Selasa, 30 Juni 2015

BELAJAR DARI KISAH KEMATIAN FIRAUN

Masih ingat cerita Firaun tenggelam di laut ketika mengejar Nabi Musa as? Ada riwayat yang mengatakan bahwa ketika nyawa sudah sampai dikerongkongan, Firaun mengucapkan keimanannya. Sayang sudah terlambat. Malaikat menjejalkan lumpur kemulutnya dan mengambil nyawa Raja lalim itu dengan paksa.
Bagi orang-orang durhaka, kematian adalah sebuah hukuman, dimana melalui kematian, Allah menimpakan azab untuk dijadikan pelajaran bagi mereka yang hidup (Surah Al Maidah : 106), seperti halnya yang menimpa Firaun dan orang-orang yang menzalimi RasulNya.Bagi orang yang mengalami kematian dan keluarga yang ditinggalkan. Musibah kematian dapat menjadi ujian tapi dapat juga menjadi azab bagi keluarga yang ditinggalkannya. Bagaimana membedakan apakah kematian itu suatu ujian, atau suatu azab yang ditimpakan pada manusia?
Kematian merupakan ujian atau cobaan, apabila kematian tersebut menimpa kepada seorang mukmin, dengan ciri-ciri yang menyertai kematiannya:
1.Bagi orang mukmin musibah dipandang sebagai bagian dari proses yang sudah tertulis dalam takdir Allah SWT serta menjadi kodrat mahluk bernyawa untuk merasakan kematian, mereka menerima dengan lapang dada, ikhlas dan ridha dengan ketentuan sang Khalik. Sebagaimana Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 35, bahwa setiap yang bernyawa pasti merasakan mati.
2.Mukmin memandang musibah kematian sebagai sarana menambah amal ibadah dan mendekatkan diri ke Allah SWT, karena mereka sadar bahwa musibah merupakan cara sang Khalik dalam membedakan mana  yang beramal lebih banyak, mana justru makin sedikit amalnya, sebagaimana Al-Quran Surat Al Mulk yang berbunyi: Allah yang menciptakan hidup dan mati untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”. (QS. Al-Mulk: 2).
3.Ketika keluarga atau orang tercinta meninggal dunia, mukmin menghadapinya dengan tawakal, tidak menangis meraung-raung dan marah menyalahkan keadaan. Karena meski diperbolehkan menangis, Rasulullah melarang meratapi kematian dengan berlebihan, sebagaimana hadis “Bukanlah dari golongan kami orang yang menampari pipi (ketika ditimpa kematian), merobek pakaian dan yang mengeluh serta meratapi seperti kebiasaan jahiliah.”(HR. Muslim)
4.Orang mukmin yang meninggal dunia akan mendatangkan doa keselamatan yang tulus bagi jenazah dari mereka yang mencintainya . Riwayat pernah menceritakan tentang seorang Sufi bernama Uwais Al Qarni, beliau sangat taat kepada ibunya dan memelihara ibadahnya hingga akhir hayatnya. Rasulullah menyebutnya sebagai 'penduduk langit, dimana ia sangat terkenal diantara para malaikat. Ketika wafat Uwais Al Qarni menggemparkan kota Yaman, karena semasa hidup ia bukan siapa-siapa dibumi  dan dikenal sebagai fakir miskin, jenazahnya didatangi oleh ratusan orang setiap harinya untuk menshalatkannya . Mereka yang datang menshalatkan tak lain adalah para malaikat yang mengagumi kesolehannya.
5.Salah satu ciri orang mukmin ketika menjelang ajalnya akan terlihat mempertajam keimanannya melalui intensitas amal ibadah yang kian meninggi. Sebagaimana Rasulullah bersabda : "Dia akan memberinya petunjuk untuk melakukan kebaikan ketika menjelang ajalnya, sehingga tetangga akan meridhainya (atau ia berkata) orang sekelilingnya." (Hadits Riwayat Al-Hakim)
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar syukur., takwa, )

***)Repubika

Senin, 29 Juni 2015

KEMATIAN, JALAN MENUJU KENIKMATAN ABADI

Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 28, Sesungguhnya manusia melampaui dua kematian dalam fase  hidupnya. Pertama sebelum manusia diciptakan atau masa ketiadaan. Kedua setelah manusia menjalani hidup didunia atau kematian. Penyebab kematian hanya satu, yakni ajal. Sedangkan penyakit, terbunuh atau bunuh diri hanyalah jalan menuju kematian, sebagaimana tertulis dalam Alquran:
“Tidaklah suatu jiwa akan meninggal kecuali dengan seizin Allah (takdir Allah), Allah telah menulis ajal kematian setiap jiwa.” (Ali ‘Imran: 145). Jelas disini, meski meninggal karena kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri, kematian tetap merupakan iradah atau kehendak Allah dan sudah tertulis didalam takdir yang ditetapkan-Nya.
Kematian atau wafat yang juga disebut dengan maut, yang merupakan proses beralihnya kehidupan manusia dari alam dunia ke alam barzah. Alam barzah merupakan alam transisi sebelum mencapai akhirat. Kehidupan di akhirat inilah yang sesungguhnya menjadi tujuan utama Ummat muslim. Kehidupan di akhirat dikatakan dalam Al-Quran sebagai kehidupan yang mulia dan sempurna. Sehingga dapat dimaknai bahwa kematian merupakan perjalanan berikutnya dari kehidupan manusia, yang berarti juga sebuah proses mulia menuju fase puncak, yakni akhirat.
Bagi orang-orang yang bertakwa, akhirat merupakan nikmat yang sesungguhnya. Al Raqib Al Isfahani menggambarkan kematian sebagai berpisahnya ruh dari badan yang merupakan sebab yang mengantarkan manusia menuju kenikmatan abadi. Kehidupan manusia sesungguhnya abadi, namun untuk mendapatkan keabadian itu manusia harus berpindah dari satu fase ke fase berikutnya.
Akhirat menjadi kabar gembira bagi orang-orang mukmin yang telah menanti kehidupan yang lebih baik daripada dunia. Karena selama didunia, orang-orang mukmin senantiasa merasa terpenjara dari menahan nafsu dunia,  sebagaimana sabda Rasulullah: “Dunia adalah penjara bagi orang mu`min & surga bagi orang kafir” (HR Tirmidzi).
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar, syukur, takwa, )



***)Hikmah republika

Minggu, 28 Juni 2015

KAPANKAH MAKAN PALING NIKMAT

Salah satu kebutuhan paling dasar manusia adalah makan dan minum. Dalam Alquran, banyak ayat yang berbicara tentang perintah untuk memakan yang baik sebagai rezeki dari Allah SWT (QS 67:15, 34:15).
Tidak semua makanan dan minuman boleh dikonsumsi. Karena itu, Islam mengatur makanan yang boleh dan tidak. Jika dibolehkan, pasti baik kandungannya. Jika dilarang, pastilah mudaratnya.
Makan dan minum bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi menjadi sarana ibadah kepada Allah SWT. Ada empat tuntunan dalam perkara makanan. Pertama, halaalan (halal atau boleh bukan haram), yakni makanan yang zatnya halal dan cara mendapatkannya benar (QS 2:168, 5:88, 16:114).
Kedua, thayyibaat (yang baik-baik), yakni makanan halal dan komposisi yang dibutuhkan. Sebab, makanan yang halal belum tentu thayyib apalagi yang haram (QS 2:172, 7:160, 20:81).
Ketiga, israaf (berlebih-lebihan), artinya berinfak atau makan sesuai kebutuhan saja. Bahkan, bersedekah pun tak boleh berlebihan (QS 3:147, 6:141-142). Keempat, tabziir (boros atau menghamburkan), artinya sedekah atau makanan tidak dihabiskan atau dibuang-buang (QS 17:26-27).
Puasa dengan menahan lapar dan dahaga bukan penyiksaan. Di balik setiap derita ada kepuasan. “Wa maa ladz-dzatu illa ba’da ta’bii” (Tiada kelezatan kecuali setelah kepayahan). Kelak di hari akhir, orang beriman dan beramal saleh, akan dihidangkan makanan lezat, lalu Allah SWT berfirman, ”Makan dan minumlah yang sedap." (QS 52:19, 69,25, 77:43).
Kapankah makan paling nikmat? Nikmat ditentukan dua hal, yakni bahan atau rasa dan situasi atau suasana. Rasa enak itu relatif sehingga enak bagi seseorang belum tentu enak bagi orang lain. Yang penting bukan bahan atau rasanya, tapi situasi atau suasananya.
Ada tiga suasana yang membuat makan menjadi sedap. Pertama, makan ketika lapar. Jika ingin makan enak, maka laparlah. Jika ingin minum yang sedap, hauslah. Allah SWT memberikan jalan agar kita lapar dan haus bernilai ibadah, yakni puasa (wajib dan sunah). Tak perlu makan obat untuk merangsang makan, tapi berpuasalah karena akan mendatangkan kebaikan (QS 2:184). Makan dan minum setiap hari sudah biasa. Tapi di saat berbuka, nikmatnya luar biasa.
Kedua, makan bersama orang-orang lapar. Jika yang pertama bersifat individual, nikmatnya personal, tapi yang kedua ini bersifat sosial sehingga kenikmatannya pun sosial. Buka bersama keluarga, kaum kerabat, dan jamaah. Ibadah puasa memberikan jalan untuk mendapatkan kenikmatan sosial, yakni makan bersama orang-orang yang berpuasa (iftar jama’i). Keberkahan akan turun kepada orang yang makan berjamaah (HR Muslim).
Ketiga, memberi makan orang-orang lapar. Inilah makan paling sedap, bukan hanya nikmat personal dan sosial, tetapi juga spiritual. Bersedekah dan makan bersama dengan mereka yang lapar adalah makan paling nikmat. Kegembiraan orang yang berpuasa itu ketika berbuka dan bersama orang yang berpuasa, apalagi bisa menghidangkan makanan.
Nikmatnya tak bisa diungkapkan karena rasa syukur ke hadirat Ilahi Rabbi hingga kelak gembira pula bertemu Sang Khalik (HR Muttafaq ‘alaih). Orang yang menyajikan takjil (hidangan berbuka) akan mendapat ganjaran seperti pahala orang yang berpuasa (HR Tirmidzi). Lalu Nabi SAW bersabda, “Para malaikat pun akan selalu berdoa untuk mereka agar diberi kebaikan.” (HR Abu Daud). Selamat menikmati.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, pendidikan, )


***) Hasan Basri Tanjung

Sabtu, 27 Juni 2015

TOLERANSI ISLAM

Pada suatu hari, Rasulullah SAW sedang ditemani banyak sahabat. Tiba-tiba, lewat jenazah diantar menuju ke pemakaman. Rasulullah berdiri, seperti memberi hormat. Disampaikan kepada beliau bahwa jenazah itu orang Yahudi, tak pantas memperoleh penghormatan. Namun, Nabi balik bertanya, “Alaisat nafsan (bukankah ia juga manusia)?" (HR Bukhari dan Muslim).
Riwayat ini dikutip oleh Syekh Qardhawi sebagai salah satu contoh torelansi Islam. Dikatakan, toleransi adalah sikap menghormati dan menghargai adanya perbedaan-perbedaan, baik pendapat, pemikiran, agama, dan adat istiada (budaya). Toleransi selanjutnya bermakna membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia (hablun minannas).
Dalam Alquran ditemukan banyak contoh soal teleransi. Dalam kontes keluarga, misalnya, disebutkan apabila kedua orang tua kita menyuruh kepada agama lain (kemusyrikan), kita tidak boleh mematuhinya karena dalam Islam tiada kepatuhan kepada makhluk apabila durhaka kepada khalik. Namun demikian, kita disuruh tetap membangun hubungan yang baik dengan kedua orang tua (baca: QS Luqman [31]: 15).
Dalam konteks kemasyarakat lebih luas, disebutkan bahwa orang-orang yang mulia berkenan memberi bantuan dan donasi kepada orang-orang lemah, orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS al-Insan [76]: 8). Yang dimaksud dengan orang yang ditawan ketika ayat ini turun tentu adalah kafir Quraisy Mekah yang bukan hanya berbeda agama, melainkan musuh yang sangat anti Islam. Begitupun, Allah SWT meminta Nabi dan kaum Muslim agar memperlakukan tawanan perang dengan santun.
Toleransi Islam, menuret Qardhawi, berakar pada empat prinsip. Pertama, prinsip keragaman, pluralitas (al-ta`addudiyah). Keragaman sejatinya merupakan watak alam, dan bagian dari sunanatullah. Orang Muslim, kata Qardhawi, meyakini Keesaan Allah (al-Khalik) dan keberagaman ciptaan-Nya (makhluk). Dalam keragaman itu, kita disuruh saling mengenal dan menghargai. (QS al-Hujurat [43]: 13).
Kedua, prinsip bahwa perbedaan terjadi karena kehendak Tuhan (waqi` bi masyi’atillah). Alquran sendiri menegaskan bahwa perbedaan agama karena kehendak-Nya. Allah SWT tentu tidak berkehendak pada sesuatu kecuali ada kebaikan di dalamnya. Kalau Allah menhendaki maka semua penduduk bumi menjadi Islam. Namun, hal demikian tidak dikehendaki-Nya. (QS Yunus [10]: 99).
Ketiga, prinsip yang memandang manusia sebagai satu keluarga (ka usrah wahidah). Semua orang, dari sisi penciptaan, kembali kepada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, dan dari sisi nasab, keturunan, ia kembali kepada satu asal (bapak), yaitu Nabi Adam AS. Pesan ini terbaca dengan jelas dalam surah al-Nisa ayat 1 dan dalam dekalrasi Nabi SAW yang amat mengesankan pada haji wada`.
Keempat, prinsip kemuliaan manusia dari sisi kemanusiannya (takrim al-Insan li-insaniyyatih). Manusia adalah makhluk tertingi ciptaan Allah, dimuliakan dan dilebihkan atas makhluk-makhluk lain (QS al-Isra [17]: 70), dan dinobatkannya sebagai khalifah (QS al-Baqarah [2]: 30). Penghormatan Nabi kepada jenazah Yahudi dilakukan semata-mata karena kemanusiannya, bukan warna kulit, suku, atau agamanya.
Toleransi Islam diajarkan dalam konteks sosial, bukan vertikal dengan satu tujuan, yaitu mewujudkan rasa aman dan damai. (QS Quraisy [106]: 3-4). Wallahu a`lam! 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar, syukur, takwa, toleransi, )

***)Republika

Kamis, 25 Juni 2015

PUASA BAGI ANAK SARAT MANFAA T

Beberapa hari lagi, bulan suci yang kita rindukan kehadirannya akan tiba. Ramadhan adalah momentum terbaik untuk pendidikan keluarga, khususnya pendidikan anak. Nuansa kebersamaan suami, istri, dan anak dalam Ramadhan sungguh sangat terasa, sehingga momentum penuh berkah ini dapat dimaknai sebagai sebuah pendidikan mental, spiritual, dan sosial. Rasulullah SAW selalu membiasakan bersahur dan berbuka bersama dengan anggota keluarga dan selalu menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya kepada mereka.
Karena itu, orang tua sangat dianjurkan untuk melatih anak berpuasa sejak dini. Puasa anak tidaklah sia-sia karena meskipun belum mencapai akil baligh, ibadah puasanya tetap dicatat oleh Allah SWT sebagai kebaikan. Latihan berpuasa bagi anak tidak hanya menambah nilai keberkahan bagi keluarga (ayah dan ibunya), tapi dapat menumbuhkan kesadaran dan spirit keberagamaan yang positif bagi masa depannya. Doa anak kecil yang sedang puasa juga sangat didengar Allah SWT.
Hasil riset Dr Muhammad Mustafa al Samri, Washaya al Aba'  fi Shiyam al Abna' (Pesan Orang Tua tentang Puasa Anak) menunjukkan bahwa anak-anak yang berpuasa Ramadhan cenderung mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan mental yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak berpuasa. Selain itu, anak yang berpuasa cenderung lebih mampu mengemban tanggung jawab (amanah) dan lebih cepat dewasa dalam bersikap, berpikir, dan berperilaku.
Puasa bagi anak juga sarat manfaat. Melalui puasa, anak dididik untuk disiplin waktu. Mereka membiasakan diri bangun lebih pagi, shalat Subuh berjamaah, bertadarus bersama keluarga, dan belajar. Puasa juga mendidik anak untuk berlatih sabar dalam menahan rasa lapar dan dahaga, sabar dalam mengendalikan diri dari kebiasaan "serbaenak", dan kemanjaan-kemanjaan lainnya.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat tentang qiamul lail menyimpulkan, kebiasaan bangun malam, diikuti gerakan ringan seperti shalat, menghirup udara, dan minum air putih sangat baik bagi ketahanan dan kesehatan tubuh. Anak yang dibiasakan bangun malam atau pada waktu sahur akan memiliki kebugaran tubuh yang prima. Karena itu, melatih dan membiasakan anak berpuasa sangat penting untuk kesehatan dan kebugaran fisik mereka di masa depan.
Persoalannya kemudian adalah sejak kapan dan bagaimana orang tua harus melatih dan membiasakan anaknya berpusa? Sebagian ahli pendidikan Islam berpendapat, sebaiknya puasa anak dimulai pada usia tujuh tahun, sebagaimana Rasulullah SAW menganjurkan orang tua agar memerintahkan anaknya melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun dan jika pada usia 10 tahun belum terbiasa shalat agar diberikan sanksi yang lebih tegas lagi, misalnya, pukulan ringan dengan niat mendidik bukan emosi. (HR Abu Dawud).
Pakar pendidikan menyarankan, dimulai dari usia 10 tahun. Tetapi, bagi sebagian anak perempuan saat ini, usia 10 tahun terkadang sudah menginjak usia akil baligh. Karena itu, latihan puasa perlu dibiasakan bagi anak sedini mungkin.
Tentu saja, latihan puasa harus diberikan secara bertahap, sesuai dengan kemampuan fisik anak. Mula-mula, anak dilatih puasa hingga tengah hari. Artinya, anak diajak makan sahur bersama keluarga dan diperkenankan berbuka pada waktu Zhuhur, kemudian dilanjutkan lagi berpuasa hingga Maghrib. Setelah itu, anak dilatih puasa hingga Ashar, dan akhirnya puasa dari waktu sahur hingga Maghrib.
Yang terpenting dalam pembiasaan ini adalah pengawasan dan motivasi dari orang tua, sehingga tidak mudah tergoda oleh temannya yang kebetulan tidak puasa. Sebagai orang tua, kita harus meyakini bahwa melatih anak berpuasa sejak dini merupakan salah satu strategi pendidikan mental spiritual yang efektif bagi masa depan anak dan bangsa. Marhaban ya Ramadhan.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar, syukur, takwa, )


***) Muhbib Abdul Wahab

Rabu, 24 Juni 2015

DELAPAN TELADAN RASULULLAH SAAT BERPUASA

Puasa yang benar dan membawa pada derajat takwa adalah puasa yang mencontoh Rasulullah SAW. Ketahuilah puasa ala Rasulullah tidak semata persoalan menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menghidupkan amal-amal syiar Ramadhan.
Mumpung masih di awal-awal Ramadhan, ada baiknya kita melihat lagi bagaimana Rasulullah berpuasa dan mengisi hari-hari beliau pada bulan Ramadhan. Pertama, memantapkan niat. Nabi Muhammad mengawali puasa dengan niat pada malam hari, seraya berdoa supaya dikuatkan dalam niat dan beramalnya.
Jika puasa sunah semisal Senin-Kamis boleh berniat pada pagi harinya maka puasa Ramadhan niatnya harus dilakukan pada malam harinya. “Barangsiapa yang tak berniat sebelum fajar untuk puasa maka tak ada puasa baginya.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi).
Kedua sahur. “Semua sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya walaupun di antara kalian hanya meneguk air. Sesungguhnya, Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR Ahmad, dan al-Mundziri).
Ketiga, cepat berbuka, yaitu sebelum shalat Maghrib meskipun hanya dengan seteguk air. “Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi, yaitu menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR Ath-Thabrani).
Sebaiknya berbuka dengan kurma. “Rasulullah berbuka dengan kurma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab, dengan kurma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air.” (HR Ahmad, Abu Daud, Baihaqi, Hakim, Ibn Sunni, Nasai, Daruquthni, dan lainnya).
Dalam berbuka dengan kurma sebaiknya dengan bilangan ganjil, yaitu satu, tiga, atau lima biji. Jika tidak, apa saja yang ada. Keempat, banyaklah berdoa terutama pada waktu menjelang berbuka karena termasuk di antara salah satu doa mustajab.
Salah satu doa yang biasa dipanjatkan Nabi menjelang berbuka, “Dzahabadh zhama'u wabtallatil 'uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (Telah hilang dahaga dan basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala, insya Allah.” (HR Abu Daud, Baihaqi, Hakim, Ibn Sunni, Nasa'i, Daruquthni).
Kelima, memberi makan orang yang berbuka. “Barangsiapa memberi buka orang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban).
Keenam, banyak beribadah pada malam Ramadhan (shalat Tarawih). “Barangsiapa shalat pada malam-malam Ramadhan dengan iman dan mengharapkan keridhaan-Nya maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketujuh, banyak sedekah dan tadarus Alquran. Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah adalah orang yang paling dermawan dan lebih besar kedermawanannya pada bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya. Jibril biasanya menemuinya setiap malam Ramadhan, lalu tadarus Alquran (dengan beliau). Sungguh, Rasulullah ketika ditemui Jibril menjadi orang yang lebih murah hati dalam kebaikan sehingga lebih banyak memberi (seperti) tiupan angin.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kedelapan, memperbanyak istighfar pada malam terakhir Ramadhan. Saudaraku, semoga Ramadhan yang baru saja kita masuki ini bernilai lebih dalam beruswah kepada Nabi Muhammad. Amin.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar, syukur, takwa, )



***) Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Selasa, 23 Juni 2015

DELAPAN KEUTAMAAN PUASA

Diriwayatkan dari Abu Umamah, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku suatu amalan yang akan memasukkanku ke dalam surga. Rasulullah SAW menjawab, ‘Kamu harus puasa karena puasa itu tidak ada bandingannya.’’’ (Musnad Ibni Hambal, juz 5, hlm 264, hadis nomor 22.330).
Setelah peristiwa itu, di rumah Abu Umamah tidak terlihat asap mengepul saat siang hari kecuali bila kedatangan tamu. Jika orang-orang melihat asap di rumahnya, mereka langsung paham bahwa Abu Umamah sedang kedatangan tamu. (lihat kitab Attabwib al Maudhui lil ahadits, juz I, hlm 18.316).
Amalan untuk masuk surga cukup banyak seperti dijelaskan berbagai hadis sahih, tetapi mengapa Rasulullah memerintahkan puasa dan menyatakan bahwa puasa tiada bandingannya dengan ibadah lain? Ini menunjukkan, puasa memiliki keutamaan sebagai penyebab orang masuk surga. Bahkan, dalam hadis tersebut Rasulullah menyebutkan alasan keutamaan puasa dibandingkan ibadah lainnya, dengan ungkapan, “Puasa itu tidak ada bandingannya”. Hal ini menunjukkan beberapa keutamaan puasa.
Pertama, puasa tiada bandingannya dalam hal pahala. Rasulullah meriwayatkan hadis qudsi, “Setiap amalan anak cucu Adam adalah miliknya kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku dan Aku yang langsung membalasnya.’’ Di sisi lain, puasa merupakan latihan kesabaran dan orang-orang sabar akan diberi balasan tanpa batas. (QS az-Zumar:10).
Kedua, berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya yang bisa terlihat oleh orang lain, puasa yang tahu hanyalah Allah dan orang yang melakukannya. Allah menegaskan dalam hadis qudsi, “Orang berpuasa itu meninggalkan makanan dan minumannya untuk diri-Ku (Allah). Maka, puasa itu milik-Ku dan Aku (Allah) sendiri yang akan memberikan pahala karenanya.’’ (HR Bukhari ).
Ketiga, puasa memiliki keutamaan karena dinisbatkan kepada Allah. Berdasarkan hadis qudsi di atas yang menyatakan bahwa “puasa adalah milik-Ku”, berarti Allah memang selalu puasa tidak pernah makan dan minum.
Keempat, orang puasa dimuliakan Allah sehingga disiapkan pintu khusus di surga. Dari Sahal bin Sa’ad, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya surga itu mempunyai satu pintu yang disebut ar-Rayyan. Pada hari kiamat nanti pintu tersebut akan bertanya, di mana orang-orang yang berpuasa? Apabila yang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu itu akan tertutup.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Kelima, puasa adalah perisai dari semua perbuatan buruk dan akhlak tercela. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘’Puasa itu perisai, apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, hendaklah ia tidak berkata keji dan membodohi diri. Jika seseorang memerangi atau menghinanya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’’’ (HR Bukhari).
Keenam, puasa tiada tandingannya dalam merealisasikan ketakwaan sehingga Allah langsung menyebutkan sasaran utama puasa, yaitu merealisasikan ketakwaan. (QS al-Baqarah: 183).
Ketujuh, puasa adalah ibadah yang efektif untuk mematahkan nafsu. Karena, berlebihan dalam makan ataupun minum serta menggauli istri, bisa mendorong nafsu untuk berbuat kejahatan, enggan mensyukuri nikmat, serta mengakibatkan kelengahan.
Kedelapan, puasa mempersempit jalan setan masuk kepada anak Adam melalui jalan aliran darah. Dengan berpuasa, dia aman dari gangguan setan, kekuatan nafsu syahwat, dan kemarahan. Karena itu, Nabi menjadikan puasa sebagai benteng untuk menghalangi nafsu syahwat. Walhasil, bila seorang Muslim berpuasa sesuai tuntunan Rasulullah, pasti menjadi orang bertakwa dan ahli surga. Wallahu a’lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa, )


***)Ahmad Satori Ismail

Senin, 22 Juni 2015

MEMAKNAI HIDUP MELALUI KEMATIAN

Kelahiran manusia didunia semata hanyalah untuk mempersiapkan kematian. Meski ditakuti, kematian memiliki hikmah yang apabila dipahami akan mendatangkan ketakwaan dan ketenangan dalam menghadapinya. 
Ketika berbicara kematian, terdapat dua obyek yang terkena dampaknya.
Pertama orang orang yang meninggal dunia, 
Kedua keluarga atau orang-orang terdekat yang ditinggalkannya.
Bagi orang yang mengerti hikmah kematian, maka ia akan memandang hidup sebagai ujian sekaligus ladang untuk menyuburkan amal ibadah yang ditanamkan sepanjang hidup, hingga kelak memetik hasilnya ketika hayat sudah lepas dari badan. 
Hikmah secara bahasa diartikan sebagai pelajaran, yakni kebijaksanaan yang didapat melalui belajar (masmu) atau melalui ilmu yang didapat dengan mengikuti atau mengamalkannya (mathbu). Sedangkan kematian didalam Al-Quran disebut sebagai proses menuju kesempurnaan.
Di dalam Surat Az-Zumar ayat 42 dikatakan kematian disebut dengan “wafat” yang berarti sempurna, dan “imsak” yang berarti menahan. Ketika meninggal dunia,  dikatakan bahwa Allah telah menyempurnakan jiwa manusia, yakni ketika manusia telah menyelesaikan tugasnya sebagai Khalifah yang mengemban amanah sebagai wakil Allah dimuka bumi dan tengah bersiap mempertanggungjawabkan amanahnya dihadapan sang Khalik.
Dari sini maka dapat diartikan bahwa hikmah kematian adalah memahami hakikat kematian serta mengikuti sifat-sifat yang dibawanya sebagai pelajaran hidup didunia agar selamat sampai diakhirat. Mempelajari hikmah kematian bukan hanya untuk mempersiapkan kematian saja, tetapi juga mempersiapkan diri apabila harus dipisahkan dari keluarga atau orang-orang tercinta akibat kematian.
Orang-orang Sufi menyikapi kematian sebagai pelajaran yang menghentikan mereka dari buaian nafsu dunia. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa sebaik-baik warisan adalah ilmu, dan sebaik-baik pelajaran adalah maut. Ummat  yang mengingat kematian baik dimasa senggang atau masa sempitnya dikatakan oleh Rasulullah sebagai Ummat yang cerdas, sebagaimana sabda Rasulullah ketika seorang Anshor bertanya padanya:
“Mukmin manakah yang paling cerdas?”. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah ).
Pada hadis yang lain Rasulullah menyebutkan kematian sebagai pemutus nikmat, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah: “Perbanyaklah ingat kepada penghancur kenikmatan yaitu kematian, karena tidaklah suatu hari datang atas kuburan melainkan kuburan itu berbicara” (HR Ahmad)
Disebut sebagai pemutus nikmatkarena ketika maut datang menjemput, tak seorang pun dapat mencegahnya, disitulah seluruh amal ibadah kita terputus kecuali tiga perkara, yakni ilmu yang bermanfaat, doa anak soleh dan amal jariyah.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa, )

Minggu, 21 Juni 2015

CIRI SAHABAT ALQURAN

Ada banyak kisah yang menggambarkan betapa para sahabat Nabi SAW begitu mencintai Alquran. Rasa cinta mereka tak dapat ditandingi oleh siapa pun. Alquran bagi mereka sudah mendarah daging.
Sehari saja tidak membacanya, seperti ada kerugian yang begitu besar. Penghayatan mereka tatkala membaca Alquran begitu tinggi. Tak sedikit mereka akan bercucuran air mata saat membacanya.
Siti Aisyah meriwayatkan, “Abu Bakar (ayahnya) adalah seorang lelaki yang mudah menangis. Beliau tidak mampu menahan air mata ketika membaca Alquran” (HR. Bukhari).
Umar bin Khatthab juga demikian. Dari 'Abdullah bin Syaddad bin Had mengatakan, “Aku pernah mendengar Umar membaca surah Yusuf dalam shalat Subuh dan aku mendengar isakannya. Aku berada di akhir shaf. (Isakannya saat) beliau sedang membaca (QS Yusuf [12]:86): “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.”
Nafi pernah menceritakan Ibnu Umar, “Tidaklah Ibnu Umar membaca dua ayat ini dari akhir surah al-Baqarah kecuali pasti menangis. ‘Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan. Niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka, Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’ Setelah membacanya, Ibnu Umar mengatakan, ‘perhitungan ini sungguh menyesakkan.’”
Anas bin Malik memiliki kebiasaan apabila telah mendekati khatam dalam membaca Alquran. Ia menyisakan beberapa ayat untuk mengajak keluarganya guna mengkhatamkan bersama. Dari Tsabit al-Bunnani, ia mengatakan bahwa Anas bin Malik jika sudah mendekati dalam mengkhatamkan Alquran pada malam hari, beliau menyisakan sedikit dari bacaan Alquran hingga ketika Subuh hari beliau mengumpulkan keluarganya dan mengkhatamkannya bersama (HR Darimi).
Masih banyak kisah lainnya perihal para sahabat yang hati dan pikirannya mudah tersentuh dengan ayat-ayat Alquran yang mereka baca. Kisah-kisah di atas membuktikan bahwa Rasulullah SAW telah berhasil membimbing mereka menjadi generasi Qurani, yang mana hidup mereka dinaungi Alquran. Apa yang mereka lakukan selalu berdasarkan petunjuk Alquran.
Menurut Sayyid Qutb, generasi sahabat Rasulullah SAW ini merupakan generasi yang paling istimewa dalam sejarah Islam dan sejarah kemanusiaan seluruhnya. Mereka tidak saja menghafal dan menadaburinya, tetapi juga mengamalkannya.
Semoga kita bisa meneladani generasi sahabat ini dalam mencintai dan menadaburi Alquran. Amin. Wallahu a'lam bisshawab. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar,  syukur,  takwa,)



***) M Iqbal Dawami

Sabtu, 20 Juni 2015

LIMA PERSIAPAN JELANG RAMADHAN

Pada Jumat ini, Insya Allah menjadi Jumat terakhir kita pada bulan Sya'ban. Karena, dalam hitungan kurang dari seminggu kita akan memasuki bulan agung bernama Ramadhan. Bulan yang menyimpan banyak sekali kebaikan dan kemuliaan. Apa yang harus kita siapkan untuk menyambutnya? 
Pertama, berdoalah agar Allah 'Azza wa Jalla memberikan kesempatan kepada kita untuk benar-benar bertemu dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat dan kuat. Jika fisik kita sehat dan kuat, insya Allah kita bisa melaksanakan ibadah dengan baik dan sempurna pada bulan itu, baik puasa, shalat, tilawah, dan zikir serta amalan ihyaaus sunnah lainnya. Dari Anas bin Malik RA berkata, Rasulullah SAW apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, “Allahuma bariklana fii rajab wa sya'ban, wa balighna ramadan.” Artinya, ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya'ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadhan. (HR Ahmad dan Tabrani).
Para salafush-shalih selalu memohon kepada Allah agar diberikan karunia bulan Ramadhan, dan berdoa agar Allah menerima amal mereka. Bila telah masuk awal Ramadhan, mereka berdoa kepada Allah, “Allahuakbar, allahuma ahillahu alaina bil amni wal iman was salamah wal islam wat taufik lima tuhibbuhu wa tardha.” Artinya, ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman; dan berikan kepada kami taufik agar mampu melakukan amalan yang engkau cintai dan ridhai.
Kedua, bersyukurlah dan puji Allah atas karunia perjumpaannya. Al-Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata, “Di anjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur, dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungan-Nya.” Dan, di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Maka, ketika Ramadhan telah tiba dan kita dalam kondisi sehat walafiat, kita harus bersyukur dengan memuji-Nya.
Ketiga, bergembiralah (al-farhu) dengan kedatangannya. Rasulullah SAW selalu memberikan kabar gembira kepada para sahabat setiap kali datang bulan Ramadhan. “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu, Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR Ahmad).
Keempat, rancanglah agenda kegiatan (al-barnaamij) untuk mendapatkan kemanfaatannya. Ramadhan datang setahun hanya sekali. Karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri (tazkiyatun nafs) dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
Kelima, bertekatlah mengisinya dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah maka Allah akan membantu dan memudahkan beramal mulia dalam qiyaamu Ramadhan. “Tetapi, jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [QS Muhamad (47): 21]. Berazamlah pula untuk meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk. Bertaubatlah dengan sungguh-sungguh. Pelajari ilmu dan hukum-hukum tentang syariat puasa dan keutamaannya.
Saudaraku, kini sambutlah tamu agung nan mulia itu dengan membuka lembaran baru yang bersih. Kepada Allah dengan taubatan nasuha. Kepada Rasulullah SAW dengan meneruskan risalah dakwah dan menghidupkan amal sunnahnya. Kepada orang tua, istri-suami-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturahim. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Marhaban ya Ramadhan.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar, syukur, takwa, )


***) Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Jumat, 19 Juni 2015

TIGA KEUTAMAAN BERSIKAP SABAR

Tak terasa, kini kita berada di penghujung Syaban dan tidak lama lagi akan kedatangan Ramadhan 1436 H. Bulan yang dirindu kedatangannya oleh setiap orang beriman. Salah satu upaya yang harus kita lakukan dalam menyosong Ramadhan adalah melatih diri untuk sabar.
Itu karena Ramadhan adalah bulan kesabaran. Rasulullah SAW bersabda, "Inilah (Ramadhan) bulan kesabaran dan ganjaran bagi kesabaran yang sejati adalah surga." (HR Ibnu Khuzaimah). Hal ini kita lakukan agar mampu bersabar saat berada di bulan Ramadhan.
Sabar itu bisa dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah. Sebab, tidak jarang saat berada di bulan Ramadhan diri kita tidak dapat bersikap sabar, seperti mudah emosi, malas beribadah, dan mengisi waktu dengan hal tak bermanfaat.
Akibatnya, kita tidak mendapat apa pun dari Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, "Ketika aku menaiki tangga pertama, Jibril muncul di hadapanku dan berkata, `Celakalah orang yang mendapati bulan Ramadhan yang penuh berkah tetapi tidak memperoleh ampunan.' Maka aku berkata, `Amin."
(HR Hakim).
Sabar adalah menahan kecenderungan jiwa terhadap tuntutan akal dan syarak. Orang yang bersabar adalah orang yang selalu menepati jalan Allah dan konsisten berada di jalan-Nya. Dalam ajaran Islam, sabar memiliki kedudukan yang tinggi lagi mulia.
Sabar merupakan kunci memperoleh akhlak mulia dan penghilang seluruh kegelapan, kesulitan, dan penderitaan, sebab sabar merupakan sinar yang menerangi kehidupan.  Di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk bersabar, sebagaimana firman-Nya, "Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar." (QS al- Ahqaaf [46]: 35).
Ketika seseorang telah sampai pada tingkat shaabirin(orang-orang yang sabar) maka Allah SWT akan memberikan berbagai kebaikan. Di antaranya, pertama, senantiasa ada dalam pertolongan Allah SWT.
Kedua, balasan yang lebih baik dan pahala tanpa batas.
"Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (an-Nahl [16] :96).
Ketiga, akan mendapatkan kepemimpinan dalam agama. Upaya yang harus dilakukan agar kita memiliki sikap sabar, selain dengan bermujahadah dan membiasakan diri mematuhi ajaran-ajaran Allah SWT, adalah dengan memohon kepada Allah SWT untuk menganugerahkan kesabaran kepada kita.
Menurut Rasulullah, "Barang siapa me minta sabar maka Allah menyabarkannya. Seseorang tidak diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada pemberian berupa sabar.'' (HR Muslim).
"Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (QS al- Baqarah [2]: 250) Amin. Wallahu'alam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa,)



***) Moch Hisyam

Kamis, 18 Juni 2015

DI PINTU HARI PERHITUNGAN

Ketika kita melakukan perjalanan dan melewati tempat pemeriksaan, baik domestik maupun mancanegara, lalu tidak diperiksa petugas, bahkan disambut dengan hormat, biasanya hal ini hanya berlaku untuk pejabat penting (VVIP) seperti kepala negara dan pemerintahan atau tamu negara. Mengapa mendapat privilege (keistimewaan) itu? Karena mereka punya kedudukan, prestasi, dan karya yang membanggakan.
Kejadian di atas pun seakan terjadi kelak sebelum memasuki tempat abadi (surga atau neraka). Semua manusia akan melalui pintu pemeriksaan dokumen hidup yang disebut hari perhitungan (yaum al-hisab).
Rasulullah SAW pernah menyebutkan sahabat yang masuk surga tanpa hisab, antara lain  Abu Bakar RA, Umar ibnu Khattab RA, Utsman bin Affan RA, Ali bin Abi Thalib RA, Zubair bin Awwam RA, (HR at-Turmudzi). Nabi SAW juga bersabda, “Tujuh puluh ribu atau 700 ribu dari umatku akan masuk surga tanpa dihisab, mereka masuk berturut-turut, sedang rupa mereka seperti cahaya bulan purnama.” (HR Bukhari).
Orang pertama ditanya, “Mengapa Tuan merasa pantas masuk surga tanpa dihisab?” “Aku seorang pahlawan yang mati syahid di medan perang karena membela agama.” Jibril bertanya lagi, “Dari mana kau tahu itu?” Ia menjawab, “Dari guruku, orang alim.” “Kalau begitu, jagalah adab kepada guru. Mengapa tak kau beri kesempatan orang alim masuk surga dahulu?” kata Jibril. Ia pun menyadari kelancangannya.
Orang kedua ditanya hal serupa dan menjawab, “Aku haji mabrur yang balasannya surga.” “Dari mana kau tahu itu?” “Dari guruku, orang alim,” sahutnya. “Mengapa engkau tidak menjaga adab kepada gurumu?” ujar Jibril. Ia pun sadar atas kekhilafannya.
Orang ketiga pun ditanya dan menjawab, “Aku orang kaya yang dermawan. Kekayaanku halal dan diinfakkan di jalan Allah.” “Dari mana kau tahu itu dapat ganjaran surga?” tanya Jibril. “Dari guruku, orang alim.” “Lalu, mengapa orang alim tidak kau hormati?” Ia pun tertunduk malu.
Setelah orang alim yang saleh itu diberi kehormatan, ia lalu berkata, “Maaf, Tuan-Tuan. Aku tidak akan dapat belajar dan mengajar dengan tenang apabila tidak ada pahlawan yang rela mati syahid. Aku juga tidak dapat pahala terus-menerus jika haji mabrur tidak mengamalkan ilmu yang kuajarkan. Kami pun tidak akan dapat leluasa tanpa kedermawanan orang kaya.  Oleh karena itu, biarlah orang kaya yang masuk surga duluan, disusul pahlawan, haji mabrur dan aku menyusul.”
Dialog sufistik ini memberi banyak pelajaran. Pertama, orang-orang hebat diukur dari ketaatannya kepada Allah SWT (ritual) dan kemanfaatannya bagi orang lain (sosial). Keempat orang itu adalah orang-orang yang berbuat untuk umat, bukan untuk dirinya sendiri.
Kedua, rasa egois (anaiyah) dan angkuh bisa menerpa siapa saja yang memiliki kelebihan. Merasa paling benar, patut dihargai dan dihormati.
Ketiga, alim ulama yang rendah hati adalah pewaris para nabi yang membimbing, menyejukkan, dan menyatukan umat. Ulama yang tawadhu' akan dimuliakan, apalagi ia pandai memuliakan orang lain. Wallahu a'lam bishshawab.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )


***) Hasan Basri Tanjung

Rabu, 17 Juni 2015

EMPAT KONDISI HATI


 Jujur adalah satu sifat dan sikap yang sudah akrab di telinga kita. Kejujuran merupakan kekayaan tak terkira bagi pemiliknya. Ia ibarat perisai karena dapat mengadang tuduhan kejam dan menolak fitnahan keji.
Dengan kejujuran, orang lain akan menghormati pemiliknya. Tidak jarang, kejujuran juga dapat mendatangkan rezeki yang tidak diangka-sangka serta menjadikan orang lain percaya terhadap yang dikatakannya.
Namun kini, kejujuran telah menjadi barang langka. Ia seperti uang recehan di jalanan, tidak berarti dan tidak memiliki nilai lagi. Kejujuran yang pernah dimiliki banyak orang telah ditinggalkan karena dianggap asing dan terpinggirkan.
Kebohongan telah merajalela karena ia dianggap memudahkan urusan dan mempercepat tujuan. Akibatnya, para pelajar dan remaja, misalnya, tidak sungkan-sungkan melakukan kecurangan. Seperti yang diberitakan berbagai media tentang apa yang mereka lakukan saat ujian nasional.
Penyakit semacam ini telah menyerang banyak pihak, baik kalangan bawah, komunitas menengah, bahkan kelas atas. Masih ingat dalam pikiran, kasus-kasus korupsi yang beredar dalam media massa dan menyebar di seantero wilayah. Allah berfirman, "Dalam hati mereka ada penyakit lalu Allah menambahkan penyakitnya itu dan mereka mendapat azab yang pedih karena dia berdusta." (QS al-Baqarah [2]: 10).
Dalam satu hadis dari Abu Sa'id Al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda, "Hati itu memiliki empat kondisi, yaitu hati yang bersih dari sifat khianat dan tipu daya. Ia laksana lampu yang bersinar (inilah hati orang Mukmin). Hati yang tertutup dari kebenaran (hati orang kafir), hati orang yang terbalik (hati orang-orang munafik yang mengetahui kebenaran, tetapi mengingkarinya), dan hati yang memiliki dua wajah (keimanan dan kemunafikan)." (HR Ahmad).
Orang jujur memiliki hati yang bersih dari sifat khianat dan tipu daya, sementara seorang pendusta tidak memiliki hati yang dimiliki orang jujur itu. Dan, sebab hati bersih yang dimiliki nabi ini pula, orang-orang Arab Quraisy telah memberi honoris causa kepada Muhammad dengan gelar al-Amiin (orang terpercaya) sebelum ia dinobatkan sebagai nabi dan rasul.
Hadis lain menegaskan, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Seorang Mukmin jika melakukan dosa maka dosa itu akan menjadi noda hitam dalam hatinya. Jika ia bertaubat, maka (hatinya) akan bersih kembali. Sedangkan, jika ia mengulanginya maka hatinya akan semakin hitam. Itulah 'rana' yang dimaksudkan dalam firman Allah, kalla bal rana 'ala qullubihim ma kanu yaksibun." (HR Ahmad, Tirmizi, dan al-Hakim).
Kejujuran akan mendatangkan cahaya terang yang menyinari jalan kehidupan. Sementara, kedustaan hanya akan mendatangkan kegelapan dan pada akhirnya menjadikan hidup semakin sulit dan tidak berkah meski hal ini jadi bahan pembicaraan banyak pihak.
Oleh karena itu, kejujuran hendaknya dijadikan sebagai fondasi hidup kita. Kejujuran harus dijadikan pakaian sehari-hari oleh setiap lapisan masyarakat. Jika kejujuran terwujud maka kesejahteraan pun akan mengikutinya. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar, syukur, takwa,)


***) Faris Al Mushthafa

Selasa, 16 Juni 2015

TIGA HIKMAH MENYEGARKAN BERBUKA

Ramadhan, bulan yang penuh berkah akan kembali menyapa. Di antara keberkahan itu ialah setiap amal ibadah orang yang berpuasa dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan dibalas dengan 10 hingga 700 kali lipat. Dan khusus pahala puasa, Allah SWT sendiri yang langsung membalasnya (HR Muslim).
Dalam hadis yang lain, suatu amal kebajikan (sunah) di bulan Ramadhan nilai pahalanya seperti menunaikan amalan wajib (fardhu) di bulan yang lain dan menunaikan amalan wajib nilai pahalanya sama dengan mengerjakan 70 kali amalan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah). Allahu Akbar.
Dan salah satu amalan ibadah sunah yang hendaknya mendapatkan perhatian serius dari orang yang berpuasa adalah menyegerakan berbuka puasa. Rasulullah SAW bersabda, “Manusia akan selalu baik selama mereka cepat berbuka.” (HR Muttafaq alaih).
Dalam sunah amaliyah Rasulullah SAW, seperti yang telah diriwayatkan oleh Anas RA bahwa beliau berbuka puasa dengan memakan beberapa buah kurma setengah matang. Jika tidak ada, beliau memakan beberapa buah kurma masak. Jika tidak ada, beliau hanya meneguk beberapa tegukan air sebelum melaksanakan shalat Maghrib. (HR Ahmad).
Rasul SAW tidak pernah menunaikan shalat Maghrib (pada bulan Ramadhan) sebelum berbuka puasa, meskipun beliau hanya berbuka dengan meminum air putih. (HR Abu Ya'la). Hal ini menunjukkan pentingnya menghidupkan sunah menyegerakan buka puasa.
Ada hikmah besar di balik perintah untuk menyegerakan berbuka puasa. Pertama, untuk menghidupkan sunah Nabi SAW. Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, telah berkata Imam Syafii, “Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan yang disunahkan dan mengakhirkannya bukanlah perbuatan yang diharamkan kecuali apabila menganggap bahwa mengakhirkan berbuka puasa terdapat keutamaan di dalamnya.”
Kedua, sebagai pembeda dengan pemeluk agama lain. Rasulullah SAW bersabda, “Agama Islam akan selalu menang selama para pemeluknya mempercepat berbuka (puasa) karena orang Yahudi dan Nasrani selalu mengakhirkannya.” (HR Abu Dawud).
Ketiga, dapat menyegarkan badan. Hal ini pernah dikatakan oleh Imam Al-Muhallib, “Hikmah dari menyegerakan berbuka puasa adalah agar orang yang berpuasa itu tidak semakin berat dengan menahan lapar lebih lama. Selain itu, agar badan segar kembali sehingga lebih kuat dalam beribadah di malam hari.”
Hal ini tampak dari doa berbuka puasa yang telah diajarkan oleh Rasul SAW. “Dzahabadz dzama'u wabtalatil 'uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah” (Rasa dahaga telah hilang, urat kerongkongan telah basah, dan pahala ditetapkan, insya Allah). (HR Abu Dawud).
Agar waktu berbuka puasa semakin bertambah berkah, hendaknya orang yang berpuasa memanfaatkannya untuk berdoa. Sebab, di antara waktu yang mustajab untuk berdoa adalah waktu menjelang berbuka puasa.
Dari Abdullah bin Amar berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang berpuasa tatkala berbuka doanya tidak akan ditolak.” (HR Ibnu Majah). Dalam hadis yang lain, “Tiga golongan yang doanya tidak akan ditolak ialah doa pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika berbuka, dan doa orang yang teraniaya.” (HR Tirmidzi). Dalam riwayat yang lain, “Dan doa orang yang berpuasa sehingga ia berbuka.”
Semoga kita termasuk orang-orang yang dapat melestarikan amalan-amalan sunah di bulan Ramadhan. Amin.

***) Imam Nur Suharno
 (hikmah, keyakinan ., sabar, tawakal., kebesaran, Tuhan, toleransi,)


Senin, 15 Juni 2015

ADA 6 PERKARA YG DIRAHASIAKAN ALLAH

Umar bin Khattab mengungkapkan, ada enam perkara yang dirahasiakan Allah SWT kepada hamba-Nya. Tentu, ada alasannya, antara lain, agar hamba-Nya bersungguh-sungguh dalam mendapatkan rahasia tersebut.
Pertama, Allah merahasiakan ridha-Nya di balik ketaatan hamba-Nya. Hal tersebut dimaksudkan agar hamba-Nya bersungguh-sungguh melakukan ketaatan kepada-Nya. Dengan begitu, mereka tak mengesampingkan ketaatan walaupun tampaknya sederhana.
Sebab, boleh jadi di balik ketaatan yang tampaknya sederhana itulah terdapat ridha-Nya. Kedua, Allah merahasiakan murka-Nya terhadap hamba-Nya yang “berani” melakukan kemaksiatan. Ini bertujuan agar hamba-Nya itu bersungguh-sunguh menjauhi kemaksiatan.
Dengan begitu, hamba-Nya tidak akan menyepelekan kemaksiatan dalam segala bentuknya kendati tampaknya sederhana. Sebab, boleh jadi di balik kemaksiatan yang tampaknya sederhana itulah terdapat murka-Nya.
Ketiga, Allah merahasiakan kapan datangnya malam kemuliaan atau Lailatul Qadar. Tujuannya, agar hamba-Nya bersungguh-sungguh beribadat sepanjang bulan suci Ramadhan. Seperti dijelaskan dalam firman-Nya, Lailatul Qadar itu lebih baik dibandingkan seribu bulan.
Allah berfirman, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS al-Qadr [97]: 3). Ambil contoh, sebagaimana dinyatakan dalam sabda Rasulullah SAW, pahala (amalan) sunah di dalamnya ditingkatkan menjadi setara dengan pahala (amalan) wajib.
Keempat, Allah merahasiakan wali-Nya terhadap hamba-Nya. Hal tersebut dimaksudkan agar hamba-Nya tidak merendahkan derajatnya. Selain itu, agar hamba-Nya tidak meminta didoakan oleh mereka. Jadi, hamba tersebut tidak meremehkan mereka.
Sebab, boleh jadi orang yang diremehkan itu adalah wali-Nya. Kelima, Allah merahasiakan datangnya ajal di balik umur hamba-Nya. Maksudnya agar seorang hamba mempersiapkan diri dengan baik sepanjang hayatnya untuk menyambut kedatangan ajalnya.
Sebab, sejatinya kematian itu bisa datang secara tiba-tiba. Sedangkan, yang keenam, Allah merahasiakan datangnya waktu shalat Wustha. Hal tersebut dimaksudkan agar hamba-Nya bersungguh-sungguh mengikhtiarkannya.
Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, shalat Wustha merupakan shalat paling utama di antara shalat lima waktu. Allah berfirman, “Peliharalah segala shalat (kalian) dan (peliharalah pula) shalat Wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat kalian) dengan khusyuk.’” (QS al-Baqarah [2]: 238).
Ada yang berpendapat, yang dimaksud shalat Wustha (shalat yang di tengah-tengah) adalah shalat Ashar. Tetapi, yang tahu persis hanya Allah. Selain merahasiakan enam perkara tersebut, Allah juga merahasiakan saat paling mustajab pada Jumat.
Hamba-Nya yang berdoa tepat pada saat paling mustajab itu pasti akan dikabulkan oleh-Nya. Dengan begitu, hamba-Nya akan bersungguh-sungguh mendapatkannya sepanjang Jumat. Ada yang berpendapat saat paling mustajab pada Jumat adalah waktu Ashar. Akan tetapi, yang tahu persis hanya Allah. Wallahu ‘alam. 
 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, takwa, )



***) Mahmud Yunus

Minggu, 14 Juni 2015

TIGA POROS KEHIDUPAN MANUSIA

Dalam kehidupan, kata syukur, sabar dan istighfar merupakan hal yang tidak asing. Setiap orang mampu mengaplikasikannya meski terkadang belum sempurna dengan hakikat sebenarnya. Dalam mukadimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnu Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan.
Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros dan seseorang tidak akan lepas dari salah satunya. Ketiga poros tersebut adalah syukur, sabar, dan istighfar. Allah menciptakan setiap makhluk di muka dengan jaminan rezeki. Allah juga membekali manusia dengan akal pikiran. “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya… .” (QS Hud, [11] : 6).
Hal inilah seharusnya melatarbelakangi kita kita bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan. Syukur memiliki tiga rukun, yang jika ketiganya diamalkan, maka seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut. Pertama, mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut asalnya dari Allah. Kedua, mengucapkan kalimat syukur dengan lisan. Ketiga, menggunakan nikmat tersebut untuk menggapai ridha Allah.
Setelah kita bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan, Allah pun menguji kita dengan kebaikan dan keburukan agar hambanya bersabar. Sebagaimana Allah tegaskan “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarbenarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” ( QS al-Anbiya [21]: 35 ).
Kesabaran seorang hamba terhadap ketentuan yang telah Allah berikan tecermin dalam tiga hal. Pertama, menahan hati dari perasaan marah dan kesal terhadap ketentuan Allah. Kedua, menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. Ketiga, menahan anggota badan dari melakukan sikap tidak terima terhadap keputusan Allah, seperti menyakiti diri sendiri.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan hamba-Nya, melainkan untuk menguji sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Sebagaimana Allah gambarkan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu (iblis) tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong).“ (QS. al-Isra [17]: 65).
Menyadari tidak ada manusia yang terbebas dari godaan setan, maka suatu saat tatkala kondisi ketakwaan seorang hamba lemah dan lengah akan terjerumus terhadap godaan setan dan dia melakukan perbuatan dosa atau pelanggaran. Pada saat kondisi inilah seorang hamba harus segera memohon ampun dan beristighfar kepada Allah.
Ibnul Qayyim menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan, “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk jannah; dan mungkin ia melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk neraka.” Bagaimana bisa begitu?
Maksudnya adalah jika seseorang tersebut hamba yang bertakwa, ia akan selalu dibayangi oleh dosa yang ia lakukan sehingga ia akan menjadi takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertobat kepada-Nya. Hal ini yang kemudian akan berdampak terhadap amalnya. Ia akan menghindari perbuatan dosa.
Sebaliknya, seseorang yang berbuat kebaikan dan ketaatan akan berakibat memasukkannya ke dalam neraka jika amal yang ia lakukan membuatnya ujub dan kagum terhadap diri sendiri. Sehingga kekaguman akan dirinya melupakannya terhadap Allah dan ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya lupa diri. Maka, bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk tobat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk neraka. Wallahu a’lam bisshawab.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar, syukur, takwa, )



***) Taufik Ismail

KEUTAMAAN & HIKMAH BERDOA

Ud’uni astajib lakum, berdoalah maka niscaya akan Aku kabulkan. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surah al-Mu'min ayat 60 di atas mengisyaratkan kepada manusia untuk selalu menyandarkan sesuatu perkara hanya kepada Allah. Manusia pada hakikatnya adalah satu-satunya makhluk yang Allah berikan akal untuk berpikir dan berusaha. Akan tetapi, di balik kemampuan itu, tentunya ada kekuasaan Allah.
Rasulullah SAW dalam sabdanya menyatakan, tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah kecuali doa. “Laisa syaiun akroma ‘ala Allahi Ta’ala min ad-du’au.” (HR Tarmidzi).
Jika ibadah digambarkan ke dalam struktur tubuh manusia maka doa merupakan bagian otaknya ibadah. Doa berperan merencanakan, memulai, dan mengevaluasi. Saat seseorang hendak melakukan pekerjaan dengan berdoa, berarti dia sedang merencanakan sesuatu.
Hal ini juga serupa jika doa diibaratkan dengan sebuah pekerjaan yang mendapatkan imbalan. Seseorang yang melakukan pekerjaan pada sebuah perusahaan tentunya akan mendapatkan imbalan atas pekerjaannya.
Orang yang berdoa pun akan mendapatkan imbalan, baik imbalan pahala atas apa yang dikerjakan ataupun imbalan berupa terkabulnya doa. Kesimpulannya, doa merupakan bagian dari ibadah. Makin banyak doa dipanjatkan maka makin banyak imbalan atau pahala yang akan didapatkan.
Lebih dahsyatnya, dari keutamaan berdoa bagi kehidupan manusia adalah menolak qadar. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya yang diriwayatkan Ibnu Majah bahwa tidak dapat menolak qadar kecuali dengan doa, “wa la yaruddu al-qadar illa ad-du’a.” (HR Ibnu Majah).
Ada pun hikmah yang dapat diambil dari amalan ibadah dengan berdoa banyak sekali di antara hikmah yang paling utama dari berdoa adalah dekat dengan Allah. Berdoa didefinisikan sebagai satu amalan ibadah dengan tujuan berzikir kepada Allah (mengingat Allah).
Mengingat Allah dengan memperbanyak amalan ibadah melalui doa adalah cara terbaik. “Maka, sesungguhnya Aku adalah dekat.” definisi dekat dikorelasikan dengan bagaimana seorang hamba mau berdoa, meminta, dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemberi Allah Subhanahu wa Ta’ala karena sesungguhnya Allah itu dekat.
 Allah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa orang-orang yang taat melakukan ibadah senantiasa mengadakan pendekatan kepada Allah dengan memanjatkan doa yang disertai keikhlasan hati yang mendalam. Tentunya, doa yang terkabul adalah doa yang disertai dengan keikhlasan hati serta bersifat kontinu.
Hal ini banyak ditegaskan dalam ayat Alquran, di antaranya, “Berdoalah kepada Tuhan-mu dengan berendah diri (tadharu’) dan suara yang lembut. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut akan tidak diterima dan penuh harapan untuk dikabulkan. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Ar’af : 55-56). Wallahu a'lambishawab. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa,  )


***) Ahmad Habibi Syahid

Jumat, 12 Juni 2015

MENDIDIK DENGAN KETELADANAN

Salah seorang sahabat bertanya kepada Aisyah RA tentang apa yang sangat mengagumkan dari kepribadian Rasulullah SAW. Aisyah lalu menjawab singkat, “Akhlak beliau adalah alquran.” (HR. al-Bukharidan Muslim). 
Jawaban sang istri menunjukkan sikap, tutur kata, pola pikir, pola hidup, dan perilaku keseharian Rasulullah SAW merupakan cerminan dan aktualisasi dari nilai-nilai Alquran. Singkatnya, beliau itu ibarat Alquran berjalan.
Namun demikian,  ada pertanyaan yang menggelitik, “Mengapa dengan segala keterabatasan dana, sarana prasarana, dan teknologi canggih beliau mampu mengubah masyarakatnya yang biadab menjadi beradab dan berperadaban?” 
Apa rahasia di balik kesuksesan beliau mendidik dan membina umatnya, sehingga menjadi khairaummah (umat terbaik) yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia? 
Apa yang kurang dari sistem pendidikan kita, sehingga bangsa ini masih dipenuhi koruptor, penjahat, pemiras, penjudi, pemadat Narkoba, mafia dalam segala aspeknya, dan sebagainya?
Menurut berbagai literatur pendidikan Islam, kunci sukses beliau adalah mendidik dengan keteladanan yang baik (at-tarbiyah bi al-uswah al-hasanah).
Beliau tidak banyak berceramah dan berwacana. Beliau cenderung tidak suka main perintah dan larangan. Beliau juga anti-cacimaki dan marah-marah ketika melihat umatnya ada yang belum sesuai dengan ajaran Al-quran.
Akan tetapi, beliau memperkaya diri dengan contoh yang baik. Beliau tidak asal mengatakan sesuatu kalau tidak bisamelaksanakannya. Beliau tidak mudah mengobral janji jika tidak bisa menepatinya.
Beliau selalu menyatupadukan antara kata-kata dan perbuatan nyata. Sementara itu, saat ini pendidikan kita masih mengalami krisis keteladanan.
Mengapa pendidikan dengan keteladanan yang baik itu dinilai efektif dalam memengaruhi dan mengubah sikap, pola pikir dan karakter? Karena, secara psikologis, manusia itu memerlukan figur teladan yang menjadi idola, role model. Keteladanan itu juga merupakan energi yang dahsyat dalam membentuk kepribadian dan memengaruhi perubahan sosial.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, ) 


***) Muhbib Abdul Wahab

Kamis, 11 Juni 2015

MUI SERUKAN UMAT TAK MUDAH TERPROVOKASI

Dengan berlangsungnya Ijtima' Ulama kelima yang diselenggarakan di Tegal, (7-10/6) diharapkan bisa menjadi pegangan bagi umat Islam. Banyak fatwa dan rekomendasi kepada pemerintah untuk dijalankan.
Hal tersebut tidak ada artinya jika masyarakat masih percaya dengan isu-isu negatif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. MUI hendaknya menjadi pegangan hukum tertinggi dari sekian banyak pendapat-pendapat fiqh para ulama lokal.
Hal ini disampaikan Ketua Tim Materi Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia kelima, Dr KH Ma'ruf Amin. Ia memesankan, peganglah hasil ijma' ulama tersebut dan dijalankan dengan baik.
"Dalam ajaran Islam, kita tidak boleh mempercayai yang tidak jelas. Apalagi pembawa beritanya tidak jelas. Harus dilakukan yang namanyatabayyun (klarifikasi). Nanti jatuh pada prasangka yang keliru," kata KH Ma'ruf mengingatkan.
Kyai Ma'ruf menyerukan masyarakat tidak terprovokasi. ''Walaupun sudah jelas, entah itu berita fitnah dan kebohongan, jangan bertindak sendiri. Sebab bisa menimbulkan masalah," jelas kyai Ma'ruf Amin.
hannan putra.
(Da'wah, hidayah, pendidikan, )


TIGA HAL YANG DISUKAI

Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW dan para sahabat yang mulia sedang berada di dalam suatu majelis. Rasulullah SAW kemudian membuka pembicaraan seraya bersabda, “Ada tiga hal yang sangat aku senangi di dunia, yaitu wangi-wangian, istri salehah ,dan ketenangan saat shalat.”
Mendengar sabda Rasulullah SAW itu, Abu bakar berkata, “Benar, wahai Rasulullah, aku pun menyukai terhadap tiga hal, yaitu senang melihat wajah Rasul SAW, menafkahkan hartaku kepada Rasul SAW, dan aku senang putriku ada di bawah naungan Rasulullah.” Lantas, Umar RA menyahut, “Benar, wahai Abu Bakar, aku pun senang terhadap tiga hal: mengajak kepada kebaikan, melarang kemungkaran, dan berpakaian jelek.
Kemudian, Usman RA menimpali, “Benar, wahai Umar dan aku pun menyukai tiga hal, yaitu mengenyangkan orang yang sedang lapar, memberi pakaian kepada orang yang compang-camping, dan membaca Alquran. Tak ketinggalan Ali RA juga berkata, “Benar Usman, aku pun menyukai tiga hal, yaitu melayani tamu, puasa di musim panas, dan memukul musuh dengan pedang (perang).
Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Jibril datang dan berkata, “Allah telah mengutusku, ketika mendengar pembicaraan kalian. Allah memerintahkan kepadamu supaya engkau bertanya kepadaku tentang sesuatu yang aku cintai apabila aku menjadi penghuni dunia.” Lalu Nabi pun berkata, “Apakah yang kau cintai apabila menjadi penghuni dunia?”
Jibril menjawab, “Memberikan petunjuk kepada orang-orang sesat, menemani orang-orang yang taat kepada Allah, dan menolong keluarga yang fakir.” Lalu Jibril berkata, “Allah Tuhan Yang Mahamulia dan Mahaagung mencintai tiga hal pada diri hamba-Nya, yaitu mencurahkan segala kemampuan dalam berbakti kepada Allah, menangisi perbuatan maksiat, dan menahan diri ketika ada kebutuhan.”
Subhanallah, begitulah perbincangan orang-orang yang mulia jika mereka bersua dan berkumpul dalam satu majelis. Perbincangan yang penuh dengan penghormatan, kasih sayang, dan kemuliaan yang menggambarkan akan kepribadiannya dan kecintaannya kepada kebaikan dan hal-hal yang utama.
Perbicangan orang-orang mulia di atas yang termaktub di dalam kitab Nashaaihul Ibad karya Ibnu Hajar Asqolani bab Tsulatii Maqalah keempat puluh dua memberikan banyak pelajaran penting kepada kita dalam upaya meningkatkan kualitas kita sebagai hamba Allah SWT dan mengokohkan jalinan persahabatan.
Di antara pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah hendaklah menjadikan materi yang kita perbincangkan setiap kita berkumpul dengan sahabat-sahabat kita adalah hal-hal yang membangkitkan keimanan dan ketakwaan kita semakin meningkat dan menumbuhkan jalinan kasih sayang yang mendatangkan kecintaan dan keridhaan Allah SWT. Wallahu a’lam. 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa, )

***) Moch Hisyam

Rabu, 10 Juni 2015

DI PINTU HARI PERHITUNGAN

Ketika kita melakukan perjalanan dan melewati tempat pemeriksaan, baik domestik maupun mancanegara, lalu tidak diperiksa petugas, bahkan disambut dengan hormat, biasanya hal ini hanya berlaku untuk pejabat penting (VVIP) seperti kepala negara dan pemerintahan atau tamu negara. Mengapa mendapat privilege (keistimewaan) itu? Karena mereka punya kedudukan, prestasi, dan karya yang membanggakan.
Kejadian di atas pun seakan terjadi kelak sebelum memasuki tempat abadi (surga atau neraka). Semua manusia akan melalui pintu pemeriksaan dokumen hidup yang disebut hari perhitungan (yaum al-hisab).
Rasulullah SAW pernah menyebutkan sahabat yang masuk surga tanpa hisab, antara lain  Abu Bakar RA, Umar ibnu Khattab RA, Utsman bin Affan RA, Ali bin Abi Thalib RA, Zubair bin Awwam RA, (HR at-Turmudzi). Nabi SAW juga bersabda, “Tujuh puluh ribu atau 700 ribu dari umatku akan masuk surga tanpa dihisab, mereka masuk berturut-turut, sedang rupa mereka seperti cahaya bulan purnama.” (HR Bukhari).
Orang pertama ditanya, “Mengapa Tuan merasa pantas masuk surga tanpa dihisab?” “Aku seorang pahlawan yang mati syahid di medan perang karena membela agama.” Jibril bertanya lagi, “Dari mana kau tahu itu?” Ia menjawab, “Dari guruku, orang alim.” “Kalau begitu, jagalah adab kepada guru. Mengapa tak kau beri kesempatan orang alim masuk surga dahulu?” kata Jibril. Ia pun menyadari kelancangannya.
Orang kedua ditanya hal serupa dan menjawab, “Aku haji mabrur yang balasannya surga.” “Dari mana kau tahu itu?” “Dari guruku, orang alim,” sahutnya. “Mengapa engkau tidak menjaga adab kepada gurumu?” ujar Jibril. Ia pun sadar atas kekhilafannya.
Orang ketiga pun ditanya dan menjawab, “Aku orang kaya yang dermawan. Kekayaanku halal dan diinfakkan di jalan Allah.” “Dari mana kau tahu itu dapat ganjaran surga?” tanya Jibril. “Dari guruku, orang alim.” “Lalu, mengapa orang alim tidak kau hormati?” Ia pun tertunduk malu. 
Setelah orang alim yang saleh itu diberi kehormatan, ia lalu berkata, “Maaf, Tuan-Tuan. Aku tidak akan dapat belajar dan mengajar dengan tenang apabila tidak ada pahlawan yang rela mati syahid. Aku juga tidak dapat pahala terus-menerus jika haji mabrur tidak mengamalkan ilmu yang kuajarkan. Kami pun tidak akan dapat leluasa tanpa kedermawanan orang kaya.  Oleh karena itu, biarlah orang kaya yang masuk surga duluan, disusul pahlawan, haji mabrur dan aku menyusul.”
Dialog sufistik ini memberi banyak pelajaran. Pertama, orang-orang hebat diukur dari ketaatannya kepada Allah SWT (ritual) dan kemanfaatannya bagi orang lain (sosial). Keempat orang itu adalah orang-orang yang berbuat untuk umat, bukan untuk dirinya sendiri.
Kedua, rasa egois (anaiyah) dan angkuh bisa menerpa siapa saja yang memiliki kelebihan. Merasa paling benar, patut dihargai dan dihormati.
Ketiga, alim ulama yang rendah hati adalah pewaris para nabi yang membimbing, menyejukkan, dan menyatukan umat. Ulama yang tawadhu' akan dimuliakan, apalagi ia pandai memuliakan orang lain. Wallahu a'lam bishshawab.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., syukur,  syukur, takwa, )


***) Hasan Basri Tanjung

Senin, 08 Juni 2015

HIKMAH PENCIPTAAN IBLIS & SETAN

Pakar Quran Prof Quraish mengagumi karya Taufiq al-Hakim yang berjudul asy-Syahid.  Sastrawan mesir kontemporer ini menggambarkan peranan Iblis di pentas kehidupan.
Menurut Prof Quraish, Al hakim menggambarkan iblis berkunjung kepada pemuka-pemuka agama yang melaknat dan mengutuknya supaya mereka memberi saran agar tobatnya dapat diterima Allah.  Semua pemuka agama tidak mengetahui bagaimana menghadapi permintaannya dan apa yang harus mereka lakukan. 
Pasalnya, jika tobat iblis diterima, apa jadinya dan bagaimana kesudahan kepercayaan tentang dosa warisan dan jalan keselamatan yang merupakan dampak dari dosa iblis, Begitu pikir pendeta Kristen. Rabi Yahudi pun tidak berdaya karena pada benaknya berkata: Bila tobat Iblis diterima, di mana lagi tempat orang-orang Yahudi yang merupakan bangsa pilihan Tuhan. Di antara bangsa-bangsa lain yang di sesatkan iblis?
Imam besar Islam pun tidak berdaya karena kalu tobat iblis diterima bagaimana jadinya perintah ber-ta’awwwudz (memohon perlindungan Allah dari setan terkutuk). Mendengar semua itu iblis berteriak: “Eksistensinya saya diperlukan untuk wujudnya kebaikan; jiwa saya yang penuh kegelapan harus terus demikian agar dapat merefleksikan cahaya Ilahi” Tulis Prof Quraish mengutip karya Taufiq al-Hakim.
Selanjutnya, Iblis menangis maka berjatuhanlah meteor-meteor menimpa kepala hamba-hama Tuhan. Malaikat jibril melarang Iblis menangis. Iblis dengan putus asa turun ke bumi dan ketika itu keluarlah dari dadanya embusan napas yang selama ini tertahan, diikuti gemanya secara serentak oleh bintang-bintang dan benda-benda langit memperdengarkan ucapan: “Sayalah yang syahid. . .  sayalah yang syahid.”
Menurut Prof Quraish, kalau Taufiq al-Hakim dalam ilustrasinya menunjukkan keniscayaan wujud iblis paling tidak dalam rangka keberagamaan.
 
Pakar Prof Qurais menyampaikan bahwa pakat Mesir kenamaan Abbas Al-‘Aqqad menunjukkan keniscayaan setan dalam kedurhakaan. Iustrasi Al-‘Aqqad membuktikan bahwa keinginan Iblis untuk bertobat seperti dilukiskan Taufiq al-Hakim, walaupun seandaninya dikabulkan Tuhan, tidak akan dapat berhasil.
 
Seorang setan pemula jenuh dengan kehidupan ala setan yang penuh dengan kedurhakaan. Ia tidak lagi berminat merayu dan menggoda manusia, setelah melihat sikap dan keadaan manusia yang taat dan yang durhaka hampir-hampir sama saja. Allah menerima tobatnya dan setan pemula itu dimasukkan ke surga.”
Tetapi dasar setan ia kembali jemu dengana aneka kenikmatan surgawi, tasbih, dan tahmid, serta ibadah yang dilakukannya di sana. Ia mengharap dapat menuju ke hadirat Tuhan karena tidak dapat melihat kesempurnaan Tuhan tanpa menuntut-Nya. Dengan demikian, di surga pun ia durhaka dan membangkang.

Akibat kedurhakaannya, Allah mengubah tubuhnya menjadi batu. Di sini sekali lagi dasar setan ia menggoda manusia dengan keindahan yang terpancar melalui patung-patung aneka seni,” tulis Prof Quraish mengutip karya al-‘Aqqad. “Itulah ilustrasi dua sastrawi Mesir kontemporer.” Tulis Quraish 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, pendidikan., )

Minggu, 07 Juni 2015

JANGAN MERASA BENAR SENDIRI

Perbedaan pendapat itu sifatnya alamiah. Setiap orang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan sikap yang kadang berbeda. Hanya saja, perbedaan itu harus dibingkai komunikasi yang santun, mendorong pada dialog yang terbuka, dan tetap memelihara sikap menghargai satu sama lain. Kebenaran yang disampaikan, tapi bila caranya salah, dengan sikap yang arogan dan ingin menang sendiri, akan diterima salah.
Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana beliau menghargai setiap perbedaan dan bila pun ada kekeliruan, meluruskannya dengan lemah lembut. Tak pernah ada cacian dan hinaan terucap, bahkan kepada musuhnya yang membencinya sekalipun. Perdebatan yang dilakukannya selalu terpelihara dari sikap menghinakan lawan bicara.
Sementara kini, komunikasi antara sesama dan di ruang publik makin jauh dari sikap menghargai. Hanya karena berbeda pendapat, cacian, sindiran, dan ucapan melecehkan begitu mudah ditemukan dalam obrolan sehari-hari. Dalam acara televisi, arogansi dan caci-maki seolah telah menjadi tradisi. Bahkan di media sosial, mencela jadi biasa. Kesantunan dan menghormati sesama kini mulai menjadi perilaku langka.
Di kalangan umat Islam, hanya karena berbeda dalam pemahaman keagamaan, mengafirkan menjadi biasa. Padahal, status kafir itu menakutkan. Siapa pun yang mengaku dirinya Muslim, akan sangat sedih bila dilabeli status itu. Janganlah dengan mudah menuding orang lain kafir karena hanya Tuhan yang tahu bagaimana kualitas beragama kita.
Mengedepankan tabayun, komunikasi dua arah dan utuh akan mengurangi perbedaan persepsi. Sertakan semangat untuk memelihara ukhuwah Islamiyah. Jangan sampai perbedaan pendapat menjadi laknat.
Ingatlah, Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk menyampaikan dakwah dengan bijak, santun, dan jika pun harus berbantahan, lakukanlah dengan baik. "Serulah pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS an-Nahl: 125).
Ayat ini salah satu maknanya memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah tauhid. Bahkan bila ada yang menolak dan meragukan Islam, bantahlah dengan cara yang terbaik. Apabila Rasulullah SAW saja diajarkan membantah dengan cara yang baik, tentu saja sebagai umatnya kita pun diperintahkan seperti itu.
Janganlah berbantah-bantahan dan umpatan menjadi tradisi. Berkomunikasilah dengan menjaga perasaan orang lain tanpa kekerasan dan sindiran yang menyakitkan. Apalagi bila perbedaan pendapat itu dengan sesama Muslim, menahan diri dan menghormati apa yang menjadi pendapat saudara kita sangat utama. Semua kita tengah belajar beragama, tak ada seorang pun yang sempurna pengetahuannya. Bila ada ulama ahli fikih, pasti beliau kurang memahami bidang ilmu lain, demikian juga yang lainnya. Demikianlah, pengetahuan manusia terbatas. Sejatinya, apa yang diketahui, amalkanlah sebaik mungkin.
Rasulullah SAW mengingatkan: "Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam zikir tentang Allah." (HR Darimi).
Komunikasi yang sopan akan membawa pada semangat untuk menemukan kebenaran hakiki, bukan merasa benar sendiri. Ingatlah, kedalaman ilmu pengetahuan tidak ditentukan seberapa hebatnya kita berdebat. Belajar dan mengamalkannya menjadi penentu. Wallahu'alam.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan., sabar,  syukur, takwa, )



***) Iu Rusliana

Sabtu, 06 Juni 2015

HAL YG DITAKUKAN RASULULLAH MENIMPA UMATNY

Suatu kali, Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan hal yang paling beliau takutkan dengan berkata, ''Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas diri kalian adalah syirik kecil.''
Para sahabat langsung bertanya, ''Apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?'' Rasul menjawab, ''Riya.''
Riya adalah harapan untuk mendapatkan sanjungan, kemuliaan, atau kedudukan di hati manusia dengan memperlihatkan tindakan yang baik dalam ibadah ataupun kegiatan sehari-hari. Seseorang yang memperturutkan riya dalam ibadah mahdhah, seperti shalat maka tiada sedikitpun balasan pahala yang ia terima. (QS al-Ma'un [107]: 4-6)
Dalam ibadah ghairu mahdhah pun seperti itu. Berinfak di jalan Allah dengan maksud bisa mendapat julukan dermawan atau menuntut ilmu dengan niat mendapat gelar seorang alim maka segala usaha tersebut akan sia-sia. 
Selain itu, pelaku riya juga akan mendapat laknat dari Allah SWT karena ia telah menyandingkan Sang Khalik dengan makhluk ciptaan-Nya. Dalam Hadis qudsi disebutkan bahwa Allah SWT menantang kala hari perhitungan kepada manusia dengan berkata, ''Pergilah kalian kepada orang-orang yang kala di dunia kalian mengedepankan riya atas mereka dan lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari sisi mereka.'' (HR Ahmad dan Baihaqi).
Demikian betapa besarnya laknat Allah terhadap pelaku riya. Riya hukumnya haram. Ia merupakan penyakit hati yang bersumber dari sifat rububiyyah dalam diri manusia, yakni sifat yang menganggap diri lebih mulia ketimbang orang lain sehingga senantiasa ingin mendapatkan pujian dan menampakkan perilaku baik dalam tutur kata dan perbuatan.
Sifat ini sejatinya ada dalam hati setiap pribadi manusia, meski takarannya berbeda-beda, bergantung iman dan ketaatan kepada Allah SWT. Barang siapa yang imannya kuat maka ia akan mampu menekan penyakit riya tidak sampai tampak ke permukaan, tapi sebaliknya, manakala lemah maka ia akan terseret oleh arus penyakit ini. 
Lantas, bagaimana usaha kita untuk menghindari syirik kecil ini? Pertama, dengan mengetahui akar pemicu timbulnya riya. Penyakit akan tumbuh kembali manakala penderita sekadar mengobati titik sakitnya bukan pada akarnya. Adapun secara terperinci ada tiga akar riya, yakni perasaan senang mendapatkan pujian,  takut akan hinaan dan celaan, serta tamak atas apa yang dimiliki oleh orang lain. Ketiga akar ini akan tercerabut dari dalam hati kita dengan mengingat bahwa keagungan hanya mutlak milik Allah SWT dan tiada kemuliaan yang abadi di dunia. 
Namun, apabila riya masih terketuk dalam hati meski kita sudah mengetahui akar pemicunya maka cara yang kedua adalah dengan mengucap taawuz dan terus beristighfar kepada Allah SWT agar setan yang kala itu membuhulkan bisikan dapat menjauh dari kita karena sejatinya setan menjauh dari orang-orang yang hatinya bersih dan ikhlas.
Dari itu semua, apalah arti sebuah sanjungan kalau ia putus ditelan kematian. Sebab, sanjungan yang abadi hanya datang dari Allah SWT kelak di hari akhir. Masing-masing dari kita akan mampu meraih sanjungan-Nya dengan amal saleh dan ketakwaan yang hakiki. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa, )


***) M Sinwani

Jumat, 05 Juni 2015

TANDA TANDA KIAMAT

Suatu ketika Rasulullah SAW bangun dari tidur dalam keadaan merah mukanya. Ia lalu berkata, “La ilaha illallah, celaka orang-orang Arab karena keburukan telah dekat, telah terbuka hari ini benteng penghalang Ya'juj dan Ma'juj (Nabi SAW melingkarkan antara ibu jari dan telunjuk). Lalu ditanyakan, “Apakah kita akan dibinasakan, padahal ada orang-orang saleh di tengah-tengah kita?” Nabi SAW menjawab, “Ya, jika al khabats telah merajalela.” (HR Al Bukhari-Muslim).
Kata al khabats dalam hadis ini memiliki makna segala perbuatan yang merupakan bentuk kemaksiatan terhadap Allah SWT serta dilakukan kapan saja dan di mana saja (banyak dijumpai di setiap waktu dan tempat).
Hadis di atas juga menjelaskan, jika kemaksiatan telah tersebar dan merajalela, itu artinya iman menjadi sesuatu yang sangat langka, kebaikan dan keberkahan rezeki telah lenyap, rasa aman tidak ada lagi, banyak terjadi huru-hara dan wabah penyakit.
Sementara itu, kesia-siaan menjadi sesuatu yang mendominasi, keadaan masyarakat berubah total, kemungkaran dianggap kebaikan, sedangkan kebaikan menjadi sesuatu yang diingkari. Inilah salah satu tanda akan keluarnya Ya'juj dan Ma'juj yang merupakan satu di antara sekian pertanda bahwa kiamat telah di ambang pintu.
Ini merupakan isyarat bahwa apa yang disabdakan Rasulullah SAW itu telah mendekati bahkan menjadi kenyataan. Nabi SAW telah memberitahukan kepada umatnya beberapa tanda dekatnya hari kiamat yang terjadi di akhir zaman.
Tanda-tanda kiamat, yakni pertama, orang tidak memperhatikan halal dan haram. Dalam hadis sahih al Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa di mana seseorang sudah tidak peduli lagi bagaimana caranya mendapatkan harta, apakah secara halal atau dengan cara haram.”
Termasuk kategori mencari harta secara haram adalah dengan mempraktikkan riba dan rentenir. Tidak bisa dimungkiri bahwa sektor muamalah, ekonomi, dan bisnis kini telah didominasi oleh sistem ribawi, yaitu dengan bermunculannya bank-bank dan lembaga perkreditan yang mempraktikkan riba ataupun orang-orang yang berprofesi sebagai rentenir.
Kedua, waktu terasa pendek. Nabi SAW bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sehingga waktu menjadi terasa pendek” (HR Al Bukhari). Setahun mejadi serasa sebulan, sebulan seperti seminggu, seminggu bagaikan sehari, sehari terasa sejam, dan sejam bagai semenit.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti lafal taqarub az-zaman (waktu menjadi pendek) dalam hadis di atas. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah sedikitnya keberkahan di dalam waktu (umur).
Ada juga yang mengatakan cepatnya hari-hari berlalu disebabkan beragamnya sarana transportasi dan komunikasi sehingga yang jauh menjadi terasa dekat. Dalam hadis lain, Nabi SAW bersabda, “Hari kiamat tidak terjadi sehingga fitnah tersebar, banyak kebohongan, dan pasar-pasar saling berdekatan.”  (HR Ahmad). Wallahu'alam. 
(Da'wah, hidayah, keyakinan, takwa., syukur, sabar,)


***) Bahron Ansori

Kamis, 04 Juni 2015

BENTUK PENGHARGAAN RASULLAH

Pepatah mengatakan, 'Teman boleh datang dan pergi. Akan tetapi, keluarga tetaplah yang abadi'. Teman kuliah akan berpisah begitu wisuda. Demikian juga rekan sepermainan, satu hobi olahraga, misalnya.
Maka, akan bubar manakala selesai kegiatan itu. Namun, sebuah keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak, akanlah tetap abadi dalam bingkai yang disebut dengan keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Keluarga merupakan tempat sejumlah orang berkumpul, bersosialisasi dalam lingkup terkecil di masyarakat, bergaul, bercengkerama, dan beristirahat. Keluarga juga menjadi madrasah pertama bagi anak-anak sebelum bersekolah formal di lembaga pendidikan.
Keluarga memegang peranan penting bagi karier seseorang, apakah ia seorang ayah kepala rumah tangga, ibu sosok panutan, atau anak dalam meniti kesuksesan hidupnya.
Seorang suami, betapapun hebat ilmu dan pengalamannya, tinggi jabatan kedudukannya, serta luas pergaulannya. Ia tidaklah akan sukses tanpa ditopang kesetiaan, kesabaran, pendampingan, dan doa ikhlas dari seorang isteri. Maka, ada istilah, “Di balik kesuksesan seorang suami ada sosok istri di belakangnya”.
Demikian sebaliknya, betapapun lebih tinggi pangkatnya, lebih besar penghasilannya, serta lebih sibuk aktivitasnya, jika ia berposisi sebagai seorang istri dalam rumah tangga atau ibu bagi anak-anaknya maka ada sosok suami, sang pemimpin dan penentu kebaikan istrinya.
Begitulah, maka kita mengetahui betapa penghargaan Nabi Muhammad SAW terhadap keluarga sehingga beliau sampai-sampai menyebut dengan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan, aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR At-Tirmidzi).
Bagaimana tidak menghormati keluarga, tatkala suatu pagi dilihatnya di dapurnya belum ada makanan, lalu istrinya, 'Aisyah, mengatakan bahwa pagi itu belum ada yang dapat dimasak. Bukan piring terbang yang melayang, apalagi umpatan yang menghujat. Akan tetapi, kalimat santun, “Baiklah kalau begitu biarlah saya berpuasa saja”.
Bagaimana juga tidak disebut mengerti kesibukan sang istri, sampai-sampai baginda Nabi SAW menjahit terompahnya sendiri. Demi dilihatnya itu harus dilakukannya sendiri dan mampu untuk mengerjakan itu.
Bagaimana pula sebaliknya, tatkala semasa hidupnya, Khadijah, istri pertama Nabi, menyelimuti Sang Nabi, suaminya tercinta, tatkala baru pertama menerima wahyu, berjumpa dengan sosok Malaikat Jibril di Gua Hira.
Khadijah pun menenangkannya, “Tidak, wahai suamiku. Bergembiralah dan teguhkanlah hatimu…. Demi Allah, Allah tidak akan mengecewakanmu. Maka, demi Dzat yang nyawa Khadijah di tangan-Nya, sesungguhnya saya mengharapkan engkau menjadi Nabi umat ini. Engkau selalu menjalin ikatan tali keluarga, menghormati tamu, menolong yang lemah, dan engkau tidak pernah melakukan kejelekan sama sekali.”
Demikian pula bagaimana perlakuan Nabi terhadap anak-anaknya. Beliau selalu memperhatikan dan menepati, jika menjanjikan sesuatu pada sang anak. Hingga baginada pun berkata kepada kita, umatnya, “Bila engkau menjanjikan sesuatu kepada anak maka tepatilah janji itu. Sebab, sesungguhnya yang anak-anak tahu adalah bahwa engkaulah yang memberi mereka rezeki.”
Maka, marilah berlaku baik, bahkan yang terbaik terhadap keluarga kita masing-masing. Kita sama-sama menjaga diri dan keluarga kita agar tetap terjaga dalam bingkai ibadah kepada-Nya serta terjauh dari siksa-Nya.
Allah SWT menyebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66]: 6)
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur, takwa)



***)  Ali Farkhan Tsani