Kamis, 30 April 2015

KISAH ALLOUZI MENEMUKAN ISLAM

Perempuan itu bernama Kara Allouzi (45 tahun). Dia lahir dan besar di Amerika Serikat (AS). Kara masuk Islam pada 1993. Ia menikah dengan seorang Muslim, satu dari sedikit agen Islam yang baik.
Setelah menikah, Kara mulai belajar sedikit tentang Islam. Suaminya tidak pernah memaksa atau menghakimi perbuatan Kara. Sampai suatu ketika, suami Kara jatuh sakit. Pada saat yang bersamaan, sebuah sekolah Islam dibuka. Suaminya berharap anak mereka bisa masuk ke sekolah Islam. 
Awalnya, Kara enggan menyetujui permintaan itu. Bukan karena dia takut anaknya menjadi Muslim, tetapi karena dia tidak ingin menjadi orang asing di tengah suami dan anaknya. Lantaran suaminya tengah sakit, Kara menyetujui permintaan itu.
 
Namun, di sana lah hidayah itu datang. Sekolah itu menunjukkan pada Kara tentang indahnya Islam, bukan hanya dari sisi religius, tapi sebagai jalan hidup.
 
“Orang tuaku mendidikku untuk menjadi Kristen, tetapi pada saat yang bersamaan juga menjadi Muslim. Mereka selalu berkata padaku, ‘Jangan lakukan ini, jangan lakukan itu bukan karena kami, tetapi karena Allah melarangmu melakukan itu,” katanya, dilansir
 On Islam, Selasa (28/4). 
Kara berpikir jika sebenarnya ia telah menghabiskan seluruh waktu hidupnya sebagai seorang Islam, hanya dia saja dia belum mengetahui cara untuk menemukan Islam. Ayahnya Katolik, sementara ibunya Protestan. “Ketika ayah menikah dengan ibu, orang-orang mengucilkannya dari Gereja Katolik. Dia merasa sangat kecewa dengan gereja.”
 
Ketika akhirnya Kara tumbuh dewasa, kedua orang tuanya membiarkan Kara memilih agama yang terbaik baginya. Masalahnya, setiap kali Kara mendatangi gereja yang berbeda, mereka selalu berkata, jika kamu tidak mengikuti gereja ini, kamu akan masuk neraka. “Saya merasa sangat takut. Saya datang pada ayah dan ibuku, lalu berkata, “Aku takut untuk memilih yang salah.”
 
"Saya adalah direktur American ESL Center di Amman, Jordan. Kami mengajarkan Inggris kepada orang dewasa. Suami saya membantu, mendukung dan memberi petunjuk saat saya merasa lemah. Dia membantu saya berhubungan dengan orang-orang pemerintahan dan dunia Arab secara umum.”
 
Mereka bekerja bersama-sama untuk mempromosikan pusat studi. Bukan hanya untuk belajar bahasa Inggris, tetapi juga untuk mengajarkan pemahaman, toleransi, dan keramahan antara dua budaya. “Di masa yang akan datang, kami berharap dapat membuka beberapa pusat studi di Timur Tengah, di kawasan Gulf, di Siria dan Lebanon, insya Allah.” Kini, Kara telah memulai hidup barunya.

 (Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, sabar, syukur, )

Selasa, 28 April 2015

INIKAH PENYEBAB ORANG AMERIKA BANYAK MASUK ISLAM ?

Imam Besar New York, Shamsi Ali mengatakan jumlah warga AS yang memutuskan untuk masuk Islam semakin banyak pascakejadian 11 September 2001 lalu. Peningkatan tersebut didasari karena sifat terbuka dan rasa ingin tahu warga AS yang begitu besar.
Sehingga pada saat Islam dihubungkan dengan serangan 11 September maka warga AS banyak yang mencari tahu tentang Islam.  "Dan di sanalah banyak di antara mereka yang menemukan Islam yang sesungguhnya. Dan mereka menemukan Islam merupakan agama yang agung dan jauh dari apa yang mereka pikirkan selama ini," ujar Shamsi Ali kepada Republika, Sabtu (25/4).
Ia melanjutkan, banyaknya tindakan sekelompok orang atau golongan yang menimbulkan Islamophobia di berbagai negara justru tidak berpengaruh terhadap warga AS. Bahkan terkadang islamophobia menjadi penyebab orang-orang Amerika untuk belajar Islam.
Selain itu, meningkatnya warga AS yang masuk Islam karena semakin rasionalnya orang-orang Amerika, khususnya anak-anak muda. Sehingga agama orang tua mereka tidak lagi relevan dalam pemikiran anak muda Amerika. Agama Islam adalah agama yang sangat rasional. Sehingga bisa mengakomodir kebutuhan spiritulitas dan keterbukaan berpikir.
 
Bahkan, Kitab Suci Al Quran setelah kejadian 11 September menjadi buku paling banyak diburu dan dibeli.
 
"Memang disadari atau tidak terjadi kekosongan batin di Amerika dan di barat secara umum. Dan itu menjadikan masyarakat Amerika mencari pemenuhan batin tapi juga menjaga nilai-nilai modernitas," katanya.
Ia mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan Pew, jumlah warga AS yang memutuskan masuk Islam mencapai hingga 400% pascakejadian 11 September lalu. Ia menambahkan, Islam harus mengubah mindset dengan apa yang bisa dilakukan bukan dengan apa yang bisa didapat. Hal ini sebagai cermin bahwa umat Islam harus aktif dan berkontribusi lebih.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, syukur,)



***)Republika

Sabtu, 25 April 2015

10 SIFAT WANITA DAMBAAN UMAT

Membahas tentang wanita tidak akan ada habisnya. Meskipun pembahasannya diulang maka tetap akan menemukan hal baru yang seakan belum pernah ada pembahasan sebelumnya. Itulah keunikan dan keistimewaan seorang wanita.
Da
lam Alquran surat al-Ahzab [33] ayat 35, Allah SWT menyebutkan sepuluh sifat yang melekat dalam diri seorang wanita yang menjadi dambaan umat. Yang dari rahim wanita seperti itu akan lahir generasi unggul sebagai dambaan umat pula.
Seperti apa sifat wanita yang menjadi dambaan umat itu? Yaitu, pertama,al-muslimat. Wanita yang patuh taat dan tunduk kepada Allah SWT. Dengan karakter seperti itu seorang wanita akan dapat mempertahankan keimanannya meskipun badai menghampirinya.
Kedua, al-mukminat. Yaitu, wanita yang teguh dalam keimanan. Iman menjadi barometer kualitas keislaman seorang wanita. Ia yang menjadi dambaan umat, yang dapat mengaplikasikan nilai-nilai keimanan yang diwujudkan melalui ibadah individual dan sosial dalam kehidupan nyata.
Ketiga, al-qanitat. Yaitu, wanita yang ahli ibadah. Seorang wanita yang istikamah dalam menjalankan ibadah, baik yang wajib maupun sunah, yang dibingkai dengan penuh keikhlasan semata karena-Nya.
Keempat, ash-shadiqat. Yaitu, wanita yang benar (jujur). Seorang wanita yang senantiasi menghiasi diri dengan kejujuran. Jujur dalam hati, lisan, tindakan, dan sikap yang sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.
Kelima, ash-shabirat. Yaitu, wanita yang sabar. Seorang wanita yang mampu bersabar dalam berbagai keadaan. Sabar dalam menjalankan perintah-Nya, dalam meninggalkan larangan-Nya, dan dalam menghadapi berbagai bentuk ujian dan cobaan.
Keenam, al-khasyiat. Yaitu, wanita yang khusyuk. Seorang wanita yang dapat menjaga kekhusyuan dalam beribadah kepada-Nya. Sehingga, ia dapat merasakan adanya pengawasan dari-Nya (muraqabatullah).
Ketujuh, al-mutashaddiqat. Yaitu, wanita yang senang bersedekah. Sedekah menjadi salah satu perhiasan diri yang hendaknya dilestarikan oleh setiap wanita. Karena sedekah dapat menarik cinta Allah, para malaikat, dan manusia.
Kedelapan, ash-shaimat. Yaitu, wanita yang rajin berpuasa. Rasul SAW bersabda, “Jika seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, niscaya akan masuk surga dari pintu-pintu yang ia inginkan.” (HR Ibnu HIbban dan Thabrani).
Kesembilan, al-hafidzat. Yaitu, wanita yang menjaga kehormatan. Kemuliaan seorang wanita diukur dari sejauhmana ia dapat menjaga kehormatan dirinya melalui cara berbusana, bertutur kata, berjalan, bergaul, dan yang lainnya.
Kesepuluh, adz-dzakirat. Yaitu, wanita yang banyak berdzikir. Tipe wanita yang selalu istikamah berdzikir dalam berbagai kesempatan, tempat, dan waktu. Sehingga, hatinya senantiasa terpaut dengan Sang Pencipta.
Semoga Allah SWT membimbing kita para wanita untuk istikamah menjaga sepuluh sifat di atas agar dapat melahirkan generasi dambaan umat. Amin. Wallahu a'lam
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan., takwa)


Hj Siti Mahmudah MPd

Jumat, 24 April 2015

TUJUH PERBUATAN PENGHANCUR AMAL

Setiap Muslim berharap dapat beramal saleh sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Amal saleh yang banyak dan baik bisa menjadi bekal keselamatan dunia dan akhirat. Namun, patut diketahui segala amal saleh bisa lenyap nilainya dari Allah SWT jika seorang Muslim melakukan satu dari tujuh perbuatan yang dilarang. Astaghfirullah.
Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan umatnya untuk menjauhi tujuh perbuatan ini. Apa saja itu? Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah tujuh dosa penghancur (amal).” Para sahabat Nabi bertanya, “Apa yang tujuh itu?” Nabi menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah larang kecuali dengan hak (hukum), memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri saat pertempuran berkecamuk, menuduh (zina) wanita mukminah yang memelihara kehormatannya.” (HR Bukhari).
Larangan untuk berbuat syrik tertuang dalam firman Allah SWT (QS al-Furqan [25]: 23). Bukan sekadar menghancurkan amal saleh, perbuatan syirik juga tidak terampuni apabila pelakunya belum sempat bertobat sampai ajal menjemput (QS an-Nisa’ [4]: 48), keluar dari Islam dan menjadi halal darah dan hartanya (QS at-Taubah [9]: 5), dan pelakunya haram masuk surga (QS al-Maidah [5]: 72).
Kedua, sihir. “Barang siapa yang mengikat suatu ikatan (buhul), lalu ia meniupnya maka sungguh ia telah menyihir. Barang siapa yang menyihir maka sungguh ia telah berbuat syirik. Barang siapa menggantungkan diri kepada sesuatu maka ia akan diserahkan kepada sesuatu itu.” (HR an-Nasa’i).
Ketiga, Membunuh tanpa hak. “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS al-Maidah [5]: 32). Keempat, memakan riba. Dari Jabir, Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, nasabah riba, juru tulis, dan dua saksi transaksi riba. Nabi bersabda, “Mereka itu sama.” (HR Muslim).
Kelima, memakan harta anak yatim. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke api yang menyala-nyala (neraka).” (QS an-Nisa’ [4]: 10).
Keenam, lari dari peperangan. Melarikan diri saat perang sedang berkecamuk itu sebagai perbuatan dosa besar dan bagi pelakunya akan mendapat dua ancaman, yaitu murka Allah dan siksa api neraka. (QS al-Anfal [8]: 15-16).
Ketujuh, menuduh wanita berzina. “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS an-Nur [24]: 4). Semoga Allah membim bing kita agar terhindar dari tujuh dosa yang menghancurkan amal. Aamiin.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur,takwa, pendidikan, )


***)Imam Nur Suharno

Rabu, 22 April 2015

YUK ... MENJAGA KELUARGA AL-QURAN

“Baca!”. Sendiri, di gua sunyi. Tiba-tiba Muhammad merasakan dirinya seperti didekap sosok tak berupa. Hanya suara yang memaksanya bicara. Dalam kondisi tiba-tiba tanpa tanda-tanda, tentu hanya takut yang ia rasa.
“Aku tak bisa!” Itulah jawaban yang Muhammad bisa. Sedangkan, Jibril, sosok tak berupa itu, semakin erat mendekap, lalu mengulangi perintahnya.
“Baca!”
“Aku tak bisa!”
“Baca!”
“Aku tak bisa membaca!”
Seraya tetap mendekap, Jibril kemudian membacakan firman Tuhan kepada Nabi Muhammad yang ketakutan, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Sang Pencipta. Ia menciptakan manusia dari segumpul darah. Bacalah! Tuhanmu Maha Pemurah telah mengajar manusia dengan pena, apa yang tidak mereka tahu (QS al-Alaq [96]: 1-5).
Nabi mengulangi kata-kata yang diucapkan malaikat itu yang kemudian meninggalkannya. Beliau berkata, “Sepertinya kata-kata itu tertanam dalam hatiku.” Itulah wahyu pertama yang Muhammad terima, tepatnya pada Senin, 17 Ramadhan, saat ia berusia 40 tahun, enam bulan, dan delapan hari.
Selanjutnya, Alquran turun berangsur-angsur, ayat demi ayat, dalam kurun waktu sekitar 23 tahun yang terbagi dalam dua periode: periode Makkah (berlangsung sekitar 13 tahun dan ayat-ayat yang turun pada periode ini disebut Makkiyah) dan periode Madinah (berlangsung sekitar 10 tahun dan ayat-ayatnya disebut Madaniyah), sampai kemudian terhimpunlah Alquran utuh yang terdiri atas 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Susunan semacam itu, termasuk nama-nama surah, merupakan penetapan Rasulullah sendiri (tawqifi) dengan bimbingan malaikat Jibril.
Selama proses itu, setiap Ramadhan, Rasulullah SAW selalu membacakan kepada Jibril ayat-ayat yang telah turun sebagai verifikasi.
Allah telah berjanji, Alquran akan selalu terjaga. “Kami yang menurunkan Alquran dan Kami yang menjaganya (QS al-Hijr [15]: 9). Keterjagaan tersebut terbukti dengan adanya para penghafal Alquran dan penulisan (pencetakan) mushaf yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah hingga masa ini.
Menjadi penghafal Alquran, yakni menjadi keluarga Alquran. Tentu yang namanya keluarga, saat kondisi sedih maupun bahagia selalu bersamanya. Mereka akan selalu bersamanya setiap waktu. Singkatnya, mereka hidup bersama Alquran dalam senang maupun susah. Keluarga itu tercermin dari ikatan cinta orang tua terhadap anak atau sebaliknya. Satu sama lain saling menyayangi, baik kala susah maupun senang.
Begitu juga dengan penghafal Alquran. Alquran menjadi bagian dirinya. Ke manapun ia pergi, Alquran tak pernah dilupakan. Keduanya telah melekat, tak bisa dipisahkan. Ketika sedih, ia membaca Alquran agar mendapat penghiburan dan penguatan dari yang dibacanya. Begitu juga saat senang, ia membaca Alquran agar selalu diingatkan untuk tidak berlebihandan mensyukuri atas kesenangan yang didapatnya itu.
Dari sini terungkap perihal salah satu tujuan menghafal Alquran. Ya, tujuan menghafalnya, yakni agar kita selalu berinteraksi setiap hari dengan Alquran. Inilah barangkali tujuan yang tersembunyi dari menghafal Alquran. Dengan menghafalnya setiap hari, secara tidak sadar kita sedang membangun kedekatan dengan Alquran. Aduhai, betapa nikmatnya apabila kita selalu dekat dengannya.
Setelah kita berinteraksi dengannya secara intens, langkah selanjutnya, yaitu mengamalkannya. Pengamalan inilah sesungguhnya tujuan yang paling tinggi dari menghafal Alquran. Jadi, bukan hanya dihafal saja, melainkan juga diamalkan kandungannya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya” (HR Bukhari).
Mengajarkan sama saja dengan mengamalkan, kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mengajarkan tanpa mengamalkannya sama saja membohongi diri sendiri. Hal ini seperti diilustrasikan oleh Rasulullah SAW bahwa seorang mukmin yang tidak mengamalkan ajaran Islam, sama halnya pohon tanpa berbuah.
Semoga kita selalu menjadi ahli Alquran, yakni yang membaca, menghafal, kemudian mengamalkan kandungannya. Aamiin. Wallahu a’'lam. 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, takwa,sabar, syukur, )


*** M. Iqbal Dawami

Selasa, 21 April 2015

MANFAAT PERBANYAK ISTIGFAR

Assalaamu alaikum warahmatullaahi wabarkaatuh. Bang, wirid apa yang kubaca agar aku keluar dari banyak masalah dan kesulitan rizki setelah terus sabar, ikhtiar, doa, berbaik sangka, optimistis, dan tawakal?
Jawabnya, perbanyak istigfar. Coba sahabatku buka surah Nuh ayat 10 -13, dengan banyak istigfar, Allah bukakan "biamwaalin" rizki yang melimpah.
Rasulullah bersabda, "Barang siapa membiasakan istigfar, maka Allah mudahkan saat sulit, Allah tunjukkan jalan keluar dari masalahnya, dan Allah beri rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Dosa itu membuat masalah, gelisah, dan sial, "Kemalangan kemalangan kalian karena dosa-dosa kalian" (QS Yasin 19), kalaupun sukses karena dosa itu "istidraaj" kesenangan sesaat dan semu, kemudian akhirnya bala juga.
Dengan istigar, Allah angkat dosa. Dengan terangkat dosa, terangkatlah masalah, gelisah, dan kesialan. Saatnya bagi sahabatku untuk selalu beristigfar saat berdiri, duduk, berbaring, dirumah, dikendaraan, dikantor, dipasar, dimana saja dan setiap selesai shalat Fardhu untuk tidak buru buru beranjak, beristigfar lebih dulu, dan terutama beristigfar dikeheningan malam (QS Azh Zhaariyaat : 18).
"Do it right now, you find it insya Allah...aamiin". 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa, )


***) KH. Muhammad Arifin Ilham

Minggu, 19 April 2015

SOMBONG PENYAKIT JIWA YANG TIDAK TERASA

Islam mengajarkan pemeluknya memiliki sifat tawadhu (rendah hati), mengakui terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Sifat tawadhu menyadarkan seseorang selalu memohon ampun kepada Allah dengan beristighfar. Rasulullah SAW mencontohkan istighfar paling sedikit sebanyak 100 kali setiap hari.
Merasa diri suci merupakan kesombongan, merasa paling berkuasa termasuk ketakaburan, merasa paling benar ialah kebodohan. Kesombongan cenderung merendahkan, menyalahkan orang lain, dan merasa dirinya yang paling benar.
Sombong dan ria merupakan penyakit jiwa yang tidak terasa. Bahaya laten yang menyelinap di setiap hati manusia. Jika saja tidak diawasi oleh kebeningan hati dan dibimbing oleh iman yang kuat, niscaya akan bersemayam di hati dan menjadi kepribadian yang susah dihilangkan.
Secara teologis sombong merupakan salah satu sifat yang diwariskan setan kepada manusia. Setan dilaknat Tuhan karena menolak perintah untuk bersujud kepada Adam karena merasa lebih mulia kedudukannya. Bila Adam tercipta dari tanah, dirinya berasal dari api. Bagi setan api lebih mulia dari tanah. Padahal di hadapan Allah, semua makhluk sama dan yang membedakannya, yaitu derajat ketakwaan.
Firaun yang mengaku dirinya Tuhan karena merasa paling berkuasa. Qarun sombong karena merasa dirinya paling kaya. Kesombongan menguasai jiwa dan pikiran manusia karena “merasa paling kaya, cantik, tampan, berkuasa, gagah, suci, benar” dan segala pikiran yang merasa “lebih” dibandingkan orang lain.
Padahal, segala simbol kehidupan yang disebutkan tadi semuanya milik Allah semata, hanyalah titipan sementara untuk dipergunakan beribadah kepada-Nya. Namun, semua perhiasan duniawi itu kerap membuat manusia lupa diri.
Dalam Alquran surah al-A’raf ayat 48, Allah SWT mengingatkan bahwa segala hal yang disombongkan itu tidak ada manfaatnya sama sekali. “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu.”
Dalam teladan kenabian kita melihat, Nabi Daud yang berkuasa tetap rendah hati, Nabi Sulaiman yang kaya raya tetap tawadhu, Nabi Musa yang pintar tetap merasa kurang, Nabi Muhammad SAW yang paling taat dan suci tetap beristighfar lebih dari 100 kali setiap hari. Itu semua karena mereka menyadari kekurangannya dan menghindari kesombongan dalam jiwa mereka.
Hidup di dunia ini hanya sebentar, seperti orang yang singgah di perjalanan. Umur manusia bagaikan orang yang menyeberang jalan. Keabadian itu ada pada kehidupan yang akan datang. “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS al-Qashash [28]: 83).
Mesti disadari bahwa dalam segala aspek kehidupan terdapat kesempatan untuk ria dan sombong, bahkan dalam ibadah sekalipun sombong bisa hadir dalam bentuknya yang lain. Misalnya, ingin dipuji orang, dipandang saleh, alim, dan suci. Semua itu termasuk jebakan yang harus diwaspadai. Ikhlas dalam beribadah merupakan penangkalnya, kontinu terus-menerus ialah obatnya, tak terganggu oleh kemeriahan, harapan mendapat pujian dan penilaian dari orang lain.
Harta hanyalah alat untuk beribadah. Jabatan merupakan amanah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada sesama. Ditakdirkan mempunyai paras cantik atau tampan untuk lebih bersyukur kepada Zat Pencipta, seperti diteladankan oleh Nabi Yusuf AS, bukan untuk dipertontonkan apalagi diperjualbelikan. Semua termasuk ujian agar manusia tetap beriman, beribadah, dan berakhlak mulia dalam hidup keseharian.
Janganlah bersifat tinggi hati karena hal itu hak Allah SWT. Ia murka kepada orang yang menyaingi-Nya dan menyindirnya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung,” (QS al-Isra [17]: 37). Wallâhu’alam. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )

***)Republika

Jumat, 17 April 2015

BAGI ORANG BERIMAN, KEMATIAN ADALAH KEHARUSAN

Setiap manusia yang hidup di dunia hakikatnya sedang menjauhi alam dunia dan menuju akhirat. Kedua alam ini dipisahkan dengan kematian. Dan, manusia itu adalah kumpulan dari hari-hari. Setiap hari berlalu,terkelupaslah hari itu dari dirinya dan tak mungkin menempel lagi. Hingga hari itu tak tersisa lagi darinya setelah sampai pada batas akhir usia, yaitu kematian.
Kematian adalah pemutus segala kenikmatan dan pemisah berbagai kebahagiaan. Kekayaan melimpah yang dimiliki, dijauhi. Orang-orang yang dicintai dan yang mencintai, ditinggalkan. Karena kematian pula, seorang anak menjadi yatim, seorang istri menjadi janda, dan seorang suami menjadi duda.
Untuk mendapatkan balasan atas usaha manusia saat di dunia, keturunan Adam harus melalui terlebih dahulu pintu kematian. Selain itu, Allah SWT menciptakan kematian dan kehidupan sebagai sarana untuk mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang paling baik amalnya.
“(Dialah Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan, Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS al-Mulk [67]: 2).
Tak seorang pun mengetahui di mana dan kapan kematian akan menjemputnya. Hanya Allah Ta'ala Yang Maha Mengetahuinya. Karena itu, seorang hamba diperintahkan untuk selalu menjaga dirinya dari azab Allah dengan sebenar-benar takwa. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran [3]: 102).
Waspadalah! Jangan sampai manusia didatangi kematian saat mereka durhaka kepada Allah. Nabi SAW menegaskan, “Bertakwalah kalian kepada Allah di mana saja kalian berada.” (HR At Tirmidzi dari sahabat Abu Dzar Jundub bin Junadah dengan derajat hasan shahih).
Bermegah-megahan telah melupakan manusia dari mengingat kematian dan taubat kepada Allah, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk kedalam kubur.” (QS at Takaatsur [102]: 1-2). Dan, hiruk pikuk maksiat dan gemerlapnya telah menutup hati dan mengotori nurani sehingga manusia (orang kafir) lebih memilih dunia. “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” (QS al-Ala [87]: 16).
Namun, bagi orang-orang beriman lagi cerdas, kematian adalah sebuah keharusan. Mereka mempersiapkan diri dan berbekal untuk menyongsong kehidupan setelah kematian. Rasulullah SAW bersabda, “Orang cerdas adalah orang yang mengendalikan nafsunya dan beramal untuk hari setelah kematian.” (Al-Hadits). Di sisi lain kematian adalah pintu masuk untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat yang lebih baik dari tipu daya dunia dan gemerlapnya itu, “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS al-A'la (87) : 17).
Belum terlambat bagi kita untuk mempersiapkan dan menyongsong kematian dengan mempertajam kesalehan, baik saleh pribadi maupun saleh sosial. Wallahu a'lam. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar,  syukur, takwa, )

***)Ahmad sholeh

Kamis, 16 April 2015

KEAJAIBAN ITSAR

Itsar adalah mengutamakan orang lain dalam perkara mubah meskipun kita membutuhkan. Itsar juga bisa berarti mencintai apa yang ada pada saudara kita sebagaimana kita mencintai hal tersebut ada pada diri kita. Menurut ulama, itsar adalah tingkatan ukhuwah dan mahabbah yang tertinggi.
Dalam kitab Samirul Mukminin karya Syekh Muhammad Al-Hajjar dikisahkan, dahulu pernah ada beberapa orang saleh yang berjumlah 30 orang bepergian bersama dalam sebuah safar.
Mereka memiliki roti yang jumlahnya terbatas dan tidak mencukupi semua. Lalu roti-roti itu dipotong-potong. Mereka bersepakat memadamkan lentera agar satu dan lainnya tidak saling melihat siapa yang tidak dapat bagian. 
Mereka kemudian duduk bersama untuk makan. Saat lentera kembali dinyalakan, ternyata roti masih utuh seperti semula tanpa seorang pun yang memakannya karena sifat itsar terhadap orang lain dibanding diri sendiri. Mereka tidak memakannya, khawatir rekannya yang lain tidak dapat bagian.
Itsar itu tandanya adalah memberi dan berbagi. Mencintai saudara kita adalah berani berbagi. Dengan alasan paling mendasar, kebaikan berbagi itu akan kembali kepada diri si pemberi.
Yaitu jika kita ingin melipatgandakan akumulasi kebaikan kita dan daftar amal yang banyak, itu tidak mungkin terjadi bila hanya melakukan kebaikan untuk diri sendiri. Sebab, kita hanya satu per orang.
Akumulasi kebaikan hanya bisa didapatkan bila kita membagi kebaikan kepada orang lain sebanyak mungkin. Pelipatgandaan ini bahkan melampaui batas-batas waktu dan tempat, apalagi jika kebaikan yang kita rintis menjadi cerita, bahkan bisa diadopsi dan ditiru orang lain.
Tidak termasuk itsar ketika kita masih mengurus kebutuhan kita dan keluarga kita serta menghitung-hitungnya dengan melupakan kebutuhan orang-orang terdekat kita. Kesibukan kita hanya untuk mencukupi isi dapur kita, tidak berpikir membantu memikirkan dapur tetangga apakah sudah mengepul atau belum. 
Rasulullah SAW menyindir keras perilaku tersebut. “Tidaklah beriman kepadaku orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sementara tetangganya lapar, sedangkan dia mengetahuinya.” (HR. Hakim)
Sifat itsar akan bersemai dalam kepribadian kita jika dimulai dari rumah tangga kita masing-masing. Antara satu anggota keluarga dan yang lainnya saling mengutamakan, bukan ingin selalu diutamakan. Belajar untuk saling peduli akan kebutuhan masing-masing.  
Dikisahkan, dalam sebuah rumah kaum salaf terdapat seikat buah anggur milik salah seorang penghuni rumah itu. Dia lalu memberikan anggur itu kepada saudarinya. Saudari yang diberi itu memberikan lagi kepada saudarinya yang lain. Lalu saudarinya itu memberi ibunya. Ibunya menyembunyikan seikat anggur itu untuk dihidangkan kepada suaminya. 
Sang suami malah memberikannya kepada si anak yang pertama, pemilik dari seikat anggur itu. Demikianlah, seikat anggur itu beralih dari satu tangan ke tangan yang lain karena sifat itsar yang dimiliki satu keluarga tersebut.
Mencintai orang yang kita cintai adalah upaya kita memiliki jumlah kebaikan yang banyak dari kebaikan yang kita tanam untuk diri kita. Akumulasi kebaikan kita akan sangat terbatas bila itu hanya berupa kebaikan untuk diri kita sendiri.
Artinya, bila tidak memiliki tempat untuk meletakkan perbuatan baik, kita tidak akan memiliki pengali yang bisa memperbanyak jumlah perbuatan baik kita.
Nikmatnya ukhuwah dan mahabbah antarsesama merupakan karunia Allah SWT yang luar biasa. Kita patut bersyukur memiliki orang-orang yang kita cintai dan mereka pun mencintai kita. 
Rasa cinta itu sendiri tumbuh dengan caranya sendiri yang kadang tidak mudah kita mengerti. Hanya sifat itsar yang bisa mewakili kecintaan dan persaudaraan itu. Sebab, itsar merupakan bukti cinta dan persaudaraan yang tulus.   (Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan,sabar, syukur, takwa, )



***)TGH Habib ziadiltsar

Rabu, 15 April 2015

CARA HILANGKAN DENDAM

Menjadi sebuah hal yang wajar ketika seorang membalas keburukan dengan keburukan serupa sebagaimana seorang membalas kebaikan dengan kebaikan yang serupa, bahkan lebih baik lagi. Islam mengajarkan untuk senantiasa membalas kebaikan orang lain. Ketika seseorang memberi uang 10 ribu rupiah kepada kita, kemudian suatu saat kita memberikan kepadanya 20 ribu rupiah, maka itu merupakan perbuatan yang mulia.
Membalas kebaikan dengan kebaikan memang sangat dianjurkan dalam agama. Begitu juga membalas keburukan yang kita terima dengan kebaikan. Hal ini menempati derajat yang sangat mulia. Misalkan, kita bersilaturahim kepada orang yang memutus silaturahim dengan kita, mengucapkan kata-kata lembut dan manis kepada orang yang selalu menyakiti kita dengan ucapannya yang kotor, atau kita memberikan sedekah kepada orang yang senantiasa bakhil kepada kita.
 Termasuk hal yang sangat mulia adalah menghilangkan dendam dalam diri kita. Dendam adalah sebuah sikap marah dan tidak suka kepada orang lain. Dendam yang kita simpan dan sewaktu-waktu bergejolak akan mengakibatkan kita kehilangan kontrol dan mudah melakukan berbagai macam kekerasan.
Api dendam sungguh sangat menghancurkan kehidupan seseorang, keluarga, bahkan masyarakat. Dendam juga akan menghilangkan akal sehat seseorang sehingga akan menerjang segala rambu larangan. Seorang anak kadang dengan kejamnya memutilasi orang tuanya karena dendam, ibu tega membunuh anaknya karena dendam berebut harta warisan, teman rela melakukan konspirasi membunuh orang terdekatnya juga karena dendam. Begitu bahayanya dendam sehingga Alquran memasukkan di antara golongan yang bertakwa adalah yang mampu menahan amarahnya. “Dan bersegeralah kalian menuju surga yang seluas langit dan bumi, ia disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) Mereka orang-orang yang menginfakkan dalam keadaan senang maupun susah, orang-orang yang mampu menahan amarahnya dan orang-orang yang memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang baik.” (QS Ali Imran: 133-134).
Rasulullah Muhammad SAW juga bersabda, “Orang yang kuat bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang bisa menjaga dirinya dari marah.” Beginilah seharusnya kita menampilkan akhlak seorang Muslim yang senantiasa lembut dan jauh dari aroma dendam dan provokatif. Hendaknya kita menghindarkan diri dari segala perbuatan teror maupun radikal karena justru semakin kita kasar kepada manusia maka mereka akan lari menjauhi kita. Dakwah yang kita usung akan mereka tolak jika kita menyampaikan dengan cara yang kurang santun dan kasar.
Rasulullah SAW ketika penaklukkan Kota Makkah telah memberikan contoh bagaimana berharganya nilai sebuah kesantunan. Saat orang-orang Makkah sudah pasrah dan menyerah menunggu apa yang akan dilakukan Rasulullah SAW, Nabi pun memberikan maaf kepada mereka. Padahal, dulu saat beliau bersama sahabatnya berada di Makkah selalu diganggu, ditindas, dan dihalangi melakukan berdakwah.
Dengan sifat lembutnya tersebut, Rasulullah berhasil memperkenalkan potret Islam yang lembut sehingga hal inilah yang menjadikan banyak orang tertarik kepada Islam. Setelah itu, banyak orang-orang  dari suku  yang belum masuk Islam berbondong-bondong masuk Islam setelah melihat kekuatan dan kelembutan Islam.
Sifat dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya dengan sifat lembut segala sesuatu menjadi indah dan mudah. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, takwa, sabar, syukur, pendidikan, )



***)Ahamd syafiul anam

Selasa, 14 April 2015

MENYIAPKAN HARI ESEOK

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Mundzir bin Jarir, dari ayahnya, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW pada permulaan siang. Lalu, ada suatu kaum yang mendatangi beliau dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, membungkus diri dengan kulit macan atau sejenis mantel dengan menyandang pedang. Kebanyakan mereka berasal dari Mudhar, bahkan seluruhnya berasal dari suku Mudhar."
Maka, (raut) wajah Rasulullah pun berubah ketika melihat keadaan mereka yang demikian miskin itu. Kemudian, beliau masuk, lalu keluar lagi dan memerintahkan Bilal mengumandangkan azan. Maka, Bilal mengumandangkan azan, kemudian iqamah. Lalu, Rasulullah SAW mengerjakan shalat, setelah itu beliau berkhutbah.
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu,”-sampai akhir ayat-Lalu, beliau membaca ayat (yang artinya), “Dan, hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
Kemudian, seseorang menyedekahkan sebagian dari dinar, dirham, pakaian, satu sha' gandum, dan satu sha' kurma ….-hingga akhirnya Rasulullah SAW bersabda, "… meskipun hanya dengan satu belah kurma.” (HR Muslim).
Demikianlah yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sebelum menjelaskan tentang makna atau kandungan dari surah al-Hasyr ayat 18 yang memerintahkan setiap Muslim untuk menyiapkan hari esok, yang ternyata bukan soal menimbun harta, melainkan justru menyedekahkannya kepada orang-orang yang sangat membutuhkan.
Dengan demikian, bisa diambil pemahaman, sedekah kepada orang yang sangat membutuhkan adalah cara terbaik seorang Muslim untuk benar-benar bahagia pada hari esok (dunia-akhirat). Dan, bersegera dalam sedekah, meski itu hanya satu belah kurma, sudah cukup untuk mempermudah kehidupan kita pada hari esok yang sekaligus menyolusikan kesulitan sesama.
Dengan kata lain, peka dan peduli terhadap kebutuhan sesama (dengan bersegera melakukan sedekah), utamanya mereka yang memang benar-benar membutuhkan pertolongan adalah wujud nyata keimanan seorang Muslim. Bahkan, itulah manivestasi dari ketakwaan seorang Muslim.
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS al-Baqarah: 3).
Inilah salah satu perkara yang setiap Muslim harus perhatikan setiap harinya. Ibnu Katsir menjelaskan, “Dan lihatlah apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sendiri berupa amal saleh untuk hari kemudian dan pada saat bertemu dengan Rabb kalian.”
Maka, sungguh tidak mengherankan jika sahabat-sahabat Rasulullah, seperti Khadijah, Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf, berlomba-lomba untuk menyedekahkan hartanya di jalan Allah.
Ternyata, semua itu adalah wujud kesungguhan mereka dalam mempersiapkan kebahagiaan kehidupan mereka pada hari kemudian.
Subhanallah, demikian indahnya ajaran Islam. Kebahagiaan hari esok ternyata tidak semata-mata ditentukan oleh kualitas ibadah kita secara pribadi.

Tetapi, juga dipengaruhi oleh sejauh mana kepedulian kita kepada sesama yang membutuhkan. Dan, itulah tabungan masa depan yang sesungguhnya. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, syukur, sabar, takwa, )

***)imam nawawi

Senin, 13 April 2015

SEBUTIR KURMA PENUH BERKAH

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Adi ibn Hatim bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Berlindunglah dari api neraka sekalipun hanya dengan (sedekah) sebutir kurma.” Dalam riwayat lain ada tambahan, “Kalau itu pun tidak ada (kurma), maka (sedekah) dengan kata-kata yang baik”.
Inilah gambaran konsistensi keimanan seseorang untuk senantiasa beramal saleh. Konsisten sedekah walaupun sedikit adalah awal untuk bersedekah yang lebih banyak.
Ibnu Hajar mengatakan, “Tidak boleh meremehkan dan memandang rendah orang yang bersedekah dengan sedikit hartanya, sedikitnya saja sudah bisa menghindarkannya dari api neraka”.
Kata “sebutir kurma” dalam hadis di atas merupakan mubalaghah fil qillah, kiasan tentang amal-amal yang ringan, bahkan paling ringan di mata manusia, namun bernilai tinggi di mata Allah SWT.
Allah SWT berfirman, "Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya". (QS al-Zalzalah: 7)
Bersedekah tidak mesti selalu banyak, bersedekah juga bisa dengan memberi sekali banyak dan sesekali ala kadarnya. Inilah yang dicontohkan oleh Siti Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, ia biasa memberi makan fakir miskin yang setiap hari menemuinya.
Yang menarik, terkadang ia memberikan semua makanannya, terkadang hanya memberi sebutir anggur. Bersedekah tidak mesti dengan harta. Kita tidak mampu bersedekah dengan harta, maka dengan kata-kata yang baik pun dijamin oleh Rasulullah Saw sebagai sedekah.
Kalimat yang baik akan menjadi sedekah jika bermanfaat bagi yang mengucapkan sendiri dan orang lain yang mendengarnya. Bagi diri sendiri akan terasa damai, tentram dan tenang jika kita senantiasa berkata dengan baik. Tidak menyindir orang lain, tidak melukai orang lain. Dengan begitu tidak akan pernah mempunyai musuh.
Bersedekah membimbing jiwa untuk menjadi pemurah, dan jauh dari serakah. Cukuplah kisah Qarun menjadi pelajaran berharga. Pemuda dari bani Israil yang memperoleh kelapangan rizki, hingga kunci gudang hartanya saja tidak mampu dibawa oleh para pekerjanya seorang diri.
Setiap kali kaumnya memohon bantuan dan kemurahnnya ia tolak. Setap kali penasehatnya memberi nasehat, tidak bertambah kecuali Qarun semakin sombong. Dan tidak berapa lama Allah SWT pun melenyapkan seluruh kenikmatan itu, harta lenyap dan istana pun ditelan bumi.
Bersedekah berarti mengimplementasikan doa sapu jagat yang sering diucapkan selesai shalat. Berharap bahagia di dunia, kemudian dilanjutkan dengan kebahagiaan di akhirat.
Kejahatan yang sering terjadi, hilangnya rasa aman di jalanan, pembegalan dimana-mana, pencurian di perumahan-perumahan mewah dan kejahatan lainnya. Itu semua bukan saja karena kemiskinan harta akan tetapi bisa juga dikarenakan kemiskinan struktural yang disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan keenganan berbagi.
Sedekah menjadi instrument penting untuk antisipasi kejahatan yang mungkin terjadi, sebab dalam sedekah ada ikatan yang terjadi antara yang kaya dan yang miskin.
Memberi makan orang yang membutuhkan berarti memberikan jaminan kesejahteraan bagi yang diberi dan keamanan bagi yang memberi karena tidak akan diganggu keamanannya oleh yang diberi.
Dan sebagai langkah awal adalah dengan melakukan edukasi yang tepat mengenai konsep sedekah sehingga muncul kesadaran akan pentingnya mengeluarkan zakat, infak dan dana sosial keagamaan lainnya.Wallahua’lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar. syukur, sabar, takwa)

Minggu, 12 April 2015

CARA MULIA MENGAKU SALAH

Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (al-A’raf [7]: 23)
Ibnu Jarir dalam tafsirnya menerangkan bahwa ungkapan di atas merupakan jawaban Adam dan Hawa ketika dipanggil Allah selepas memakan buah dari pohon yang dilarang untuk didekati. Adam dan Hawa mengaku telah berbuat dosa. Lalu, mereka meminta ampunan dan rahmat kepada Allah. Ini benar-benar berbeda dengan sikap dan jawaban iblis terlaknat. (Tafsir Ath-Thabari)
Dengan kalimat itu maka Allah menerima tobat Adam dan Hawa (al-Baqarah [2]: 37). Adam pun menjadi terhormat. Ia diangkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi, diberi petunjuk, dan di akhirat masuk surga. (Thaha [20]: 122).
Banyak pelajaran yang bisa kita petik. Pertama, salah bagi manusia sesungguhnya merupakan hal biasa. Bersih dari dosa bukanlah sifat manusia. Oleh karena itu, ada ungkapan, Al-Insanu mahallulkhatha’i wannisyan (Manusia adalah tempat salah dan lupa).
Kedua, mengakui kesalahan. Memang salah merupakan sifat manusia, namun ini tak boleh menjadi pembenaran kesalahan. Misalnya dengan mengatakan, saya atau kita ini bukan malaikat. Itulah orang tua kita, Adam dan Hawa, langsung mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Inilah sikap yang diteladankan oleh ayah dan ibu kita. Karena pada dasarnya manusia berbuat salah, bukanlah suatu kesalahan yang besar bila mau mengakui kesalahannnya. Adapun yang menjadi dosa itu besar dan sangat besar, yakni bila berbuat dosa tapi tak mengaku salah bahkan mengaku benar.
Ketiga, menyalahkan diri sendiri. Inilah sikap kedua orang tua kita yang sangat terpuji. Beliau berdua tidak menyalahkan pihak lain. Bahkan, tidak menyebut iblis sama sekali. Padahal, sangat jelas iblislah yang merayu dan membujuknya agar mau memakan buah larangan itu.
Adam sama sekali tidak mengambinghitamkan iblis dengan mengatakan ini gara-gara iblis atau konspirasi iblis. Tidak. Ayah dan Ibu kita sadar bahwa yang salah, yaitu diri sendiri. Karena sudah tahu iblis tapi mengapa diikutinya. Maka kalau iblis disebut, itu tidaklah meringankan kesalahan yang telah diperbuat, tapi justru menambah kesalahan.
Memakan buah pohon larangan merupakan kesalahan dan mengikuti iblis termasuk kesalahan lain lagi. Karena itu, sikap yang terhormat, yakni menyalahkan diri sendiri. Bagi orang yang berbuat dosa bila ingin selamat, tak perlu menuding karena ini dan itu atau karena konspirasi dll. Cukup kita ucapkan, “Ya Allah, kami telah menzalimi diri kami sendiri..”
Keempat, mohon ampun. Setelah sadar berbuat salah, mengakui kesalahan dan itu karena salah diri sendiri, langsung diiringi permohonan ampun yang sungguh-sungguh.
Dengan sikap seperti ini, bagi orang yang berbuat dosa kecil atau besar, Allah tak lagi murka. Tapi sebaliknya, Allah mencintainya. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang membersihkan diri.” (al-Baqarah [2]: 222)
Ternyata ungkapan yang mirip dengan ucapan Adam dan Hawa juga diucapkan Nabi Yunus. Hingga akhirnya beliau selamat dengan luar biasa. Di dalam perut ikan, di dalam laut, dan tengah malam yang gelap, Nabi Yunus mengucapkan, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (al-Anbiya’ [21]: 83)
Bukan hanya Nabi Adam dan Yunus, melainkan Nabi Musa juga melakukan hal sama. “Musa berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Qashash [28]: 16)
Itulah sikap orang-orang hebat dan pemimpin-pemimpin sejati. Bukan mereka tidak pernah berbuat salah atau dosa, tapi bila berbuat dosa, mereka mengakui kesalahan dan segera bertobat dengan sepenuh hati.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku minta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (Hr. Bukhari).Wallahu a’lam. 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, takwa, sabar, syukur, )



***) Muhammad Syamlan

Sabtu, 11 April 2015

300 WARGA INDIA INGIN MASUK ISLAM

Ratusan penganut Hindu dari Dalit Valmiki di Rampur, kasta terendah dalam kasta sosial India, berikrar siap untuk masuk Islam pada 14 April nanti. Ini merupakan bentuk kegusaran umat melihat diskriminasi yang terjadi di permukiman mereka.

Melihat Islam yang tidak mengenal kasta, sekitar 300 masyarakat dalit yang kesehariannya bekerja kasar, mulai penyapu jalanan dan membersihkan kotoran manusia, berikrar menginginkan Islam. Terlebih, saat ini diskriminasi terjadi lagi kepada mereka. Permukiman Dalit Valmiki terancam digusur untuk pengembangan pusat perbelanjaan.

'Ini tak lebih dari sebulan setelah beberapa Dalit di Meerut memeluk Islam setelah mereka dilarang untuk masuk kuil," seperti dalam laporan The Hindu, Jumat (10/4).

The Hindu melaporkan, ada sekitar 300 orang yang telah mengajukan petisi kepada gubernur setempat, Ram Naik, untuk mendengar keluhan mereka. Mereka menuding pemerintah abai, melarang memeluk Islam, tapi membiarkan mereka dalam kesengsaraan.

Tak lebih dari sebulan lalu, sekelompok Dalit memutuskan untuk memeluk Islam di Meerut. Ini lantaran disalah seorang anggota komunitasnya tidak diberi akses ke sebuah kuil terkemuka.

"Apa gunanya menjadi seorang Hindu dan memiliki benang suci ini di pergelangan tangan saya jika saya bahkan tidak bisa masuk kuil dan melakukan pemujaan," ujar Shyam Singh, atau Azad seperti dilansironislam (15/3).

Azad dan masyarakat Dalit Valmiki di desa Moga dari Meerut dilarang melakukan pemujaan di kuil terkemuka Valmiki November lalu. Pada waktu itu, imam masyarakat Yadav mengatakan kepada Dalit Valmiki bahwa mereka tidak memiliki hak untuk melakukan pemujaan.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )

Jumat, 10 April 2015

PRILAKU ORANG ISLAM DI INDONESIA

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, di Indonesia banyak dari umat Islam yang tidak mencerminkan perilaku islami. Hal ini dianggap Mahfud sebagai kontradiksi di mana banyak kalangan non-Muslim yang justru menunjukkan perilaku Islami.
Begitu juga dengan orang-orang yang tidak paham agama secara mendalam, juga dapat memperlihatkan perilaku kebaikan yang dianjurkan oleh agama. "Di Indonesia banyak orang Islam tetapi perilakunya tidak Islami. Di New Zealand hampir tidak ada orang Islam tapi masyarakatnya Islami," ujarnya melalui akun Twitter, @mohmahfudmd.
Mahfud kemudian mencontohkan perilaku yang ditunjukkan oleh almarhum komedian Olga Syaputra, yang semasa hidupnya selalu menginspirasi orang Indonesia untuk berbuat kebaikan. Meskipun Olga hanya lah seorang artis yang bukan dari kalangan agama dan paham agama secara mendalam, tetapi perilaku yang ditunjukkan Olga dianggap Mahfud adalah contoh perilaku Islami.

"Olga bukan tokoh agama, dia artis. Tapi dengan segala kekuarangannya sebagai manusia, Olga selalu berusaha berbuat baik pada orang lain sesuai ajaran agama," ujar Mahfud.

Untuk itu, Mahfud mengingatkan kepada kalangan umat Islam di Indonesia untuk berbuat dan berperilaku Islami sesuai dengan yang diajarkan agama. Hal ini juga ditekankan Mahfud kepada tokoh agama agar benar-benar menghayati ajaran agama sehingga menjadi panutan sepenuhnya bagi masyarakat.

Guru besar tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut mengharapkan, perilaku islami juga diamalkan para pemangku jabatan agar terjaga dari godaan melakukan korupsi. Mahfud menyebut bahkan kalangan non-Muslim menunjukkan perilaku Islami karena mampu menahan diri untuk tidak korupsi.

"Bisa saja orang tidak beragama Islam tapi perilakunya Islami. Orang-orang yang tak mau korupsi dan taat hukum maka meski bukan Islam, mereka itu Islami," ujar Mahfud.

 (Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur,takwa,)

Kamis, 09 April 2015

ANJURAN BERHIAS UNTUK ALLAH



Setiap mukalaf (orang yang wajib menjalankan syariat Islam) diundang secara resmi untuk menghadap Allah sebanyak lima kali dalam sehari. Tepatnya, saat shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Allah berfirman, “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS an-Nisa [4] : 103).

Undangan resmi itu sebaiknya dihadiri bersama-sama dan tempatnya dipusatkan di masjid. Setiap kali waktu pelaksanaan shalat fardhu tiba, setiap mukalaf (khususnya pria) ditunggu kehadirannya di masjid terdekat.

Apabila azan telah dikumandangkan, setiap mukalaf dianjurkan segera meninggalkan aktivitas yang sedang dijalaninya. Saat itu, mereka diajak untuk fokus mengingat-Nya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS al-Jumuah [62] : 9).

Secara tekstual, ayat ini memang berkaitan dengan pelaksanaan shalat Jumat, tetapi kiranya tidak menyimpang dari syariat bila sikap bersegera demi menyambut panggilan shalat fardhu lainnya pun senantiasa diupayakan.

Kehadiran setiap mukalaf di masjid diharuskan dalam keadaan suci dari hadas besar dan kecil serta dari najis. Bahkan, terlebih dahulu dianjurkan merapikan rambut, mengenakan pakaian yang bagus/indah, dan mengunakan wewanginan (parfum) seperlunya.

Allah berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah disetiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah kalian dan janganlah berlebih-lebihan. Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS al-A'raf [7] : 31). Pada ayat berikutnya, yakni ayat ke-32, Allah menjelaskan, “Katakanlah: Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”

Dalam bab shalat dijelaskan, salah satu syarat sahnya shalat adalah menutup aurat. Dijelaskan pula, batasan aurat pria dan wanita secara garis besar. Menurut pendapat yang paling populer, batasan aurat pria adalah anggota badan antara pusar dan lutut. Sedangkan, batasan aurat wanita adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan.

Namun, berdasarkan keterangan dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah seorang di antara kalian shalat (ditujukan pada pria) pada sehelai kain yang tidak ada sedikit pun dari padanya yang menutup bahunya."

Dengan demikian, pakaian pria dalam shalat tidak sekadar menutup anggota badan antara pusar dan lutut. Tetapi, dianjurkan pula memerhatikan unsur kepantasan dan/atau kepatutan. Bukankah, ketika Anda diundang untuk menghadiri sebuah pertemuan resmi Anda berusaha mematut diri sedemikian rupa?

Maka, sangat masuk akal bila Allah dan Rasul-Nya menekankan perlunya memakai pakaian yang bagus dan indah setiap kali Anda shalat. Lebih jauh, jangan lupa berhias. Allah itu Mahaindah dan sangat menyukai keindahan. Wallahu 'Alam. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, sabar, pendidikan, kisah, )

KEBUTAAN BUDAYA

Agaknya tidak mudah untuk mendefinisikan budaya Islam secara menyeluruh. Namun, kita bisa saksikan kekuatan pengaruhnya hampir di belahan dunia mana pun. Islam sejak masa Nabi Muhammad, Khulafaurrasyidin, hingga renaisans di Cordoba, Spanyol, telah mengembangkan suatu khazanah kebudayaan yang kaya dan beragam. Sejarah Islam sebagai kekuatan budaya telah memunculkan apa yang disebut oleh Gustave von Grunebaum sebagai "unity and variety". Kekuatan budaya Islam telah melakukan "sintesis" yang kaya dan adaptif dengan unit-unit kebudayaan lokal, di mana Islam dapat merambah masuk. Dinamika kebudayaan tidak pernah berjalan linier. Setiap perkembangannya memiliki varian-varian yang kaya dan bernuansa. Tak ayal, kebudayaan dalam puspa ragam bentuk dan isinya telah dipahami sebagai "jaringan-jaringan makna" hidup yang dikembangkan dan mengisi batin kehidupan sosial umat manusia. Kekuatan budaya Islam di ranah budaya telah menunjukkan dinamikanya yang unik. Di samping sebagai kekuatan budaya, Islam, misalnya, telah muncul sebagai gerakan perlawanan menghadapi kolonialisme. Di Indonesia, meski Islam telah menjadi "wajah" bangsa, perjalanan sejarahnya telah melahirkan beberapa tafsiran pemikiran yang dipandang secara berbeda. Tafsiran ini dengan sendirinya telah menunjukkan bahwa khazanah kebudayaan Islam tidak terbatas pada pemahaman-pemahaman teologis yang kaku dan doktrinal belaka. Bahkan, pengembangan kekayaan intelektual (turats) Islam yang berimplikasi pada pengembangan budaya telah banyak mengisi kekuatan-kekuatan spiritual Islam dalam budaya. Munculnya pemikiran Fazlur Rahman, Arkoun, Hasan Hanafi, Amir Ali, sampai Nurcholish Madjid menunjukkan adanya pengayaan dalam mengembangkan pemikiran Islam dalam lintas budaya. Lalu, bagaimana sejatinya hubungan agama dengan kebudayaan? Kita bisa melihat derasnya saling keterpengaruhan antara agama dan budaya. Agama memberi ajaran kepada penganutnya, tetapi juga berbicara mengenai alam. Misalnya, tentang kosmos dan hubungan antarmanusia. Inilah yang membuat pendekatan agama dan budaya amat penting. Pada sisi paradoks, Islam sebagai agama yang merupakan kekuatan budaya telah menimbulkan berbagai gejolak yang sering didakwa secara kurang adil. Dewasa ini kerap dikampanyekan bahwa Islam sebagai agama peradaban telah menjadi "ancaman" bagi dunia Barat kontemporer. Pandangan ini pernah menimbulkan polemik memanas ketika Samuel Huntington mengungkapkan bahwa setelah Perang Dingin pupus dan perang ideologi antara Uni Soviet dan Amerika lenyap, Islam menjadi kekuatan potensial yang mengancam kehadiran peradaban lain. Meski demikian, ada perkembangan positif di Barat: Islam dijadikan teman dialog yang akan membuka cakrawala baru untuk bisa saling memahami. Inilah salah satu upaya mencari apa yang disebut Fritjhof Schuon sebagai "titik temu agama-agama" atau inter-religius. Sebagai realitas kebudayaan, Islam selalu diklaim berdimensi universal dan melakukan berbagai adaptasi. Bahkan, dalam perkembangan sejarahnya, Islam sering melakukan persentuhan terbuka dengan berbagai wilayah budaya lokal yang menjadi sasaran syiarnya. Islam pun menjadi toleran terhadap budaya-budaya lokal. Dalam pandangan lokal, kita tentu tak terlampau merasa heran, bagaimana Islam sebagai pandangan teologi, misalnya, mampu bersenyawa dengan paham sinkretisme Jawa dan Hindu yang sudah ratusan tahun saling memengaruhi. Islam sebagai kebudayaan telah memberi sentuhan "luwes dan mesra" terhadap nilai-nilai budaya lokal. Dengan sendirinya, ini menunjukkan Islam sebagai realitas budaya telah menampilkan dirinya. Kebutaan budaya Kini kerap muncul di kalangan Muslim pandangan "antibudaya". Mereka meneriakkan puritanisme dan hendak melenyapkan segala bentuk budaya. Radikalisme agama dan terorisme juga muncul akibat penolakan budaya. Inilah fakta bersemayamnya sikap "kebutaan budaya". Sejauh yang dapat dipetakan, "kebutaan budaya" justru terjadi dalam wilayah dasarnya, yakni berada pada dimensi psikologis-mental, sehingga aktualitas berbudaya kebanyakan orang Islam banyak yang justru merugikan perkembangan kebudayaan Islam. Bila Islam sungguh-sungguh sebagai agama yang diturunkan untuk kemaslahatan seluruh semesta alam beserta isinya, sudah saatnya batas-batas formal-struktural yang kaku dihindari. Maka, harus dihapus kesan bahwa ketika peradaban dan kebudayaan maju, justru agama (Islam) menghambatnya. Tugas agama (Islam) semestinya memicu kemajuan dan seraya membimbingnya Kita tak sekadar menghibur diri dan berapologi, dengan mengatakan bahwa kontribusi Islam dalam peradaban dunia sangatlah besar. Tetapi, kita sudah semestinya membuktikan bahwa agama Islam memicu peradaban sekaligus membela kepentingannya. Dengan demikian, kita tidak akan menjalankan strategi kebudayaan yang keliru. Dalam konteks historis kenegaraan di negeri kita, misalnya, kalau kita menganggap kemerdekaan bangsa sangat diwarnai atau ditentukan oleh kontribusi umat Islam, maka tidak perlu menciptakan distansi antara negara dan agama secara frontal. Dalam arti lain, Islam tidak bertugas hanya memerdekakan bangsa dalam arti formal, tetapi juga harus terus bersama-sama mengolah kehidupan selanjutnya Sampai di sini, sudah seharusnya segera dihindari klaim sosiologis yang menyesatkan. Slogan seperti "Islam untuk Islam" tidak selalu tepat. Bahkan, dalam fase peradaban seperti sekarang bisa merugikan secara strategis ataupun subtantif karena misi Islam tidak pernah menganjurkan singularitas. Dalam konteks ini, dakwah Islam bukan semata "Islamisasi" dalam arti semua menjadi Islam, melainkan menjadi "Islami". Kearifan antroposentris jadi pertimbangan. Manusia adalah khalifah, karena itu harus mampu menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan yang benar. Kecenderungan praktik memperebutkan status dan bukan substansi sepatutnya dihindari. Islam harus mendorong proses kedewasaan budaya. Prinsip nilai kelayakan karena kepantasan harus sama-sama dijalankan. Dalam konteks kebangsaan, misalnya, tentu orang Islam di mana pun bangga kalau pemimpinnya beragama Islam, tetapi tidak berarti harus dipaksakan. Kepemimpinan yang Islami adalah berada dalam format dan alur kelayakan dan kepantasan. Seseorang yang menjadi pemimpin bukan karena dia Muslim, melainkan karena dia layak dan pantas. Walhasil, agama memang perlu menyatu dengan budaya. Langgengnya agama karena menyatu dengan budaya. Agama sebagai sesuatu yang sakral, datang dari Tuhan, turun dari langit, kepada manusia yang parsial, lemah, terbatas, terikat ruang dan waktu. Maka, agama harus sesuai dengan kondisi manusia, bukan kondisi Tuhan. Agama untuk manusia, dan karena itu agama harus sesuai dengan tantangan yang dihadapi manusia. 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, takwa,)


***)Said Aqil Siroj 

Rabu, 08 April 2015

KESALEHAN SOSIAL PENGGERAK IMAN

Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan sebuah teguran bagi umat Islam. “Ada orang beragama, tetapi tidak berakhlak dan ada orang yang berakhlak, tetapi tidak bertuhan.” Pernyataan ini merupakan sindiran bagi seorang yang telah berikrar iman, tetapi tabiat dan kelakuannya jauh dari moralitas sehingga ia lebih tepat dikategorikan kafir. Bukankah dari keimanan idealnya lahir tindakan-tindakan kebaikan yang sejalan dengan prinsip-prinsip moral universal? Dapatkah disebut beriman ketika tindakan-tindakannya bahkan berseberangan dari prinsip-prinsip kebaikan?
Dewasa ini, kita dihadapkan pada kenyataan pahit tentang jati diri keimanan. Negeri-negeri Islam bergejolak karena ribut ihwal iman. Apakah benar keimanan lantas menyulut amarah sehingga bisa dijadikan dogma suci untuk membungkam kelompok lain? Padahal, Rasulullah pernah bersabda, “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR Bukhari). Dari hadis itu, kita bisa memetik pelajaran bahwa keimanan sejatinya dilandaskan pada kepedulian sosial. Dalam konteks itu adalah anjuran menolong tetangga yang dalam keadaan susah dan miskin. Kesantunan dan kepedulian sosial adalah bentuk nyata keberimanan seseorang.
Sedangkan, dalam hadis lainnya, Rasulullah bersabda, “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang  peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri.” (HR Bukhari). Dari situ, kita diajak memahami bahwa fondasi iman yang lain adalah kesadaran diri. Orang-orang yang sadar telah beriman akan menjalankan perintah agama dengan kedewasaan dan kesabaran. Sehingga, tidak mungkin bisa terjebak dalam sulutan emosi hingga menyakiti lainnya. Dengan kata lain, keimanan bukan semata keyakinan yang terpendam dalam diri. Sikap acuh terhadap kesusahan orang lain atau pelanggaran terhadap syariat secara tidak tegas bisa dinyatakan sebagai 'tidak beriman', yakni kekafiran terselubung.
Rasulullah juga menyatakan dalam hadisnya, “Tidaklah beriman seseorang dari kalian hingga dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri.” (HR Muslim). Dengan menelaah hadis itu, lagi-lagi kita diajak menumbuhkan empati sosial sebagai motor penggerak keimanan. Kesalehan secara sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan demi kesempurnaan iman. Ketika Nabi ditanya ihwal siapa seorang yang paling utama di sisi Allah, beliau menjelaskan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Dalam Alquran juga banyak ditekankan implementasi keimanan dalam bentuk kesalehan, kepedulian, kesadaran, dan empati sosial. Sebagaimana termaktub dalam surah al-Hajj ayat 77, yakni “Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Tuhan kalian, dan berbuatlah kebajikan supaya kalian mendapat kemenangan.”
Ayat itu adalah satu dari ratusan ayat lainnya yang menjabarkan arti kebajikan seorang mukmin. Seorang mukmin di samping wajib menyempurnakan ibadah pribadinya kepada Tuhan, seperti shalat, puasa, haji, dan lainnya, juga wajib berperan aktif dan berkontribusi dalam terselenggaranya kehidupan sosial yang aman dan sejahtera. Tak ayal, apabila ada seorang yang mengaku beriman, tetapi mereka justru mengafir-kafirkan di luar kelompoknya, bahkan merusak harta dan membunuh kelompok lainnya secara membabi buta. Maka, sudah jelas keimanan mereka dipertanyakan atau justru mereka sendirilah yang sudah terjerembap dalam kubangan kekafiran itu sendiri. 
Wallahu a'lam.     (Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan,kisah, takwa, )

Selasa, 07 April 2015

AGAR HATI TIDAK BERKARAT

Sesungguhnya, hati itu dapat berkarat sebagaimana besi berkarat. Rasulullah SAW lalu ditanya: Apa yang bisa membuat hati agar tidak berkarat? Rasul menjawab: Membaca Alquran dan mengingat kematian." (HR al-Baihaqi).
Ilustrasi dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa hati manusia itu potensial menjadi seperti besi yang kemudian berubah menjadi berkarat. Sebelum berkarat, besi itu kuat, tapi ketika sudah berkarat, ia akan berubah menjadi rapuh.
Hati yang berkarat adalah hati yang berpenyakit atau sudah tidak sehat dan kuat. Agar hati tidak berkarat, Rasulullah SAW memberi solusi, yaitu membaca Alquran. Badiuzzaman Said Nursi dalam al-Mu'jizat al-Qur'aniyyah menjelaskan bahwa Alquran adalah Kalam Allah. 
Ia adalah kitab suci yang menebarkan hikmah yang turun dari lingkup nama-Nya yang paling agung. Ia menatap kepada apa yang diliputi Arasy yang paling agung. Jangankan hati yang berkarat! Bebatuan gunung yang kuat dan kokohpun dapat "takluk dan tunduk" kepada Alqur dan sekiranya diturunkan kepadanya. (QS al-Hasyr [59]:21).
Hati adalah cermin cahaya (nur) ilahi. Karena itu, wajar jika hati yang berkarat akan kembali memancarkan cahaya te rang apabila diasupi hidangan rabbani. Sebab, Alquran merupakan "jamuan spesial" Allah SWT (ma'dubatullah) bagi hamba-Nya. 
Jamuan kemuliaan ini tentu harus dinikmati dan dimaknai. Memaknai Alquran identik dengan membaca, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan mengamalkan seruan berpikir rasional, pesan-pesan moral dan spiritualnya.
Dengan kata lain, agar hati tidak berkarat, mudarasah Al quran harus terus dilakukan dan dibudayakan; bukan sekadar mengaji (tilawah), membaca, dan mempelajari pesannya (qira'ah wa tadarus), melainkan memahami, menerjemahkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya dalam ke hidupan nyata (mudarasah), sehingga spirit Alquran itu menjiwai dan menggelorakan kehidupan yang semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keadilan, keindahan, dan kedamaian.
Mudarasah Alquran merupakan peneduh hati yang gersang dan penjinak watak "keras kepala dan keras hati". Sejarah membuktikan bahwa Umar bin al-Khattab yang sebelum masuk Islam dikenal berwatak keras kepala dan liar, hatinya luluh dan berubah 360 derajat setelah mendengar lantunan ayat-ayat Alquran yang dibacakan adik kandungnya yang telah masuk Islam, Fatimah binti al-Khattab.
Ayat yang didengarnya adalah QS Thaha ayat 2-4,"Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu men - jadi susah (sengsara), tetapi sebagai peringatan bagi orang- orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.
"Jika jujur berintrospeksi diri, tampaknya kita umat Islam belum banyak melakukan mudarasah Alquran. Kita masih jauh dari naungan Alquran. Kita belum bisa menikmati jamuan Allah yang diturunkan pada bulan yang suci ini. 
Boleh jadi, salah satu penyebab kemunduran, keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan yang mendera umat Islam saat ini adalah masih jauhnya kita dari naungan dan pangkuan Alquran. Padahal, menurut Sayyid Qutub dalam pengantar tafsir Fi Zhilal Alquran, hidup di bawah naungan Alquran itu nikmat. Wallahu a'lam bish-shawab!
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, pendidikan, )

Senin, 06 April 2015

BATASI NIKMAT DUNIA

Dunia hanya tempat persinggahan singkat umat manusia sebelum menuju alam kubur dan menunggu hari pengadilan. Di alam kubur, kita akan tahu tempat yang akan diberikan kepada kita kelak pada saat hari kiamat tiba.
Penantian di alam kubur ini yang sangat menyakitkan, sebab bergantung pada apa yang dilakukan di dunia. Pada saat di alam kubur, tak luput kemungkinan kuburan terasa sempit dan mendapatkan siksaan. Meski demikian, kita belum takut dengan tindakan kita yang menambah dosa.
Untuk mengingatkan akan kematian dan menambah kuatnya nilai iman maka sangat perlu mendatangi orang yang meninggal dan berziarah ke makam. Terkadang, ini yang tidak diketahui.
Kerap kali, kuburan atau ziarah ke alam kubur dianggap sebatas berkunjung dan tidak menambah nilai iman. Ada juga yang menggunakan kuburan untuk mendapatkan rezeki, jodoh, dan lain sebagainya. Ada juga yang menganggap dengan datang ke kuburan justru mendapatkan wangsit pada malam harinya.
Ini perilaku zalim pada umat kita yang menyebabkan rendahnya nilai iman itu. Satu hal yang membuat manusia terus melupakan ibadah karena tidak bisa melawan nafsu sehingga berlebihan dalam mencintai dunia.
Manusia yang mengejar dunia secara terus menerus tanpa memikirkan akhirat mengakibatkan manusia lupa dengan hidup yang begitu singkat ketika di dunia sehingga berakhirnya hidup di dunia, tetapi ibadah yang didapatkan sangat sedikit.
Bekal apa yang harus dibawa ketika kembali kepada Allah jika waktu itu terkuras untuk memenuhi nafsu perut saja, yaitu dunia. Padahal, dunia itu menipu kita, terlihat seperti manis, tetapi menyebabkan kita semua larut dalam dunia.
Salah satu ciri manusia yang cinta dunia, yaitu manusia yang terus menumpuk hartanya menjadi lebih banyak lagi. Tidak pernah rasa puas dengan apa yang telah didapatkannya.
Apalagi, jalan yang ditempuh untuk mendapatkan dunia dengan jalan korupsi sehingga dapatlah harta yang bukan lagi haknya.

Dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Celakalah orang yang mengabdi kepada dinar, orang yang mengabdi kepada dirham, dan orang yang mengabdi kepada perut. Jika diberi ia merasa puas dan seneng, jika tidak diberi ia merasa jengkel.
Dia benar-benar celaka dan terjungkir serta tidak mampu mencungkil duri yang menancap ditubuhnya (yakni selalu tersiksa batinnya). Sungguh beruntung orang yang memegang tali kudanya dalam berjihad di jalan Allah dengan rambutnya yang kusut dan tubuh berdebu. Apabila ia ditugaskan digaris depan ia menjalankan tugasnya dengan baik dan apabila ia ditugaskan di garis belakang, ia pun melaksanakan tugasnya dengan baik pula.
Apabila minta izin, ia tidak dizinkan dan apabila minta tambahan pasukan untuk menemaninya, permintaannya tidak dikabulkan (meskipun demikian ia tetap terus bertempur karena Allah)." 
Kemudian dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Anak adam itu akan menua, namun masih terasa muda dalam dua hal, yaitu keinginan terhadap usia (yang panjang) dan keinginan (banyak) harta. ( HR At Tirmidzi).
Hadis di atas memberikan makna, ibadah itu tetap utama dilakukan di atas segala-galanya, termasuk kehidupan dunia. Dalam beribadah juga tidak hitung-hitungan, apalagi menghitung berapa banyak yang harus dibayar dalam bentuk uang.
Hasil dari ini tidak lagi berkah hasilnya. Banyak di antara kita menjadi pejabat, tetapi bertujuan untuk mendapatkan dua hal, yaitu jabatan untuk mendapatkan uang. Buktinya, pejabat tidak akan mau jika tidak dibayar, tetapi anehnya sudah dibayar sebagai pejabat juga tidak amanah dalam menjalankan tugas. Wallahu a'lam.             (Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa,)

NASEHAT KEMATIAN

Suatu hari, seorang kakek berjalan menuju masjid. Ia melewati sekelompok anak yang sedang bermain bola. Tiba-tiba permainan itu menerbangkan debu-debu jalanan, lalu sang kakek berteriak menghentikan permainan mereka.
Ketika sang kakek mempercepat langkahnya untuk menghindari debu-debu jalanan, tiba-tiba salah seorang dari anak-anak itu bertanya, “Mau lari ke mana kamu wahai Kakek? Sebentar lagi debu-debu ini akan menyelimuti tubuhmu di kuburan.”
Sang kakek tersinggung sedikit bercampur heran dengan perkataan si anak itu. Ia pun segera berhenti, seraya berkata, “Mendekatlah kepadaku.” Tatkala anak itu sudah mendekat, sang kakek pun bertanya, “Apakah kamu memiliki cara untuk menghindari debu atau tanah kuburan itu?”
Anak itu menjawab, “Aku tahu jawabannya, tapi tanyakanlah kepada orang selain aku.”
Sang kakek menukas, “Lalu, aku harus menanyakan kepada siapa?”
Si anak menjawab, “Tanyakanlah kepada akal pikiranmu.”
Mendengar jawaban tersebut sang kakek meneteskan air mata karena takut kepada Allah. Kemudian ia meneruskan perjalanannya menuju masjid dan melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Itulah sepenggal kisah yang memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang nasihat kematian. Sejatinya, nasihat ini tidak hanya untuk seseorang yang sudah lanjut usia, tetapi juga untuk kita semua, baik yang tua, muda, anak-anak, kaya, miskin, pejabat, rakyat biasa, yang sehat, sakit, dan untuk siapa saja yang bernyawa.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran [3]:185).
Kematian merupakan sebuah kepastian. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak, menghindar, tidak ada tawar-menawar, dan tidak ada pula pemajuan maupun penundaan. Dan, setiap orang memiliki jatah hidupnya masing-masing.
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS al-A’raf [7]: 34).
Karena itu, Rasulullah SAW berpesan, “Perbanyaklah mengingat yang memutuskan kenikmatan (yaitu kematian).” (HR Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Majah).
Dengan mengingat kematian, seseorang akan terdorong untuk mempersiapkan bekal dengan amal kebaikan dan berusaha membersihkan kesalahan dan dosa dengan segera bertobat kepada-Nya.
Jangan berlari dari kematian sebab di manapun seseorang berada kematian itu akan menjemputnya (QS an-Nisa’ [4]: 78) dan persiapkan bekal yang cukup, yaitu ketakwaan (QS al-Baqarah [2]: 197). Selain itu, juga berbekal dengan amal saleh (HR Tirmidzi).
Semoga Allah membimbing kita untuk banyak mengingat kematian, mempersiapkan segala amal kebajikan, dan meraih husnul khotimah. Aamiin. Teruntuk Olga Syahputra, selamat jalan.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa,)

***) republika

Minggu, 05 April 2015

MENYIAPKAN HARI ESOK

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Mundzir bin Jarir, dari ayahnya, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW pada permulaan siang. Lalu, ada suatu kaum yang mendatangi beliau dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, membungkus diri dengan kulit macan atau sejenis mantel dengan menyandang pedang. Kebanyakan mereka berasal dari Mudhar, bahkan seluruhnya berasal dari suku Mudhar."
Maka, (raut) wajah Rasulullah pun berubah ketika melihat keadaan mereka yang demikian miskin itu. Kemudian, beliau masuk, lalu keluar lagi dan memerintahkan Bilal mengumandangkan azan. Maka, Bilal mengumandangkan azan, kemudian iqamah. Lalu, Rasulullah SAW mengerjakan shalat, setelah itu beliau berkhutbah.
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu,”-sampai akhir ayat-Lalu, beliau membaca ayat (yang artinya), “Dan, hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
Kemudian, seseorang menyedekahkan sebagian dari dinar, dirham, pakaian, satu sha' gandum, dan satu sha' kurma ….-hingga akhirnya Rasulullah SAW bersabda, "… meskipun hanya dengan satu belah kurma.” (HR Muslim).
Demikianlah yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sebelum menjelaskan tentang makna atau kandungan dari surah al-Hasyr ayat 18 yang memerintahkan setiap Muslim untuk menyiapkan hari esok, yang ternyata bukan soal menimbun harta, melainkan justru menyedekahkannya kepada orang-orang yang sangat membutuhkan.
Dengan demikian, bisa diambil pemahaman, sedekah kepada orang yang sangat membutuhkan adalah cara terbaik seorang Muslim untuk benar-benar bahagia pada hari esok (dunia-akhirat). Dan, bersegera dalam sedekah, meski itu hanya satu belah kurma, sudah cukup untuk mempermudah kehidupan kita pada hari esok yang sekaligus menyolusikan kesulitan sesama.
Dengan kata lain, peka dan peduli terhadap kebutuhan sesama (dengan bersegera melakukan sedekah), utamanya mereka yang memang benar-benar membutuhkan pertolongan adalah wujud nyata keimanan seorang Muslim. Bahkan, itulah manivestasi dari ketakwaan seorang Muslim.
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS al-Baqarah: 3).
Inilah salah satu perkara yang setiap Muslim harus perhatikan setiap harinya. Ibnu Katsir menjelaskan, “Dan lihatlah apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sendiri berupa amal saleh untuk hari kemudian dan pada saat bertemu dengan Rabb kalian.”
Maka, sungguh tidak mengherankan jika sahabat-sahabat Rasulullah, seperti Khadijah, Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf, berlomba-lomba untuk menyedekahkan hartanya di jalan Allah.
Ternyata, semua itu adalah wujud kesungguhan mereka dalam mempersiapkan kebahagiaan kehidupan mereka pada hari kemudian.
Subhanallah, demikian indahnya ajaran Islam. Kebahagiaan hari esok ternyata tidak semata-mata ditentukan oleh kualitas ibadah kita secara pribadi.

Tetapi, juga dipengaruhi oleh sejauh mana kepedulian kita kepada sesama yang membutuhkan. Dan, itulah tabungan masa depan yang sesungguhnya. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, syukur, sabar, takwa, pendidikan, )

Sabtu, 04 April 2015

MENJADI MUSLIM PENOLONG



Seorang Muslim mesti menjadi pribadi penolong. Seorang Muslim tidak dibenarkan lepas tangan bila ada yang membutuhkan bantuan. Ia dituntut berkontribusi semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. Semakin banyak orang yang ditolong, maka semakin banyak orang yang terselamatkan. Apalagi bila berhasil mengajak orang lain. Semakin banyak yang berkontribusi, masalah akan semakin cepat selesai.

Saling membantu dan saling tolong adalah ruh dalam risalah Islam. Sebab, sesama Muslim adalah bersaudara, saudara yang diikat oleh akidah. Mereka ibarat satu bangunan. Satu dan lainnya saling menopang dan menguatkan. Jika ada anggota tubuh yang sakit, akan terasa hingga sekujur tubuh.

Islam sangat menekankan pemeluknya peka terhadap realitas sosial di sekitarnya. Banyak nasihat Alquran dan hadis Nabi SAW yang memaparkan keutamaan saling membantu. Islam mengajarkan kebersamaan, sinergi dalam kebaikan. Jika sekelompok masyarakat sudah bersinergi dan gemar saling menolong satu sama lain, otomatis masyarakat itu akan kompak. Jika sudah kompak, pasti mereka utuh dan bersatu. Persatuan itu lahir dari menumbuh kembangkan jiwa saling membantu.

Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang membebaskan seorang mukmin dari kesempitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari kesempitan di hari kiamat. Barang siapa yang memberi kemudahan orang yang kesulitan, maka Allah akan memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat." (Muttafaq Alaih).

Menolong itu tidak hanya dengan harta dan tenaga, tetapi juga dengan ide atau saran, bahkan doa. Bila benar-benar dibutuhkan, menolong dengan berkorban nyawa juga dibenarkan. Artinya, bentuk pertolongan dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Sebab, setiap orang memiliki kemampuan terbatas. Menolong dengan ide, tenaga, dan harta tentu lebih berpahala dibandingkan dengan satu jenis pertolongan. Menolong dengan doa atau dukungan moril tentu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Dengan menolong, mereka yang telah tertolong pasti akan mengucap syukur dan berterima kasih. Mendorong mereka mengucap alhamdulillah adalah pahala bagi kita. Apalagi bila mereka bisa leluasa menjalankan ibadah setelah itu, tentu pahalanya semakin bertambah. Mereka akan menyebut nama kita dalam doa-doa yang mereka panjatkan. Itulah sebabnya memudahkan urusan orang lain merupakan keberkahan tersendiri.

Tolong-menolong dalam Islam tidak dibatasi oleh ras, suku, afiliasi politik, mazhab, ormas, bangsa, bahkan agama. Pertolongan harus diberikan kepada siapa pun jika memang diperlukan, mengingat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, penting sekali menjaga harmonisasi dengan saling menolong dan saling berempati. Rasulullah SAW bersabda, "Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya." (Muttafaq Alaih).

Allah tidak akan menyia-nyiakan amal saleh si penolong. Sehingga, bila sewaktu-waktu ia dalam kesulitan, Allah akan menolongnya dengan tangan-Nya sendiri atau lewat tangan orang lain. Kita perlu menjadikan hadis semacam ini sebagai motivasi bagi diri kita agar gemar menolong. Betapa tidak, Allah telah menjamin akan senantiasa menolong orang yang gemar menolong sesamanya.

Muslim sejati bukanlah Muslim yang harus diminta-minta terlebih dahulu untuk menolong orang lain. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )

AGAMA ITU NASEHAT

"Aku menyampaikan amanah Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu." (QS al-A'raf: 68). Demikian pula Nabi SAW bersabda, "Agama itu nasihat. Sahabat bertanya, `Bagi siapa?' Beliau bersabda, `Bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin- pemimpin, dan umat Islam pada umumnya.'" (HR Muslim).

Kata nasihat berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja nashahayang berarti khalasha, yaitu `murni serta bersih dari segala kotoran' dan `benar'. Dalam arti lain, nasihat juga bisa berarti khaatha, yaitu `menjahit' karena perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya diibaratkan memperbaiki pakaiannya yang robek.

Menurut istilah, nasihat adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Imam al-Shobuni mengartikan nasihat dengan menghendaki kedamaian dan kebaikan.

Pengertian secara bahasa dan istilah ini bermakna bahwa, pertama, agama itu nasihat bagi Allah. Maksudnya, dengan berpegang kepada agama, umat Islam dapat tetap memelihara keyakinan dalam menyucikan Allah dan kemahasempurnaan-Nya. Mengesakan-Nya dalam hal ibadah dan menjauhi kesyirikan, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan- Nya, mencintai yang dicintai-Nya, dan membenci yang dibenci-Nya.

Kedua, agama itu nasihat bagi kitab-Nya. Dengan berpegang kepada agama, umat Islam dapat tetap memelihara kesucian Alquran, membacanya, menggali isinya, dan mengamalkan kandungannya. Mereka juga diharapkan dapat mengajak kepada kebaikan dan kedamaian sesuai nilai yang terkandung dalam kitab suci.

Ketiga, agama itu nasihat bagi Rasulullah SAW. Dalam menjalankan misi kerasulannya, beliau berpegang teguh kepada wahyu Allah. Beliau juga menjaga kesucian dan kemuliaan sebagai teladan umat. Dalam menyampaikan dakwah Islamiyah kepada umatnya, masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat Islamiyah dalam waktu relatif singkat.

Keempat, agama itu nasihat bagi pemimpin Islam. Dengan berpegang kepada agama, para pemimpin hendaknya menjalankan tugas kepemim pinan sesuai ajaran agama. Para pemimpin Islam hendaknya membersihkan diri dari hal tak terpuji sehingga menjadi panutan umat. Mereka juga dituntut mengajak umatnya kepada kedamaian dan kebaikan serta menjauhkan dari kemungkaran.

Seorang pemimpin harus ikhlas memberikan pelayanan terbaik dengan menciptakan kepedulian sosial bagi semua lapisan dan menjadikan kekuasaan sebagai amanah. Hanya dengan ikhlas, seorang pemimpin sukses menghilangkan kecenderungannya mengedepankan kepentingan temporal dibandingkan kemaslahatan umat secara menyeluruh.

Kelima, agama itu nasihat bagi umat Islam. Dengan berpegang kepada agama, umat Islam diharapkan membersihkan diri dari kotoran lahir dan batin. Mereka diharapkan taat kepada Allah, Rasul, dan para pemimpinnya. Mereka juga dituntut saling mengajak kepada kedamaian dan kebaikan serta menjauhkan dari kemungkaran.

 (Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar. syukur, syukur, takwa, )

Jumat, 03 April 2015

KIAT MENJAGA HATI

Rasulullah SAW bersaksi dalam tubuh setiap orang terdapat organ yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap organ lainnya, yaitu hati (kalbu). Jika hatinya baik, baiklah seluruh organ tubuh lainnya. Jika hatinya rusak, rusaklah seluruh organ tubuh lain nya.
Kata baik (shaluhat) dapat dipadankan dengan kata selamat. Jika hatinya selamat, selamatlah seluruh organ tubuh lainnya. Kata rusak (fasadat) dapat dipadankan dengan kata celaka. Jika hatinya celaka, celakalah seluruh organ tubuh lainnya.
Dengan begitu, menjaga hati kita agar tetap berada dalam kategori baik sangat penting karena akan menentukan keselamatan kita. Menjaga hati agar tetap berada dalam kategori baik tentu tidak akan semudah mengucapkannya. Oleh sebab itu, kita perlu menjaganya dengan kiat khusus.
Hasan al-Bisri RA, salah seorang tabi'in terkemuka, pernah berkata, "Hati itu rusak karena enam hal." Maka, kita harus berhati-hati dengan enam hal yang berpotensi merusak hati.
Pertama, melakukan dosa dengan berangan-angan akan segera ditobati dan yakin Allah akan menerima tobatnya. Kedua, mengetahui ajaran Islam, tetapi tidak berusaha mengamalkannya. Ketiga, mengamalkan ajaran Islam, tetapi tidak ikhlas lilaahi ta'ala. Keempat, menikmati rezeki dari Allah, tetapi tidak berusaha mensyukurinya. Kelima, tidak ridha menerima ketentuan dari Allah. Keenam, menguburkan jenazah saudaranya, tetapi tidak mengambil pelajaran darinya.
Maka, agar hati tidak rusak sehingga merusak organ tubuh yang lainnya, kita harus bekerja ektra keras guna menghindari enam hal yang dikemukakan oleh Hasan al-Bisri tersebut. Lalu, bagaimana kiatnya?
Pertama, kita jangan memandang remeh dosa tak terkecuali dosa kecil. Sebab dosa kecil (saja) apabila dilakukan berulang-ulang dapat berubah menjadi dosa besar. Dengan kata lain, kita harus bekerja ekstra keras untuk menghindari dosa. Lebih jauh, apabila kita menyadari telah melakukan dosa jangan berhenti meminta pengampunan pada Allah. Rasulullah SAW sendiri yang dijaga dari perbuatan dosa (ma'shum) senantiasa beristighfar seratus kali setiap harinya. Apalagi, kita?
Kedua, kita bertekad untuk mempelajari ajaran Islam dengan sebaik-baiknya sepanjang hayat di kandung badan. Di samping itu kita bertekad untuk mengamalkannya sedikit demi sedikit dalam kehidupan kita sehari-hari.
Ketiga, kita bertekad untuk mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya karena kita yakin dengan firman Allah dalam QS An-Nisa [4] ayat 125 dan QS al-Mulk [67] ayat 2. Keempat, kita bertekad untuk mensyukuri rezeki yang diberikan Allah kepada kita karena kita yakin dengan firman-Nya dalam QS Ibrahim [14] ayat 7.
Kelima, kita bertekad untuk menerima dengan ridha ketentuan Allah yang baik dan yang buruk terhadap kita karena kita yakin itulah yang terbaik buat kita. Keenam, kita bertekad untuk mengambil pelajaran dari kematian saudara-saudara kita karena kita yakin suatu hari akan mengalaminya juga. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa., pendidikan., sabar. syukur., sabar, )