Anas ra
berkisah, ada tiga orang datang menemui istri-istri Rasulullah untuk menanyakan
ibadah baginda nabi. Saat diberitahu mengenai ibadah Rasulullah, mereka merasa
sangat kecil. Rasulullah SAW yang sudah dijamin mendapat ampunan dan
surga Allah SWT ternyata melaksanakan ibadah 'berat'. Sungguh terasa sangat
jauh dibanding dengan mereka.
Orang pertama pun bertekad dan menyatakan akan shalat malam
terus menerus. Orang Kedua akan puasa sepanjang tahun tanpa henti. Orang ketiga
akan menjauhi perempuan dan tak akan menikah selamanya.
Ketika mendengar niat ketiga orang itu, Nabi bersabda, “Benarkah
kalian yang mengatakan akan shalat malam terus menerus, akan berpuasa setiap
hari, dan tidak akan menikah selama hidup? Bukankah, demi Allah, aku orang yang
paling takut di antara kalian kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya,
namun demikian aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga tidak
berpuasa, dan aku menikahi wanita? Barangsiapa tidak menyukai sunahku maka ia
bukan golonganku.” (HR Bukhori dan Muslim).
Sebagaimana sabda Nabi di atas, kita tidak dibenarkan untuk
melaksanakan agama dengan cara yang berlebih-lebihan. Untuk mengukur kadar
ibadah yang pas, tentu tidak mudah. Oleh karenanya, di samping memiliki tolok
ukur ibadah Nabi, juga harus melihat para sahabat serta sikap toleransi Nabi
terhadap apa yang diamalkan para pengikutnya.
Pada waktu berbeda, masih dikisahkan Anas bin Malik, Rasulullah
SAW menerangkan tentang laki-laki calon penghuni surga. “Sebentar lagi akan
muncul dihadapan kalian salah seorang ahli surga." Ketika diketahui
orangnya, seorang sahabat Abdullah bin Amr meneliti dengan bertamu bermalam di
rumahnya.
Setelah diamati ternyata ibadah orang itu biasa-biasa saja,
bahkan si peneliti sendiri merasa ibadah dia jauh lebih baik. Setelah berdialog
dan didalami maka diketahuilah bahwa kelebihannya adalah “tidak pernah berlaku
curang” dan “tidak iri” atas kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain.
Jadi, kekuatannya ternyata ada pada mental and moral attitude.
Dalam Alquran disebutkan, orang yang berlebih-lebihan dalam
beragama dikaitkan dengan doa dan pendekatan diri kepada Allah. Ketika
menderita, dia intensif berdoa, tapi saat lapang dia menyimpang.
“Dan, apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami
dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Tetapi, setelah Kami hilangkan
bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak
pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.
Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa
yang mereka kerjakan.” (QS Yunus 12).
***) Rizal Fadilah—(Pusat Data Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar