Supriyadi