Jumat, 31 Juli 2015

EMPAT MACAM SIKAP ANAK TERHADAP ORANG TUA

Pada akhir Ramadhan, kerinduan kepada orang tua semakin menggelora. Menjelang Lebaran, banyak orang selalu berupaya mudik ke kampung halaman untuk menemui mereka dan meminta maaf atau ziarah ke kuburan mereka yang telah tiada.
Jika tidak bisa, lewat telepon pun cukuplah mengobati rindu. Bertebaran ayat-ayat yang menyuruh kita berbakti kepada orang tua. Bahkan, bakti kepada orang tua ditempatkan setelah bakti kepada Allah SWT. (QS 17: [23-24]).
Tak bernilai syukur kepada Allah jika tak disertai syukur kepada orang tua (QS 31:14, 46:15). Kita sering kali lupa jasa-jasa mereka sewaktu kecil dulu. Apalagi, jasa seorang ibu yang susah payah mengandung, melahirkan bersimbah darah, dan menyusui dalam kesulitan.
Pengorbanan mereka tak akan pernah terbalas walau dengan apa pun. Konon, seorang lelaki bertanya Khalifah Umar Bin Khattab.
“Wahai Amirul Mukminin, ibuku berusia lanjut, akulah yang menjadi kendaraan, menggendong, memapah dan membersihkan kotorannya. Apakah dengan demikian aku sudah berterima kasih atas jasa-jasanya? Beliau menjawab, “Belum!” “Mengapa begitu wahai Amirul Mukminin?” Tanya lelaki itu. Beliau menjawab, “Sebab engkau melakukannya sambil berdoa agar Allah mengambil nyawanya. Sedangkan, ia melakukan itu dahulu sambil berdoa agar Allah memanjangkan umurmu.” (HR Abi Ad-Dunya).
Kedudukan dan sikap anak terhadap orang tua bisa dikelompokkan menjadi empat macam. Pertama, anak yang beruntung. Mereka anak yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup dalam ketaatan kepada Allah dan mendidik mereka hingga menjadi manusia dewasa.
 
Mereka menyadari bahwa ridha Allah ada pada ridha kedua orang tua bahkan surga pun berada di telapak kaki ibunya (HR At-Tirmidzi).
Ada pula yang tidak sempat berbakti karena orang tuanya telah tiada pada saat mereka masih kecil atau belum mampu untuk membahagiakan hingga akhir hayatnya. Saya termasuk di dalamnya. Meski begitu, saya masih beruntung ketemu mereka.
Kedua, anak yang kurang beruntung. Merekalah anak yang tak sempat melihat wajah ayah atau ibunya. Mereka lahir sebagai yatim atau piatu karena ayah telah tiada dan ibunya wafat di saat melahirkannya atau pergi ke negeri nan jauh.
Mereka tidak sempat merasakan belas kasih sayang orang tua hingga mereka besar dalam pengasuhan kerabat atau panti sosial. Namun, mereka tetap merindukan orang tuanya dan selalu berdoa agar kuburannya dijadikan taman surga dan kelak bertemu di surga.
Ketiga, anak yang tak beruntung. Merekalah anak yang lahir di tengah orang tua yang masih hidup, namun tidak dibesarkan dengan kasih sayang. Mereka diterlantarkan, dibuang, dianiaya hingga ada yang meregang nyawa.
Mereka diperlakukan tidak manusiawi dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Begitupun anak yang lahir dari perbuatan zina orang tuanya, dibuang di tempat sampah atau ditinggalkan di jalanan. Hingga dewasa, mereka tak tahu siapa orang tuanya.
Keempat, anak yang tak tahu diuntung. Merekalah anak yang dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang dan mengenyam pendidikan yang tinggi. Namun, setelah berjaya, mereka justru melupakan orang tuanya.
 
Merekalah anak durhaka yang tak tahu diuntung dan tak pandai berterima kasih. Allah akan murka kepada mereka dan mengambil karunia-Nya secara perlahan tapi pasti, dan di akhirat kelak mereka tak mencium aroma surga (HR Al-Hakim). Na'udzibillahi min dzalik.
Bertobat dan minta maaflah sekarang juga. Cium tangan dan peluk tubuhnya, jika perlu bersujud di kakinya. Sebesar apa pun kesalahan, orang tua selalu berkenan memaafkan. Nanti, kalau sudah tiada baru terasa bahwa kehadirannya sungguh berharga. Allahu a'lam bishshawab
(Da'wah, hidayah, hikmah, pendidikan, takwa, sabar,)

***) Hasan Basri Tanjung

Kamis, 30 Juli 2015

ISTIGHFAR ADALAH SEBAB DIAMPUNINYA DOSA

Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Ashqalani di dalam kitab Fathul Baari mengutip sebuah atsar dari Imam Al-Hasan Al-Bashri bahwa ada empat rombongan tamu yang datang secara terpisah kepada beliau untuk meminta nasihat.
Tamu yang pertama datang mengeluhkan tentang masa paceklik yang terjadi di daerahnya dan sudah meresahkan masyarakat. Lalu, beliau berpesan kepada tamunya itu untuk beristighfar kepada Allah SWT.
Selang beberapa saat, Imam Al-Bashri kedatangan tamu kedua. Tamunya menyampaikan keinginan agar dapat terbebas dari kefakiran atau kemiskinan yang melilit keluarganya. Kepada tamu ini, beliau memberikan nasihat untuk senantiasa beristighfar kepada Allah SWT.
Beberapa waktu kemudian, datang lagi tamu berikutnya yang menyampaikan keluh kesah bahwa di sekitar tempat tinggalnya sedang terjadi kekeringan disebabkan tidak turunnya hujan. Kembali, Imam Al-Bashri menyampaikan petuah padat kepada tamunya untuk memperbanyak istighfar kepada Allah SWT.
Tidak lama setelah tamunya yang ketiga meninggalkan kediaman Imam Al-Bashri, beliau kembali kedatangan tamu. Tamunya yang keempat ini menyampaikan harapan yang sudah lama mereka dambakan, yaitu ingin memiliki keturunan dari pernikahan yang telah mereka jalani. Dan, ungkapan singkat yang disampaikan beliau adalah perbanyak istighfar kepada Allah SWT.
Tanpa disengaja, keempat rombongan tamu itu bertemu di suatu tempat dan saling menceritakan keluh kesah mereka. Karena merasa mendapatkan nasihat yang sama, lantas muncul persepsi bahwa sang imam menggeneralisasi seluruh permasalahan dengan memberikan satu jawaban. Dengan sedikit emosi, mereka bersepakat kembali ke kediaman sang imam guna meminta penjelasan.
Sesampainya di rumah Imam Al-Bashri, mereka dipersilakan masuk. Setelah mendengarkan kembali keluhan tamunya, sang imam mengajak mereka menyimak QS Nuh [71] ayat 10-12. “Maka, aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun'. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit atas kalian. Dan, Dia akan melipatgandakan harta dan anak-anak kalian, mengadakan kebun-kebun atas kalian, serta mengadakan sungai-sungai untuk kalian.”
Setelah mendengarkan kalam Ilahi itu, barulah mereka tersadar bahwa nasihat sang imam bukan asal-asalan seperti dugaan sebagian mereka. Dengan perasaan malu, mereka pun akhirnya meninggalkan rumah beliau.
Istighfar dapat menghindarkan hamba dari siksa dan musibah dari Allah (QS al-Anfal [8] ayat 33). Istighfar juga bisa mendatangkan rahmat Allah (QS an-Naml [27] ayat 46).
Istighfar dapat menambah kekuatan selama tidak melakukan dosa (QS Hud [11] ayat 52). Istighfar juga merupakan syarat dikabulkannya doa (QS Hud [11] ayat 61). Dan, tentu istighfar dapat membuat diampunkannya segala dosa (QS Ali Imran [3] ayat 135).
Sejalan dengan itu, sebagaimana hadis Rasulullah SAW dari Abdullah bin Abbas RA. “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, niscaya Allah akan menjadikan baginya kelapangan dari segala kegundahan yang menderanya, jalan keluar dari segala kesempitan yang dihadapinya dan Allah memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Thabrani).
Dari nas di atas menunjukkan bahwa istighfar adalah sebab diampuninya dosa, turunnya rezeki dari langit, dilapangkannya harta dan keturunan, syarat dikabulkannya doa, serta dibukakannya berbagai kebaikan hingga masalah apa pun yang dihadapi seorang hamba, selalu ada jalan keluarnya. Wallahhu a’lam.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur,  takwa, )


.***)Raisan Al Farisi / republika

Rabu, 29 Juli 2015

EMPAT PESAN UNTUK ALUMNI RAMADHAN

Sewaktu Ramadhan pergi, seakan ia berpesan kepada semua alumninya agar memegang teguh janji (adab) sebagai ikatan persahabatan sejati yang pernah terjalin. Paling tidak, ada empat pesan penting yang ia titipkan kepada kita jika betul merasa sedih saat kepergiannya dan rindu menanti kedatangannya.
Pertama, tetaplah lapar (al-juu’un). Lapar memang sengsara membawa nikmat. “Wa maa ladz-dzatu illa ba’da ta’bii” (tiada kelezatan kecuali setelah kepayahan). Apa maknanya? Yakni, meneruskan kebiasaan tak makan pada siang hari dengan menjalankan puasa sunah, seperti enam hari saat Syawal, puasa Senin-Kamis, apalagi puasa Nabi Daud, sehari lapar sehari kenyang.
Mengapa lapar itu penting dijaga? Karena, hanya orang lapar yang mengerti arti sesuap nasi. Jika ia makan, tak pernah bersisa walau sebutir. Makan yang nikmat adalah ketika lapar. Tetaplah lapar karena lapar membuat badan sehat dan enteng, pikiran cerdas dan hati lembut, serta mudah berempati kepada derita sesama, lalu senang bersedekah kepada yatim dan dhuafa. 
Kedua, tetaplah haus (al-‘athsun). Semakna dengan lapar, ia juga derita, tetapi melahirkan kelezatan. Minum yang nikmat ketika haus. Maka, berhaus-hauslah pada siang hari (puasa) agar enak minum pada sore hari (berbuka).
Ketika air banyak berlimpah, kita sering membuang-buangnya seakan tak berdosa, padahal itu mubazir (QS 17:26-27). Lalu, kapan air baru berharga? Ketika kehausan atau kekeringan melanda karena kemarau panjang, seperti yang terjadi saat ini. Orang yang haus akan menghargai segelas air dan jika ia minum, tak bersisa walau setetes. Orang puasa akan menghargai, menjaga kebersihan, dan kejernihannya. Mereka tidak akan mengotori, mencemari, atau merusak lingkungan.
Ketiga, tetaplah bodoh (al-jaahilun). Orang yang merasa bodoh tak berprasangka macam-macam kepada orang lain. Mereka polos menjalani kehidupan dan sadar akan kekurangan dirinya, lalu terus belajar (QS 58:11). Orang yang merasa bodoh itu pertanda tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun yadri annahu laa yadri). Tapi, orang yang merasa tahu, pertanda tidak tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun laa yadri annahu laa yadri).
Orang yang merasa tahu semua hal sebenarnya tidak ada apa-apanya dan itu merupakan kesombongan. Meski sudah banyak belajar, mengkaji, meneliti, mendengar tausiah, tetaplah merasa bodoh (murid). Tanda orang berilmu itu menyadari bahwa yang diketahuinya lebih sedikit daripada yang tidak diketahuinya (rajulun yadri annahu yadri). Yang paling berbahaya adalah orang dungu, yakni tidak tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun laa yadri annahu laa yadri).
Keempat, tetaplah rendah hati (tawadhu). Walaupun sudah banyak ilmu yang dipahami, sedekah yang ditebarkan, kearifan yang didapatkan, kenikmatan spritual yang dirasakan, tetapi tetaplah rendah hati.
Penyakit orang kaya dan orang berilmu itu keangkuhan. Hanya sedikit orang kaya rendah hati, yakni yang dermawan. Sedikit pula orang berilmu rendah hati, yakni yang saleh. Setinggi apa pun pun pangkat, sebanyak apa pun harta, seluas apa pun ilmu, sehebat apa pun pencapaian, tetaplah rendah hati. Karena, keangkuhan adalah awal dari setiap kejatuhan.
Pesan-pesan ini saling berkaitan satu sama lain. Keempatnya adalah kesalehan indvidual yang berbuah pada kesalehan sosial. Itulah mukmin sejati, yakni al-Muttaqiin (orang-orang bertakwa). Allahu a’lam bish-shawab.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur., takwa., pendidikan,)

***)Republika

Selasa, 28 Juli 2015

MASIH TERBUKA PELUANG RAIH LAILATUL QADAR

Ramadhan terdiri atas tiga fase, yaitu fase rahmat, ampunan, dan fase bebas/lepas/merdeka dari siksa neraka. Bila Ramadhan genap 30 hari, masing-masing fase terdiri atas 10 hari. Fase pertama, berlangsung antara 1 sampai dengan 10 Ramadhan.
Fase kedua, berlangsung antara 11 sampai dengan 20 Ramadhan. Fase ketiga, berlangsung antara 21 sampai dengan 30 Ramadhan. Bila Ramadhan tidak genap 30 hari, fase pertama dan fase kedua (tetap) terdiri atas 10 hari.
Sedangkan, fase ketiga hanya terdiri atas delapan atau sembilan hari. Pengelompokan hari-hari Ramadhan tersebut sejatinya menggambarkan alangkah besarnya kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya yang taat melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya.
Dengan begitu, limpahan rahmat, ampunan, dan pembebasan dari siksa neraka itu hanya akan diberikan kepada mereka yang taat kepada-Nya. Katakanlah, ini sebuah peluang emas atau momentum terbaik yang disediakan bagi mereka yang cerdas memanfaatkannya.
Artinya, meskipun peluang emas atau momentum terbaik itu nyata di depan mata, bila tidak dimanfaatkan secara cerdas, niscaya akan hilang dengan percuma. Jadi, apakah kita akan beruntung atas tiga fase itu atau tidak, sepenuhnya bergantung pada ikhtiar kita sendiri.
Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menghendaki (kehidupan) akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedangkan dia adalah mukmin, mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.’’ (QS al-Isra [17]: 19). Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman, “Dan sejatinya seorang manusia tidak (akan) memperoleh balasan selain apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm [53]: 39).
Konteks ayat-ayat tersebut mendorong kita untuk bersungguh-sungguh mewujudkan apa yang kita dambakan, yakni kebaikan di dunia dan di akhirat. Bila ketiga fase tersebut kita cermati keberadaannya, bukan mustahil antara yang satu dan yang lainnya itu saling berkaitan. Jadi, ketiganya hadir secara beriringan. Karena itu, dapat kita pahami bahwa fase rahmat harus hadir sebelum fase ampunan. Fase ampunan harus hadir sebelum fase bebas/lepas/merdeka dari siksa neraka.
Seakan-akan, dikatakan bahwa siapa pun yang ingin bebas dari siksa neraka, dia harus memastikan dirinya berhasil meraih fase sebelumnya. Logika kita berkata, jika rahmat dan ampunan sudah di tangan, adanya jaminan bebas dari siksa neraka menjadi sangat masuk akal.
Mereka itulah orang-orang yang terpilih mendapatkan dua kegembiraan, yaitu kegembiraan pada saat buka puasa dan Lebaran serta saat berjumpa dengan Tuhannya. Peluang masih terbuka untuk meraih semuanya, terutama dengan mencari Lailatul Qadar. 
(.sabar, Da'wah, keyakinan, pendidikan, takwa, syukur, sabar, )


***) Mahmud Yunus (republika

Senin, 27 Juli 2015

UMAT ISLAM DI NIGERIA BERLOMABA-LOMBA BACA ALQURAN

Keluarga Muslim di Nigeria berlomba-lomba untuk memotivasi anggotaya untuk giat membaca Alquran, terlebih dalam bulan Ramadhan ini. Tidak hanya memicu semangat untuk sekedar membaca, tetapi juga menjanjikan hadiah kepada siapa yang mampu menghafal ayat-ayat Alquran.
Dalam keluarga saya, karena istri saya dan saya sendiri bekerja, kami menantang diri untuk melihat siapa yang membaca Al Qur'an lebih dari  sekali selama bulan suci," kata Hassan Abubakar seorang banker yang juga kepala keluarga dari seorang istri dan dua anak, dikutip dariOnislam, Ahad (5/7).
Ia menceritakan, tahun lalu, ia mengaku kalah dari istrinya yang mampu menamatkan bacaan Alquran sebanyak tiga kali selama Ramadhan, sementara dirinya hanya mampu membaca Alquran sekali.
Dalam Ramadhan tahun ini, Abubakar menyebut dirinya sudah menyelesaikan bacaan Alquran sebanyak satu kali. Ia berharap Ramadhan kali ini dapat membaca Alquran sebanyak tiga kali. selain mengejar jumlah bacaan, ia juga mencoba untuk memancing semangat kedua anak-anaknya untuk juga turut rajin melantunkan dan menghafal ayat-ayat suci Alquran.
“Saya sekarang juga membimbing kedua anak saya,” ujar Abubakar.
Begitu juga yang diterapkan di dalam keluarga Ibrahim Eshinlokun, seorang insinyur sipil di Nigeria. Dalam Ramadhan tahun ini Ibrahim menjanjikan sejumlah hadiah untuk anak-anaknya bila mampu menghapal ayat-ayat Alquran.
Ibrahim mengaku memiliki tiga orang anak yang terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan. Bila anak-anaknya berhasil menghapal sejumlah ayat Alquran, Ibrahim telah menjanjikan hadiah untuk berliburan ke suatu tempat yang bisa membuat anak-anaknya bisa senang.
Untuk menghapal ini, Ibrahim menargetkan kepada anak-anaknya untuk mampu menghapal sebanyak 10 sampai 20 surat-surat dalam Alquran.
"Saya tidak hanya menyuruh mereka untuk melakukan hal ini, saya juga ikut (menghapal), saya juga tidak mau kalah. Saya memiliki target untuk mereka agar mampu menghafal antara 10 dan 20 surah,’ ujar Ibrahim.


***)Republika

Sabtu, 25 Juli 2015

SORGA DIISI ORANG YG MAMPU JAGA AMANAH

Setiap aktivitas seorang Muslim yang tengah menjalankan ibadah shaum adalah ibadah. Jiwanya tengah dididik Sang Ilahi, demikian pula raganya, sedang dilatih. Sungguh satu bulan penuh diisi dengan pendidikan. Sabar, ikhlas, dan ihsan menjadi pelajaran utamanya.
Tak seorang pun tahu apakah dia sedang berpuasa atau tidak, hanya dirinya dan Allah SWT yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ibarat suatu madrasah, hikmah yang terkandung di dalam shaum sangat luar biasa.
Tak ada ruang kosong yang sia-sia, semuanya penuh hikmah. Berpulang kepada diri masing-masing untuk mengambilnya. Kepada mereka yang sungguh-sungguh, predikat takwa akan diraih, sementara yang asal-asalan, hanya mendapatkan lapar dan kehausan.
Tentu saja, untuk meraih derajat takwa tak semudah mengatakannya. Selain harus memenuhi seluruh amalan dengan sungguh-sungguh sesuai syariat, hiasi juga hati dengan sabar dan ikhlas. Ingatlah godaan mencapai takwa sebanding dengan prestise raihannya.
Perut lapar kerap membuat orang mudah tersinggung dan cepat marah. Berusahalah sekuat tenaga untuk menahan amarah dan tidak memprovokasi orang supaya marah. Menahan amarah merupakan salah satu sifat dari orang-orang bertakwa (al-muttaqun).
Kita dianjurkan untuk menghindar jika ada seseorang yang mengajak bertengkar, dianjurkan berkata “inni shoimun”, aku sedang berpuasa. Kemarahan merupakan emosi negatif yang diluapkan dalam wujud kata-kata maupun perbuatan reaktif.
Emosi ini sering kali merugikan, bahkan mengancam. Tak sedikit pula, akibat amarah yang tak terkendali, seseorang tega membunuh.
Menahan amarah merupakan akhlak mulia. Dijanjikan balasan surga yang luasnya tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa menahan marah, padahal ia mampu menampakkannya, maka kelak pada hari kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk dan menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai.” (HR Tirmidzi).
Selain marah yang sifatnya negatif, ada juga yang positif. Marah seperti ini dilakukan bukan atas dasar kebencian, tapi sebagai pendidikan dan penyadaran. Rasulullah pernah marah kepada sahabatnya yang malas beribadah, bahkan ia pun pernah memarahi orang yang pelit.
Marah model ini dilakukan agar seseorang mendapatkan kemaslahatan dalam hidupnya. Ketika kita disakiti oleh seseorang, kemarahan adalah hal yang wajar. Namun, terus-menerus mendendam ialah sikap buruk dan harus dihindari.
Pada bulan suci ini, pelajaran menahan amarah menjadi salah satu materi wajib untuk dijalankan mereka yang melaksanakan shaum. Dengan amarah yang membara, kita telah lemah dan dengan mudah dikalahkan oleh setan yang terkutuk.
Orang yang mudah marah, di dalam dirinya terkandung sifat sombong, memersepsi dirinya sebagai orang hebat, merasa harus dihormati.
Surga yang diciptakan Allah hanya diisi orang-orang yang lemah lembut dan selama hidupnya mampu mengelola amarahnya secara positif.
Ia tidak seperti iblis, yang marah dan membangkang saat diperintah Allah SWT bersujud kepada Adam. Dia merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, sedangkan Adam hanya dari tanah. Mari tetap tenang dan tenteramkanlah hati kita. Dapatkanlah dengan penuh salah satu pelajaran menuju takwa bernama menahan amarah pada bulan yang penuh nilai pendidikan ini.
(.sabar, Da'wah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa, )


***) Dadang Kahmad  (Republika)

Jumat, 24 Juli 2015

MERAIH AMPUNAN ALLAH

Meraih ampunan Allah SWT pada bulan Ramadhan adalah idaman Muslim, terutama bagi pendosa dan ahli maksiat. Adalah kerugian besar jika bulan suci ini hadir sementara ia tidak meraih ampunan-Nya. Sebab, Ramadhan merupakan bulan yang penuh ampunan Allah SWT. 
Pada bulan yang penuh berkah ini, Allah membuka “bazar” ampunan seluas-luasnya. Pada bulan bertabur rahmat ini, ada amalan wajib yaitu shaum Ramadhan dan amalan sunah yaitu qiyam Ramadhan yang ditegaskan Nabi Muhammad mampu menghapuskan dosa yang lalu.
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR Bukhari, nomor 38 dan Muslim nomor 760).
“Barangsiapa shalat malam Ramadhan (tarawih dan witir) karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR Bukhari, nomor 37 dan Muslim, nomor 759)
Namun, perlu dipahami bahwa tidak semua dosa-dosa yang telah lalu bisa dihapuskan oleh puasa Ramadhan dan shalat tarawih. Dosa itu sebatas dosa-dosa kecil. Sementara, dosa-dosa besar tidak akan terhapus hanya dengan puasa Ramadhan dan shalat tarawih.
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang kalian diperintahkan untuk menjauhinya, niscaya Kami akan menghapuskan kesalahan-kesalahan (dosa-dosa kecil) kalian dan Kami memasukkan kalian ke dalam tempat yang mulia (surga).” (QS An-Nisa [4]: 31).
Rasulullah berkhutbah kepada kami, cerita Abu Hurairah melalui Abu Said al-Khudry, dari atas mimbar. Beliau bersabda: “Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya. Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya. Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya.”
Beliau lalu terdiam sehingga setiap orang di antara kami mulai menangis karena sedih mendengar sumpah beliau. “Tiada seorang hamba pun yang shalat lima waktu, shaum Ramadhan dan menjauhi tujuh dosa besar, melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga pada hari kiamat, sampai suara pintu-pintu surga itu berderit-derit.”
Lalu, beliau membacakan ayat: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang kalian diperintahkan untuk menjauhinya, niscaya Kami akan menghapuskan kesalahan-kesalahan (dosa-dosa kecil) kalian.” (QS An-Nisa [4]: 31). (HR An-Nasai, nomor 2.438, Al-Hakim nomor 719 dan 2.943, serta Ibnu Hibban, nomor 1.748. Dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).
Dengan demikian, terhapusnya dosa oleh amal Ramadhan adalah dosa kecil sementara dosa besar belum atau tidak, kecuali dengan tobat yang serius, yaitu tobat nasuha (baca QS At-Tahrim [66]: 8).
Dengan memahami hal ini, harusnya kita semakin terpacu untuk segera bertaubat dan  menyusulnya dengan beramal saleh. Berikutnya, tauhid yang bersih merupakan kunci  meraih ampunan. Namun, hal ini tidaklah sesederhana dan semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: Allah berfirman, "Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR Tirmidzi, dan dia menghasankannya).
Hadis yang agung ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah. Karena itu, jadikan Ramadhan ini sebagai momentum membersihkan tauhid kita dari kesyirikan dan hal lain yang bakal merusakkan kebersihannya. Wallahu a'lam.
(.sabar, Da'wah, takwa, kisah, pendidikan, )


***) Ustaz Arifin Ilham  (Republika)

Kamis, 23 Juli 2015

PUASA IBADAH ABADI

Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, ibadah puasa diwajibkan oleh Allah SWT tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat-umat terdahulu, seperti diterangkan secara eksplisit dalam ayat al-shaum, al-Baqarah ayat 183.
Menurut sejumlah pakar tafsir, terutama yang menyandarkan pendapatnya pada Ibn Abbas, frasa “al-ladzina min qablikum” pada ayat di atas menunjuk pada Ahl al-Kitab, yaitu orang-orang Yahudi, umat Nabi Musa AS dan orang-orang Nasrani, umat Nabi Isa AS.
Seperti diketahui, Nabi Musa berpuasa selama 40 hari. Orang-orang Yahudi berpuasa Asyura, puasa tanggal 10 bulan ketujuh dalam kalender mereka. Di luar itu, ada beberapa hari lain  mereka harus puasa. Orang-orang Nasrani juga puasa.
Puasa mereka tidak berbeda dengan orang-orang Yahudi, di antaranya, puasa besar, satu hari sebelum Hari Raya Paskah. Imam al-Alusi dan juga Fakhruddin al-Razi memahami lebih luas 'umat terdahulu,' tak hanya Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, tetapi semua umat manusia, sejak dari Nabi Adam AS hingga sekarang.
Syekh Muhammad Abduh malah lebih luas lagi, dengan menunjuk puasa yang dilakukan kaum paganis, baik di Mesir kuno, Yunani, Romawi, maupun India. 
Bagi Abduh, fakta ini menunjukkan adanya benang merah, kesatuan (sumber) agama (wahdat al-din) ditilik dari prinsip-prinsip agama dan cita-cita atau tujuan mulia yang dibawanya. Umat Islam dapat memetik pelajaran atau hikmah dari kenyataan bahwa puasa merupakan ibadah abadi yang diwajibkan oleh Allah kepada semua umat manusia. Tak ada umat dari seorang nabi, kecuali diwajibkan atas mereka puasa.
Setidaknya, ada tiga pelajaran penting yang dapat dipetik. Pertama, al-ihtimam bi hadzih-I al-`ibadah, kita mesti memberi perhatian khusus pada ibadah ini, memahami berbagai keutaman yang ada di dalamnya, serta memanfaatkan sebaik mungkin untuk mempertinggi ibadah dan amal kebajikan agar kita menjadi orang takwa.
Kedua, an-la yatstatsqilu bi hadzih-I al-ibadah, kita tidak sepatutnya merasa berat dengan ibadah puasa. Kalaulah ada perasaan semacam itu, sadarilah bahwa ibadah ini juga dibebankan kepada umat-umat terdahulu.
Dikatakan, kalau kita menyadari bahwa rasa berat atau kesulitan itu menimpa semua orang maka kesulitan itu akan terasa ringan.
Ketiga, itsarat al-qiyam bi hadzih-I al-faridhah, agar kita terdorong dan termotivasi melaksanakan kewajiban (puasa) ini sebaik mungkin, melebihi umat terdahulu. Di sini ada logika keunggulan (al-afdhaliyah wa al-khairiyah) yang mesti dibangun umat Islam, sebagaimana diutarakan Sayyid Thanthawi.
Umat Islam telah dinobatkan oleh Allah SWT sebagai umat terbaik, (khaira ummah) atas umat terdahulu (QS Ali Imran [3]: 110). Kalau puasa diwajibkan kepada umat terdahulu, semua umat, tanpa kecuali, dan mereka mampu melaksanakan maka sesuai dengan logika keunggulan tadi, umat Islam sebagai umat terbaik harus mampu dan sanggup melaksanakan ibadah ini secara lebih baik lagi.
Sebagai ibadah abadi dan universal, puasa bila dilaksanakan dengan benar dan tulus karena Allah (imanan wa ihtisaban) maka ia akan mengantar kita sebagai pribadi maupun bangsa menuju kemuliaan dan keadaban. Wallahu a`lam! 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, takwa, syukur, .sabar,  )


***) A Ilyas Ismail  (Republika)

Rabu, 22 Juli 2015

TIAP HARI SEJATINYA ADALAH IDUL FITRI

Seorang sufi terkemuka abad kedua Hijriah, Abu Bakar as-Syibli, semasa hidupnya pernah menulis sebuah syair, ketika ia berada di pengujung Ramadhan. Tepatnya, kala fajar 1 Syawal tiba. “Jika Engkau bagiku ialah Id maka tak sebanding Id saat ini. Rasa cinta kepadaMu di hatiku, terus mengalir. Laksana air di kecapi.”
Sebulan penuh umat Islam  melewati Ramadhan. Bulan ini diposisikan sebagai Kawah candradimuka, tempat penempaan spiritual umat Muslim. Bentuk penggemblengan itu beragam, baik bentuk ataupun dimensi ibadahnya. Ada yang bersifat sangat individual, hanya menyentuh wilayah privat. Sebagiannya lagi, masuk pada ranah ibadah sosial.
Kini, Idul Fitri hadir, kembali menyapa kita. Benarkah kedatangannya berarti puncak kemenangan? Justru tidak. Di sinilah, keberhasilan dari rangkaian ritual sepanjang Ramadhan akan dibuktikan. Idul Fitri bukan akhir segalanya.
Ia sekadar tempat rehat, momentum mengembalikan kesucian diri. Menyegarkan kembali semangat dan ghirah untuk berbuat lebih baik lagi. Dan, menanggalkan segala bentuk tindakan keji, zalim, dan perbuatan nista. Kembali ke fitrah, baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun hidup berbangsa dan bernegara.
Idul Fitri bagi individu adalah evaluasi dan introspeksi menuju pribadi yang bertakwa. Minimal, implikasinya bisa diukur dengan adanya perubahan nyata dalam kesehariannya. Ia mestinya menjadi figur yang tidak mencederai orang lain, baik secara lisan, perbuatan, ataupun sikap sikapnya dalam berinteraksi. Sebab, disesuaikan dengan posisi dan tanggung jawab yang diemban.
Pemimpin yang lulus Ramadhan, misalnya, tak akan gampang mengumbar janji, mengeluarkan pernyataan, dan tak mempermainkan amanah rakyat. Pemimpin yang sukses menangkap pesan Idul Fitri akan berani bertindak tegas dan bersikap antikezaliman dan penyelewengan, apa pun bentuk dan motifnya. Karena ia kembali ke fitrah sebagai pengemban amanah.
Sebagai makhluk sosial, Idul Fitri mengingatkan kita terhadap keberadaan entitas lain. Mengetuk kepedulian sosial, mengunggah empati, dan mengajak kita untuk segera berbuat sesuatu. Di luar sana, masih banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedikit perhatian kita akan meringankan beban derita yang mereka rasakan.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Idul Fitri adalah saat yang tepat untuk meneguhkan kembali komitmen nasionalisme dan menguatkan konsistensi terhadap penegakan hukum. Karena, idealnya, spiritualitas yang terbarukan akan mendorong rasa malu. Malu tidak mandiri dan berdikari, malu mengekor ke pihak asing, malu main mata antarpenegak hukum, dan malu mengambil hak oran lain.
Jika menurut as-Syibli, kecintaan terhadapNya adalah hakikat Idul Fitri telah menguasai dirinya. Maka, siapa pun yang mengaku cinta pada seseorang, ia akan menuruti apa pun yang dititahkan dan menjauhi segala yang dilarang.
Bukan Idul Fitri namanya bila lepas Ramadhan, nafsu dan syahwat kekuasaan, angkara murka, atau kenistaan lainnya, justru kembali bahkan lebih menggila. Karena, menurut Hasan al-Bashri, tiap hari adalah Idul Fitri, dengan catatan selama kemaksiatan tidak dilakukan seperti maksiat diri, maksiat sosial, dan maksiat dalam berbangsa dan bernegara.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )


***)republika

Minggu, 19 Juli 2015

BERIBADAH DENGAN BENAR

Hidup ini mau kemana? Kita hanya mampir sebentar di dunia ini dan pasti akan mati. Lalu hendak dibawa kemana hidup yang hanya sekali-kalinya ini? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah-lah tujuan kita. Tujuan hidup kita ini hanyalah untuk mengabdikan diri (beribadah) kepada Allah. Firman-Nya: "Tidaklah sekali-kali Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdikan hidupnya kepada-Ku." (QS Adz Dzariyat [51]: 56).
Dalam 7B (kiat menjadi sukses), rahasia yang pertama adalah beribadah dengan benar. Mengapa harus beribadah? Ibadah adalah fondasi. Tanpa ibadah, hidup bagaikan bangunan tanpa fondasi, pasti akan roboh. Tanpa ibadah yang tanggguh, sukses dunia akhirat hanyalah mimpi. Beribadah dengan benar artinya membangun fondasi yang semakin memperjelas visi hidup ini mau dibawa kemana. Karena dengan beribadah maka akan semakin memperjelas bahwa Allah adalah Khalik (Yang Menciptakan), sedangkan kita adalah makhluk (yang diciptakan). Allah yang disembah, sedangkan kita yang menyembah-Nya.
Allah yang memerintah (berkuasa), sedangkan kita yang diperintah-Nya. Allah menciptakan dunia kemudian menciptakan makhluk. Makhluk diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, sedangkan dunia berikut isinya diciptakan hanyalah sebagai sarana agar kita bisa berkarya dan berbekal pulang untuk menghadap Allah. Artinya dunia berikut isinya diciptakan hanyalah untuk melayani kita supaya kita bisa mengabdikan diri kepada Allah.
Orang yang tidak mengerti bahwa dunia ini hanyalah sebagai pelayan baginya, maka posisinya akan menjadi terbalik, justru dia yang akan diperbudak oleh dunia yaitu harta, pangkat, gelar, jabatan, dan syahwat. Bayangkan, pelayannya menjadi majikannya. Dia dihinakan oleh hambanya sendiri. Itulah yang menyebabkan kerusakan dan keterpurukan manusia.
Kemudian Allah menciptakan Nabi Muhammad SAW agar kita bisa meneladani bagaimana cara beribadah dengan benar. Oleh karena itu, siapapun yang ingin sukses, belajarlah lebih banyak tentang bagaimana beribadah dengan benar. Cari ilmunya, segera praktikkan, dan istiqomahkan. Kemudian ajaklah istri dan anak beribadah dengan tangguh karena tidak akan ada yang menolong selain Allah.
Shalat, dzikir, shaum, dan ibadah lainnya itu adalah perangkat yang membuat fondasi kesuksesan. Tetapi ibadah tidak hanya itu saja, melainkan segala aktivitas yang dijalankan dengan niat yang lurus karena Allah dan ikhtiar di jalan yang disukai Allah itu adalah ibadah. Misalnya dalam bekerja, orang-orang yang bekerjanya tidak diniatkan untuk beribadah tidak akan tahu orientasi hidup ini akan dibawa kemana, sehingga kesibukannya hanya mencari uang.
Karenanya kalau bekerja, niatkan untuk mengabdikan diri kepada Allah dengan cara yang disukai Allah. Tugas kita adalah bagaimana kita sibuk bekerja sehingga menjadi amal kebajikan, bukan karena harta, tetapi karena kerja adalah ladang amal. Harta sudah dibagikan sebelum kita tiba di dunia ini.
Ciri orang yang beribadah dengan benar di antaranya adalah akhlaknya akan lebih terjaga, perbuatannya akan terpelihara dari kezaliman terhadap orang lain, dan emosinya akan lebih stabil. Kemudian ciri lainnya adalah qolbunya akan tenteram, pikirannya akan jernih, prestasinya mudah diraih, ide dan gagasannya akan ditolong oleh Allah. Misalnya, jika sedang rapat datang waktu shalat, maka utamakanlah shalat karena yang paling penting dari rapat itu justru bagaimana agar bisa ditolong oleh Allah.
Kalau kita melalaikan shalat, maka keputusan yang diambil belum tentu tepat karena benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah. Tetapi dengan mengutamakan ibadah, mudah-mudahan Allah menuntun kita menemukan jalan keluar walaupun berhadapan dengan banyak masalah. Hanya Allah-lah satu-satunya yang menguasai langit dan bumi, kita semua dalam genggaman Allah.
Jadi, mimpi negeri kita akan bangkit kalau rakyat dan para pemimpinnya menganggap remeh ibadah. Mimpi kita memiliki aparat dan tentara yang kita idolakan, kalau kepada Allah tidak takut. Kalau tentara mempunyai senjata doa, maka akan bisa meluluhkan hati musuh sehingga menjadi shalih.
Zaman Rasulullah banyak musuh yang terkulai hatinya bukan dengan senjata perang, tapi dengan senjata doa. Mimpi kita mempunyai keputusan negara yang baik kalau para pengambil keputusannya tidak baik ibadahnya. Apa yang bisa dilakukan hanya oleh manusia seperti kita kalau tidak dibimbing dan ditolong oleh Allah Yang Mahatahu dan Menguasai segala sesuatu. Terlalu sombong bagi kita hidup tidak mengenal ibadah. Ciri kesombongan dan ketakaburan seseorang dilihat dari keengganannya beribadah. Maka, selamat berjuang saudaraku. Jadilah ahli ibadah yang istiqomah dan ikhlas
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa.,)

***)republika

Jumat, 17 Juli 2015

KEMBALI KE FITRAH

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (QS Ar Ruum [30]: 30)
Bersabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya setiap yang dilahirkan dalam keadaan fitrah." Allah Mahaadil. Adalah fitrah bahwa kita lahir ke dunia ini tak dibebani dosa apapun. Salah satu yang paling fitrah dari karunia Allah pada manusia adalah kita membutuhkan menuhankan sesuatu. Cirinya adalah setiap manusia cenderung mengabdikan seluruh hidupnya pada sesuatu yang dia anggap tuhan (bahkan orang-orang komunis dan ateis sekalipun).  Ada juga yang menuhankan kekuasaan, harta ataupun kedudukan.
Bagi manusia yang berada dalam fitrah yang benar, maka dia akan menuhankan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Misalnya ada orang yang menuhankan kekuasaan, bagi orang yang menuhankan Allah, maka dia akan meyakini bahwa kekuasaan itu sesungguhnya adalah milik Allah yang dititipkan sejenak pada manusia. Ada yang menuhankan harta, padahal hakikat harta di dunia ini hanya tiga, yaitu yang dimakan menjadi kotoran, yang dipakai menjadi usang, dan yang dinafkahkan (insya Allah) menjadi amal shaleh. Setiap kali kita menuhankan sesuatu selain Allah, kita akan diperbudak oleh apa yang kita tuhankan hingga kita akan menjadi sangat terhina.
Orang yang kembali ke fitrah adalah orang yang kembali menuhankan Allah Yang Mahaagung. Posisinya begini. Allah pemilik alam semesta ini menciptakan kita selaku hamba-Nya. Agar kita efektif menghamba kepada-Nya, maka Allah menciptakan dunia beserta segala isinya. Dunia adalah pelayan kita. Semua yang ada di dunia adalah sarana dari Allah agar kita bisa semaksimal mungkin mempersembahkan hidup kita untuk mengabdi kepada-Nya.
Maka, sudah sepatutnya setiap usai Ramadhan kita berupaya kembali ke fitrah, kembali melihat dunia hanya sebagai tempat mampir, bukan sebagai tujuan ataupun sesembahan kita. Lantas, bagaimanakah ciri orang yang Ramadhannya sukses?
Pertama, ia semakin mengenal Allah Azza wa Jalla. Ciri orang yang mengenal Allah (di antaranya) adalah pertama, hatinya akan makin tenteram dan bahagia, buah dari latihan dzikir selama Ramadhan. Mohon diingat, hanya dengan mengingat-Nya hati bisa menjadi tenang, tenteram. Kedua, melihat dunia ini kecil, biasa saja. Karena baginya Allah adalah segalanya. Ikhtiar melakukan yang terbaik bukan tujuan, melainkan ladang amal.
Ketiga, sabar, tak gentar terhadap apapun. Karena meyakini bahwa segala masalah pasti telah diukur oleh Allah. Keempat tawadhu', rendah hati. Tak bisa masuk surga orang yang di hatinya ada takabur sebesar dzarrah saja. Kelima, wara', hati-hati, tidak serakah atau licik. Licik tak akan menambah rezeki kecuali menambah kehinaan. Kalau kita berusaha makrifat, insya Allah kita akan menikmati hidup dengan bersih hati. Sebab, Allah sangat dekat dengan orang yang qalbun saliim.
Ciri kedua orang yang Ramadhannya sukses ialah ia semakin mengenal Rasul. Kita butuh tuntunan. Dan sebaik-baik tuntunan yaitu tuntunan Rasulullah SAW; beliau tak pernah ada bandingannya. Bahkan ada seorang non-Muslim mengakui bahwa manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah adalah Muhammad, pemimpinnya umat Islam.
Orang yang sukses Ramadhannya, bisa dilihat dari kegigihannya mengenali Rasul dan meneladaninya. Semua aspek kehidupan mulai dari yang kecil sampai yang besar dicontohkan oleh beliau, kita tinggal menirunya saja. Misalnya tersenyum, berwajah cerah dan jernih, sangat memuliakan istri-istrinya, dan sangat penyayang terhadap anak-anak. Beliau adalah pemimpin yang sangat bersahaja. Terhadap musuh, walau berani pantang menyerah memberantas kebatilan, tapi beliau tetap berakhlak sangat mulia, tak mengenal kezaliman.
Kalau saat Ramadhan kita memacu diri dan sesudah Idul Fitri kita gigih berupaya dalam dua hal tadi, tinggal kita tunggu saat kepulangan kita yang semoga penuh kehormatan (husnul khatimah). Mari kita membuka lembaran baru di bulan Syawal ini dengan menjadi hamba yang sangat bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Hidup hanyalah untuk mempersembahkan yang terbaik. Bermakna bagi dunia dan berarti bagi akhirat. Bermanfaat bagi diri dan penuh maslahat bagi umat. Selamat menikmati Idul Fitri yang penuh dengan kegigihan untuk akrab dengan Allah dan kesungguhan untuk menjala
ni  sunnah  Rasul.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa., )

***)republika

Kamis, 16 Juli 2015

DUA KEGEMBIRAAN MEREKA YANG BERPUASA

 Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yaitu saat berbuka puasa dia bergembira dengan makanannya, dan jika bersua Rabbnya dia bergembira dengan puasanya.” (HR Bukhari Muslim)
Kegembiraan orang yang berpuasa saat berbuka merupakan kegembiraan yang alami karena dia mendapatkan kebebasannya kembali dari apa yang tadinya dilarang. Kegembiraan berbuka puasa juga merupakan kegembiraan yang religius karena dia berhasil menyelesaikan ibadah puasanya.
Berbuka puasa adalah momentum yang sangat efektif untuk meningkatkan kebersamaan antara sesama anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga.
Kalau pada hari-hari biasa sangat sulit untuk mencari waktu makan bersama antara suami istri karena kesibukan masing-masing, apalagi makan bersama lengkap dengan anak-anak, dalam bulan Ramadhan ini kesempatan itu datang lebih banyak—kalau bukan setiap hari—tatkala buka puasa.
Kesempatan kebersamaan itu lebih banyak lagi, bahkan mungkin bisa setiap hari tatkala makan sahur. Kebersamaan antara seluruh anggota keluarga pada waktu berbuka dan sahur akan meningkatkan soliditas keluarga tersebut.
Begitu juga acara buka bersama yang diadakan dalam komunitas tertentu, seperti di masjid untuk lingkungan RT, di kantor untuk lingkungan kerja, di kampus untuk civitas akademika, di organisasi massa atau lingkungan para pejabat negara, tentu juga akan meningkatkan kebersamaan.
Kegembiraan waktu berbuka, gelak tawa, dan canda serta obrolan-obrolan ringan menjelang berbuka puasa tentu sangat bermanfaat untuk meningkatkan kebersamaan. Sekat, sumbat, dan hambatan komunikasi yang hari-hari biasa sukar dihilangkan, dalam suasana berbuka bersama akan mudah terpecahkan.
Di samping acara buka puasa bersama yang diadakan dalam komunitas tertentu, juga tidak sedikit para muhsinin yang menjamu orang-orang miskin dan anak-anak yatim untuk berbuka puasa bersama.
Ada yang menjamu langsung ke rumah yang bersangkutan, dan ada juga yang mengadakannya di panti-panti asuhan atau cukup mengirim paket buka puasa dalam jumlah tertentu.
Tidak sedikit juga yang di samping jamuan buka puasa, mereka membagikan tanda mata atau rupa-rupa hadiah berupa barang-barang keperluan harian, perlengkapan shalat, dan perlengkapan sekolah.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menjamu dan membagi-bagikan bantuan untuk kaum yang tidak berpunya itu adalah cara menyampaikannya.
Harus diberikan dengan cara-cara yang mulia, artinya tetap memuliakan mereka yang tidak beruntung secara finansial tersebut. Jangan lagi terjadi kecerobohan dalam membagi-bagikan bantuan sehingga tidak hanya terkesan merendahkan martabat fuqara dan masakin, tapi juga dapat membahayakan nyawa mereka seperti sudah pernah terjadi beberapa kali.
Penulis terkesan pernah mendampingi wali kota dan wakil wali kota suatu kota, bersama pejabat sipil dan militer mengantarkan paket bantuan ke rumah-rumah orang-orang miskin.
Data orang-orang miskin beserta alamat mereka dikumpulkan oleh para reporter media yang biasa meliput di kantor-kantor pemerintahan setempat. Ini merupakan kerja sama yang indah dan bermanfaaat. Demikianlah sekelumit gambaran kebersamaan dalam bulan Ramadhan yang dapat meningkatkan solidaritas umat.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, syukur,  takwa., )

***) Yunahar Ilyas

Senin, 13 Juli 2015

DUNIA DALAM TELEPON GENGGAM

“Bulan Ramadhan yang di dalamnya--mulai--diturunkannya Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang hak dan yang batil.” (QS al-Baqarah: 185)
Dulu waktu saya kecil, ketika menjelang sore pada bulan Ramadhan, semua anak-anak ngabuburit dengan mendatangi surau atau masjid. Ngabuburit itu berasal dari kata bahasa Sunda, yaitu burit, yang artinya sore.
Jadi, kurang lebih diartikan menghabiskan waktu sore, menunggu azan Maghrib dengan program-program yang ada di masjid. Setelah siangnya bermain bola, lalu seusai azan Ashar mandi dan langsung pergi ke masjid.
Tentu, program-programnya beragam dan bergantian setiap harinya dari mulai tadarusan, muraja’ah hafalan, kisah para nabi, sampai marawis. Seru, kita bersama anak-anak tetangga lainnya juga mengadakan lomba-lomba, seperti pukul beduk, azan, dan sebagainya.
Namun, tentu lain dulu lain sekarang. Anak-anak sekarang lebih banyak memiliki alternatif daripada anak zaman dulu. Hiburan sekarang banyak sekali, dari mulai yang dihadirkan di televisi, gelaran di mal, atau pameran-pameran pada bulan Ramadhan.
Walhasil, program-program masjid terpinggirkan. Apalagi dengan adanya smartphone, dunia ada di dalam genggaman, dalam artian dunianya dalam telepon genggam tersebut. Jadi, bukan kita yang menggenggam dunia.
Kita seakan-akan menggenggam dunia, padahal kitalah yang dikontrol oleh telepon genggam. Terbalik dari seharusnya, seperti doa yang dipanjatkan para sahabat. Doa Abu Bakar, “Jadikanlah kami kaum yang memegang dunia dengan tangan kami, bukan hati kami.”
Sedangkan, doa sahabat Umar bin Khattab: “Ya Allah, tempatkanlah dunia dalam genggaman tangan kami dan jangan kau tempatkan dia di lubuk hati kami.” Lihatlah, apa dunia dalam genggaman kita atau di dalam hati kita?
Jika dihitung dalam satu hari, berapa lama kita menggenggam telepon genggam? Bahkan, tidur pun kita ditemani telepon genggam kita itu. Tidak salah juga memang sekarang seluruh urusan ada dalam satu genggaman. Hanya hati-hati, jangan sampai masuk dalam hati kita.
Lalu, membuat kita diperbudak oleh urusan-urusan dunia. Ingatlah, Ramadhan merupakan bulan investasi akhirat. Ada di antara sepuluh hari terakhir, terdapat malam Lailatul Qadar. Kita iktikaf sejenak untuk meninggalkan urusan dunia.
Bagaimana pula interaksi kita dengan Alquran dalam bulan Ramadhan ini? Untuk hal ini, di telepon genggam kita, hendaknya  kita mengunduh Alquran digital, doa-doa pendek, dan sebagainya.
Memang godaannya ketika baca Alquran di telepon genggam itu adalah pop up (tiba-tiba muncul) notifikasi atau pemberitahuan dari program-program media sosial, seperti Whattsapp, Facebook, Twitter, dan sebagainya.
Itu sering kali membuat kita keluar dulu melihat berita dan kembali ke Alquran, itu pun yang bisa kembali. Namun kebanyakan, “tersesat” di dalam rimba raya informasi-informasi dunia maya tersebut. Karena itu, mari kita pakai mushaf Alquran yang kecil dan enak dibawa.

Jadi, sisihkan dulu beberapa saat telepon genggamnya. Satu hari satu juz, insya Allah selama Ramadhan kita khatam Alquran. Dan yang membahagiakan pada tahun ini, program Ramadhan semarak lagi di masjid-masjid, walau memang masih kalah dari program di mal.
Hal terpenting, ada alternatif. Selain program utama seperti saat saya waktu kecil dulu, ada jaz Ramadhan dan program hiburan lainnya. Jadi lengkap, bukan cuma Iqra, tadarusan, tausiyah, dan sebagainya malah ada program kilat pelatihan motivasi sampai pengajaran bahasa Arab.
Karena itu, ayo kembali ke masjid dan pada bulan Ramadhan ini saatnya kita juga membumikan Alquran.
 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan., takwa., )

***) Ustaz Erick Yusuf—(Republika


Jumat, 10 Juli 2015

HIKMAH MEMPERLAKUKAN JENAZAH DENGAN BAIK

Kewajiban menghormati jenazah yang diperintahkan Baginda Rasulullah tentu berdasar pada alasan kuat. Berikut beberapa alasan mengapa Rasulullah begitu keras memerintah umatnya untuk menghormati jenazah:
1. Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi
Manusia diberi kedudukan mulia sebagai Khalifah dimuka bumi, sebagaimana Alquran: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah.” (Al-Baqarah : 30).
Predikat manusia sebagai Khalifah ini terus dibawa hingga manusia telah menjadi jenazah, hingga jelaslah bahwa didalam Islam, jenazah manusia tidak sama dengan bangkai binatang. Meski telah tak bernyawa, manusia berhak dihormati hingga ditempat persemayamannya.
2. Perlakuan terhadap jenazah sama dengan memperlakukannya semasa hidup
Meski sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi, perlakuan terhadap jenazah dipandang sama dengan memperlakukannya semasa hidup. Sebagaimana  hadist: “Bahwa memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya pada waktu dia hidup” (Hadist Shahih Riwayat Abu Daud)
3.Menghormati Sang Pencabut Nyawa
Menghormati jenazah tidak semata hanya kepada orang yang sudah mati saja, melainkan ditujukan juga kepada Sang Pencabut Nyawa, yakni Allah SWT dan malaikat. Ketika rombongan iring-iringan jenazah Yahudi melewati Rasulullah yang tengah duduk-duduk bersama para sahabat, beliau berdiri, hingga iring-iringan jenazah melewati beliau, sebagaimana Hadis : “Rasulullah & para sahabatnya berdiri ketika jenazah orang Yahudi (lewat di hadapan mereka) hingga jenazah itu berlalu” (HR Muslim).
Ketika salah satu umatnya bertanya: "Ya Rasulullah, jenazah orang kafir berlalu di hadapan kami, apakah kami perlu berdiri?" Nabi Saw segera menjawab, "Ya, berdirilah. Sesungguhnya kamu berdiri bukanlah untuk menghormati mayitnya, tetapi menghormati yang merenggut nyawa-nyawa." (HR. Ahmad)
4.Kematian bersifat faza (dahsyat)
Kematian merupakan perkara serius dalam Islam, dimana manusia akan segera mendapatkan ganjaran dari perbuatannya selama didunia, sebagaimana hadist:“Sesungguhnya kematian itu adalah Faza' (dahsyat), maka jika kalian melihat jenazah, maka berdirilah” (HR Muslim)
Kita tidak mengetahui apa yang dihadapi atau yang terjadi diliang lahat, apakah jenazah dalam keadaan selamat atau tengah mendapat siksa dari  para Malaikat, untuk itu hendaklah kita menghormati jenazah sebagaimana kita menghormati kematian itu sendiri. 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, syukur, sabar, takwa., )


***)Republika

PUASA DAN SOLIDARITAS UMAT

Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yaitu saat berbuka puasa dia bergembira dengan makanannya, dan jika bersua Rabbnya dia bergembira dengan puasanya.” (HR Bukhari Muslim)
Kegembiraan orang yang berpuasa saat berbuka merupakan kegembiraan yang alami karena dia mendapatkan kebebasannya kembali dari apa yang tadinya dilarang. Kegembiraan berbuka puasa juga merupakan kegembiraan yang religius karena dia berhasil menyelesaikan ibadah puasanya.
Berbuka puasa adalah momentum yang sangat efektif untuk meningkatkan kebersamaan antara sesama anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga.
Kalau pada hari-hari biasa sangat sulit untuk mencari waktu makan bersama antara suami istri karena kesibukan masing-masing, apalagi makan bersama lengkap dengan anak-anak, dalam bulan Ramadhan ini kesempatan itu datang lebih banyak—kalau bukan setiap hari—tatkala buka puasa.
Kesempatan kebersamaan itu lebih banyak lagi, bahkan mungkin bisa setiap hari tatkala makan sahur. Kebersamaan antara seluruh anggota keluarga pada waktu berbuka dan sahur akan meningkatkan soliditas keluarga tersebut.
Begitu juga acara buka bersama yang diadakan dalam komunitas tertentu, seperti di masjid untuk lingkungan RT, di kantor untuk lingkungan kerja, di kampus untuk civitas akademika, di organisasi massa atau lingkungan para pejabat negara, tentu juga akan meningkatkan kebersamaan.
Kegembiraan waktu berbuka, gelak tawa, dan canda serta obrolan-obrolan ringan menjelang berbuka puasa tentu sangat bermanfaat untuk meningkatkan kebersamaan. Sekat, sumbat, dan hambatan komunikasi yang hari-hari biasa sukar dihilangkan, dalam suasana berbuka bersama akan mudah terpecahkan.
Di samping acara buka puasa bersama yang diadakan dalam komunitas tertentu, juga tidak sedikit para muhsinin yang menjamu orang-orang miskin dan anak-anak yatim untuk berbuka puasa bersama.
Ada yang menjamu langsung ke rumah yang bersangkutan, dan ada juga yang mengadakannya di panti-panti asuhan atau cukup mengirim paket buka puasa dalam jumlah tertentu.
Tidak sedikit juga yang di samping jamuan buka puasa, mereka membagikan tanda mata atau rupa-rupa hadiah berupa barang-barang keperluan harian, perlengkapan shalat, dan perlengkapan sekolah.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menjamu dan membagi-bagikan bantuan untuk kaum yang tidak berpunya itu adalah cara menyampaikannya.
Harus diberikan dengan cara-cara yang mulia, artinya tetap memuliakan mereka yang tidak beruntung secara finansial tersebut.
Jangan lagi terjadi kecerobohan dalam membagi-bagikan bantuan sehingga tidak hanya terkesan merendahkan martabat fuqara dan masakin, juga dapat membahayakan nyawa mereka seperti sudah pernah terjadi beberapa kali.
Penulis terkesan pernah mendampingi wali kota dan wakil wali kota suatu kota, bersama pejabat sipil dan militer mengantarkan paket bantuan ke rumah-rumah orang-orang miskin.
Data orang-orang miskin beserta alamat mereka dikumpulkan oleh para reporter media yang biasa meliput di kantor-kantor pemerintahan setempat.
Ini merupakan kerja sama yang indah dan bermanfaaat. Demikianlah sekelumit gambaran kebersamaan dalam bulan Ramadhan yang dapat meningkatkan solidaritas umat.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan., sabar,  syukur, takwa., )


***)  Yunahar Ilyas,, (Republika)

Rabu, 08 Juli 2015

MENUNDA KENIIKMATAN

Tak terasa, kita sudah hampir melihat bulan purnama lagi pada malam-malam Ramadhan kita. Itu berarti kita sudah hampir setengah jalan. Hikmah besar apa yang didapat dari shaum yang kita lalui beberapa hari ini ?
Kira-kira, akankah hikmah tersebut membawa kita pada perubahan besar dalam kehidupan kita? Bagi saya pribadi, hikmah besar ini muncul justru pada hari pertama shaum. Pada 18 Juni 2015,  merupakan shaum pertama untuk putri kecil kami, Alia.
Membangunkan dia ketika sedang lelap-lelapnya tertidur, terasa nggak tega. Namun, tetap saya paksakan walau beberapa saat harus memangku dia dan bersabar dengan rengekannya. Belum lagi, sedikit memaksa dia untuk makan sahur bersama.
Godaan yang besar lantas muncul ketika waktu baru saja menunjukkan jam sebelas siang. Dia menangis karena perut yang lapar dan tenggorokan yang kehausan. Ingin rasanya pada saat itu kami menyerah bersama.
Dia menyerah dengan shaumnya, saya dan istri menyerah pada keinginannya. Segala upaya kami lakukan, dan alhamdulillah, Alia menamatkan shaumnya dengan senyuman dan mata berbinar bahagia. Hari ini, tidak ada lagi kesulitan yang berarti.
Ketika ia ditanya mau buka jam berapa, serta-merta dia bilang, “Jam enam dong, pas Maghrib!” Jawaban yang membahagiakan, apalagi semangatnya berpuasa ia iringi dengan semangat Tarawih dan Subuh berjamaah. Alhamdulillah.
Pengalaman awal Ramadhan itu mengingatkan saya dalam salah satu eksperimen terkenal pada 1970-an. Walter Mischel, psikolog dari Yale University, membawa berkotak-kotak marshmallow ke sebuah kelas di taman kanak-kanak.
 
Anak-anak ditawarkan untuk memakan marshmallow-nya kapan pun mereka mau. Hanya saja, sang psikolog itu berjanji akan memberikan marshmallow lebih banyak jika mereka menunda keinginan memakannya dalam 30 menit ke depan.
Lantas, Mischel meninggalkan kelas itu. Mayoritas anak-anak langsung memakan marshmallow-nya, hanya beberapa anak yang menunda selama 30 menit dan kemudian mereka mendapatkan reward berupa tambahan marshmallow untuk dibawa pulang.
 
Penelitian ini  berinterval panjang. Selama 14 tahun, perkembangan anak-anak ini diteliti. Ketika usia dewasa, terdapat perbedaan signifikan dalam studi dan karier anak-anak yang memakan langsung dan menunda makan marshmallow-nya.
Mereka yang menunda, ujian tertulisnya lebih tinggi 210 poin dibandingkan yang memakan langsung. Selain itu, mereka yang mampu menunda kenikmatan lebih bersikap positif. Mereka lebih optimistis dalam hidup, toleran, luwes, mandiri, dan berkompetensi tinggi.
Jika eksperimen 30 menit marshmallow menunjukkan dampak luar biasa bagi manusia yang siap menunda kenikmatannya, bagaimana impact metode training 30 hari mengharamkan yang jelas-jelas halal sementara waktu tanpa ada supervisi yang memelototi pesertanya setiap saat?
Mengapa saat ini negara kita masih didera penyakit kronis berupa korupsi, padahal latihan ‘menunda kenikmatan’ ini sudah dilakukan berpuluh kali oleh sebagian besar orang Indonesia? Sepertinya, kita harus mengupayakan pemaknaan spiritual perintah agama ini kepada anak-anak kita, bukan hanya memerintahkan mereka mengikuti ritualnya semata.
Sudah seharusnya kita kembali memaknai ibadah ini secara menyeluruh. Mengapa perintah ini sedemikian jelas dan lugas ada di dalam kitab yang tiada keraguan di dalamnya? Apa maksud Allah memerintahkan kita berlapar dan berdahaga ria pada siang hari?
Apa kehendak Allah atas kita dengan membiasakan diri kita berpuasa dan menunda kenikmatan sedemikian rupa?
Semoga kita termasuk yang didoakan Nabi Ibrahim sebagai orang-orang yang pandai mengambil hikmah, saleh, berikhtiar optimal, dan meninggalkan peninggalan yang menjadi perkataan yang baik bagi generasi selanjutnya dan kemudian mewarisi surga-Nya kelak. Amin.
(Da'wah, keyakinan, pendidikan., sabar,  syukur,  takwa.,  )


***) Harri Firmansyah--- (Republika)

Selasa, 07 Juli 2015

KEISTIMEWAAN MALAM NUZULUL QURAN

Nanti malam, kita akan memasuki hari ke-17 bulan Ramadhan. Hari yang bersejarah dalam perjalanan kitab suci umat Islam, yaitu Alquran. Di hari inilah sebuah hal luar biasa 14 abad lebih yang lalu terjadi.
Alquran diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada nabi tercinta kita, Muhammad SAW. Dan, peristiwa ini ghalib disebut dengan Nuzulul Quran.
Nuzulul Quran yang secara harfiah berarti turunnya Alquran adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting mengenai penurunan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul terakhir, yakni Nabi Muhammad.
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah surah al-Alaq ayat 1-5. Saat wahyu ini diturunkan, Nabi Muhammad sedang ber-tahannus (menyendiri) di Gua Hira. Ketika itu, tiba-tiba Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu tersebut.
Tidak ada malam yang sangat istimewa dalam perjalanan Islam kecuali malam ini. Di malam inilah berkumpul kejadian-kejadian istimewa; sesuatu yang istimewa yang sangat diperlukan sebagai penuntun umat manusia turun, yaitu Alquran.
Terjadi pelantikan dan pengukuhan manusia paling istimewa sebagai pembawa risalah dan penjelas Alquran dan semua yang dikehendaki Allah Zat Penguasa kehidupan, yaitu Nabi Muhammad SAW, serta dibentangkan malam penentu keadaan yang ditaburi banyak kemuliaan yang satu malamnya bernilai lebih baik dari seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadar.
Turunnya Alquran tidak hanya sebuah penegasan atas kemuliaannya dan sekaligus yang menerimanya, yaitu Nabi Muhammad ,tetapi juga harus diiringi semangat untuk kembali kepada Alquran dan sunah, mempelajarai, menghayati, dan berazam mengamalkannya.
Antara Alquran dengan Nabi Muhammad adalah sesuatu yang tidak bisa dipisah. Bahkan, jika ingin mengetahui bagaimana Alquran dalam penerapan terbaik, jawabannya ada pada diri Nabi Muhammad. 
Karena itu, Nuzulul Quran harusnya dimaknai sebagai upaya untuk kembali mempelajari Alquran dan semua sirah Nabi. Kehadiran Nabi adalah penjelas dan penerjemah paling benar terkait informasi-informasi Alquran.
Bahkan, ada yang menyebut kalimat sederhana terkait Alquran, Nabi Muhammad adalah Alquran yang berjalan. Memperingati Nuzulul Quran berarti sesungguhnya bersiap kembali menghidupkan Alquran dan sunah Nabi. Tiada hari dalam Ramadhan dan selepas Ramadhan kecuali bersama Alquran dan sunah Nabi SAW. 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, takwa, )


***) Ustaz Muhammad Arifin Ilham

EMPAT AKTIVITAS MENJEMPUT LAILATUL QADAR

Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, kaum Muslimin berlomba memenuhi masjid untuk menghidupkan Ramadhan yang sarat dengan keutamaan. Dan, salah satu keutamaan itu adalah malam kemuliaan (Lailatul Qadar).
Rasulullah SAW bersabda, “Carilah ia di sepuluh malam terakhir, carilah ia pada malam kedua puluh sembilan dan kedua puluh tujuh dan kedua puluh lima.” (HR Abu Dawud).
Aktivitas apa saja yang hendaknya dilakukan untuk menjemput Lailatul Qadar? Pertama, menghidupkan malam nya dengan imanan dan ihtisaban, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang shalat pada malam Lailatul Qadar berdasarkan iman dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan dilandasi rasa keimanan dan hanya mengharapkan ridha-Nya itulah, seseorang akan merasakan ketenangan, kelapangan dada, dan kelezatan dalam ibadahnya. Sub hanallah.
Kedua, memperbanyak doa. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengajarkan doa, “Allaahumma innaka ’afuwwun tuhibbul afwa fa’fu ’annii”. Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Pemaaf, oleh karena itu maafkanlah aku. (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Ketiga, memperbanyak tadarus Alquran. Sebab, malam Lailatul Qadar adalah malam turunnya Alquran. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu (Muhammad) apa itu Lailatul Qadar. Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik daripada seribu bulan.” (QS al- Qadar [97]: 1-3).
Keempat, beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Aisyah RA meriwayatkan, “Ketika Rasulullah SAW memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mengemas sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.”
Terkait pengaruh yang dapat dirasakan bagi orang yang mendapatkan Lailatul Qadar, seorang ahli tafsir berpendapat, jika seseorang mendapatkan Lailatul Qadar, orang tersebut akan merasakan semakin kuatnya dorongan dalam jiwa untuk melakukan kebajikan pada sisa kehidupannya sehingga ia merasakan ketenangan hati, kelapangan dada, dan kedamaian dalam hidup. Allahu Akbar.
Dengan demikian, bagi setiap orang yang menginginkan meraih Lailatul Qadar agar menghidupkan malam itu dengan berbagai amal ibadah, seperti shalat malam, tadarus Alquran, zikir, doa, dan amalan saleh lainnya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk bisa meraih Lailatul Qadar itu. Amin.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa, )



***) Imam Nur Suharno--)Republika

Minggu, 05 Juli 2015

HAL YANG DITAKUTI RASULULLAH MENIMPA UMATNYA

Suatu kali, Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan hal yang paling beliau takutkan dengan berkata, ''Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas diri kalian adalah syirik kecil.''
Para sahabat langsung bertanya, ''Apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?'' Rasul menjawab, ''Riya.''
Riya adalah harapan untuk mendapatkan sanjungan, kemuliaan, atau kedudukan di hati manusia dengan memperlihatkan tindakan yang baik dalam ibadah ataupun kegiatan sehari-hari. Seseorang yang memperturutkan riya dalam ibadah mahdhah, seperti shalat maka tiada sedikitpun balasan pahala yang ia terima. (QS al-Ma'un [107]: 4-6)
Dalam ibadah ghairu mahdhah pun seperti itu. Berinfak di jalan Allah dengan maksud bisa mendapat julukan dermawan atau menuntut ilmu dengan niat mendapat gelar seorang alim maka segala usaha tersebut akan sia-sia. 
Selain itu, pelaku riya juga akan mendapat laknat dari Allah SWT karena ia telah menyandingkan Sang Khalik dengan makhluk ciptaan-Nya. Dalam Hadis qudsi disebutkan bahwa Allah SWT menantang kala hari perhitungan kepada manusia dengan berkata, ''Pergilah kalian kepada orang-orang yang kala di dunia kalian mengedepankan riya atas mereka dan lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari sisi mereka.'' (HR Ahmad dan Baihaqi).
Demikian betapa besarnya laknat Allah terhadap pelaku riya. Riya hukumnya haram. Ia merupakan penyakit hati yang bersumber dari sifat rububiyyah dalam diri manusia, yakni sifat yang menganggap diri lebih mulia ketimbang orang lain sehingga senantiasa ingin mendapatkan pujian dan menampakkan perilaku baik dalam tutur kata dan perbuatan.
Sifat ini sejatinya ada dalam hati setiap pribadi manusia, meski takarannya berbeda-beda, bergantung iman dan ketaatan kepada Allah SWT. Barang siapa yang imannya kuat maka ia akan mampu menekan penyakit riya tidak sampai tampak ke permukaan, tapi sebaliknya, manakala lemah maka ia akan terseret oleh arus penyakit ini. 
Lantas, bagaimana usaha kita untuk menghindari syirik kecil ini? Pertama, dengan mengetahui akar pemicu timbulnya riya. Penyakit akan tumbuh kembali manakala penderita sekadar mengobati titik sakitnya bukan pada akarnya. Adapun secara terperinci ada tiga akar riya, yakni perasaan senang mendapatkan pujian,  takut akan hinaan dan celaan, serta tamak atas apa yang dimiliki oleh orang lain. Ketiga akar ini akan tercerabut dari dalam hati kita dengan mengingat bahwa keagungan hanya mutlak milik Allah SWT dan tiada kemuliaan yang abadi di dunia. 
Namun, apabila riya masih terketuk dalam hati meski kita sudah mengetahui akar pemicunya maka cara yang kedua adalah dengan mengucap taawuz dan terus beristighfar kepada Allah SWT agar setan yang kala itu membuhulkan bisikan dapat menjauh dari kita karena sejatinya setan menjauh dari orang-orang yang hatinya bersih dan ikhlas.
Dari itu semua, apalah arti sebuah sanjungan kalau ia putus ditelan kematian. Sebab, sanjungan yang abadi hanya datang dari Allah SWT kelak di hari akhir. Masing-masing dari kita akan mampu meraih sanjungan-Nya dengan amal saleh dan ketakwaan yang hakiki. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, pendidikan., sabar, syukur.,) 


***)M.Sinwani,  Republika

Jumat, 03 Juli 2015

CONTOH CINTA TERPUJI & CINTA TERCELA

Salah satu kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya adalah menanamkan rasa cinta. Selayaknya manusia mempergunakan rasa cinta itu untuk hal-hal yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhiratnya. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang salah menggunakannya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah  membagi cinta menjadi dua, cinta terpuji dan cinta tercela. Menurutnya, cinta terpuji ialah, pertama, cinta kepada Allah. Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Allah SWT, maka ia senang berbicara kepada Allah SWT dengan shalat dan membaca firman-Nya, dan senang mengamalkan hal-hal yang disyariatkan.
Kedua, cinta karena Allah. Tingkatan hubungan keimanan tertinggi adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Nabi SAW menyebutkan, satu di antara tujuh golongan yang mendapat naungan di akhirat nanti adalah dua orang yang saling cinta mencintai karena Allah di mana keduanya berkumpul dan berpisah karena-Nya. (HR al-Bukhari dan Muslim). Ketiga, cinta terhadap apa yang membantu ketaatan kepada Allah. Yaitu, cintanya seorang hamba dalam melaksanakan perintah Allah, menjauhi maksiat, sabar akan ujian, serta bersyukur atas nikmat.
Sedangkan cinta tercela, pertama, cinta kepada sesuatu bersama dengan kecintaan kepada Allah. “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mencintai allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat azab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (al-Baqarah: 165).
Kedua,Cinta kepada apa yang dibenci oleh Allah.Kemaksiatan dan dosa adalah hal yang Allah benci. Orang mukmin yang melakukan maksiat sesungguhnya telah membuat Allah SWT cemburu. Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah merasa cemburu. Dan, seorang mukmin pun merasa cemburu. Adapun kecemburuan Allah itu akan bangkit tatkala seorang mukmin melakukan sesuatu yang Allah haramkan atasnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, cinta kepada sesuatu yang dapat memutuskan atau mengurangi cinta seseorang kepada Allah. Cinta terhadap anak, pasangan, harta, dan kedudukan adalah fitrah. Namun, hendaklah kecintaan kita kepada semuanya itu tidak menjauhkan kita dari Allah SWT.
“Katakanlah: ‘jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” ( QS at-Taubah: 24). Wallahu a'lam bish showab. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa., )


***) Deni Rahman

Kamis, 02 Juli 2015

DI PINTU HARI PERHITUNGAN

Ketika kita melakukan perjalanan dan melewati tempat pemeriksaan, baik domestik maupun mancanegara, lalu tidak diperiksa petugas, bahkan disambut dengan hormat, biasanya hal ini hanya berlaku untuk pejabat penting (VVIP) seperti kepala negara dan pemerintahan atau tamu negara. Mengapa mendapat privilege (keistimewaan) itu? Karena mereka punya kedudukan, prestasi, dan karya yang membanggakan.
 Kejadian di atas pun seakan terjadi kelak sebelum memasuki tempat abadi (surga atau neraka). Semua manusia akan melalui pintu pemeriksaan dokumen hidup yang disebut hari perhitungan (yaum al-hisab).
 Rasulullah SAW pernah menyebutkan sahabat yang masuk surga tanpa hisab, antara lain  Abu Bakar RA, Umar ibnu Khattab RA, Utsman bin Affan RA, Ali bin Abi Thalib RA, Zubair bin Awwam RA, (HR at-Turmudzi). Nabi SAW juga bersabda, “Tujuh puluh ribu atau 700 ribu dari umatku akan masuk surga tanpa dihisab, mereka masuk berturut-turut, sedang rupa mereka seperti cahaya bulan purnama.” (HR Bukhari).
Orang pertama ditanya, “Mengapa Tuan merasa pantas masuk surga tanpa dihisab?” “Aku seorang pahlawan yang mati syahid di medan perang karena membela agama.” Jibril bertanya lagi, “Dari mana kau tahu itu?” Ia menjawab, “Dari guruku, orang alim.” “Kalau begitu, jagalah adab kepada guru. Mengapa tak kau beri kesempatan orang alim masuk surga dahulu?” kata Jibril. Ia pun menyadari kelancangannya.
Orang kedua ditanya hal serupa dan menjawab, “Aku haji mabrur yang balasannya surga.” “Dari mana kau tahu itu?” “Dari guruku, orang alim,” sahutnya. “Mengapa engkau tidak menjaga adab kepada gurumu?” ujar Jibril. Ia pun sadar atas kekhilafannya.
Orang ketiga pun ditanya dan menjawab, “Aku orang kaya yang dermawan. Kekayaanku halal dan diinfakkan di jalan Allah.” “Dari mana kau tahu itu dapat ganjaran surga?” tanya Jibril. “Dari guruku, orang alim.” “Lalu, mengapa orang alim tidak kau hormati?” Ia pun tertunduk malu. 
Setelah orang alim yang saleh itu diberi kehormatan, ia lalu berkata, “Maaf, Tuan-Tuan. Aku tidak akan dapat belajar dan mengajar dengan tenang apabila tidak ada pahlawan yang rela mati syahid. Aku juga tidak dapat pahala terus-menerus jika haji mabrur tidak mengamalkan ilmu yang kuajarkan. Kami pun tidak akan dapat leluasa tanpa kedermawanan orang kaya.  Oleh karena itu, biarlah orang kaya yang masuk surga duluan, disusul pahlawan, haji mabrur dan aku menyusul.”
 Dialog sufistik ini memberi banyak pelajaran. Pertama, orang-orang hebat diukur dari ketaatannya kepada Allah SWT (ritual) dan kemanfaatannya bagi orang lain (sosial). Keempat orang itu adalah orang-orang yang berbuat untuk umat, bukan untuk dirinya sendiri.
Kedua, rasa egois (anaiyah) dan angkuh bisa menerpa siapa saja yang memiliki kelebihan. Merasa paling benar, patut dihargai dan dihormati.
Ketiga, alim ulama yang rendah hati adalah pewaris para nabi yang membimbing, menyejukkan, dan menyatukan umat. Ulama yang tawadhu' akan dimuliakan, apalagi ia pandai memuliakan orang lain. Wallahu a'lam bishshawab.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, sabar, pendidikan, )


***) Hasan Basri Tanjung  (republika)

GEJALA KONSUMERISME RAMADHAN

Ungkapan “Marhaban ya Ramadhan” yang secara harfiah berarti “selamat datang wahai Ramadhan”, tampaknya sudah menjadi istilah umum di Indonesia. Bukan hanya dalam ungkapan keseharian, melainkan juga masuk dalam bait-bait kasidah dalam bahasa Arab-Indonesia, yang terkadang kami sulit memahaminya.
Secara filosofis, ungkapan “Marhaban ya Ramadhan” memiliki makna yang jauh karena ia merupakan simbol dari kesiapan mental untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT selama bulan Ramadhan dan tentunya berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW. Namun kenyataannya, banyak di antara kita yang justru mencederai Ramadhan karena kita justru melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama ketika Ramadhan datang.
Banyak di antara kita yang lebih mengutamakan ibadah sunah, sedangkan ibadah wajib kita tinggalkan. Shalat Tarawih, khususnya pada hari-hari pertama Ramadhan, di setiap masjid selalu tumpah ruah, sementara banyak di antara kita yang tidak menjalankan shalat fardhu lima kali sehari.
Puasa Ramadhan yang sasarannya adalah menciptakan Muslim yang selalu bertakwa, yang ditandai, antara lain, dengan kesediaan selalu berinfak dalam segala keadaan dan juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW sehingga sahabat Ibnu Abbas RA melukiskan kedermawanan Nabi SAW sebagai angin kencang, tetapi banyak di antara kita yang justru mengumbar nafsu, mengikuti pola hidup konsumerisme. Konsumerisme adalah bagian dari pemborosan yang dilarang dalam agama dan bertentangan dengan tujuan disyariatkannya ibadah puasa Ramadhan.
Gejala konsumerisme Ramadhan tidak saja menjadi fenomena dunia Islam, tapi juga sudah menjadi fenomena dunia secara keseluruhan. Banyak orang mengganti karpet, gorden, mebel, mobil, dan lain sebagainya justru pada bulan Ramadhan.
Belanja dapur kaum ibu selalu membengkak bila datang Ramadhan karena konsumsi makanan selalu berlipat. Seorang yang ingin buka puasa di sebuah restoran dan dia datang jam lima sore, maka akan dijamin harus rela berdiri, menunggu sampai paling cepat jam tujuh malam dia akan mendapatkan kursi untuk duduk.
Kami juga pernah terkecoh ketika berada di Niagara, Kanada, dengan sebuah iklan yang bertuliskan “Special Ifthar Ramadhan” karena restoran tersebut ternyata tidak ada kaitannya dengan Islam sama sekali, apalagi berkaitan dengan Ramadhan. Tampaknya fenomena inilah yang menarik seorang sosiolog dari Universitas Oxford di Inggris, Walter Armbrust, untuk melakukan penelitian tentang fenomena Ramadhan, kemudian mempublikasikan hasilnya pada 2004.
Ia berkesimpulan bahwa Ramadhan telah dipakai untuk tujuan multiguna dari menggenjot konsumerisme, marketing produk, dan menjual ide-ide politik. Menurutnya, para pemasar kelas dunia telah lama mengamati bahwa Ramadhan adalah the important business period, periode bisnis paling penting selama satu tahun.
Akhirnya Ramadhan dirindu, tetapi Ramadhan diseteru; Ramadhan dinanti, tetapi Ramadhan dikhianati. Ramadhan dicinta, tetapi Ramadhan dinista; Ramadhan disukai, tetapi Ramadhan dicederai.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )


***)  Ali Mustafa Yakub---( republika)