Senin, 29 Februari 2016

KETULUSAN PAMAN BILAL

Tidak banyak yang tahu nama sebenarnya dari Paman Bilal. Semua orang memanggilnya Bilal, mulai dari anak-anak yang belajar di Taman Pendidikan Alquran yang diasuhnya, sampai jamaah Shalat Jumat yang setiap Jumat mendengarkan suaranya yang merdu melantunkan azan. 
Gelar Bilal sudah melekat padanya karena tugasnya sebagai muazin resmi masjid di kampungnya. Di samping menjadi muazin, Paman Bilal juga menjadi guru membaca Alquran di TPA yang terletak persis sebelah selatan masjid.
 
Keahliannya adalah qiraah, membaca Alquran dengan irama. Anak-anak yang sudah khatam Alquran dan berminat mendalami qiraah diserahkan pembimbingannya kepada Paman Bilal.
Setiap generasi hampir selalu ada anak asuhnya yang berhasil jadi juara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, bahkan juara di tingkat nasional.
 
Dalam membimbing dan mendampingi murid-muridnya ikut MTQ, Paman Bilal tak mengenal kata lelah. Semuanya dilakukan dengan tulus tanpa bayaran apa pun. Kecintaannya pada Alquran dan seni membaca Alquran yang telah membuatnya selalu bersemangat.
Setiap hari Paman Bilal jalan kaki pulang pergi ke masjid dan TPA. Letak rumahnya memang tidak terlalu jauh dari masjid, sekitar 1,5 km. Jarak itu cukup melelahkan juga jika dalam sehari dia bolak-balik ke masjid beberapa kali.
Pernah suatu kali, seorang jamaah masjid menawarkan untuk memboncengnya ke masjid naik sepeda motor, tapi Paman Bilal menolak. Paman Bilal beralasan, “Jika naik sepeda motor, saya terlalu cepat sampai, padahal saya belum selesai membaca Alquran.”
 
Rupanya jalan pulang-pergi ke masjid itu diisi Paman Bilal dengan membaca surah-surah tertentu yang dihafalnya. Demikianlah Paman Bilal, setia dengan dua tugas utamanya, menjadi muazin dan guru qiraah. Sudah puluhan tahun berlalu, entah berapa banyak angkatan murid-murid TPA yang diasuhnya.
 
Beberapa di antara mereka juga sudah ada yang menjadi guru TPA. Begitu juga di masjid, sudah muncul beberapa kader yang siap menggantikan tugasnya sebagai muazin. Jika Allah SWT menjemput ajalnya, dia sudah siap. Tapi, satu keinginannya yang belum terwujud, yakni berhaji.
Sebagai muazin tanpa honor dan guru TPA dengan honor sekadarnya, Paman Bilal tidak sanggup membayar ongkos naik haji. Jangan ditanya berapa rindunya Paman Bilal untuk melihat Ka’bah secara langsung dan beribadah di Tanah Suci.
 
Setiap kali diundang menghadiri syukuran orang pergi haji, ia selalu terharu, sambil berdoa diberi kesempatan ke Makkah, suatu saat nanti.
Doa Paman Bilal terkabul. Salah seorang muridnya yang sudah puluhan tahun berkarier di Ibu Kota, bertemu dengannya saat pulang kampung menghadiri syukuran haji kerabatnya. Pertemuan itu menyadarkan murid bahwa sang guru belum haji.
 
Tanpa membuang waktu, dia mengontak beberapa temannya yang kesemuanya murid-murid Paman Bilal. Setelah uang terkumpul maka diproseslah pendaftaran haji untuk guru mereka yang sederhana itu. Dan akhirnya, Paman Bilal bisa menunaikan ibadah haji sebelum meninggal dunia beberapa tahun lalu.
 


***) Yunahar Ilyas (Republika online)

Sabtu, 27 Februari 2016

KEIKHLASAN GURU

"Saya ikhlas jadi guru. Percayalah tujuan saya ikhlas, hanya ingin mengajar dan mendidik murid-murid." Benarkah rasa ikhlas bisa ditakar lewat kata-kata? Ikhlas itu amalan hati, tak perlu disebut dengan kata-kata. Bisa jadi saat bilang ikhlas, itulah tanda ketidakikhlasan. Karena, ikhlas tersimpan di lubuk hati terdalam maka hanya Allah SWT saja yang pasti mengetahui ikhlas tidaknya seseorang dalam beramal (QS at-Taghabun: 4).
Siapa guru yang ikhlas itu? Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Orang yang ikhlas adalah orang memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima Allah SWT." Bahkan, seorang ulama mukhlisin, Ayyub As-Sakhtiyaany RA, mengatakan, "Demi Allah, tiadalah seorang hamba yang benar-benar ikhlas kepada Allah, melainkan ia merasa senang apabila dirinya seolah-olah tidak mengetahui kedudukan dirinya." Guru yang ikhlas paham dan sadar bahwa segala amal perbuatannya mesti bersih dari sikap riya, dan hanya diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah SWT semata.
Tidak ikhlas berarti tidak ada ruhnya dalam suatu amalan. Karena, ikhlas merupakan ruh dan syarat diterimanya amal seorang guru. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat (menilai) bentuk tubuh serta kemolekan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan yang bersemayam dalam lubuk hatimu." (HR Bukhari dan Muslim).
Ada beberapa ciri keikhlasan seorang guru. Pertama, guru berbuat baik bukan karena ingin dipuji, hendak cari nama, atau mendapatkan penghargaan. Dipuji, dihargai, atau bahkan dicaci, sama saja bagi seorang guru yang ikhlas. Yang penting ridha Allah SWT, itu sudah cukup. Guru ikhlas tak silau pujian dari manusia. Oleh karena itu, guru yang ikhlas tak bisa diperbudak penghargaan dalam bentuk perkataan, perhatian, pemberian fasilitas dan tanda jasa, dan lain sebagainya. Firman Allah SWT, "Dan, apa saja harta yang kamu nafkahkan maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan, janganlah kamu membelanjakan (harta) untuk tujuan selain mencari keridhaan Allah semata." (QS al-Baqarah: 272).
Kedua, ikhlas itu tidak pamrih. Amalan seorang guru dikategorikan ikhlas jika dalam melaksanakan amalnya ia tidak mengharapkan untuk mendapatkan sesuatu, seperti pangkat, jabatan, atau kedudukan (QS al-Insan: 9). Guru ikhlas yakin setiap orang akan dinilai dari tanggung jawab terhadap amanah yang diembannya. Maka, guru yang ikhlas tak ujub karena pangkat dan kedudukannya, dan tak rendah diri pula karena tak punya posisi dan jabatan yang tinggi.
Ketiga, guru ikhlas konsisten berbuat baik dan memiliki perasaan nikmat dalam berbuat kebajikan. Guru yang ikhlas akan sibuk beramal baik meskipun membutuhkan pengorbanan harta, pikiran, tenaga, bahkan nyawa sekali pun. Karena baginya, semua amal baik itu adalah investasi terbaik untuk kehidupan di akhirat kelak. Firman Allah SWT, "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan amal kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS al-Anbiya: 90).
Ikhlas adalah sifat baik yang mudah diucap tapi sulit dilakukan. Disiplin saat di depan murid dan kepala sekolah, tetapi tidak peduli waktu saat sendiri. Berapi-api saat menyuruh murid belajar, tapi guru sendiri malas belajar. Dipuji senang, ditegur tidak terima dan sempitlah dada. Senang melihat guru lain susah dan susah melihat guru lain senang. Tanya pada nurani, sudahkah kita jadi pribadi guru yang ikhlas? Wallahu a'lam.


***) Asep Sapa'at  (Republika Online)

Jumat, 26 Februari 2016

NIKMATI DETIK KEHIDUPAN

 Suatu sore selepas pulang kantor, HP berdering. Ketika saya angkat, terdengar suara parau seperti habis menangis. Ia bercerita tentang kehidupannya yang 2015 lalu seperti tidak pernah merasakan bahagia.
Padahal, ia orang kaya. Sibuknya luar biasa. Karyawannya banyak. Setiap butuh apa tinggal tekan tombol telepon, yang dimau datang. Semua serbaada dan dilayani.
Singkatnya, hidupnya sudah selesai secara materi. Namun, mengapa ia bercerita tak menemukan kebahagiaan di tengah tumpukan uang? Bukankah saat ini manusia sejagat bekerja keras untuk mendapatkan materi (uang)? Agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya?
Siapa pun dia, jika berkata "materi bukan segala-galanya", tapi memang segala-galanya membutuhkan materi bukan? Lalu, mengapa orang yang berkecukupan materi malah tidak pernah merasakan kebahagiaan? Bukankah hidup ini ujungnya adalah kebahagiaan? Surga itu metafora kebahagiaan. Jika kita mampu merasakan kebahagiaan, sejatinya kita sudah memasuki "surga".
Lalu, mengapa kita masih berharap pada surga yang sebenarnya? Hingga lupa pada Allah tujuan kita. Karena, kalau Allah tujuan kita maka surga akan kita dapatkan. Tapi, kalau hanya surga tujuan kita maka belum tentu kita dapatkan dan bertemu Allah.
Allah tujuan kita. Bukan surga. Bahagia adalah kendaraan kita menuju Allah. Kalau ibadah dirasakan sebagai kebahagiaan maka ibadah terasa lebih ringan dan indah. Jauh dari rasa terpaksa, berat, dan sulit dijalankan.
Seperti disinggung dalam Alquran, "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS adz-Dzaariyat: 56). Petani yang tiap hari pergi ke sawah, bisa merasakan "surga"-nya ketika jam makan siang tiba. Makan nasi tempe dan segelas air putih dinikmatinya setiap detik hingga benar-benar terasa nikmat dan lega.
Bandingkan dengan orang-orang kaya, yang setiap makan siangnya semua menu tersedia. Tapi ketika ia makan, yang diingat dan dipikirkan adalah urusan kantor sehingga tiap detiknya tidak merasakan kenikmatan makan.
Bukankah kenikmatan dan kebahagian hidup itu terasa ketika kita bisa menikmati setiap detik peristiwa yang kita alami. Makanlah ketika sedang makan. Tidurlah ketika sedang tidur. Bekerjalah ketika sedang bekerja. Jangan makan, tapi pikirannya bekerja. Tidur pikirannya makan. Dan, kerja pikirannya tidur.
Nikmatilah setiap detik kehidupan yang kita alami. Gunakan sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kemanfaatan hidup di dunia. Karena, tiap detik itulah sejatinya Allah berikan kesempatan pada kita manusia.
"Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal saleh, dan orang-orang yang nasihat-menasihati dalam kebaikan dan dalam kesabaran." (QS al-Ashr 1-3). Bahkan, Allah pun sampai bersumpah terkait betapa pentingnya detik demi detik yang kita alami ini adalah anugerah dan kesempatan kita sebagai hamba-Nya. Seperti tertuang dalam surah al-Fajr, al-Lail, ad-Dhuha, dan al-Ashr.
Mengapa? Agar setiap detik yang kita jalani tiap hari ini tidak berlalu begitu saja tanpa memberikan manfaat dan makna. Sehingga, kita tidak terjebak dalam kubangan duniawi semata seperti yang dialami teman penelepon tadi. Dengan begitu, kita akan benar-benar merasakan "surga" sebelum surga yang sebenarnya.


***) Abdul Muid Badrun , (Republika online)

Kamis, 25 Februari 2016

SEDEKAH YANG MENUNDA AJAL

Dikisahkan, syahdan, seorang jejaka dan gadis datang menemui Sulaiman bin Daud. Nabi Sulaiman pun mengikat keduanya dengan jalinan pernikahan. Lalu, keduanya keluar dari pertemuan tersebut dengan penuh bahagia dan sukacita.
Begitu keduanya keluar dari pertemuan dengan Sulaiman, masuklah malaikat maut menemui Sang Nabi, seraya berkata, "Wahai Nabi Allah, di tengah sukacita dan keriangan mereka berdua, jangan kaget, karena saya diperintahkan untuk mencabut ruh sang pemuda lima hari setelah ini."
Sulaiman pun selalu memantau dan mengawasi pemuda itu. Setelah berlalu lima hari, ternyata ia masih hidup. Hingga lima bulan pun, pemuda itu masih hidup juga. Sulaiman merasa heran.
Ketika Sulaiman dihantui keheranan tersebut, datanglah malaikat maut menemui Sulaiman, sambil berkata, "Hai Sulaiman, jangan terkejut dengan hal itu. Seperti yang sudah saya katakan padamu, saya akan mencabut ruh pemuda tersebut lima hari setelah itu.
Begitu dia keluar dari sisimu, seorang peminta datang menemuinya, dan pemuda itu pun memberinya lima dirham, sambil meminta didoakan agar dia panjang umur. Maka, aku pun diperintahkan untuk menangguhkan hal itu selama lima tahun karena keberkahan sedekah pemuda itu."


***)  Makmun Nawawi  (Republika Online)

Rabu, 24 Februari 2016

SAATNYA MENGAMALKAN ILMU

Setelah ilmu, kunci berikutnya adalah amal. Tidak akan berarti ilmu setinggi apapun kalau tidak diaplikasikan dalam bentuk amal.
Ilmu adalah pupuk iman. Iman inilah yang membedakan baik buruknya seseorang. Tak akan berarti ilmu tahajud, bila kita tidak pernah tahajud. Tak berarti pula ilmu berenang, kalau kita tidak pernah berenang. 
Bila dalam diri kita terpadu ilmu dan amal, pasti kita akan bangkit menjadi pribadi-pribadi sukses. Sudah menjadi satu keniscayaan, bila kita selalu mengamalkan ilmu yang didapat, maka Allah SWT akan mewariskan ilmu-ilmu yang lain.
Tapi sebaliknya, bila kita tidak pernah mengamalkannya, maka laknat Allah akan datang menimpa. Ilmu tersebut akan jadi bumerang bagi kita. Ilmu adalah pupuk dan amal adalah pohonnya. 
Masalahnya, kita sering mengalami kesulitan untuk beramal, padahal kita sudah mengetahui ilmunya. Bila ini terjadi ada lima keberanian yang harus kita miliki.
Pertama, berani bertekad dan bercita-cita. Kedua, berani berbuat dan memulai, serta tidak menunda-nunda pekerjaan. Ketiga, berani berkorban dan berani gagal. Keempat, berani menjalani proses. Dan terakhir, berani untuk selalu mengevaluasi diri.


Sumber : Pusat Data Republika

Selasa, 23 Februari 2016

KEBEBASAN MANUSIA YANG DIAJARKAN ISLAM

Islam adalah agama yang selalu menekankan kepada umatnya untuk berbuat kebajikan, kedamaian, kasih sayang, dan keselamatan. Islam merupakan agama yang menganjurkan umatnya untuk selalu berinovasi dan menuntut ilmu pengetahuan. Perhatikan firman Allah: Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan (QS 96: 1). 
Demikian pula dalam hal kebebasan. Rasulullah bersabda, "Telah datang kepadaku Malaikat Jibril dan berkata, 'Hai Muhammad, hiduplah sesuka hatimu, maka sesungguhnya engkau akan mati. Dan cintailah apa yang engkau cintai, sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengan kecintaanmu itu. Dan, beramallah apa yang engkau kehendaki, karena sesungguhnya engkau akan mendapatkan balasan. Lalu, ketahuilah bahwa semulia-mulianya orang mukmin ialah orang yang melaksanakan tahajud dan manusia yang terhormat adalah orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain'." (HR Baihaqi dari Jabir). 
Hadis di atas menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang menjunjung kebebasan manusia. Islam memberikan kebebasan hidup, kebebasan beramal, kebebasan mencintai dan dicintai, kebebasan bekerja, bahkan kebebasan berpendapat. Namun, kebebasan yang diajarkan Islam bukanlah kebebasan tanpa batas. Melainkan kebebasan yang bertanggung jawab, yaitu suatu kebebasan yang dipertimbangkan secara matang dan komprehensif, yang diatur guna keselamatan dan kemuliaan manusia. 
Suatu kebebasan yang dilandasi pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Ada pertimbangan kehidupan akhirat setelah dunia. Ada pertimbangan mati setelah hidup dan ada pertimbangan pahala dan dosa. Perhatikan firman Allah: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS 28: 77). 
Dalam konteks kekinian, kebebasan yang ada sudah kebablasan. Kebebasan yang ada sudah tidak memperhatikan lagi pengaruhnya, apalagi memperhatikan norma-norma agama maupun norma kehidupan dalam masyarakat.
Tayangan televisi, misalnya, berebut menayangkan tarian-tarian yang erotis dan menayangkannya pada waktu-waktu yang tidak terbatas. Demikian pula dengan media massa tertentu yang selalu mengekspose pornografi dan kejahatan seksual. Padahal, pada saat bersamaan jutaan anak-anak menonton dan membacanya. Menayangkan pornografi jelas sudah merupakan kebebasan yang kebablasan, kebebasan yang merusak norma kehidupan dan ajaran agama. 


Sumber : Pusat Data Republika

Senin, 22 Februari 2016

JIHAD TAK SEMATA PERAN

Jihad, kata yang kini menjadi sensitif dan kontroversial itu, sejatinya memiliki multimakna. Namun, kini mengalami penyempitan makna yang mengarah kepada perlawanan fisik; peperangan dan kekerasan yang radikal. Saat istilah jihad diucapkan, makna yang tersirat pun hanya pertempuran, agresi militer, bom bunuh diri, dan aksi-aksi kekerasan lain. Istilah jihad pun menjadi mengerikan banyak orang.
Kata jihad berasal dari bahasa Arab, dengan berakar kata al juhd atau al jahd. Dalam kamus Lisan Al Arab disebutkan bahwa al jahd itu bermakna kesulitan, sedangkan al juhd memiliki arti kemampuan dan kekuatan. Menurut Al Laits, al juhd dan al jahd memiliki satu arti yaitu segala sesuatu yang diusahakan seseorang dari penderitaan dan kesulitan.
Al Azhari, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Al Fara' menyebutkan bahwa kata ini memiliki arti tujuan. Sedangkan menurut Ibnu Arafah, al jahd bermakna mengerahkan kemampuan dan al juhd maknanya berlebihan dan tujuan. Kesimpulan dari pemaparan tersebut adalah jihad memiliki pengertian kesanggupan dalam mengerahkan kemampuan dan kekuatan untuk mencapai tujuan. Kesanggupan itu tetap diambil sekalipun dalam kondisi menderita dan sulit.
Meskipun mengalami perubahan struktur kata dan penambahan huruf, menjadi seperti al ijtihad, al jihad, dan al mujahadah, makna kata-kata tersebut tetap tidak bisa lepas dari makna dasar istilah jihad. Misalnya, al ijtihad berarti mengerahkan kemampuan dalam memutuskan perkara. Kemudian dalam tradisi sufi dikenal istilah al mujahadah yang berarti medan perjuangan spiritual dan jiwa seseorang.
Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, ''Maka, janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Alquran dengan jihad yang besar.'' (QS Al Furqan [25]:52). Menurut Ibnu Abbas, makna jihad dalam ayat itu adalah berjihad dengan Alquran. Menurut Ibnu Ziyad, maknanya jihad dengan Islam dan ada juga yang berpendapat dengan pedang, namun Imam Al Qurthubi menolak keras pendapat tersebut karena ayat ini turun di Makkah, sebelum turun perintah perang.
Dalam sepenggal hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Al Hasan, disebutkan, ''Tidak patut seseorang yang berjihad dengan hartanya (hingga habis) kemudian ia duduk untuk meminta-minta kepada manusia.'' Berjihad dengan harta tidak bisa diartikan sebagai perang tetapi mengorbankan hartanya sebagai implementasi perjuangan.
Dari pemaparan tersebut, jelaslah bahwa istilah jihad yang banyak disebutkan Alquran dan hadis memiliki multimakna, multitafsir, dan multibentuk. Sangat tidak tepat kalau kata jihad hanya didefinisikan dalam satu arti dan satu bentuk saja yaitu perang. Lebih tepat kalau kata jihad dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti perjuangan. Kata jihad baru identik dengan peperangan jika konteks maknanya dekat dengan istilah al qital, al harb, dan al ghazwah.


***) Asep Sulhadi  (Republika Online)

Minggu, 21 Februari 2016

MELEPAS STRES DENGAN SHALAT TAHAJUD

Anda rajin shalat tahajud? Jika demikian, berbahagialah. Sebab, ketaatan Anda untuk bersujud kepada Yang Maha Kuasa ketika kebanyakan orang tengah terlelap itu, benar-benar sangat bermanfaat baik dunia maupun akhirat. 
Di satu sisi, jika Anda melakukannya dengan ikhlas, maka shalat tahajud akan membuat ''tabungan'' pahala Anda makin bertambah. Di sisi lain Anda pun bisa memetik keuntungan jasmaniah dari shalat tahajud ini. Anda akan terhindar dari pelbagai penyakit!
Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr Moh Sholeh MPd. Menurutnya, shalat tahajud yang dilakukan di menghujung malam yang sunyi, bisa mendatangkan ketenangan. Sementara ketenangan itu sendiri terbukti mampu meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan meningkatkan usia harapan hidup.
Sebaliknya, bentuk-bentuk tekanan mental seperti stres maupun depresi membuat seseorang rentan terhadap infeksi dan mempercepat perkembangan sel kanker serta meningkatkan metastasis (penyebaran sel kanker). 
Tekanan mental itu sendiri terjadi akibat gangguan irama sirkadian (siklus bioritmik manusia) yang ditandai dengan peningkatan hormon kortisol. Asal tahu saja, hormon kortisol ini biasa dipakai sebagai tolok ukur untuk mengetahui kondisi seseorang apakah jiwanya tengah terserang stres atau tidak.
Untungnya, stres bisa dikelola. Dan pengelolaan itu bisa dilakukan dengan cara edukatif atau dengan cara teknis relaksasi, yang meliputi meditasi atau perenungan, dan umpan balik hayati (bio feed back). ''Nah, shalat tahajud mengandung aspek meditasi dan relaksasi sehingga dapat digunakan sebagai coping mechanism atau pereda stres yang akan meningkatkan ketahanan tubuh seseorang secara natural,'' jelas Moh Sholeh dalam disertasinya yang bertajuk Pengaruh Salat Tahajud terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik.
Tapi pada saat yang sama, shalat tahajud pun bisa mendatangkan stres, terutama jika tidak dijalankan secara ikhlas dan kontinu. ''Jika tidak dilakukan dengan iklas, akan terjadi kegagalan dalam menjaga homeostasis atau daya adaptasi terhadap perubahan pola irama pertumbuhan sel yang normal, tetapi jika dijalankan dengan ikhlas dan kontinu akan sebaliknya.'' Dengan begitu, keikhlasan dalam menjalankan shalat tahajud memang sangat penting. 
''Keikhlasan Anda dalam menjalankan salat tahajud itu dapat dimonitor lewat irama sirkadian, terutama pada sekresi hormon kortisolnya,'' kata pria yang meraih gelar doktor di bidang psikonevroimunologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini.


Sumber : Pusat Data Republika

Sabtu, 20 Februari 2016

MENJADI MANUSIA BURUNG

Burung adalah salah satu makhluk yang ditundukkan oleh Allah SWT bagi manusia, guna dinikmati dan dijadikan ibrah dalam kehidupan. Telah menjadi kehendak Allah bahwa burung menjadi ayat qauliah (tersurat) dan kauniah (tersirat). 
Dalam Alquran terdapat kisah burung hudhud yang kecil, tetapi mampu mengerjakan sesuatu yang melebihi bentuk fisiknya. Dalam hadis Rasulullah saw disebutkan bagaimana burung-burung berangkat di pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan kembali di sore hari dalam keadaan perut kenyang oleh makanan. 
Karena itu, manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk selalu membaca ayat-ayat-Nya secara utuh, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Terhadap kisah burung hudhud ataupun eksistensi burung-burung yang hidup di alam semesta ini, terdapat pelajaran yang bisa kita teladani. 
Burung mengajarkan kepada kita untuk memiliki obsesi melebihi bentuk fisik kita, misalnya, fisik boleh kecil, tetapi cita-cita dan idealisme harus lebih besar. Hal ini bukanlah mimpi dan khayalan. Yang membedakan antara kenyataan dan khayalan adalah kemauan dan kesungguhan untuk merealisasikan obsesi, cita-cita, dan idealisme itu. 
Lihatlah hudhud seekor burung kecil mampu memberikan informasi yang tidak diketahui oleh Nabi Sulaiman, bahwa ada kerajaan yang penduduknya menyembah selain Allah SWT dan dipimpin oleh seorang wanita. Burung juga mengajarkan optimisme, tidak boleh berputus asa dalam berbuat, terutama dalam hal pemenuhan hajat dan kebutuhan sehari-hari. 
Bagaimana burung yang sedemikian kecil dari segi fisik itu, begitu besar dalam semangat mencari dan mengais karunia Allah SWT. Keputusasaan hanya akan menjadikan seseorang malas dan berakibat fatal dalam kehidupannya. 
Sesungguhnya burung hanya mempunyai insting, namun mampu mencukupi kebutuhannya, apalagi manusia yang dilengkapi dengan akal. Ini hanyalah sebagian dari apa yang diajarkan burung kepada kita.
Sekarang bagaimana kita bisa membuat diri kita menjadi manusia burung, dalam arti mempelajari dan mengambil pelajaran dari burung dan menjadikan diri mampu berbuat besar, bahkan lebih besar dari apa yang diperbuat oleh burung hudhud. Burung saja mampu, mengapa kita tidak? Wallahu a'lam bishshawab.


***) Eva Nuramida (Republika Online

Jumat, 19 Februari 2016

BELAJAR DARI KISAH NABI NUH

Dalam Alquran ditemui kisah Nabi Nuh AS bersama kaumnya dilanda banjir. Nuh AS bersama pengikutnya serta makhluk lain masing-masing dua berpasangan dapat selamat dengan menggunakan kapal yang dipersiapkan sebelumnya. Lainnya tenggelam ditelan air bah.
Di antara korban itu adalah anak kandung Nuh sendiri, bernama Kan'an. Dia menolak bergabung dengan ayahnya dan berpihak kepada kaum kafir. Karenanya Nuh AS merasa kecewa yang mendalam.
Sebelumnya Nuh telah berusaha agar anaknya itu selamat. Ketika air sedang naik, ombak bergulung, Nuh memanggil anaknya Kan'an agar naik ke kapal bersamanya. Tapi Kan'an menolak sambil menunjuk sebuah gunung tempat ia lari dari kejaran banjir. Akhirnya gunung tempat berlindung Kan'an pun dibenam air. Kan'an tewas di sana.
Setelah banjir surut, Nuh mengetahui nasib anaknya yang malang. ''Dan, Nuh memanggil Rab-nya lalu berkata: 'Oh Tuhanku! Sesungguhnya anakku itu bahagian dari keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu benar dan Engkau hakim yang paling adil'. Allah SWT berkata: 'Hai Nuh! Sesungguhnya dia bukan keluarga engkau, sebenarnya dia telah melakukan pekerjaan yang tidak baik, maka janganlah engkau menanyakan kepada-Ku tentang persoalan yang kamu tidak berpengetahuan tentang itu, Aku mengajar engkau supaya engkau tidak termasuk orang yang bodoh'.'' (QS Hud ayat 45 dan 46).
Pada ayat berikutnya Nuh AS menyesali perkataannya. Ia berlindung kepada Allah SWT dari pernyataan yang tidak berdasar kepada pengetahuannya. Dia mohon ampun kepada Allah SWT dan menuntut kasih sayang-Nya.
Sebagai Rasul Allah, Nuh AS tentu tunduk sepenuhnya. Berdasarkan ajaran Allah SWT, bapak dan anak menjadi sebuah keluarga. Dan karena Allah SWT pula hubungan keluarga antara anak dan bapak jadi terputus.
Siapa yang bisa bilang kalau antara ayah dan anak bukan sebuah keluarga, tapi siapa pula yang bisa membantah kalau hubungan keluarga itu dinyatakan putus akibat tidak seiman? Menurut ajaran Allah SWT, keluarga yang abadi adalah sebuah keluarga yang sama beriman kepada-Nya. Bukan hanya di dunia, akan tetapi berhubungan keluarga sampai ke akhirat kelak.
Firman Allah SWT: ''Dan orang-orang yang beriman, lalu diiringi oleh anak cucunya yang juga beriman, nanti mereka kami pertemukan dengan turunannya itu dan tiada kami kurangi amal mereka sedikit pun, setiap orang bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakannya.'' (Surat At Thur ayat 21).
Alangkah indahnya keluarga mukmin itu. Tentu jadi idaman semua orang yang mengaku beriman. Amatlah bijak kalau pertemuan keluarga dalam suasana Idul Fitri atau pertemuan lainnya diarahkan pada pemantapan iman semua anggota keluarga. Wallahu a'lam 


***) Nasril Zainun (Republika Online)

Kamis, 18 Februari 2016

MERAIH KEBAIKAN MELALUI UJIAN

Proses kehidupan manusia di muka bumi tak terlepas dari kekuasaan Allah Yang Maha Tak Terbatas. Kekuasaan Allah meliputi apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Salah satu bentuk kuasa-Nya adalah Allah ciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan. Keberadaan siang dan malam, panas dan hujan, lelaki dan perempuan, hitam dan putih, matahari dan bulan, termasuk di dalamnya ujian dan kebahagiaan.
Sungguh, tiada satu pun kesia-siaan dalam hidup ini, meskipun bentuknya adalah ujian. Namun kadangkala, manusia kerap menyalahartikan bentuk cinta-Nya yang datang berupa ujian. Prasangka pun datang, padahal ujian datang sebagai bentuk kasih sayang.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya, maka Dia akan mengujinya,” (HR Bukhari)
Dr Musthafa Sa’id Al-Khin dalam Nuzhatul Muttaqina Syarhu Riyadis Shalihina, hadits di atas memberikan faedah bahwa orang yang beriman tidak akan terlepas dari ujian. Sesungguhnya, apa yang menimpanya itu tiada lain adalah kebaikan bagi dirinya, karena ketika itu ia berlindung kepada Allah Swt dan jadilah ujian-ujian itu sebagai penghapus kesalahan-kesalahannya.
Jika kita mau merenungkan ujian-ujian yang Allah berikan, sepertinya belum seberat ujian yang datang kepada para Nabi Allah—lebih khusus ujian yang Allah berikan kepada Rasul Ulul Azmi— dan secara umum ujian yang dikirim kepada Nabi-nabi yang Allah abadikan dalam Alquran. Salah satu contohnya ialah cobaan yang Allah berikan kepada Nabi Yunus as.

Allah berfirman, “Kemudian dia ikut diundi ternyata dia termasuk orang-orang yang kalah (dalam undian),” (Qs Ash-Shaffaat: 141)
Firman Allah dalam surah Ash-Shaffat ayat 141 di atas adalah peristiwa saat Nabi Yunus as harus ditenggelamkan ke tengah laut. Ada peristiwa yang terjadi sebelumnya kenapa pada akhirnya Yunus as harus mengalami hal tersebut. Yunus as yang diutus kepada kaum Ninawa yang gemar menyembah patung singa, harus merasakan pedih yang teramat sangat tatkala kaumnya tersebut menolak dakwahnya mentah-mentah.
Tidak sekali dua kali Yunus as menyerukan untuk menyembah Allah saja, tidak selain-Nya, tapi berulang kali pula kaumnya tersebut membantah. Hingga suatu hari, Yunus as pun kurang kesabaran. Ia pun berniat meninggalkan kaumnya, sebelum dakwahnya usai. Ia pun memutuskan untuk pergi begitu saja tanpa ada perintah dari Allah karena kekesalan yang tidak mampu ia bendung lagi kepada kaumnya. Akhirnya, ia pun menumpang suatu perahu agar dapat menyebrang lautan.
Ibnu Katsir dalam dalam Tafsirul Quran’l Adzhim mengungkapkan ketika perahu itu mulai terombang ambing oleh ombak di sekelilingnya dan hampir tenggelam, mereka langsung saja mengadakan undian. Barangsiapa di antara mereka yang mendapatkan undian itu, ia mesti dilemparkan ke laut supaya beban perahu menjadi ringan dan seimbang kembali.
Ternyata undian itu jatuh pada Nabi Allah, yaitu Yunus as. Setelah diulang sampai ketiga kali, ternyata undian itu tetap saja jatuh pada Yunus as, tetapi mereka tidak mengingkan Yunus as dilemparkan di antara mereka.
Tanpa menunggu lama, dengan kesedihan sekaligus kepasrahannya pada Allah, Yunus as melepas bajunya dan langsung terjun ke laut, padahal mereka tidak mengharapkan hal itu terjadi. Lalu Allah Swt memerintahkan seekor ikan paus yang berasal dari laut biru agar membelah lautan dan menelan Yunus as tanpa meremukan dagingnya dan memecahkan tulangnya. Dibawalah Yunus as oleh paus mengelilingi lautan.
Di saat Yunus as berada di perut ikan paus, ia mengira dirinya sudah mati, namun kemudian bergeraklah kepala dan kedua kaki serta ujung-ujung jarinya, ternyata bersyukur ia masih hidup. Lalu ia pun berdiri dan melaksanakan shalat di perut ikan paus, dan sejumlah doa dipanjatkannya, yaitu, “Wahai Tuhanku, aku jadikan tempat ini sebagai tempat sujud kepada-Mu, yang mana tidak ada seorang pun dari manusia mengalaminya,”
Allah berfirman, “Maka sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah niscaya dia akan tetap tinggal di perut itu sampai hari berbangkit,” (Qs Ash-Shaaffat: 143-144). Ibnu Abbas ra, Sa’id bin Jubair, Adh-Dhahak, Atha bin As-Saib, As-Sudi, Al-Hasan, dan Qatadah berkata, “Yang dimaksud dengan orang-orang yang yang senantiasa bertasbih itu ialah orang-orang yang senantiasa melaksanakan shalat, karena dijelaskan bahwa Nabi Yunus gemar melaksanakan shalat sebelumnya,”
Tidak hanya shalat di dalam ikan, Nabi Yunus juga membaca doa yang ia ulang-ulang agar Allah mau mengampuninya, “Tiada Tuhan melainkan Engkau (ya Allah) Maha Suci Engkau (daripada melakukan aniaya, tolonglah aku). Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri” (QS Al-Anbiya’ : 87).
Kala itu, Yunus as benar-benar kepayahan dan tiada daya upaya. Ia pasrah jika pada akhirnya, harus wafat di dalam perut ikan. Tapi ia pun menyesal dan memikirkan bagaimana kabar kaumnya setelah ia tinggal dalam keadaan yang masih kafir?
Akhirnya, Allah tak tinggal diam. Keberadaan Yunus as dalam perut ikan ternyata bersamaan dengan musibah angin besar dan banjir bah yang melanda kaum Ninawa. Mereka akhirnya menyadari bahwa musibah itu datang karena mereka tak mengiraukan ajakan Nabi Yunus untuk menyembah Allah.
Setelah sembuh berkat pertolongan Allah, Nabi Yunus as pun diperintahkan kembali kepada kaumnya. Maha Besar Allah, betapa takjubnya Yunus as tatkala mendapati seluruh kaumnya yang berjumlah 100 ribu lebih akhirnya beriman kepada Allah.
“”Dan Kami utus dia (Yunus) kepada seratus ribu lebih dari mereka. Lalu mereka beriman dan Kami berikan kesenangan hingga waktu tertentu,” (Qs Ash-Shaffat 147-148)
Nabi Yunus as pun menangis. Ia menyadari betapa baiknya Allah, padahal ia telah meninggalkan kaumnya sebelum ada perintah dari Allah dan dakwahnya belum usai. Hingga akhirnya Allah pun memberikan cobaan dengan tinggal puluhan hari di dalam perut ikan yang sungguh gelap. Ternyata, dalam cobaan itulah, Allah telah menyiapkan hadiah kebaikan untuknya; hadiah keimanan yang menyelimuti dada kaumnya. Semoga ujian-ujian yang Allah berikan, akan pula berbuah kebaikan.. Aamiin


***) Ina Salma Febriany – (Republika Online

Selasa, 16 Februari 2016

DOA UNTUK PENGHUNI BARZAH

Sebelum manusia terbujur kaku, termasuk mereka yang gagah perkasa dan kaya raya, lalu kain kafan putih menyelimuti dirinya, sebaiknya mereka merenungkan sabda Rasulullah saw berikut ini, "Bila salah seorang anak Adam meninggal dunia, maka putuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak shaleh kepada orang tuanya." 
Berdasarkan sabda Rasul itu kita tahu bahwa satu dari tiga perkara yang bisa dinikmati setiap penghuni alam barzah setelah mereka mati adalah doa anak shaleh kepada orang tuanya. Hadits itu mempunyai dua sasaran. Pertama, kepedulian kepada orang lain walaupun sudah berpindah alam. Kedua, memberi tarbiyah (pendidikan) kepada anak kita agar kelak menjadi anak shaleh, ingat kepada orang tuanya yang sudah meninggal. 
Sebuah pengalaman spiritual tentang hal itu bisa dipetik dari kitab Irsyadul 'Ibaad, adalah seseorang bermimpi dalam tidurnya melihat ahli kubur keluar dari liang kuburnya. Mereka memungut sesuatu, namun ia tak mengerti apa yang mereka pungut. Ia juga terheran-heran karena salah satu dari ahli kubur itu hanya duduk dan tak ikut memungut. 
Lalu ia mendekatinya dan bertanya, "Apa sesungguhnya yang mereka pungut?" Si ahli kubur itu menjawab, "Mereka memungut hadiah yang diberikan orang-orang Muslim [yang masih hidup] berupa bacaan Alquran, sadaqah, dan doa." Orang itu bertanya lagi, "Mengapa Anda tak ikut memungut?" Si ahli kubur menjawab, "Aku sudah merasa cukup karena aku sudah dikirimi anakku setiap hari dengan bacaan Alquran. Saat ini anakku berjualan kue di pasar." 
Ketika terjaga, orang yang bermimpi itu bergegas ke pasar. Ia menemui dan menanyakan apa yang dilakukan si pemuda yang disebut ahli kubur dalam mimpinya tersebut. "Aku baca Alquran ketika berziarah kubur, dan aku hadiahkan buat orang tuaku," jawab si pemuda tersebut. 
Kisah tersebut mengandung hikmah bahwa doa yang diharapkan si mati tentunya berasal dari orang yang paling dekat, yakni anaknya. Ini menjadi bentuk bakti si anak kepada orang tua ketika kedua orang tua itu sudah meninggal. Tentu saja, si orang tua tidak akan menikmati doa-doa yang dikirim dari dunia kalau saja anak-anak mereka adalah para pendurhaka. Naudzubillah
Hari ini kita mendoakan orang tua, besok lusa insya Allah kita didoakan anak-anak kita yang shaleh. Amien. 


Sumber : Pusat Data Republika

Minggu, 14 Februari 2016

ALI PUN HERAN DENGAN ORANG KIKIR

Ketika menjadi khalifah, Sayidina Abu Bakar Siddiq pernah memerangi orang-orang yang menolak untuk melaksanakan kewajiban membayar zakat. Bagi sang khalifah, apabila penolakan itu dibiarkan maka ketaatan umat Islam terhadap ajaran Rasulullah SAW dan Allah SWT akan semakin menipis. Penolakan itu juga menunjukkan bahwa mereka masih menyimpan salah satu sifat yang tercela, yakni kikir.
Kikir jelas merupakan sifat yang nyata-nyata dikecam oleh Allah SWT. Firman-Nya, ''Ingatlah, kalian adalah orang-orang yang diminta untuk menafkahkan sebagian harta kalian di jalan Allah, namun di antara kalian terdapat orang-orang yang bakhil. Siapa pun yang bersikap bakhil (kikir), maka sesungguhnya ia bakhil (kikir) terhadap dirinya sendiri, sebab Allah Mahakaya dan kalian adalah orang-orang miskin.'' (Muhammad: 38).
Dari ayat di atas jelaslah bahwa orang-orang kikir adalah mereka yang mempunyai harta, namun ketika diminta untuk menafkahkan sebagiannya di jalan Allah, mereka menolak. Menafkahkan harta di jalan Allah itu macam-macam, antara lain, zakat, infak, sedekah, dan memberi makan anak yatim-piatu. Padahal, Allah SWT telah menjamin bahwa segala sesuatu yang diinfakkan dalam kerangka fi sabilillahtidak akan menjadi perbuatan yang sia-sia. ''Apa pun yang kalian infakkan, maka Dia (Allah) akan menggantikannya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki." (Saba: 39).
Ada beberapa penyebab tertentu dari kekikiran. Di antaranya adalah takut miskin.
Mengenai hal ini, Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan, ''Aku heran dengan orang yang kikir karena ia hanya mempercepat laju kemiskinannya, padahal ia berusaha lari dari kemiskinan. Ia kehilangan kesenangan hidup yang ia dambakan (karena tidak menikmati hartanya akibat kebakhilannya). Ia hidup seperti orang yang miskin, namun ia harus mempertanggungjawabkan hartanya pada hari kiamat seperti orang kaya.''
Motif lain dari kekikiran adalah sikap berlebihan atau kekhawatiran berlebihan terhadap masa depan keluarga. Orang yang demikian lebih suka menabung seluruh uangnya untuk masa depan anak-anak/keluarga daripada menginfakkan sebagian daripadanya di jalan Allah. Mereka berkeyakinan, harta akan dapat melindungi masa depan anak-anaknya. Padahal, Alquran telah memberi petunjuk bahwa kekayaan dan anak-anak hanyalah cobaan/fitnah. (Al-Anfal: 28). 
Motif berikutnya dari kekikiran adalah cinta harta secara berlebihan tanpa menganggapnya sebagai sarana ibadah. Mereka ini mengira bahwa zakat, infak, dan sedekah akan mengurangi hartanya. Padahal, Allahlah penetap segala rezeki.
Sebagai individu yang hidup di tengah masyarakat, sifat kikir pasti mempunyai konsekuensi yang bisa merugikan diri sendiri. Minimal ada dua kerugian bagi orang yang kikir. Pertama, kerugian ketika di dunia, yaitu menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian di antara orang-orang dekat dan warga sekitar di mana ia tinggal. Paling tidak kikir telah menimbulkan rasa tidak senang pada orang lain. Selain itu, orang yang kikir adalah orang yang letih. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menimbun kekayaan, namun ia tidak menikmati hartanya. Karena, ahli warisnyalah yang akan menikmatinya. 
Kedua, kerugian yang diterima pada hari pembalasan nanti. Yakni, orang yang kikir akan mempertanggungjawabkan harta kekayaannya pada hari akhir nanti layaknya orang kaya. Padahal, seperti yang telah disebutkan bahwa ia hidup di dunia ini layaknya orang miskin yang terus-menerus mengejar harta, namun ia tidak menikmatinya.


***)Republika online

Sabtu, 13 Februari 2016

HUKUM BERMAIN CATUR

Catur merupakan permainan yang belum dikenal pada masa Rasulullah SAW. Permainan ini dikenal melalui masyarakat persia ketika mereka memeluk Islam, sedangkan asal muasalnya konon dari India.
Saat ini catur telah banyak digemari oleh masyarakat Indonesia, tidak hanya oleh kalangan tua tapi juga anak muda. Tapi, bagaimana hukum permainan tersebut menurut pandangan Islam?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum bermain catur. Ulama yang ketat mengharamkannya, sedangkan ulama moderat membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Ulama yang mengharamkan permainan ini mendasarkan pendapatnya pada hal berikut ini, sebagaimana dikutip dalam buku "M. Quraish Shihab" menjawab, Jumat (12/2).
Pertama, menurut Quraish Shihab, ulama tersebut mengharamkannya berdasarkan ayat Alquran yang melarang perjudian (QS al-Ma'idah [5]: 90). Kedua, mereka berpendapat berdasarkan pada beberapa riwayat yang dinisbahkan kepada nabi, yang mengutuk atau mengecam para pemain catur dengan siksa.
Ketiga, kata dia, didasarkan pada kesamaannya dengan nardasyir(dadu). Dalam konteks ini, nabi bersabda. "Barang siapa yang bermain nardasyir, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya (HR Malik, Ahmad, dan Abu Dawud melalui Abu Musa)."
Para ulama yang tidak menilai haram menilai menolak mempersamakan permaianan ini dengan berjudi. Menurut Quraish, penolakan tersebut jelas tempatnya. "Di mana gerakan letak persamaannya? Memang jika disertai dengan judi ia haram, tapi keharamannya adalah karena perjudian bukan karena catur," kata dia mengatakan.
Selain itu, hadis-hadis yang mengancam pemain catur kesemuanya berasal dari hadis dhaif atau lemah. Karena nabi juga tidak mungkin menilai satu hal yang belum dikenal pada masanya.


*)Republika Online

Kamis, 04 Februari 2016

KOMITMEN CINTA

Seorang sahabat bernama Jabir RA bercerita bahwa Nabi SAW menasihati. “Sungguh, yang paling aku suka di antara kalian dan paling dekat duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sungguh, yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh tempat duduknya pada hari kiamat adalah al-tsartsarun (orang-orang yang banyak membual), al-mutasyaddiqun (orang yang banyak berkata kotor), dan al-mutafaihiqun. 
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tahu al-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun. Namun, siapakah al-mutafaihiqun itu? Beliau menjawab, “Al-mutakabbirun (orang-orang sombong).'' (HR At-Tirmidzi).
Ketiga kelompok tersebut adalah orang-orang yang melakukan dosa-dosa sosial, bukan individual atau ritual. Tindakan zalim, menipu, mengumbar janji palsu, sumpah serapah, kata-kata yang menghinakan, pembalakan liar, pembakaran hutan, perusakan lingkungan, korupsi, terorisme, anarkisme, menyebarkan paham sesat, merasa paling benar dan orang lain ahli bid'ah dan kafir adalah perilaku yang paling dibenci Nabi SAW.
Seorang yang mengaku umat Nabi Muhammad SAW wajib menunjukkan kepatuhan kepadanya (QS 3:144,59:7). Kepatuhan bukan hanya pada perintahnya (wajib dan sunat), tetapi juga pada larangannya (haram dan makruh). Komitmen itulah yang disebut dengan cinta.
Kita tunjukkan komitmen itu melalui 6 M. Pertama, meyakini kenabiannya. Salah satu rukun iman yang enam adalah beriman kepada nabi dan rasul Allah SWT. Sekaligus meyakini bahwa tidak ada lagi nabi setelah Nabi SAW. (laa nabiyya ba'dahu) karena Beliau SAW adalah penutup para nabi dan rasul (khatamul anbiya` wal mursaliin).
Konsekuensinya adalah menolak setiap orang atau paham yang mengaku sebagai nabi atau penyelamat seperti Ahmad Mushaddeq dengan Gafatar yang memperdaya ribuan pengikutnya.
Kedua, mengikrarkan keyakinan. Sebagai bukti keyakinan akan kenabiannya yang tertanam dalam lubuk hati maka setiap Muslim wajib mendeklarasikannya dengan syahadatain (dua kesaksian).
Ikrar yang lahir dari hati yang tulus dan sungguh-sungguh sebagai pintu masuk agama Islam bukan hanya wajib diucapkan pada shalat, melainkan juga pada setiap waktu untuk memperbaharui keimanan (akidah tauhid).
Ketiga, menyebutkan namanya. Kata pepatah, “man ahabba syai`an aktsaru min dzikrihi” (siapa yang mencintai seseorang pasti ia banyak menyebut namanya). Sungguh, Allah SAW dan malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi SAW, begitupun orang-orang beriman.'' (QS 33:56).
Tidak hanya dalam shalat dan berdoa, tetapi mewiridkannya. Jika namanya disebut maka bershalawatlah. Sebagian orang menggubah syair nan indah untuk merefleksikan kecintaannya.
Keempat, meneladani sunahnya. Sunah Nabi SAW atau akhlak Nabi SAW ada yang bersifat manusiawi, ibadah (mahdhah), dan sosial (muamalah). Semua yang berkaitan dengan kepribadian beliau selalu mengagumkan (ajaban).
Itulah uswah hasanah yang mesti diteladani umatnya (QS 33:21), sejak Beliau bangun tidur hingga tidur lagi. Cobalah ukur komitmen ini melalui tujuh sunah harian, yakni shalat Tahajud, shalat berjamaah, tilawah Alquran, shalat Dhuha, sedekah, zikir, dan puasa sunah.
Kelima, mendakwahkan ajarannya. Komitmen cinta Nabi SAW dengan menyiarkan dakwahnya. Kewajiban berdakwah bukan di pundak para dai saja, tetapi setiap Muslim sesuai kapasitas dan keahlian, baik individual maupun kolektif (QS16:125,3:104,110).
Pesan Nabi Muhammad SAW agar menyampaikan kepada orang lain walaupun satu ayat atau kebaikan. Mengajarkan ajaran Islam damai yang dikemas akhlak mulia (QS 3:159), dan kearifan (QS16:125,21:107).
Keenam, menceritakan tetang dirinya. Komitmen terakhir, yakni menceritakan sejarah hidupnya kepada anak-anak kita agar menjadi inspirasi dan pelajaran. Hal ini menuntut kita membaca sirah nabawiyah dan sahabatnya.
Penulis non-Muslim, Michael H Hart, menulis buku 100 Orang Paling Berpengaruh hingga ia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang paling berpengaruh karena keagungan akhlaknya. Allahu alam bish shawab.


***) Hasan Basri Tanjung (REPUBLIKA ONLINE)

Selasa, 02 Februari 2016

EMPAT MAKNA IHSAN

Istilah ihsan secara bahasa berarti baik dan berbuat baik. Istilah ini muncul dalam Alquran dan hadis beberapa kali untuk menunjukkan beberapa makna yang sekaligus menggambarkan bentuk-bentuk sikap ihsan yang perlu ditampilkan Muslim dalam kehidupan.
Pertama, ihsan adalah memberikan nikmat atau sesuatu yang disenangi kepada orang lain. Banyak ayat Alquran dan hadis yang mendorong umat Islam memberikan sesuatu yang baik kepada orang lain. Bahkan, pemberian itu dipandang sebagai tolok ukur kesempurnaan iman seseorang.
Kedua, berbuat baik dan menyebarkan kebaikan. Sikap ini lahir karena pelakunya menyadari bahwa perbuatan itu baik dan diperintahkan agama untuk dilakukan. Dalam hal ini, lahirnya sikap ihsan sangat didukung oleh pengetahuan seseorang tentang kebaikan.
Umar ibn Khattab pernah mengungkapkan, ''Manusia dipandang dan dinilai karena pengetahuannya tentang kebaikan dan konsistensinya melakukan perbuatan baik sesuai dengan pengetahuan tersebut.''
Ketiga, berbuat baik karena seseorang memahami bahwa perbuatan tersebut akan dibalas Allah dengan yang lebih baik, di dunia maupun di akhirat. Perbuatan baik seseorang tidak akan disia-siakan Allah, meskipun sedikit jumlahnya.
Keempat, ihsan lebih tinggi dari berlaku adil. Seseorang disebut adil apabila melaksanakan kewajibannya, lalu ia menerima haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan ihsan adalah melakukan pekerjaan melebihi dari yang diwajibkan dengan tidak melanggar aturan dan mengambil atau menerima hak kurang dari yang telah ditentukan. Jadi, orang yang ihsan tidak pernah mengambil hak orang lain. Ia bahkan masih menyisakan haknya demi kemaslahatan orang lain.


Sumber : Pusat Data Republika