Rabu, 29 Juni 2016

BEKAL JELANG RAMADHAN

Ramadhan akan kembali hadir di tengah-tengah kaum Muslim. Sebagai orang beriman sudah sepatutnya kita berbahagia menyambut kehadiran Ramadhan dengan penuh kegembiraan.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ketika bulan Ramadhan datang, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa, dibuka lebar pintu surga, ditutup rapat pintu neraka, dan dibelenggu tangan setan. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, barang siapa yang terhalang untuk mendapatkan kebaikannya maka sungguh ia terhalang dari kebaikan bulan puasa." (HR Ahmad).
Hadis di atas memberikan penjelasan sekaligus kabar gembira tentang keistimewaan bulan Ramadhan. Sehingga mendorong kita untuk menyambut kehadiran bulan suci Ramadhan dengan penuh kebahagiaan. Namun,di tengah kebahagiaan itu, kita perlu melakukan persiapan sebagai bekal menghadapi Ramadhan dengan berbagai amalan saleh. 
Pertama, banyak berdoa. Tidak ada seorang pun yang dapat menjamin usia kita sampai bulan Ramadhan, untuk itu teruslah berdoalah kepada-Nya. "Allahumma bariklana fii rajaba wa sya'ban, wa balighna ramadhan" (Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan). 
Kedua, puasa sunah di bulan Sya'ban. Dikisahkan oleh Aisyah RA, "Rasulullah banyak berpuasa (pada Sya'ban) sehingga kita mengatakan, 'Beliau tidak pernah berbuka dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat Rasulullah banyak berpuasa (di luar Ramadhan) melebihi Sya'ban'." (Muttafaq 'alaih).
    Ketiga, tadarus Alquran. Dengan memperbanyak tadarus Alquran di bulan Sya'ban, dapat mengantarkan kepada kebersihan jiwa, sehingga saat memasuki Ramadhan jiwa dalam keadaan bersih dan pada akhirnya mengantarkan kepada keikhlasan dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Keempat, menelaah buku-buku terkait ibadah puasa. Hal ini dilakukan untuk pemantapan dan penyempurnaan ibadah di bulan Ramadhan. Sebab, ibadah yang tidak disertai ilmu (pemahaman) hanya akan merusak kesempurnaan ibadah itu sendiri. 
Hasan al-Basri mengatakan, beramal tanpa ilmu hanya membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan kebaikan. Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh, tapi jangan sampai meninggalkan ibadah. Gemarlah pula beribadah, tapi jangan sampai meninggalkan ilmu. Karena ada segolongan orang yang rajin ibadah, tapi meninggalkan belajar (lihat dalam Miftah Daris Sa'adah karya Ibnul Qayyim).
Kelima, silaturahim kepada keluarga, tetangga, teman, terutama kepada kedua orangtua untuk saling memaafkan dan mendoakan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghadirkan suasana kebersamaan dan saling memotivasi, guna memaksimalkan ibadah Ramadhan.
Semoga Allah membimbing kita agar dapat menjalankan ibadah Ramadhan dengan penuh keimanan dan ihtisaban, terampuni dosa-dosa kita dan meraih derajat takwa. Amin.


***) Imam Nur Suharno

Senin, 27 Juni 2016

RIDHA ALLAH

Di atas segala ikhtiar optimal dan sikap tawakal menyerahkan hasil kepada-Nya, ketahuilah, ada izin dan ridha Allah di dalamnya. Izin dan ridha Allah itu bisa diraih melalui cara-cara yang sesuai dengan ridha-Nya, yang telah disyariatkan, bukan cara yang bathil. 
Dari Umar bin Khattab RA berkata, Nabi SAW bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang,” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim). 
Itulah jaminan Allah SWT kepada seluruh makhluk. Tugas kita adalah berusaha maksimal dan bertawakal. Tentu saja, jika kita berhasil mencapai salah satu tahapan dalam tujuan kehidupan, bukan berarti itulah akhir atau puncaknya. Mesti diingat akan ada tahapan berikutnya yang harus dilalui. 
Ketercapaian suatu rencana dan keinginan, bukanlah satu tujuan, tapi merupakan ujian. Boleh jadi, di situlah ujian sesungguhnya. Kita harus mampu mensyukuri, menjalani, dan memenuhi sejumlah harapan yang menyertai keberhasilan itu dengan niat untuk meraih keridhaan-Nya. 
Allah SWT berfirman, “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya,” (Al-Baqarah: 207). Tak ada puncak kenikmatan hidup selain mendapatkan ridha-Nya. 
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah berfirman kepada penghuni surga: Hai penghuni surga! Mereka menjawab: Kami penuhi seruan-Mu wahai Tuhan kami, dan segala kebaikan ada di sisi-Mu. Allah melanjutkan: Apakah kalian sudah merasa puas? Mereka menjawab: Kami telah merasa puas wahai Tuhan kami, karena Engkau telah memberikan kami sesuatu yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu. Allah bertanya lagi: Maukah kalian Aku berikan yang lebih baik lagi dari itu? Mereka menjawab: Wahai Tuhan kami, apa yang lebih baik dari itu? Allah menjawab: Akan Aku limpahkan keridaan-Ku atas kalian sehingga setelah itu Aku tidak akan murka kepada kalian untuk selamanya,'' (HR Muslim). 
Dengan demikian, jangan sempitkan satu momen keberhasilan dengan sekadar perayan apalagi penuh hura-hura. Jadikan momen keberhasilan itu sebagai alat introspeksi, melakukan pengukuran ke dalam diri terkait dengan potensi dan kemampuan yang mungkin dilakukan untuk memenuhi harapan dan tujuan. 
Harapan di sini artinya harapan umum, bukan harapan pribadi atau golongan. Sebagai contoh, jika Anda lulus sekolah atau kuliah sebagai sebuah momentum keberhasilan, maka lakukanlah pengukuran ke dalam diri Anda tentang kemampuan yang sepadan dengan kelulusan itu sendiri. 
Di situlah makna syukur dari sebuah momentum keberhasilan, di mana bukan capaian pada tahap keberhasilan itu, tetapi lihatlah proses sebelumnya dan apa yang akan dilakukan setelah momen itu diraih. 
Dengan demikian, tak ada kata berhenti untuk belajar, berusaha dan bekerja secara terus menerus. Mereka yang pandai bersyukur pasti akan berikhtiar maksimal untuk bekerja keras, cerdas, tuntas, dan ikhlas dalam proses pasca perayaan keberhasilan. 
Tidak akan ada capaian yang hilang, karena setiap capaian akan dipandang sebagai langkah awal baru bagi capaian berikutnya. Dengan demikian, bila kita merasa berhasil pada satu tahap tahapan kehidupan, seyogyanya segera menyiapkan diri untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang muncul dari capaian tersebut dan berusaha meningkatkan kemanfaatan bagi yang lainnya. Wallahu ’alam.


***) Iu Rusliana 

Sabtu, 25 Juni 2016

MUNAJAT PAGI

Pagi merupakan awal aktivitas kita. Kesegaran udara pagi, tidak saja baik untuk badan, tetapi juga sangat baik untuk ruhani kita. Pagi menjadi waktu yang utama bagi setiap Muslim untuk berzikir dan bermunajat kepada Allah SWT. 
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah menyebutkan bahwa zikir siang (an-nahar) yang paling utama adalah di waktu pagi usai Subuh. Bahkan, di antara doa dan zikir Nabi Muhammad SAW yang paling banyak adalah berzikir di waktu pagi, selain juga waktu sore. 
Ini menunjukkan bahwa pagi merupakan waktu yang baik untuk mengawali hari dengan bermunajat kepada Allah SWT. Sebab, doa akan berpengaruh terhadap perilaku kita. Di antara doa yang dimunajatkan Nabi Muhammad SAW di waktu pagi adalah doa yang diriwayatkan Ummu Salamah. 
Ia meriwayatkan bahwa tatkala pagi, Rasulullah SAW berdoa:Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqobbalan (Ya Allah, sungguh aku mohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima). (HR Ibnu Majah). 
Doa yang dimunajatkan Nabi Muhammad SAW di atas berisi tiga permohonan yang sangat penting digapai oleh setiap Muslim. Pertama, ilmu yang bermanfaat (‘ilman nafi’an). Siapapun kita, terutama yang sedang menuntut ilmu, tentu sangat menginginkan kemanfaatan ilmunya. 
Ilmu yang bermanfaat tidak sekadar ilmu yang banyak, tetapi lebih dari itu, pengetahuan yang diperoleh dapat memberikan kemanfaatan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan agamanya.
Kemanfaatan ilmu itu dapat diukur seberapa besar kebaikan ilmu dapat dirasakan oleh diri dan orang lain. Bukan ilmu yang merusak dan menyengsarakan umat, apapun dalih dan profesinya. 
Kedua, rezeki yang baik (rizqan thayyiban). Hampir setiap kita, di saat pagi tiba, diawali untuk mencari rezeki. Dan, ajaran Nabi SAW adalah bagaimana kita mencari rezeki yang baik.
Tentu saja, rezeki yang baik adalah yang diambil melalui cara dan proses yang benar dan dibelanjakan dengan jalan yang benar pula. Cara-cara haram, seperti korupsi, hanya akan menjauhkan diri kita dari keberkahan rezeki dan kebaikan nikmat.
Ketiga, amal perbuatan yang diterima oleh Allah SWT (‘amalan maqbulan). Menurut ulama, kriteria aktivitas amal kita dapat diterima oleh Allah adalah amal perbuatan itu benar (ash-shawab) dan dilandasi dengan keikhlasan (al-ikhlash). 
Jika kita menginginkan amal baik diterima oleh Allah SWT, maka kita harus mendasarkan amal kita dengan parameter kebenaran dan keikhlasan. Semoga hari kita senantiasa dinaungi ilmu, rezeki, dan amal yang baik sebagaimana yang dimunajatkan Nabi SAW di waktu pagi.  

***) Ahmad Munir 

Jumat, 24 Juni 2016

MANAKAH YG LEBIH UTAMA? AHLI ILMU ATAU AHLI IBADAH

Diriwayatkan dari Abu Umamah, ia berkata: Disebutkan kepada Rasulullah SAW tentang dua orang, yaitu seorang ahli ibadah dan seorang ahli ilmu.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian." Setelah itu beliau melanjutkan, "Sesungguhnya Allah, para malaikat, para penduduk langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya, dan para ikan mendoakan pengajar kebaikan pada manusia." (HR At-Turmidzi).
Dalam redaksi lain Al Bazzar meriwayatkan hadis ini dari 'Aisyah ra bahwa: "Para pengajar kebaikan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai oleh para ikan di lautan."
Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Alquran yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Hadis ini adalah salah satu bagian kecil dari kaidah Islam, yang memperlihatkan penghargaan yang tinggi pada ilmu dan orang-orang yang memilikinya.
Ibadah adalah sebuah kemuliaan, tapi jauh lebih mulia ilmu dan orang-orang yang memilikinya. Demikian utama orang berilmu di atas ahli ibadah, hingga Rasul dalam hadis di atas mengumpamakan kemuliaan dirinya dengan orang yang paling rendah di antara para sahabatnya. Perumpamaan ini analog dengan perumpamaan "bagaikan langit dan bumi" karena sangat jauhnya.


Sumber : Pusat Data Republika

Selasa, 21 Juni 2016

HIKMAH DARI AHLUL JANNAH

Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh aku mengetahui penghuni neraka yang terakhir kali keluar dari neraka dan penghuni surga yang terakhir masuk surga yaitu seseorang yang keluar dari neraka dengan cara merayap, maka Allah Swt berfirman, “Pergilah kamu dari neraka dan masuklah ke dalam surga!” maka orang tersebut mendatangi surga dan melihat kondisi yang teramat sesak di dalam surga (karena dipenuhi penghuninya). Orang itu kembali kepada Allah dan bberkata, “Wahai Rabb, kutemukan surga telah penuh sesak,” maka Allah Swt berfirman, “Pergi dan masuklah ke surga!” maka ia kembali ke surga dan kembali melihat pemandangan yang sama (surga telah penuh sesak).
Lalu ia kembali kepada Allah dan berkata, “Wahai Rabb, aku telah kembali ke surga, namun kutemukan bahwa surga telah penuh, ya Rabb,” maka Allah Swt berfirman, “Pergi dan masuklah ke surga dan bagimulah surga seluas dunia bahkan sepuluh kali lipatnya,” hamba tadi lantas mengatakan, “Rabb, apakah Engkau menghinaku ataukah mengejekku sedang Engkau adalah Maharaja?” maka, kulihat Rasulullah Saw tertawa hingga gigi gerahamnya kelihatan seraya bersabda, “Itulah penghuni surga yang tingkatannya paling rendah,” (HR Bukhari dan Muslim)
Sungguh menarik jika kita mau mengambil hikmah dari kisah penghuni neraka—yang akhirnya diizinkan Allah keluar dari naar dan terakhir diizinkan masuk ke surga-Nya. Menariknya adalah betapa sebenarnya hamba ini mengakui bahwa dirinya mungkin belum layak (menyadari dosa-dosa dan kesalahannya selama di dunia) hingga akhirnya dengan rahmat Allah-lah ia bisa keluar dari panasnya api neraka dan dahsyatnya siksaan para malaikat penyiksa.
Namun saat ia berbahagia karena berhasil keluar dari neraka, ia dapati surga sudahoverload baginya—ia merasa surga tak mampu lagi menampung penghuni baru sepertinya. Satu hal yang lebih menariknya lagi, Rasulullah Saw pun saat menceritakan hadits ini kepada Ibn Mas’ud tak kuasa menahan hasrat ingin tertawa karena hamba ini mengira bahwa Allah telah menghina ataupun mengejeknya dengan memberikan balasan yang subhaanallah mulia berupa surga yang luas dan ni’matnya sepuluh kali dunia, sedangkan amalnya di dunia tidaklah seberapa.
Dr Mahmud Abdurrazak ar-Rridwani  dalam Ad-Du’au bil Asma-il Husna, mengungkapkan bahwa hadits di atas memberikan faedah bahwa kenikmatan yang paling rendah bagi ahli surga sebanding dengan sepuluh kali keni’matan yang ada di dunia.
Betapa baik dan maharaja-Nya Allah hingga Dia selalu ingin memberikan balasan yang terbaik untuk para hamba-Nya kendati kita menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa amalan apapun takkan pernah sanggup membayar kebaikan-kebaikan Allah apalagi membeli surga-Nya. Dengan sifat rahman dan rahim-Nya-lah Dia tempatkan para hamba-Nya di tempat yang telah Dia tentukan; entah itu surga maupun neraka.
Tentu saja, selain memasuki surga merupakan kehendak mutlak Allah, kita tetap diwajibkan untuk beribadah dan memohon kepada-Nya. Seperti dalam surah Ali Imran ayat 133 Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu, dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (QS. Ali Imran: 133)
Atau dalam surah lain, “Berlomba-lombalah kamu sekalian untuk mendapatkan ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya,” (QS. Al-Hadiid : 21)
Dengan demikian, kendati surga adalah hadiah khusus tanda cinta-Nya untuk para hambanya yang bertaqwa, kita juga dianjurkan untuk berusaha dan berlomba-lomba mendapatkannya. Dengan apa? dengan amal shalih yang tulus ikhlas mengharap keridhaan-Nya. Allahu a’lam


***)Ina Salma Febriany

Jumat, 17 Juni 2016

MENJADI IHSAN

 Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW mendapat pelajaran penting tentang makna iman, Islam, dan ikhsan dari Malaikat Jibril yang mendatangi beliau dengan menjelma menjadi manusia biasa.
Secara berurutan, Nabi menjawab pertanyaan ujian Malaikat Jibril. Apa yang disebut iman? Nabi menjawab, ''Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, percaya akan adanya perjumpaan dengan Allah, percaya kepada para rasul, dan percaya adanya hari kebangkitan.'' Apa yang disebut Islam? Nabi menjawab, ''Islam adalah engkau menghamba kepada Allah dan tidak menyekutukannya, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan puasa di bulan Ramadhan.''
Apa arti ihsan? ''Engkau beribadah kepada Allah dengan kondisi seolah-olah engkau melihatnya dengan mata. Jika tidak, yakinilah bahwa Allah sedang melihatmu,'' demikian jawab Nabi. (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Iman, Islam, dan ihsan adalah satu kesatuan komponen agama Islam yang tak terpisahkan. Ketiga komponen tersebut seharusnya terintegrasi secara berimbang dalam keberislaman seorang Muslim. Dan pengurutan seperti itu bukanlah kebetulan. Iman didahulukan karena ia adalah pokok dari Islam. 
Selanjutnya, iman di dalam hati menjadi tidak bermakna jika tidak dimanifestasikan dalam tindakan nyata, yang diimplementasikan dalam Islam. Agama Islam pada diri seorang Muslim harus dibenarkan dengan hati (iman) dan dipraktikkan dengan perbuatan (Islam).
ihsan adalah penyatuan dari iman dan Islam. Artinya, seseorang tidak akan bisa melihat Allah SWT, jika tidak percaya akan Mahawujud-Nya, serta tidak mengamalkan apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya. Ihsan bisa diraih jika iman dan Islam telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dalam diri seorang Muslim. Sebab, iman tidak bermakna tanpa Islam. Dan Islam tanpa iman akan rapuh.
Namun, ada sebagian ulama yang mendahulukan Islam, kemudian iman, dan ihsan. Alasannya adalah karena Islam adalah amalan lahir yang rasional, sedangkan iman adalah amalan batin yang suprarasional. Dan ikhsan adalah puncak pencapaian dari keduanya dan melampaui keduanya.
Kenapa ihsan diakhirkan? Hal itu menjadi isyarat bahwa ia adalah hal yang sulit dilakukan. Jika Islam terbatas pada lahiriah, iman terbatas pada batiniah, maka ikhsan tidak terbatas pada keduanya, karena berusaha memfokuskan kesadaran kita akan Allah SWT setiap saat. 


**) Juman Romarif--Pusat Data Republika

Kamis, 16 Juni 2016

ENERGI CINTA BERBAGI

Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92) 
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seseorang tidak disebut mukmin selama belum mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah). 
Ayat dan hadis tersebut menunjukkan urgensi energi cinta berbagi sebagai spirit kebajikan dan keluhuran akhlak. Energi cinta berbagi dalam diri manusia perlu dididik dan diaktualisasikan dalam bentuk kedermawanan sosial.
Etos filantropi untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama memang harus dilandasi rasa cinta. Karena cinta menyemangati dan menggerakkan manusia untuk mewujudkan cita-cita mulia. 
Kedermawanan sosial berbasis cinta (filantropi) merupakan akhlak mulia, karena etos cinta berbagi dan berderma dalam Islam intinya adalah memberi dan memberi (give more and more) rezeki Allah yang dikaruniakan kepada kita dengan semangat menyayangi dan memberdayakan sesama. Ingatlah bahwa “Tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (peminta).” (HR Muslim). 
Jadi, esensi cinta sejati, dalam segala hal, mulai dari cinta anak dan istri, cinta berbagi kepada sesama hingga cinta Ilahi, adalah memberi dan mendedikasikan diri. Pendidikan cinta berbagi telah dipelopori dan diteladankan Nabi Muhammad SAW dan istri beliau tercinta, Khadijah RA. 
Sedemikian cintanya kepada Islam, Khadijah RA mendermakan hampir seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah dan kejayaan Islam. Para sahabat juga selalu dididik oleh Nabi SAW untuk gemar berderma dengan menyisihkan sebagian rezeki sebagai bukti cinta terhadap Islam, sekaligus sebagai sikap peduli terhadap sesama. 
Sejarah membuktikan, tradisi tersebut menjadi solusi jitu dalam mengatasi masalah umat, terutama kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Pendidikan cinta berbagi termasuk ajaran Islam yang paling dini diperkenalkan Nabi Muhammad SAW setelah pendidikan iman. 
Pendidikan ini ditanamkan Nabi SAW dengan menjauhkan diri dari sikap pamrih, sebab pamrih hanya akan menghilangkan nilai sedekah sekaligus menyuburkan penyakit riya’. Oleh karena itu, pada masa awal kerasulannya, Allah SWT dengan tegas menyatakan, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir [74]: 6). 
Larangan ini juga sekaligus mendidik Nabi SAW dan para sahabatnya untuk mandiri dalam membangun sistem ekonomi umat yang solid, kuat,dan menyejahterakan semua, sehingga tidak tergantung pada sistem ekonomi kapitalistik dan individualistik ala kafir Quraisy Makkah. 
Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, krisis sembako, dan sebagainya. 
Zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial dapat terwujud dengan sangat indah. “Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-Taghabun [64]: 16). 
Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan, kemunduran, dan kebodohan. Gagasan pendirian Baitul Mal oleh Umar bin al-Khattab merupakan upaya institusionalisasi filantropi dengan menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan kekayaan dari, oleh, dan untuk kemaslahatan umat.
Baitul Hikmah dan Universitas al-Azhar di Mesir, misalnya, didirikan, dikembangkan, dan dibesarkan oleh donasi filantropi sebagai manifestasi pendidikan cinta berbagi.
Umat Islam sesungguhnya tidak akan pernah miskin jika energi cinta berbagi dalam rangka aktualisasi kedermawanan sosial umat dapat diidentifikasi, didata, dikelola, dikembangkan, dioptimalkan, dan dimanfaatkan dengan penuh amanah dan manajemen modern. 

***) Muhbib Abdul Wahab 

Rabu, 15 Juni 2016

BERIMAN DI TEPIAN

''Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan), jika ia memperoleh kebajikan tetaplah ia dalam keadaan itu (keimanan) dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berbaliklah ia kebelakang (menjadi kafir lagi). Rugilah ia di dunia dan di akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.'' (QS Al-Hajj [22]:11).
 Ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang menggunakan syarat dalam menyembah Allah SWT. Ia mau beribadah kalau semua keinginannya terpenuhi. Ia menjadikan agama sebagai sarana untuk memuaskan nafsunya. Ia menjadikan Allah SWT seperti lampu Aladin yang harus mengabulkan semua keinginannya.
Jika keinginannya tidak terpenuhi dan jika ia ditimpa berbagai musibah serta kesusahan dalam menjalani hidup, maka ia kembali menjadi orang kafir. Orang seperti ini, menurut Al-Qurtubi dan Ibn Al-Katsir, adalah orang-orang munafik yang sangat merugi di dunia dan di akhirat, dan merekalah golongan orang-orang munafik yang akan berada di neraka yang paling bawah, ''Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.'' (QS An-Nisa [4]: 145).
Begitu juga dalam bermuamalah atau interaksi sosial, ia mau menegakkan kebenaran dan berlaku adil jika kebenaran dan keadilan itu menguntungkan dirinya. Ia mau membantu dan peduli terhadap sesama jika hal itu bisa membuat dirinya populer. Namun, jika tidak maka ia berdiam diri dan pura-pura tidak tahu akan musibah dan problem orang lain.
Rasulullah SAW menegaskan kerugian orang-orang seperti itu dengan sabdanya, ''Sangatlah merugi budak harta dan budak baju beludru (baju yang sangat bagus), jika ia diberikan harta dan baju beludru maka ia ridha dan jika tidak maka ia marah.'' (HR Al-Bukhari).
Penyebutan harta dan baju beludru dalam hadis di atas hanyalah contoh semata. Namun, dalam pengertiannya yang luas mencakup semua hal yang sifatnya bisa memuaskan dan membahagiakan.
Semoga kita tidak menjadi budak hawa nafsu seperti orang-orang di atas. Semoga pasca-Ramadhan ini kita menjadi insan yang 'kembali', yang menapaki hidup di rel-Nya. ''Wahai Tuhanku tolonglah aku agar selalu mengingat-Mu, selalu bersyukur kepada-Mu dan selalu bagus dalam beribadah kepada-Mu.'' (HR Abu Dawud).


**) Asep Sulhadi--Pusat Data Republika

Senin, 13 Juni 2016

HALUAN NEGARA

Saudaraku, sebuah kapal negara takkan karam hanya karena kurang adidaya atau sumberdaya, melainkan karena terjerumus salah arah.
Agar negara berjalan ke arah benar, warga negara harus mengingat trayek sejarah bangsa. Cara mudah membunuh suatu bangsa dengan jurus menghapus memori kolektifnya.
Di atas jalur sejarah bersama, arah negara dituntun oleh haluan berencana nan menyeluruh berlandaskan nilai dan aturan dasar negara.
Bila Pancasila berisi falsafah dasar, konstitusi mengandung aturan dasar, haluan negara memberi arahan dasar. Kaidah Pancasila dan konstitusi takkan bisa dijalankan secara benar tanpa prinsip-prinsip direktif yang tepat.
Mengembaralah ke seluruh penjuru bumi. Perhatikan tanda-tanda kejatuhan kuasa di segala mancanegara. Kapal kekuasaan yang dikemudikan tanpa konsepsi dan direksi akan tersesat menuju lembah kebinasaan.
Dalam menyusun dan menjalankan haluan negara, anak-anak negeri harus menyalakan cinta negeri di hati.  Mereka bukan cuma penduduk bak penghuni hotel yang menumpang tidur, tanpa merasa memiliki dan merawat. Mereka adalah warga negara peduli sebagai pandu pejuang keselamatan dan kemajuan negara.
Manakala saat ini terdapat tanda-tanda negara berjalan salah arah, pandu pejuang harus merasa terpanggil untuk mengembalikannya ke jalan yang benar dengan mamancangkan kembali marka-marka haluan negara.


***) Yudi Latif—(Republika Online

Sabtu, 11 Juni 2016

MENYEGERAKAN AMAL

Dalam kitab Ihya' Ulumuddin, Imam Ghazali menukil ungkapan Al-Mandzir, "Aku mendengar Malik bin Dinar berkata kepada dirinya, 'Celakalah kamu. Bersegeralah sebelum urusan datang kepadamu. Celakalah kamu. Bersegeralah sebelum urusan datang kepadamu.' Sehingga, ia mengulangi yang demikian itu sampai 60 kali yang aku dengarnya dan ia tidak melihatku."
Tindakan Malik bin Dinar tentu didorong oleh pemahaman yang kuat terhadap perintah Allah Ta'ala agar bersegera dalam beramal (QS Ali Imran: 133-134 dan QS al-Hadid: 21). Kata "segera" berarti tidak bisa dipisahkan dari waktu.  
Ibn Al-Jauzi dalam bukunya Shaid Al-Khatir mengatakan, "Seorang manusia mesti mengetahui nilai dan kedudukan waktu agar ia tak menyia-nyiakan sesaat pun darinya untuk sesuatu yang tak bisa mendekatkan diri kepada Allah." 
Pemahaman mendalam terhadap nilai dan kedudukan waktu menjadikan ulama terdahulu amat selektif dalam memanfaatkan nikmat yang menurut Rasulullah kebanyakan manusia tertipu, yakni waktu. Fudhail bin Iyadh berkata, "Aku kenal orang yang menghitung perkataannya dari minggu ke minggu." 
Kemudian ada Dawud al-Tha'i, meski sedang membuat adonan roti, lisannya tak pernah kering dari ayat-ayat Alquran. "Antara membuat adonan dan makan roti aku telah berhasil membaca 50 ayat."
Suatu hari seseorang berkata kepada Amir bin Abd Qais (55 H), murid dari Abu Musa al-Asy'ari, "Berhentilah, aku ingin berbicara kepada Anda!" Amir bin Abd Qais pun menjawab, "Coba hentikan matahari."
Sikap Amir bin Abd Qais itu menunjukkan bahwa dirinya telah menetapkan beragam amal di setiap pergantian waktu sehingga menjadi tidak mungkin dirinya meluangkan waktu kepada orang yang secara tiba-tiba memintanya untuk berhenti tanpa niat dan tujuan yang jelas.


***) Imam Nawawi—(Pusat Data Republika

Jumat, 10 Juni 2016

ZIKIR TAK SEKEDAR TAHLILAN

 (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring ... (QS Ali Imran 191).
Zikir atau mengingat Allah merupakan aktivitas yang dilakukan terutama oleh hati dan lisan berupa tasbih atau menyucikan Allah Ta'ala, memuji, dan menyanjung-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan serta keindahan dan kesempurnaan-Nya. 
Zikir telah menjadi kebiasaan kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan sehari-hari atas dasar kesadaran bahwa itu merupakan perintah Allah dan rasul-Nya.Rasulullah menyebut orang yang tidak mengingat Allah sebagai orang yang mati, "Perumpamaan orang-orang yang zikir kepada Allah dengan yang tidak adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati," (HR Bukhari). 
Banyak sekali perintah Allah dan rasul-Nya untuk berzikir di antaranya QS Al Baqoroh: 152. Rasullah bersabda, "Ada dua kalimat yang ringan diucapkan lisan, tetapi berat dalam timbangan dan disukai oleh Allah yaitu, Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil azhim." Dalam hadis lain, “Zikir yang paling utama ialah La ilaha ilallah, sedangkan doa yang paling utama ialah Alhamdulillah." (HR Nasai).
Keutamaan zikir tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir. Setiap orang yang beramal karena Allah, demi menaati perintah-Nya maka, ia disebut zikir kepada Allah SWT. Demikian yang dikatakan oleh Said bin Zubair ra dan ulama lainnya. 
Atha ra berkata, "Majelis zikir adalah majelis halal dan haram yang membahas bagaimana Anda menjual dan membeli, shalat, shaum, menikah, bermuamalah, dan pergi haji." Rasulullah bersabda, "Jika kamu lewat taman-taman surga hendaklah kamu ikut bercengkrama!" Mereka bertanya, "Apa taman-taman surga itu, Ya Rasulullah?" 
Beliau menjawab, "Halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat yang berkeliling mencari halaqoh-halaqoh zikir, apabila mereka mendatangi orang-orang yang berzikir tersebut akan berhenti dan melingkari mereka". (HR Tirmidzi).
Ibnu Mas'ud ra jika mengucapkan hadis ini, berkata, "Aku tidak maksudkan itu halaqoh-halaqoh yang membahas kisah-kisah, melainkan halaqoh yang membahas fikih." Diriwayatkan oleh Anas ra bahwa maknanya begitu juga.
Dengan demikian, zikirnya seorang Muslim dalam kondisi saat ini adalah tidak sebatas pada ucapan-ucapan tasbih, takbir, tahmid, dan istigfar, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita dalam setiap aktivitas kita senantiasa terikat pada perintah dan larangan Allah SWT. 
Apalagi dalam kondisi yang serba semrawut dan penuh ketidakjelasan seperti sekarang ini, di mana krisis yang tak kunjung berakhir, kerusuhan, teror, huru-hara, dan pemaksaan kehendak masih terus menghantui dan membayangi kehidupan kita. 
Sudah sepatutnya kita lebih mempergiat aktivitas berzikir. Karena pada hakikatnya semua musibah yang menimpa kita adalah cobaan, ujian, sekaligus azab dari Allah lantaran perbuatan kita sendiri yang tidak bertahkim dan mengatur segala aspek kehidupan kita dengan apa yang diturunkan Allah yaitu Islam.
Allah SWT berfirman: Telah banyak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (Islam). (QS Ar-Ruum: 41). 

***) Tito Adi Dewanto—(Pusat Data Republika

Rabu, 08 Juni 2016

TAK BERLEBIHAN DALAM BERAGAMA

 Anas ra berkisah, ada tiga orang datang menemui istri-istri Rasulullah untuk menanyakan ibadah baginda nabi. Saat diberitahu mengenai ibadah Rasulullah, mereka merasa sangat  kecil. Rasulullah SAW yang sudah dijamin mendapat ampunan dan surga Allah SWT ternyata melaksanakan ibadah 'berat'. Sungguh terasa sangat jauh dibanding dengan mereka.
Orang pertama pun bertekad dan menyatakan akan shalat malam terus menerus. Orang Kedua akan puasa sepanjang tahun tanpa henti. Orang ketiga akan menjauhi perempuan dan tak akan menikah selamanya.  
Ketika mendengar niat ketiga orang itu, Nabi bersabda, “Benarkah kalian yang mengatakan akan shalat malam terus menerus, akan berpuasa setiap hari, dan tidak akan menikah selama hidup? Bukankah, demi Allah, aku orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, namun demikian aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga tidak berpuasa, dan aku menikahi wanita? Barangsiapa tidak menyukai sunahku maka ia bukan golonganku.” (HR Bukhori dan Muslim).  
Sebagaimana sabda Nabi di atas, kita tidak dibenarkan untuk melaksanakan agama dengan cara yang berlebih-lebihan. Untuk mengukur kadar ibadah yang pas, tentu tidak mudah. Oleh karenanya, di samping memiliki tolok ukur ibadah Nabi, juga harus melihat para sahabat serta sikap toleransi Nabi terhadap apa yang diamalkan para pengikutnya.
Pada waktu berbeda, masih dikisahkan Anas bin Malik, Rasulullah SAW menerangkan tentang laki-laki calon penghuni surga. “Sebentar lagi akan muncul dihadapan kalian salah seorang ahli surga." Ketika diketahui orangnya, seorang sahabat Abdullah bin Amr meneliti dengan bertamu bermalam di rumahnya.
Setelah diamati ternyata ibadah orang itu biasa-biasa saja, bahkan si peneliti sendiri merasa ibadah dia jauh lebih baik. Setelah berdialog dan didalami maka diketahuilah bahwa kelebihannya adalah “tidak pernah berlaku curang” dan “tidak iri” atas kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain. Jadi, kekuatannya ternyata ada pada mental and moral attitude.
Dalam Alquran disebutkan, orang yang berlebih-lebihan dalam beragama dikaitkan dengan doa dan pendekatan diri kepada Allah. Ketika menderita, dia intensif berdoa, tapi saat lapang dia menyimpang.
“Dan, apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Tetapi, setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan.” (QS Yunus 12).


***) Rizal Fadilah—(Pusat Data Republika

Selasa, 07 Juni 2016

PEMBUNUH YG BEBAS KARENA SHALAT SUBUH

Syahdan, Salim bin Abdullah, seorang ulama tabiin menemui Gubernur Hajjaj bin Yusuf untuk menyampaikan tentang kebutuhan kaum Muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan ramah dan memuliakannya.
Tidak lama, beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj. Rambut mereka kusut dengan wajah pucat. Debu pun menempel di badan. Semua tahanan di belenggu. Hajjaj berkata kepada Salim, “Mereka adalah pemberontak yang telah membuat kerusakan di muka bumi dan menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”
Hajjaj menyerahkan pedangnya kepada Salim sambil menunjuk kepada salah seorang dari mereka. Dia berkata kepada Salim: “Pergilah dan tebaslah lehernya!” Salim menerima pedang dari tangan Hajjaj lalu berjalan mendekati orang yang dimaksud.  
Salim berhenti tepat di depan orang tersebut, lalu bertanya, “Apakah Anda Muslim?” Terdakwa, “Benar saya Muslim. Tapi, apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!” Salim, “Apakah Anda shalat Subuh?” Terdakwa, “Sudah saya katakan bahwa saya Muslim. Mengapa Anda masih bertanya lagi?" Salim, “Saya bertanya, apakah Anda shalat Subuh hari ini?” Terdakwa, “Semoga Allah memberimu hidayah. Tentu saya shalat Subuh! Silakan Anda melaksanakan perintah orang zalim itu agar ia tidak murka kepada Anda.” 
Salim berbalik menghadap Hajjaj kemudian melemparkan pedang yang digenggamnya sambil berkata, “Orang ini mengaku sebagai Muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat Subuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa shalat Subuh, dia berada dalam perlindungan Allah.” Saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan-Nya!”
Hajjaj marah dan berkata, “Kami akan membunuhnya bukan karena dia tidak shalat, tetapi karena dia ikut terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman bin Affan.” Salim menjawab, “Masih ada orang lain yang lebih berhak dari saya dan dari Anda untuk menuntut darah Utsman bin Affan!” Hajjaj terdiam seribu bahasa.


**) Fariq Gasim—(Pusat Data Republika

Senin, 06 Juni 2016

MELAWAN SIKAP PESIMISTIS

Pesimistis adalah melihat alam dengan kebencian dan memandang dunia dengan kemurkaan. Orang yang pesimistis melihat segala sesuatu menjadi hitam. Baginya bunga adalah duri, batang pohon adalah meriam, pohon kurma adalah pohon labu, dan hujan adalah api. 
Orang yang pesimistis itu kerap berkerut dahinya, muram wajahnya, dan sempit hatinya. Dia tidak memiliki harapan, cita-cita, kelapangan, dan kemudahan. Dia memandang bahwa malam akan abadi, kefakiran tidak berakhir, kelaparan akan berlanjut, dan sakit tidak akan sembuh. 
Dalam kamus orang yang pesimistis hanya ada kematian, rasa sakit, kehancuran, kegagalan dan kejatuhan. “Mereka mengira bahwa setiap teriakan keras ditujukan kepada mereka.” (QS. Al-Munafiqun: 4). 
Orang yang pesimistis itu bisa mati berkali-kali dalam sehari. Dia merasa lapar padahal dalam keadaan kenyang. Dia merasa fakir padahal dalam keadaan kaya. Karena dia menaati setan. “Setan itu menakut-nakuti kalian dengan kefakiran dan menyuruh kalian berbuat keji.” (QS. Al-Baqaran 268). 
Kehidupan ini bukan untuk ditakuti, namun untuk dihadapi. Allah SWT sudah menganugerahkan kita perangkat dan fasilitas yang bisa menunjang kita mengarungi derasnya kehidupan. Manusia memiliki akal, kekuatan fisik, dan kemampuan berikhtiar. Namun, semua itu tidak disadari dan disyukuri oleh orang yang bermental penakut. Rasa pesimistis sudah menguasai jiwanya. 
Dalam menghadapi tantangan, hidup itu adalah urusan mau atau tidak mau. Hidup juga perkara berani atau tidak berani. Jadi kemauan dan keberanian itu diperlukan untuk mencapai sesuatu yang diikuti dengan usaha untuk mendapatkannya. 
Caranya dengan mempersiapkan segala hal yang memungkinkan untuk meraihnya dan bila perlu dapat mempercepat tercapainya tujuan tersebut. Orang-orang yang sukses itu menghadapi jalan terjal di medan juang mereka. Musibah yang dideritanya tidak sedikit. Tetapi mereka menghadapinya dengan penuh kesabaran, optimisme tinggi, dan tahan uji. 
Mereka bagaikan sekelompok kafilah yang tengah menyusuri padang pasir yang ditempa terik matahari atau sedang melawan badai gurun. Itulah rahasianya mengapa para pengukir sejarah berhasil mencapai cita-citanya. 
"Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang utama.” (QS. Ali Imran: 186). 
Jadi siapapun dia yang lemah kemauannya, dikuasai oleh pesimistis, akan lemah pula jiwanya. Akan rendah pula martabat kemanusiaannya. Para pesaing akan melesat melewatinya. Akan mudah diombang-ambingkan oleh hawa nafsu. Syetan pun akan mudah menguasainya. Ibarat sebuah bola yang ditendang kesana-kemari sesuai dengan kemauan orang yang mempermainkannya. 
Sebagai khalifah fil ardi, kita dituntut untuk terus bisa survive dalam segala kondisi. Mengingat keadaan sewaktu-waktu bisa berubah. Jangan sampai kita menyerah pada nasib, tunduk pada keadaan. Semangat harus dipupuk. Ilmu pengetahuan hari demi hari harus meningkat. Keterampilan selalu diasah. Dan iman takwa jadi benteng utama. 

***) Habib Ziadi 

Minggu, 05 Juni 2016

PEMBERI UTANG

Permasalahan dan kesulitan ekonomi tak jarang membuat seseorang merasa buntu dan kehilangan arah untuk menemukan jalan keluar. Hingga pada sampai di titik kesulitan materi yang teramat sangat, akhirnya banyak diantara kita yang memilih untuk berutang kepada sesama. Tidak salah memang.
Berhutang diperbolehkkan dalam Islam, bahkan karena tak menghendaki adanya orang yang dirugikan karena praktik hutang piutang, Allah merumuskan adab-adab berutang yang tertuang dalam penghujung surah al-Baqarah ayat 282 bahwa setiap praktik hutang piutang harus dicatat dan disaksikan.
Pencatatan dan persaksian atas transaksi utang piutang dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan dan permusuhan yang akan sangat mungkin terjadi. Dengan pencatatan dan persaksian pula, pengutang ingat kembali jumlah utang yang harus ia bayar jika suatu waktu ia lupa. Namun bagaimana, jika yang berutang tidak mampu atau bahkan fenomena yang sering terjadi adalah justeru yang berhutang lebih kasar dan kejam daripada si pemberi hutang?
Karenanya, diperlukan kelapangan hati dan jiwa ketika kita memutuskan untuk memberikan pinjaman kepada orang lain. Pemberi utang juga harus mengetahui betul apakah yang diutangi betul-betul belum mampu membayar, pura-pura tidak mampu atau bahkan tak ada niat untuk melunasi utangnya. Terkait menghadapi orang yang tidak mampu membayar, maka Alquran menganjurkan kita untuk memberi kelapangan.
“Dan jika dia (penghutang) memiliki kesukaran maka berilah penangguhan sampai waktu lapang (mampu membayarnya), dan apabila kalian menyedekahkannya maka itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui,” (Qs Al-Baqarah: 280)
Begitu santunnya anjuran Alquran dalam memberikan pedoman utang-piutang. Selain si pemberi utang dianjurkan untuk memberikan kelapangan (maysarah—kelonggaran waktu atau kesempatan untuk membayar), pemberi hutang juga harus siap jika pada akhirnya harus menyedekahkan uang yang dipinjamnya ketika yang berhutang, akhirnya tidak sanggup membayarnya.
Pertanyaannya; sudah sanggupkah kita mengikuti tuntunan Alquran? Andai saja kita memiliki uang 10 juta lalu dipinjamkan kepada 10 orang dan kesemuanya itu tidak mampu membayar utangnya, mampukah kita ikhlas?
Ketika Hudzaifah dan Abu Mas’ud ra sedang berkumpul, Hudzaifah ra berkata, “Ada seorang laki-laki yang meninggal dan menemui Tuhannya, maka Tuhannya berkata kepadanya, “Apa yang telah kamu perbuat?” Dia menjawab, “Aku belum pernah berbuat kebaikan, melainkan dahulu aku adalah seseorang yang memiliki harta benda. Dengan harta yang kupunya itulah aku biasa memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan, lalu aku sering memberikan kemudahan dalam pembayaran. Apabila seseorang tidak mampu membayarnya, maka aku membebaskan hutang tersebut,” Maka Allah Swt berfirman, “Berilah kelapangan kepadanya,” Abu Mas’ud berkata, seperti itulah aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,” (HR Muslim, Shahih Muslim, Juz 3, No Hadits 1560)
Demikianlah, tidak ada satu perbuatanpun yang luput dari penjagaan Allah. Berapapun nominal yang telah kita keluarkan (pinjamkan) dengan ikhlas, semua itu pasti akan terbalas. Cukup balasan di akhirat sajalah segala amal kebaikan orang-orang baik itu diberikan. Allahu a’lam


***) Ina Salma Febriany

Sabtu, 04 Juni 2016

MEREMEHKAN KESALAHAN KECIL

 Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah memandang kecil kesalahan (dosa) tetapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR Ath-Thusi).
Manusia tidak pernah lepas dari kesalahan (dosa), baik terhadap sesama maupun terhadap Allah. Baik itu kesalahan yang sifatnya ringan maupun berat, sengaja maupun tidak. Karena itu, manusia dalam bahasa Arab disebut insan dari kata dasar nasiya, yakni lupa atau lalai. 
Manusia sering kali lupa, sehingga melakukan kesalahan berulang-ulang. Allah SWT Maha Menerima tobat. Sebesar apa pun kesalahan yang dilakukan manusia, Allah selalu membuka pintu tobat bagi manusia. Tentu saja, tobat yang serius, sungguh-sungguh, kemudian berkomitmen untuk tidak mengulangi. 
Dengan kata lain, tobat nasuha, yakni tobat yang sebenar-benarnya. Ada orang yang mengaku telah bertobat, ternyata ia mengulangi lagi kesalahan itu dengan sengaja. Ini bukan tobat nasuha. Meskipun Allah Maha Pengampun dan Penerima tobat, manusia hendaknya tidak menyepelekan kesalahan terhadap-Nya. 
Seperti disinggung Nabi SAW pada hadis di atas, kita jangan pernah memandang kecil suatu kesalahan, tetapi pandanglah kepada siapa kita berbuat kesalahan. Dalam hal ini adalah Allah. Ada sebuah ungkapan, “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Semakin kita memupuk kesalahan-kesalahan kecil, maka jika kita biarkan ia akan membesar. 
Hal yang sama berlaku pula dalam hubungannya dengan sesama manusia. Jika kita melakukan kesalahan terhadap orang lain, kita mesti segera mendatanginya dan meminta maaf. Jangan sampai, kesalahan itu malah kita lakukan berulang-ulang, sehingga orang lain itu marah, lalu dendam, dan pada suatu saat melampiaskan dendam itu. 
Orang yang dimintai maaf juga hendaknya memberi maaf. Memberi maaf itu tindakan mulia. Nabi SAW seringkali dicela kaumnya, namun beliau selalu memaafkan. Hal itu terlihat, misalnya, pada hari penaklukan Makkah atau Fathu Makkah. 
Andaikata Nabi SAW mau, beliau bisa saja menghabisi semua orang kafir yang dulu memusuhi dan memerangi serta berusaha membunuh beliau dalam setiap kesempatan. Nyatanya, beliau memaafkan mereka, membiarkan mereka tetap hidup. Kecuali, para pengkhianat dan orang-orang yang tetap berusaha memerangi beliau. 
Kepada mereka, beliau memberikan hukuman yang setimpal.Jangan pernah meremehkan kesalahan kecil, karena setiap kesalahan akan dicatat oleh malaikat pencatat amal. Kelak, di hari kiamat, catatan itu akan dibeberkan ke hadapan orang yang terkait dengannya. 
Betapa malu dan menyesalnya orang yang catatan amalnya ternyata buruk, dan ia semakin masygul ketika menyadari bahwa kesalahan yang tercatat itu dulu ia anggap remeh sehingga ia terus melakukannya berulang-ulang. Pada akhirnya, kesalahan itu membesar dan tertera nyata di catatan tersebut.
Sebelum terlambat, marilah kita berusaha mengontrol diri kita, jangan sampai kita melakukan kesalahan sekecil apa pun. Dan jika ternyata kita telanjur melakukan kesalahan kecil, kita segera bertobat dan tidak mengulangi lagi. 
Kita mesti malu jika kita melakukan kesalahan kepada Allah, padahal Allah telah memberi banyak sekali karunia kepada kita yang tak terhitung. Betapa bodohnya jika kita membalas kebaikan Allah dengan kesalahan kita kepada-Nya, meskipun itu kita anggap kesalahan kecil. Wallahu a’lam.


***)  Nur Faridah –(Republika Online

Kamis, 02 Juni 2016

MENGGAPAI RAHMATNYA

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt menjadikan sifat rahmat seratus bagian. Maka, dipeganglah pada sisi-Nya sembilan puluh sembilan bagian dan diturunkan satu bagian ke bumi. Dari satu bagian rahmat itulah seluruh makhluk berkasih sayang kepada sesamanya sehingga seekor hewan mengangkat kakinya karena takut anaknya akan terinjak olehnya,” (HR Bukhari Muslim)
Allah ar-Rahmaan ar-Rahiim, sebab kasih sayang-Nyalah kita masih diberi usia hingga detik ini. Sebab kemahaan dan rasa cinta yang melebihi murka-Nyalah pula kita masih diberikan kenikmatan menghirup udara segar, merasakan makanan dan minuman yang lezat, mampu melihat, mendengar, berbicara, serta beberapa nikmat-Nya yang tidak mungkin mampu kita urai satu persatu.
Ketika sudah mendapatkan semua nikmat itu, maka bertakwa dan bersyukur adalah cara untuk melanggengkan nikmat-nikmat itu kendati Allah tidak pernah menantikan apalagi mengharapkan ucapan ‘terimakasih’ dari hamba-hambaNya. Namun, dengan sifatnya yang Maha Mensyukuri (Asy-Syakuur), Allah kelak dan selalu akan membalas rasa syukur yang diucapkan para hamba untuk-Nya.
Musthafa Sa’id Al Khin dalam Nuzhatul Muttaqina Syarhu Riyaadhi Shaalihiina, Juz 1 (1987: 382-383), menguraikan beberapa faedah dari hadits di atas, pertama sesungguhnya rahmat yang telah Allah SWT tetapkan di dalam hati hamba-hamba-Nya merupakan bagian dari ciptaan-Nya. Kedua, Kebaikan Allah Swt turunkan kepada mereka merupakan bagian dari keutamaan-Nya. Ketiga, Rahmat itu merupakan salah satu bagian yang Allah simpan bagi hamba-hambaNya yang mukmin pada hari kiamat.
Dalam hal ini, terdapat harapan paling besar dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman karena hanya satu rahmat yang Allah ciptakan bagi manusia di dunia, mereka (manusia) mampu berkasih sayang kepada sesamanya dan menjadi kebaikan bagi mereka, apalagi dengan seratus rahmat pada hari kiamat.
Karenanya, melalui rahmat-Nya yang telah dilimpahkan ke bumi ciptaan-Nya inilah, Allah memerintahkan kita untuk selalu menyambung silaturrahim, berbagi, saling tolong menolong dalam kebaikan dan berkasih sayang. Sesuai dari hadits yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid ra, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah diserahi cucunya yang telah meninggal, maka air mata beliau pun menetes. Lalu Sa’ad pun bertanya, “Ada apa wahai Rasulullah Saw?” beliau menjawab, “Ini adalah rahmat (kasih sayang) yang telah dijadikan Allah dalam hati para hamba-Nya. Sesungguhnya hamba Allah yang dirahmati oleh-Nya hanyalah orang yang memiliki kasih sayang,” (HR Bukhari dan Muslim)
Atau dalam Al haditsul Qudsiyyah karya Jamal Muhammad Ali Asy-Syuqairi, dari Abdurrahman bin Auf ra berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Allah berfirman, ‘Aku adalah Ar-Rahman (Yang rahmat-Nya meluas) yaitu Ar-Rahim (Yang rahmat-Nya khusus bagi orang-orang yang beriman). Aku ambil dia sebagai salah satu dari nama-Ku. Barang siapa yang menyambungnya, maka Aku akan menyambung hubungan dengannya. dan barangsiapa memutuskannya, maka Aku akan memutuskan hubungan dengannya sama sekali,” (HR Abu Daud)
Mari istiqamahkan diri untuk senantiasa mencintai, berbagi kebaikan dan menebar kasih sayang, agar rahmat Allah selalu tercurah untuk kita. Allahu a’lam.


***) Ina Salma Febriany—(Pusat data  Republika

Rabu, 01 Juni 2016

TARHIB RAMADHAN

Di antara 12 bulan dalam setahun, Allah telah memilih Ramadhan sebagai bulan kemuliaan yang penuh dengan keberkahan. Rasulullah SAW bersabda, "Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan. Allah telah mewajibkan kalian untuk berpuasa." (HR Ahmad). Dan, pada Ramadhan, Allah telah memilih satu malam yang nilai kebaikannya melebihi 1.000 bulan. (QS al-Qadr: 3). 
Ramadhan disebut sebagai bulan berkah karena banyaknya kebaikan yang telah ditetapkan Allah di dalamnya. Berkah atau keberkahan berarti menetap (ast-tsubut), bertambah (az-ziyadah), atau berkembang (an-nama'a), yaitu kebaikan dari Allah SWT pada sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa harta, pekerjaan, usia, keluarga, anak, hari, bulan, tempat, dan atau kehidupan yang kita lalui. 
Keberkahan pada Ramadhan berarti nilai kebaikan di dalamnya terus bertambah dan berkembang serta mendatangkan kebermanfaatan bagi manusia beriman. Semua itu adalah bentuk rahmat Allah untuk seluruh insan. Seperti, Allah menetapkan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya (permulaan) Alquran sebagai pedoman dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan (QS al-Baqarah: 185). 
Allah memilih semua hari pada Ramadhan untuk dipuasakan oleh orang-orang beriman agar meraih ketakwaan. (QS al-Baqarah: 183). Pada Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Dan, setan-setan dibelenggu. (HR Muslim). 
Sungguh ironi. Jika pintu surga telah dibukakan Allah, tetapi kebaikan sebagai jalan mudah memasukinya masih saja enggan dikerjakan. Sungguh ironi. Jika pintu neraka telah ditutup, masih saja ingin membukanya dengan melakukan kemaksiatan. Sungguh bebal saat setan-setan dibelenggu pada Ramadhan agar peluang beramal kebaikan dengan banyak orang beriman dimudahkan, masih saja mencari peluang untuk melakukan kehinaan.
Begitu istimewa dan mulianya Ramadhan, sepantasnyalah Muslimin mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Karena, ada beberapa makna atau pesan dari kegiatan penyambutan (tarhib) Ramadhan itu. Pertama, kegiatan menyambut jelas menunjukkan suasana hati yang penuh harap dan bahagia. Begitulah seharusnya sikap seorang Muslim menjelang kedatangan Ramadhan. Maka, Rasulullah mengajarkan doa dan berdoa, "Ya Allah, antarkan diriku kepada Ramadhan dan antarkan Ramadhan kepada diriku serta terimalah (amalan-amalan) Ramadhan dariku." (HR Abu Dawud).
Kedua, dari sisi yang disambut, yakni Ramadhan, jelas mengindikasikan keistimewaan dan kemuliaan. Ketiga, adanya sikap menyambut menunjukkan komitmen dalam menyikapi Ramadhan. Orang yang tak berminat dengan Ramadhan tak peduli dengan kedatangan Ramadhan. Oleh sebab itu, penyambutan Ramadhan dimaknai sebagai motivasi diri, kesungguhan, kesiapan, dan azam yang kuat untuk kedatangan Ramadhan.
Nabi SAW sebagai teladan sebenarnya telah memberi contoh tuntunan. Di antaranya, Rasulullah jauh hari telah berdoa kepada Allah agar diberkahi pada Rajab, Sya'ban, dan disampaikan usia kepada Ramadhan. 
Istri beliau, Aisyah RA, juga mengabarkan, "Aku belum pernah melihat Rasulullah berpuasa sebelum penuh, kecuali pada Ramadhan. Dan, aku belum pernah melihat Rasulullah lebih banyak berpuasa, kecuali pada Sya'ban." (HR Bukhari). Itulah di antara bentuk komitmen dan persiapan diri Rasulullah menjelang Ramadhan. Semoga menjadi teladan. Wallahu a'lam. 


***) Lidus Yardi---(Pusat Data Republika