Senin, 31 Agustus 2015

KASIH SAYANG ALLAH

KASIH SAYANG  ALLAH
Suatu hari, Rasulullah SAW dan para sahabat berjalan di tengah padang pasir. Saat itu, panas sinar matahari terasa menyengat, seolah membakar tubuh, bahkan menelusup menembus ke lapisan kulit.
Tiba-tiba, seorang ibu tampak sedang menggendong bayinya. Sang ibu dengan penuh perhatian mendekap buah hatinya. Ia berusaha melindungi bayinya agar tak terkena panas matahari.
Melihat pemandangan ini, Rasulullah menghentikan langkah para sahabatnya. Seolah mendapat tamsil kasus yang tepat, beliau bertanya, "Wahai para sahabatku, akankah ibu itu melemparkan bayinya ke dalam api yang membara?" Para sahabat menjawab serentak, "Tidak mungkin, wahai Rasulullah."
Kemudian, Rasulullah bersabda, "Ketahuilah, kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu itu terhadap bayinya. Dia-lah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim!" (HR Bukhari-Muslim).
Kisah di atas mengajarkan bahwa sifat Allah yang khusus diberikan kepada orang-orang beriman pada hari akhir adalah ar-Rahman dan ar-Rahim. Kedua asma Allah ini (ar-Rahman dan ar-Rahim) berasal dari kata arrahmah. Menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa bahwa semua kata yang terdiri dari hurufra, ha, dan mim mengandung makna “lemah lembut, kasih sayang, dan kehalusan.”
Kata ar-Rahman berasal dari kata sifat dalam bahasa Arab yang berakar dari kata kerja ra-ha-ma/, artinya ialah penyayang, pengasih, pencinta, pelindung, pengayom, dan para mufasir memberi penjelasan bahwa ar-Rahman dapat diartikan sebagai sifat kasih Allah pada seluruh makhluk-Nya di dunia, baik manusia beriman atau kafir, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta makhluk lainnya.
Dengan kasih-Nya ini, Sang Khalik mencukupkan semua kebutuhan hidup makhluk di alam semesta. Hanya saja, limpahan kasih ini hanya diberikan Allah pada semua mahluk selama hidup di dunia, di akhirat kelak kasih sayang ini hanya diberikan kepada orang beriman yang menjadi penghuni surga.
Sementara itu, ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) di dalam Alquran, Allah mengulangi kata ini sebanyak 228 kali, jauh lebih banyak dari asma Allah, ar-Rahman yang hanya disebutkan sebanyak 171 kali. Jika kata ar-Rahman sifatnya berlaku untuk seluruh manusia maka kata yang kedua ar-Rahim, sifat-Nya yang hanya berlaku pada situasi khusus dan untuk kaum tertentu semata.
Rahim juga disebut sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya janin. Di alam rahim inilah bermulanya kehidupan. Di alam rahim kehidupan ideal kita dijaga dan dipelihara. Bahkan, di alam rahim pula, setiap manusia dipersaksikan “apa dan ke mana” tujuan hidupnya.
Maka, tak heran apabila bayi dilahirkan, ia akan menangis, karena meninggalkan rahim yang melimpahkan sayang dan rasa aman. Di dalam sifat rahim Allah, kita akan hidup dengan aman, nyaman, penuh kemuliaan, sentosa, dan penuh keberkahan.
Maka, sebutlah nama-nama Tuhan yang indah, dalam setiap awal doa dan permintaan. Mereka yang selalu membasahi bibirnya dengan kata, ar-Rahman dan ar-Rahim, maka Allah akan melimpahkan  kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Siapa saja dikasihi dan disayangi Allah. Maka, tak satu pun makhluk di dunia memiliki alasan untuk membenci kecuali mereka yang telah dikuasai nafsu angkara murka.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa, )


***) Dadang Kahmad

Minggu, 30 Agustus 2015

TIGA KRETERIA DASAR KEMERDEKAAN SEJATI

Dalam ungkapan Arab terdapat adagium yang berbunyi, "La Syay'a atsman min al-hurriyah" (tak ada sesuatu yang lebih mahal [berharga] ketimbang kemerdekaan).
Dari ungkapan ini, kemerdekaan dianggap sebagai penentu mati dan hidupnya manusia. Apabila seorang kehilangan kemerdekaan, sesungguhnya ia sudah mati meski ia masih bernapas, makan-minum, dan berjalan-jalan.
Khalifah Umar bin Khathab mengingatkan kita semua agar menjaga kemerdekaan itu serta tidak boleh yang satu memperbudak yang lain karena setiap orang dilahirkan oleh Allah SWT dalam keadaan bebas dan merdeka.
Hal sama diingatkan pula oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, "Jangan pernah mau diperbudak oleh siapa pun karena Allah SWT menciptakanmu bebas dan merdeka," ujarnya. Dalam perspektif Islam, kemerdekaan itu sendiri dimaknai sebagai kemampuan (al-qudrah) yang membuat seorang bisa melakukan atau tidak melakukan sesutau atas dasar kehendak dan pilihan (bebas)-nya sendiri.
Setiap manusia dianugerahi oleh Allah SWT kehendak bebas, iradah, atau masyi'ah. Manusia dapat memilih dan melakukan sesuatu atas kehendak dan pilihan bebasnya serta atas kehendak bebasnya itu pula ia dimintai pertanggungjawaban.
Kebebasan pertama dan utama yang diberikan Islam adalah kebebasan agama, Hurriyat al-Din (QS al-Baqarah [2]: 256), lalu kebebasan berpikir (hurriyat al-fikriyyah), dan kebebasan menyatakan peendapat (hurriyat al-qaul). Kebebasan yang terakhir ini diwaujudkan, antara lain, dalam bentuk keharusan melakukan amar makruf dan nahi munkar (QS Ali Imran [3]: 110).
Kebebasan yang diajarkan Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab, adil, dan berkeadaban, yaitu suatu kebebasan yang menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi mesti memenuhi tiga kriteria dasar yang tak boleh dilampaui sebagai berikut.
Pertama, kriteria kebenaran (al-haqq) bukan kejahatan (al-fusuq). Islam memberi kebebasan kepada setiap orang untuk memilih agama, berpikir dan berilmu, serta menyampaikan pendapat karena semua ini merupakan sesuatu yang hak. Sebailknya, atas nama kebebasan, seeorang tidak serta merta dibolehkan melakukan tindak kejahatan atau keburukan, seperti mencuri, korupsi, dan mabuk-mabukan, lantaran semua ini merupakan keburukan, bukan kebenaran.
Kedua, kriteria tidak menimbulkan bahaya atau madharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Dalam Islam, setiap tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, haram hukumnya. Ini sejalan dengan kaidah hukum Islam, "La Dharara wa la dhirar" (dilarang mendapat bahaya dan membahayakan orang lain).
Ketiga, kriteria keadaban (akhlak) atau kepatutan. Kriteria yang terakhir ini menjadi penyempurna dari dua kriteria sebelumnya yang membuat kebebasan menjadi bernilai tinggi. Sebagai contoh, dalam berlalu lintas, kita bebas dan boleh memilih jalan mana saja yang akan dilalui. Akan tetapi, setiap kita dilarang merusak dan melawan rambu-rambu jalan karena rambu-rambu itu dipasang untuk menjaga dan mewujudkan ketertiban dan kepentingan umum.
Sistem politik dan demokrasi apa pun yang dipilih oleh suatu bangsa, demikian Syekh al-Qardhawi, ketiga keriteria di atas mesti diperhatikan dan tidak boleh dilanggar atau dilampaui. Setelah 70 tahun merdeka, kita sebagai bangsa, diharapkan sudah mampu membedakan antara kebebasan dan kebablasan, antara demokrasi dan anarki, dan antara ketuhanan dan kesetanan.
(hidayah, keyakinan, hikmah, sabar, syukur, takwa, )


***) A Ilyas Ismail

Sabtu, 29 Agustus 2015

CINTA NEGARA BAGIAN DARI KEIMANAN

Ketika intimidasi, ancaman, dan gangguan dari kaum kafir Quraisy meningkat, Rasulullah menyarankan kaum Muslimin berhijrah ke Habsyah yang saat itu dipimpin oleh al-Najasyi, seorang raja yang baik dan tidak menzalimi rakyatnya.
Dua kali kaum Muslimin berhijrah ke Habsyah. Rasulullah SAW masih berada di Makkah dan melanjutkan dakwahnya. Belakangan, Beliau SAW juga melakukan hijrah ke Kota Yatsrib yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah.
Makkah merupakan kota metropolis yang kering (QS Ibrahim [14]: 37), sementara Madinah relatif lebih sejuk dan banyak penduduknya yang berprofesi sebagai petani. Selama berdakwah di Makkah, Rasulullah menerima banyak gangguan bahkan upaya pembunuhan dari kaum kafir Quraisy.
Namun, saat menuju Madinah, beliau bersedih dan menyatakan bahwa Makkah adalah kota yang sangat dicintainya. Secara kodrati, setiap orang akan mencintai tanah airnya, tempat ia dilahirkan dan hidup. Sungguh aneh jika ada orang yang membenci tanah airnya sendiri.
"Hubbul wathan minal iman", artinya cinta negara merupakan bagian dari keimanan. Ungkapan ini bukan berasal dari hadis atau dalam bahasa lain kita sebut sebagai hadis palsu. Namun, makna dari ungkapan ini benar, yang mana kita memang harus mencintai negara dan tanah air kita sendiri.
Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Dalam surah al-Dzariyat [51] ayat 56, Allah SWT berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."
 Semua manusia juga pasti ingin hidupnya bahagia. Ibadah tidak bisa dilakukan dengan baik dan kebahagiaan hidup tidak bisa diperoleh kecuali apabila negara kita aman, tenteram, dan sejahtera. Untuk itu, kita perlu menjaga negara yang kita tinggali dari segala gangguan dan ancaman, baik dari luar maupun dari dalam negeri.
Rasulullah menegaskan bahwa Allah memberikan pahala syahid bagi siapa pun yang meninggal dunia akibat menjaga dirinya, hartanya, dan kehormatannya. Menjaga keselamatan dan kehormatan bangsa merupakan bagian dari menjaga keselamatan diri manusia.
Upaya merongrong kedaulatan negara, aktivitas yang memunculkan kegaduhan di tengah masyarakat, dan kriminalitas sama sekali bukan bentuk cinta negara dan pelakunya tidak layak diberi label "orang yang beriman."
Dalam banyak ayat Alquran dan hadis disebutkan ciri-ciri orang yang beriman, di antaranya adalah tidak mengganggu orang lain, tidak melakukan perusakan di muka bumi, berbuat baik kepada orang lain, dan menyebarkan keselamatan.
Dirgahayu Indonesia. Kami sungguh mencintaimu. Semoga Indonesia menjadi negeri yang baik dan mendapat ridha dari Allah (baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur).
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Andi Rahman

Jumat, 28 Agustus 2015

DUA BEKAL SEBELUM PERGI HAJI

Haji secara bahasa adalah berkunjung. Adapun secara istilah adalah berkunjung ke rumah Allah (Baitullah) dengan amalan tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Inilah yang membedakan kunjungan ke Baitullah dalam rangka haji dan umrah.
Di antara amalan yang membedakan haji dan umrah adalah melaksanakan wukuf di Arafah dan melontar tiga jumrah di Mina. Di antara waktu yang membedakan haji dan umrah adalah bahwa pelaksanaan haji hanya berlangsung pada bulan-bulan tertentu. yaitu Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijah.
Allah berfirman, "(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan tertentu, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji maka tidak boleh rafats (mengeluarkan kata-kata yang mengundang syahwat atau kata-kata yang tidak senonoh atau melakukan hubungan seksual), berbuat fusuk, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya." (QS al-Baqarah [2]: 197). Dengan kata lain, pergi haji semata-mata hanya untuk mengerjakan kebaikan demi kebaikan di rumah-Nya dan sekitarnya sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya.
Maka, kunjungan ke Baitullah dalam rangka haji itu berbeda dengan kunjungan dalam rangka umrah. Apalagi dengan kunjungan ke tempat-tempat lainnya di manapun di muka bumi. Dengan begitu, bekal yang harus dipersiapkan pun tentu berbeda.
Sudah menjadi rahasia umum, kebanyakan KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji) di Tanah Air memberikan pembekalan tertentu kepada jamaahnya yang akan pergi haji. Namun, umumnya lebih banyak ditekankan pada pembekalan secara fisik. Misalnya, dianjurkan berolahraga secukupnya, membawa obat-obatan pribadi, dan memperbanyak minum air putih ketika sedang berada di Arab Saudi.
Persiapan fisik itu memang penting. Tetapi, jauh lebih penting persiapan nonfisik. Sebab, akan menentukan sahnya ibadah. Maka, jamaah yang tidak mengindahkan persiapan nonfisik itu dapat saja menyebabkan hajinya tertolak (mardud). Padahal, orang yang pergi haji semestinya memiliki target hajinya terkabul (makbul) bahkan mabrur/mabrurah.
Inilah target tertinggi. Lantaran Rasulullah SAW menyatakan mereka yang hajinya mabrur/ mabrurah itu dipastikan akan diganjar dengan surga. Sangat luar biasa. Pertanyaannya, apa bekal yang harus dipersiapkan sejak jauh hari sebelum pergi haji?
Pertama, niat pergi haji karena Allah semata. Maka, singkirkan segala macam niat yang justru akan menyebabkan hilangnya pahala ibadah ini. Allah berfirman, "Dan, mengerjakan haji itu (adalah) kewajiban manusia karena Allah. Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS Ali Imran [3] : 97).
Kedua, bertekad menanggalkan kesyirikan. Maka, tanamkanlah kalimat talbiyah itu dalam dada. Bukan hanya diucapkan dalam kata-kata. Apalagi, bila sama sekali tidak tahu artinya. Ketiga, mempraktikkan ketakwaan/ketaatan kepada Allah dengan sebaik-baiknya (QS al-Baqarah [2]: 197).
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa,)

***)  Mahmud Yunus


Kamis, 27 Agustus 2015

HAJI ADALAH PELUANG

Haji menurut bahasa adalah berkeinginan, berkehendak, atau berkemauan. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa ditunaikannya ibadah haji tidak hanya bermodal kemampuan melainkan juga harus dengan kehendak dan kemauan yang kuat dan tekad yang kokoh. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang secara matematis tidak memiliki cukup uang tetapi jalan menuju haji banyak jalan yang didapatinya karena tekad dan keinginannya yang demikian kuat.
Syarat mampu sebagaimana firman Allah: "Karena Allah diwajibkan kepada manusia melaksanakan ibadah haji ke Baitullah yaitu bagi orang-orang yang mampu." (QS Ali Imran, [3]: 97). Ayat ini sama sekali tidak menyinggung dari mana kemampuan itu didapat. Yang paling mendasar ditawarkan oleh ayat di atas adalah prinsip karena Allah itulah yang mendasari tekad menuju Baitullah.
Ibadah haji tidak hanya menjadi penyempurna rukun Islam yang mengisyaratkan pelakunya menata secara baik rukun-rukun Islam yang lain, akan tetapi tanah suci yang menjadi tempat hadirnya tamu Allah secara sadar ingin memenuhi undangannya dengan ungkapan talbiah.
Tamu-tamu Allah itu hadir dengan latar belakang perbedaan yang multimacam dan semuanya harus lebur dalam suasana mencari pelayanan Sang Kekasih dan keridhaan-Nya. Pelayanan Sang Kekasih terhadap tamu-tamu-Nya yang hadir sangat bergantung pada bekal ketakwaan yang dibawa atau justru kemusyrikan.
Karena itu, seorang tokoh sufi pernah berkata: "Orang yang paling (sunyi) adalah orang yang datang ke rumah kekasih tanpa kekasih. Ia tidak lebih baik dari orang-orang yang tidak hadir ke tanah suci tetapi setiap saat Allah hadir menyertainya di manapun berada."
Ibadah haji sesungguhnya merupakan peluang seseorang menyempurnakan pengalaman spiritual dan sosialnya serta juga memantapkan keyakinan atas ganjaran kebaikan dan sanksi keburukan. Ibadah haji merupakan peluang bagi seseorang untuk bisa berdoa secara khusyuk di tempat-tempat makbul, baik di Makkah maupun di Madinah.
Ibadah haji adalah peluang perenungan perjalanan hidup seseorang hingga kesadaran paling dalam terekspresikan, sehingga diharapkan kesadaran beragama pada tingkat ritual dan sosial meningkat. Oleh karena itu, jika dipertanyakan sisi positif dari ibadah haji, terutama tingkat kuantitatif pesertanya, boleh jadi karena bekal ketakwaan yang dibawa oleh jamaah haji sangat minim dan kering. Tetapi, bukan berarti tidak punya nilai positif, baik secara individual maupun secara kolektif, dinyatakan dalam hadis Nabi: "Haji mabrur balasannya adalah surga."
Hadis tersebut mengisyarakatkan bahwa tuntutan ibadah haji terletak pada kemabrurannya. Kemabruran haji ditandai oleh pemahaman terhadap simbol-simbol ritual haji yang ekspresinya muncul dalam kehidupan ber-hablum minan nas dan hamblum minalllah lebih baik. Kemabruran haji dapat dilihat pascahaji di mana indikator-indikator positif bertambah dan meningkat. Komitmen untuk menegakkan agama meningkat baik pada dirinya maupun pada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Kebersihan berusaha dalam mencari kehidupan pun terlahir sehingga harta yang dicarinya berujung pada keramahan dan keharmonisan sebagai makna simbol dari jamaah haji yang sa'i. Selanjutnya, lewat melempar jumrah juga akan lahir kemauan untuk membuang jauh-jauh sifat-sifat kehewanan dan nafsu syaithaniyyah yang selalu mengerumuni putaran kehidupan ini. Semoga peluang ibadah haji tidak tersia-siakan.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***)republika

Rabu, 26 Agustus 2015

TANGAN ALLAH DIATAS JAMAAH

Jumlah penganut Islam Indonesia sudah sejak lama menjadi mayoritas. Bahkan, jumlah mereka di berbagai daerah boleh jadi mencapai angka lebih dari 90 persen dari populasi.
Namun, jumlah tidak selamanya berbanding lurus dengan mutu. Dalam banyak hal, mutu lebih penting ketimbang jumlah. Perang Badar, misalnya, berakhir dengan kemenangan Islam. Padahal, jumlah prajurit Islam ketika itu kalah jauh dibanding prajurit musuh.
Maka, penganut Islam yang mayoritas ini harus ditingkatkan terus-menerus mutunya. Caranya cukup beraneka-ragam. Salah satunya dengan meningkatkan mutu keimanannya dan ketakwaannya. Salah satunya lagi dengan meningkatkan mutu ukhuwah Islamiyahnya.
Sebenarnya bila mutu keimanannya dan ketakwaannya sudah baik umat ini tidak akan “mudah” dipermainkan oleh pihak lain. Apalagi kalau persaudaraan dengan sesamanya juga solid. Keimanan dan ketakwaan plus ukhuwah Islamiyah yang solid dipastikan akan mendongkrak posisi tawar (bargaining position) umat ini.
Dalam konteks ini, soliditas umat Islam sangat ditunggu-tunggu untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Salah satu cita-cita kemerdekaannya yaitu agar masyarakat Indonesia seluruhnya menggapai keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan lahir dan batin. Cita-cita demikian itu selaras dengan prinsip ajaran Islam, yaitu rahmatan lil 'alamin.
Sudah saatnya umat ini mempererat persaudaraan dengan sesamanya. Jangan hanya karena perbedaan partai politik atau karena perbedaan kepentingan jangka pendek, atau karena ambisi jabatan politik lalu bermusuhan dengan sesamanya.
Rasulullah SAW menggambarkan seorang Muslim dengan Muslim lainnya itu laksana sebuah bangunan. Karena itu, seorang Muslim dengan Muslim lainnya harus bahu-membahu, bantu-membantu, dan tolong-menolong dalam mengatasi 1001 macam persoalan yang dihadapinya.
Kelemahan umat Islam rentan diadu-domba, dipecah-belah, dan diprovokasi oleh pihak lain. Kelemahan kita harus segera diatasi dari internal umat ini sendiri. Kita sebaiknya tidak menunggu uluran tangan pihak lain.
Rasulullah SAW berwasiat kepada pengikutnya untuk senantiasa menjaga keutuhan jamaah. Yakni mengedepankan kesatuan umat. Beliau bersabda: “Jamaah adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah azab” (HR Ahmad; disahihkan oleh al-Albani).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Kalian wajib berada dalam kelompok (jamaah), dan hindarilah oleh kalian perpecahan” (HR Tirmidzi; disahihkan oleh al-Albani). Dalam redaksi lain, Rasulullah SAW menandaskan: “Janganlah kalian berselisih pendapat. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian kerap berselisih pendapat, sehingga mereka pun binasa” (HR Bukhari dari Abdullah bin Mas'ud RA).
Rahasia di balik kemenangan prajurit Islam pada Perang Badar antara lain karena soliditas mereka. Karena itu Allah menurunkan beribu-ribu malaikat untuk menambah kekuatan prajurit Islam itu (QS Ali Imran [3] : 124 - 125).
Dalam konteks inilah, kita perlu merenungkan kembali sabda Rasulullah SAW: “Tangan Allah (berada) di atas jamaah” (HR Ibnu Abi Ashim; disahihkan oleh al-Albani).
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Mahmud Yunus

Senin, 24 Agustus 2015

KASIH SAYANG ALLAH

Suatu hari, Rasulullah SAW dan para sahabat berjalan di tengah padang pasir. Saat itu, panas sinar matahari terasa menyengat, seolah membakar tubuh, bahkan menelusup menembus ke lapisan kulit.
Tiba-tiba, seorang ibu tampak sedang menggendong bayinya. Sang ibu dengan penuh perhatian mendekap buah hatinya. Ia berusaha melindungi bayinya agar tak terkena panas matahari.
Melihat pemandangan ini, Rasulullah menghentikan langkah para sahabatnya. Seolah mendapat tamsil kasus yang tepat, beliau bertanya, "Wahai para sahabatku, akankah ibu itu melemparkan bayinya ke dalam api yang membara?" Para sahabat menjawab serentak, "Tidak mungkin, wahai Rasulullah."
Kemudian, Rasulullah bersabda, "Ketahuilah, kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu itu terhadap bayinya. Dia-lah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim!" (HR Bukhari-Muslim).
Kisah di atas mengajarkan bahwa sifat Allah yang khusus diberikan kepada orang-orang beriman pada hari akhir adalah ar-Rahman dan ar-Rahim. Kedua asma Allah ini (ar-Rahman dan ar-Rahim) berasal dari kata arrahmah. Menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa bahwa semua kata yang terdiri dari hurufra, ha, dan mim mengandung makna “lemah lembut, kasih sayang, dan kehalusan.”
Kata ar-Rahman berasal dari kata sifat dalam bahasa Arab yang berakar dari kata kerja ra-ha-ma/, artinya ialah penyayang, pengasih, pencinta, pelindung, pengayom, dan para mufasir memberi penjelasan bahwa ar-Rahman dapat diartikan sebagai sifat kasih Allah pada seluruh makhluk-Nya di dunia, baik manusia beriman atau kafir, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta makhluk lainnya.
Dengan kasih-Nya ini, Sang Khalik mencukupkan semua kebutuhan hidup makhluk di alam semesta. Hanya saja, limpahan kasih ini hanya diberikan Allah pada semua mahluk selama hidup di dunia, di akhirat kelak kasih sayang ini hanya diberikan kepada orang beriman yang menjadi penghuni surga.
Sementara itu, ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) di dalam Alquran, Allah mengulangi kata ini sebanyak 228 kali, jauh lebih banyak dari asma Allah, ar-Rahman yang hanya disebutkan sebanyak 171 kali. Jika kata ar-Rahman sifatnya berlaku untuk seluruh manusia maka kata yang kedua ar-Rahim, sifat-Nya yang hanya berlaku pada situasi khusus dan untuk kaum tertentu semata.
Rahim juga disebut sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya janin. Di alam rahim inilah bermulanya kehidupan. Di alam rahim kehidupan ideal kita dijaga dan dipelihara. Bahkan, di alam rahim pula, setiap manusia dipersaksikan “apa dan ke mana” tujuan hidupnya.
Maka, tak heran apabila bayi dilahirkan, ia akan menangis, karena meninggalkan rahim yang melimpahkan sayang dan rasa aman. Di dalam sifat rahim Allah, kita akan hidup dengan aman, nyaman, penuh kemuliaan, sentosa, dan penuh keberkahan.
Maka, sebutlah nama-nama Tuhan yang indah, dalam setiap awal doa dan permintaan. Mereka yang selalu membasahi bibirnya dengan kata, ar-Rahman dan ar-Rahim, maka Allah akan melimpahkan  kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Siapa saja dikasihi dan disayangi Allah. Maka, tak satu pun makhluk di dunia memiliki alasan untuk membenci kecuali mereka yang telah dikuasai nafsu angkara murka.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., toleransi, takwa,)


***) Dadang Kahmad

Minggu, 23 Agustus 2015

KELEMAHAN-KELEMAHAN MANUSIA

Integritas adalah sebuah kata yang menunjukkan mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan  dan kejujuran. Seorang manusia akan digambarkan memiliki integritas apabila dapat menyelaraskan apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan.
Semakin jujur dan amanah seseorang maka semakin tinggi integritasnya. Sebaliknya, jika seseorang semakin banyak bohong dan berkhianat maka semakin rendah integritasnya. Orang yang beriman ditandai dengan integritasnya yang tinggi sementara seorang munafik ditandai dengan integritasnya yang rendah.
Berkaitan dengan integritas, pada awal surah al-Shaff [61] ayat 1-3, Allah SWT berfirman, “Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana; Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?; Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna. Semua makhluk tunduk di bawah kehendak-Nya dan Allah juga yang menciptakan segala sesuatu dengan maksud dan tujuan yang dikehendaki dan sesuai pula dengan kegunaannya. Peristiwa atau perbuatan yang disifati benar atau salah diciptakan agar manusia dapat memilih, mendapatkan pahala atau dosa, dan pelajaran serta hikmah atas apa yang disaksikan.
Setelah menggambarkan kesempurnaannya, Allah memperingatkan kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Di antara kelemahan manusia adalah pertama, perkataan mereka tidak sesuai dengan perbuatan mereka. Banyak sekali manusia pandai berbicara, menganjurkan perbuatan baik, dan memperingatkan agar orang lain menjauhi larangan-larangan Allah, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Abdullah bin Rawahah berkata, “Para Mukmin di masa Rasulullah sebelum jihad diwajibkan berkata, “Seandainya kami mengetahui perbuatan-perbuatan yang disukai Allah tentu kami akan melakukannya.”
Rasulullah pun menyampaikan perbuatan yang paling disukai Allah yaitu, “Beriman kepada-Nya, berjihad, menghapuskan kemaksiatan yang dapat merusak iman, mengakui kebenaran risalah yang disampaikan nabi-Nya”. Setelah datang perintah jihad, sebagian orang-orang-orang yang beriman merasa berat melakukannya. Maka, turunlah ayat ini sebagai celaan akan sikap mereka yang tidak baik itu.
Kedua, tidak menepati janji yang dibuat. Jika seseorang beriman tidak menepati janji maka ia akan jatuh menjadi seorang munafik. Rasulullah bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berjanji maka ia menyalahi janjinya, apabila ia berkata maka ia berdusta, dan apabila ia dipercaya maka ia berkhianat. (HR Bukhari-Muslim).
Menepati janji merupakan perwujudan iman yang kuat dan akhlak yang agung. Sifat jujur dan amanah pada sesorang akan menimbulkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat. Sebaliknya, perbuatan menyalahi janji dan khianat merupakan perwujudan iman yang lemah, perangai yang jelek, dan sikap yang tidak beradab.
Akibatnya, akan timbul perasaan kecewa, saling mencurigai, dendam kesumat, dan perasaan galau di dalam masyarakat. Apalagi, jika hal tersebut dilakukan oleh para pemimpinya. Kita tidak ingin negeri ini mendapat murka Allah karena ulah pemimpinnya.
Tidak ada manusia yang sempurna. Demikian juga tidak ada pemimpin yang sempurna. Manusia terbaik adalah manusia yang jujur dengan kelemahannya. Tidak perlu bertanya kepada orang lain untuk mengetahui kelemahan diri. Bertanyalah kepada hati nurani, niscaya terbukalah segala kebajikan dan kebijakan. Jika sudah demikian maka terhubunglah antara hati dan pikiran dengan ucap dan perbuatan.
(Da'wah, hidayah, hikmah, sabar, syukur., takwa., )


***)Republika

Sabtu, 22 Agustus 2015

BERDOALAH SELALU AGAR IMAN TERJAGA

Bukan harta, apalagi jabatan yang menjadi bekal terbaik dalam hidup ini. Akidah yang kuat dengan iman yang kokoh menjadi energi terbaik dan membuat seseorang menjadi lebih kuat.
Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, "Pada Perang Uhud ada seorang yang bertanya kepada Nabi SAW, 'Apakah engkau tahu di manakah tempatku seandainya aku terbunuh?' Beliau menjawab, 'Di dalam surga.' Kemudian orang itu melemparkan biji-biji kurma yang ada di tangannya, lalu maju ke medan perang sampai mati terbunuh." (HR Bukhari dan Muslim).
Iman dalam setiap diri kadang naik dan turun. Karena itu, peliharalah dan pertahankan sebaik mungkin. Rasulullah SAW mengibaratkan iman sebagai perhiasan terindah, tergambar dalam doa, "Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan keimanan. Dan, jadikanlah kami sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk kepada orang lain."
Hidup manusia selalu berada pada bukit, lembah, bahkan dasar jurang, semuanya serbaberliku dan menantang, butuh proses panjang dalam menjalaninya. Seperti roda yang terus berputar, kadang di bawah, kadang juga di atas. Ketika berada di atas, rasanya nyaman dan penuh rasa syukur menjalaninya.
Namun, saat terpuruk di bawah, penuh kesedihan, penyesalan, dan rasa kehilangan. Tak jarang, sebagian dari kita marah, protes atas takdir-Nya, berputus asa dan lari dari kenyataan dan mengakhiri hidup dengan konyol (bunuh diri).
Harta, takhta, jabatan, atau keluarga sekali pun belumlah cukup menjadikan diri manusia kuat menghadapi segala cobaan. Hanya keimanan yang menjadi obat sekaligus penguat dalam menyikapi segala persoalan kehidupan.
Iman yang kuat membuat manusia bijak dalam bersikap, berbuat, dan bertindak. Iman berfungsi sebagai perisai yang melindungi dari perbuatan jahat dan mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dengan iman, sekeras apa pun cobaan yang menimpa, tidak akan menjadikan diri kita berburuk sangka kepada Allah SWT. Dengan iman, hidup menjadi lebih optimistis, selalu bersemangat, dan penuh makna.
Berdoalah selalu agar iman kita terjaga. Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. (QS Yunus: 9).
Jauhkan diri kita dari kebodohan, kelalaian dalam beribadah, nafsu yang membawa kepada keburukan, dan berbuat maksiat karena akan mengurangi iman. Berlindunglah selalu kepada Allah SWT agar dilindungi dari godaan setan, godaan gemerlap duniawi yang melalaikan, dan teman bergaul yang berakhlak buruk. Kecenderungan manusia untuk menumpuk harta dan lalai kepada peran sejatinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini telah digambarkan Allah SWT dalam surah at-Takatsur.
Padahal, harta dan takhta hanyalah amanah dan alat untuk beribadah. Tetaplah pelihara hati agar jangan pernah sedetik pun berpaling dari Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Dengan keimanan, kebahagiaan dunia dan akhirat menjadi niscaya. Dengan keimanan pula, akan digapai ketenangan dan kemantapan jiwa.
Dalam Alquran surah an-Nahl ayat 97, Allah berfirman, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik...."
Iman membimbing kepada ketaatan, keihklasan dalam beribadah, sabar menghadapi cobaan, dan tawakal kepada Allah. Hatinya selalu diliputi kepasrahan, ketenangan, penuh harap, dan ridha atas segala keputusan-Nya. Wallahu'alam.
(Da'wah, hidayah, keyakinan ., takwa,)

***) Iu Rusliana

Jumat, 21 Agustus 2015

TEGURAN KHALIFAH HARUN AR-RASYID

Sikap yang sepatutnya ditampilkan ketika berhadapan dengan ahli ilmu, terlebih lagi bila ahli ilmu agama adalah harus hormat (takzim), memuliakannya (ikram), dan bila perlu melayani keperluannya (khidmah). Demikianlah akhlak seorang Muslim terhadap ulama, apalagi jika ia sedang atau pernah berguru langsung padanya.
Memuliakan ahli ilmu, mengagungkannya, bahkan melayaninya merupakan sikaf para salaf. Mereka melakukan hal itu karena mengharap keberkahan ilmu sang ulama turut pula mengalir kepadanya. Seorang ulama pernah bertutur, “Jika engkau menjumpai seorang murid sangat antusias memuliakan gurunya dan menghormatinya secara zahir dan batin disertai keyakinan kepada sang guru, mengamalkan ajarannya, dan bersikap dengan perilakunya, maka pasti dia akan mewarisi barakah ilmu sang guru.”
Pada masa lampau, mereka yang memuliakan guru atau ulama bukan saja para pelajar. Namun, para pemuka bahkan khalifah dan raja-raja melakukan hal serupa. Mereka itu pun mewariskan sikap demikian kepada anak keturunannya. Iman, ilmu, dan adab memang tidak bisa diwariskan begitu saja dari orang tua ke anak, tapi harus disertai keteladanan dari orang tua sendiri.
Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Mut’allim mengisahkan, suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’i, salah satu ulama besar yang menguasai bahasa Arab untuk belajar ilmu dan adab. Di sebuah kesempatan Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru.
Setelah menyaksikan peristiwa itu, Harun Ar-Rasyid pun menegur Al-Ashma’i atas tindakannya itu, “Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”
Putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun pernah berebut sepasang sandal Syekh Al-kisa’i. Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal syekhnya itu di kakinya, sehingga mengundang kekaguman sang guru. Syekhnya lalu berucap, “Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja.” Ketika dewasa, Khalifah Al-Makmun juga berusaha untuk menumbuhkan sifat tawadhu kepada para putranya. Ibnu Khalikan dalam Wafayat Al-A’yan telah mencatat peristiwa yang menunjukkan betapa Khalifah Al-Makmun berpayah-payah dalam berusaha agar putra-putranya kelak dewasa dengan sifat mulia ini.
Sikap menghormati, memuliakan, dan melayani ahli ilmu saat ini sudah semakin memudar. Teori-teori pendidikan modern menyepelekan nilai-nilai positif di atas. Teori yang lahir hanya bagaimana cara menyerap ilmu, menelannya, masuk ke otak hingga membuat cepat mengerti. Sedikit pun tidak disinggung bagaimana sikap terhadap orang yang lebih tua dan sikap terhadap guru.
Pendidikan yang tidak menekankan adab dan sopan santun hanya akan mentransfer ilmu sampai ke otak saja. Ilmu itu tidak akan sampai ke hati. Ilmunya sebatas teori tanpa praktik. Alhasil, nantinya lahir insan-insan yang cuma pandai beretorika, tapi miskin aplikasi. Cerdas berdiplomasi, cerdas pula mempermalukan orang lain. Hal ini karena penekanan pada perubahan akhlak, lebih-lebih hormat kepada orang lain, terutama ahli ilmu sudah tidak dianggap prioritas lagi dalam pendidikan.
Pendidikan yang menekankan pelayanan, penghormatan, dan kepatuhan pada guru (ahli ilmu) melahirkan hubungan antarpersonal yang sangat erat. Keterikatan emosional dan spiritual antara murid dan guru akan terus terjalin meski sang murid tidak lagi duduk belajar di hadapan sang guru. Bahkan, hingga sang guru meninggal pun hubungan timbal balik itu akan selalu dikenang dan tak akan terlupakan begitu saja. Kesannya akan terus membekas hingga kapan pun.
 (Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar,  syukur., takwa,)


***) Sahrim

Rabu, 19 Agustus 2015

RASULULLAH SEBAGAI IDOLA

Adik saya yang lumpuh pernah menasihati sebelum beliau wafat, "Aa tidak akan pernah tenang dan bahagia sebelum Aa kenal dan taat kepada Allah. Dan Aa tidak akan pernah mencapai kemuliaan yang hakiki kecuali Aa meniru Rasulullah SAW."
Kita akan meniru orang yang kita anggap sukses dan berhasil. Tetapi parameter kesuksesan dan keberhasilan yang dipahami oleh sebagian besar umat Islam saat ini seringkali tidak sesuai dengan standar kemuliaan yang sesungguhnya.
Banyak yang keliru mengidolakan figur yang akan ditirunya. Anak-anak kita hanya meniru figur-figur kartun. Para remaja banyak yang meniru figur yang tidak tepat. Para wanita banyak yang meniru mode artis yang tidak mencerminkan rasa malu, sehingga akhirnya menjatuhkan harga diri wanita itu sendiri. Padahal kualitas keimanan itu berbanding lurus dengan rasa malu. Makin berkurang rasa malu, maka makin rendah kualitas keimannya.
Kita sering tidak serius mengkaji siapa yang harus kita tiru. Alangkah beruntungnya jikalau orang yang kita tiru itu adalah puncak kesuksesan dalam segala hal. Firman Allah, "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu contoh dan suri teladan yang baik." Sejarah pun mengakui bahwa pengaruh Rasul SAW begitu menggelegar di seisi alam ini, bahkan monumental sampai sekarang. Nabi Muhammad SAW selain sebagai seorang pedagang yang sukses juga pemimpin agama sekaligus kepala negara yang sukses.
Jarang ada nabi yang seperti ini. Ada yang hanya sukses memimpin agama, tapi tidak berhasil memimpin keluarganya, tetapi semua contoh suri teladan yang kita butuhkan sudah ada pada diri Rasul SAW. Jadi, sebenarnya kita sudah menemukan figur yang layak dijadikan idola.
Masalahnya adalah adakah di rumah kita buku-buku dan referensi tentang Nabi Muhammad? Oleh karenanya marilah sekarang kita mulai membeli, membaca dan mempelajari buku-buku seputar Nabi Muhammad SAW. Setiap hari bacalah satu saja dari perilaku nabi kemudian cobalah untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak wartawan yang bertanya tentang bagaimana saya mencapai kesuksesan. Rahasianya adalahpertama, setiap hari harus mencari kekurangan diri untuk diperbaiki.
Kedua, setiap hari harus mendapatkan ilmu bagaimana nabi bersikap, agar dapat ditiru sedikit demi sedikit, sehingga dapat berbuat lebih baik. Itu saja. Nabi murah senyum, maka saya ikut senyum. Nabi ramah kepada istrinya, maka saya belajar ramah kepada istri, sehingga istri semakin mesra. Nabi tidak pernah marah kepada para pembantunya, maka saya belajar menahan diri untuk tidak marah, sehingga mereka lebih rajin bekerjanya.
Nabi wirausahawan, maka saya ikut berdagang (walaupun kecil kecilan) sambil belajar jujur. Alhamdulillah, pembeli semakin banyak dan perusahaan semakin maju. Nabi dermawan, maka saya berusaha untuk banyak memberi walaupun belum sanggup semuanya. Nabi menyampaikan dengan baik, maka saya belajar berbicara dengan baik, sampai sekarang didengarkan oleh ibu-ibu dan bapak-bapak, bahkan ada yang menghargai dan menghormati.
Baru belajar sedikit-sedikit memimpin seperti nabi saja hasilnya diluar dugaan. Jadi, rahasianya adalah belajar meniru nabi. Standar perilaku mulai dari hal yang terkecil dicontohkan oleh beliau dengan sangat prima. Misalnya, beliau sangat memuliakan tamu, tidak jarang memberikan minuman dan makanan sendiri. Saat tamu akan pulang, mengantar tamunya sampai ke pintu. Beliau tidak pernah menyelonjorkan kaki sekalipun di depan anak kecil, saking santunnya.
Selain itu beliau juga sangat penyayang kepada anak-anak, suka mengecup dan memangku mereka. Ketika ada bayi yang pipis di pangkuannya, beliau tidak marah, bahkan tidak bergerak, tetap tenang saja karena khawatir melukai jiwanya.
Kalau kita merasa kurang berwibawa di rumah, di sekolah, di kantor atau di manapun, maka evaluasilah diri kita, apakah perilaku kita mirip dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah atau tidak.
Pendeknya, siapapun yang ingin hidup ini bahagia, mulia, dan bermartabat, maka pelajari dan tirulah Nabi Muhammad SAW dengan ikhlas. Semoga Allah Yang Mahaagung mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menyuri teladani figur yang benar-benar dipilih dan disukai oleh Allah yaitu Muhammad SAW
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***)hikmah republika

Selasa, 18 Agustus 2015

YAKINLAH ! SKENARIO ALLAH ITU INDAH

Allah SWT. berfirman: "... Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada...". (QS. Ali Imran: 140).
Penggalan ayat suci Alquran tersebut seakan menegaskan bahwa kehidupan manusia ibarat roda yang terus berputar. Kegembiraan dan kesedihan datang silih berganti menghiasi hari-hari yang kita lalui. Sebagian dari kita merasa bahagia dengan nikmat yang sedang diterima dan sebagian lainnya dituntut untuk memperbanyak sabar dan istighfar atas musibah yang sedang menerpa. 
Namun demikian, kondisi tersebut tidaklah abadi melainkan dapat berubah sesuai kehendak Sang Pencipta. Disinilah Allah SWT menggambarkan kekuasaan-Nya sekaligus mengajarkan manusia untuk selalu bersyukur dan bersabar dalam menghadapi nikmat ataupun musibah yang sedang dihadapi.
Ketidaktahuan kita selaku manusia akan gambaran masa depan, terkadang membuat diri merasa dihantui kekhawatiran yang berlebihan. Jika kita lebih dalam menyelami kitab suci Al Quran, maka sesungguhnya rasa takut dan khawatir tersebut tidak seharusnya muncul. 
Allah SWT telah ‘membocorkan’ sedikit rahasia-Nya kepada manusia agar tetap tegar dalam menghadapi kehidupan. Allah SWT berfirman: “… Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…” (QS. Ghafir: 60).
Doa merupakan senjata yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman dalam menghadapi seluruh permasalahan kehidupan. Namun demikian, tidak sedikit dari kita yang tidak sabar dalam menunggu terkabulnya doa-doa yang telah dipanjatkan. 
Padahal, Rasulullah SAW, telah menjelaskan dalam sebuah Hadits bahwa “Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan, atau akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal.” (HR. Ahmad).
Subhanallah, tiga kemungkinan dalam Hadits tersebut semuanya mengandung kebaikan dan pada hakikatnya, tidak ada yang mengetahui hal terbaik bagi manusia kecuali Allah Swt. Hal ini dapat kita analogikan dengan kondisi pengamen yang sedang mencari nafkah di jalanan atau warung-warung kaki lima.
Pengamen pertama baru memetik senar gitarnya dan melantunkan satu bait dari lagu yang didendangkan, saat itu juga kita langsung memberikan selembar uang kepadanya. Sedangkan pengamen kedua, harus rela berkeringat menarik suaranya guna menyelesaikan satu buah lagu bahkan lebih dan barulah kita memberinya uang yang diharapkan.
Dalam kasus pengamen pertama terdapat dua kemungkinan: a) kita merasa kasihan kepada sang pengamen sehingga kita mengambil sikap untuk segera membantunya, dan b) kita merasa terganggu dengan kebisingan yang dirasa sehingga kita memutuskan untuk segera menghentikan ketidaknyamanan tersebut.
Begitu juga dengan doa, bisa jadi Allah SWT menganggap kita sebagai hamba yang taat lagi membutuhkan serta doa yang kita panjatkan dinilai telah memenuhi adab dan syarat dikabulkannya sebuah doa, maka Allah kabulkan permintaan kita dengan segera. Akan tetapi, boleh jadi Allah Swt merasa ‘bising’ dengan permintaan-permintaan kita yang kadang bersifat memaksa.
Dalam kondisi ini, Allah SWT kabulkan doa kita dan biarkan kita terbuai dengan kenikmatan sembari tetap melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istidraj.
Sedangkan pada kasus pengamen kedua, kemungkinan besar kita menikmati suara dan lantunan lagu yang dinyanyikan sehingga kita memintanya untuk menuntaskan lagu tersebut dan pada akhirnya memberikan upah dengan nominal yang lebih besar dari yang diminta. 
Begitu juga dengan doa, tidak kunjung dikabulkannya doa yang kita panjatkan bukan berarti Allah SWT tidak mendengar dan menjawab doa kita tersebut, melainkan boleh jadi karena Allah Swt begitu sayang dan rindu akan munajat serta doa yang kita panjatkan di sela-sela tangis pada saat melakukan shalat malam dan ibadah-ibadah lainnya. Walhasil, Allah Swt mengabulkan doa kita lebih dari yang kita inginkan baik itu di dunia maupun di akhirat. Maka, yakinlah bahwa skenario Allah Swt itu indah.
Pada akhirnya, selaku hamba, kita dituntut untuk terus berdoa baik dalam suka maupun duka. Selain itu, kita juga tidak semestinya memaksa agar Allah Swt mengabulkan doa kita atau bahkan berburuk sangka kepada-Nya. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku bersamanya apabila dia memanggil-Ku. (HR. Tirmizi).
*) Abu Nashar Bukhari, Lc. Merupakan penerima manfaat Al -Azhar Scholarship Dompet Dhuafa lulusan dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Saat ini sedang menyelesaikan tesis di program Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa, )


***) Abu Nashar Bukhari, Lc.*

Senin, 17 Agustus 2015

YANG PERLU DITINGKATKAN SETELAH RAMADHAN

Dan Ramadhan pun berlalu. Tidak ada perjumpaan terindah kecuali berjumpa dengan Ramadhan. Sekaligus tidak ada perpisahan yang mengharukan terselip kesedihan kecuali berpisah dengan Ramadhan.
Disebut perjumpaan terindah karena di bulan ini banyak di antara kaum Muslimin mendadak saleh dan berwajah taat. Ramadhan sebagai syahrut tarbiyah berhasil mendidik mereka menjadi pribadi elok, gampang beringsut untuk berbuat baik.
Dan disebut perpisahan yang mengharukan karena Ramadhan yang setahun sekali datangnya ini belum tentu kita adalah yang akan menemuinya lagi. Syawal sebagai bulan setelahnya, apakah bisa melesatkan minimal mengamankan dan melestarikan semua amal kebaikan Ramadhan yang indah itu.
Nah, kita bersedih karena khawatir diri kita tidak bisa meneruskannya apalagi meningkatkannya, sebagaimana yang diminta dengan kehadiran Syawal sebagai syahrut tarqiyah (bulan peningkatan).
Apa yang perlu kita tingkatkan? Pertanyaan ini menarik, sebab banyak kita tidak menyadari Ramadhan itu sebenarnya prosesi awal dari 11 bulan berikutnya. Bagaimana Allah menguji kita, apakah kebiasaan tilawah minimal sehari satu juz dapat bertahan. Bahkan seharusnya dilebihkan.
Perlunya melebihkan karena pahalanya tidak digandakan lagi sebagaimana di bulan Ramadhan sementara sebagai bekal untuk menghalau godaan maksiat dan berdosa sedikit. Bukankah setelah Ramadhan pintu maksiat dan dosa semakin terbuka, disebabkan setan telah terlepas dari belenggunya?
Untuk itulah kita perlu melebihkan bacaan tilawah Alquran. Ketika Ramadhan kita sibuk tadarus Alquran, tiada hari tanpa membaca firman Allah. Itu mengapa hati kita selalu tenang selama menjalani sakralitas ibadah shaum. Sebab, kalimat Alquran mengendap kuat di hati kita.
Berikutnya tentu tarqiyatul ‘ibadah, peningkatan ibadah khususnya amal sunah.  Kalau amal wajib sudah pasti, tidak boleh sedikit pun terpikir untuk meninggalkannya. Yang sunah harus menjadi kecintaan sebagaimana cintaya kita dengan Tarawih, shalat berjamaah selalu di masjid dan tepat waktu, sedekah atau berbagi takjil, iktikaf, dan lain sebagainya.
Dari kecintaan itu tumbuh semangat untuk menghidupkannya, di mana pun, kapan pun dan dalam kondisi bagaimana pun. Harusnya semua amal sunah itu kita teruskan dan tingkatkan.
Tarqiyatul akhlaq, peningkatan akhlak dan kepribadiaan adalah hal yang juga harus kita teruskan di bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Selama Ramadhan kita melatih lidah kita untuk berpuasa dari amarah, ucapan kotor, dusta, fitnah, gibah, sifat dengki, dan berkata kasar. Proses itu berujung terciptanya manusia saleh yang berakhlak mulia seperti yang dicontohan Rasulullah SAW.
Sebagai pihak yang kedatangan tamu Syawal harusnya kita meneruskan dan berikhtiar kuat untuk meningkatkan kualitas kepribadian itu, demi terbukanya tabir kebaikan yang Allah janjikan kepada siapa pun yang berakhlak mulia. Sebuah maqalah Arab menyebutkan, maa syarafal makhluq illa bihusnil khuluq, tidak ada kemuliaan seorang makhluk kecuali pada kemuliaan akhlak.
Walhasil, setelah Ramadhan benar-benar berlalu renungi firman-Nya dalam surah al-Insyirah [94], ayat 7, fa idza faraghta fanshab, jika engkau sudah selesai dengan satu urusan, kembalilah tegak (untuk meneruskan dan beramal lain). Dari tarbiyah kita menuju tarqiyah. Wallahu a’lam. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan ., pendidikan, sabar, syukur., takwa, )

***) Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Minggu, 16 Agustus 2015

CERDAS MEMILIH PEMIMPIN

Pemilihan pemimpin daerah serentak akan segera digelar. Melalui pemilihan ini diharapkan lahir pemimpin yang amanah, bertanggung jawab, dan dapat membawa perubahan kehidupan bangsa menjadi lebih baik.
Mengingat peran kepemimpinan sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat tidak boleh salah dalam memilih pemimpin. Kesalahan menentukan pilihan selama lima menit dalam bilik surat akan turut menentukan nasib kehidupan bangsa lima tahun mendatang.
Karena saking pentingnya masalah kepemimpinan, sampai Rasulullah SAW memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengangkat seorang pemimpin meskipun hanya bertiga (HR Abu Dawud). Karena itu, momentum lima tahunan ini tidak boleh disia-siakan atau golput. Tindakan golput atau tidak turut memilih berarti memberikan kesempatan untuk menang kepada calon pemimpin yang kurang baik.
Agar tidak salah dalam memilih, ada cara cerdas yang perlu diperhatikan dan ikuti. Pertama, pilihlah pemimpin yang terbaik. Pilihlah pemimpin yang amanah, bertanggung jawab, dan berkomitmen terhadap ajaran agamanya. Sebab, jika terhadap agamanya saja tidak punya komitmen menjalankan ajarannya, apalagi komitmen terhadap rakyat yang memilihnya.
Salah satu indikasi pemimpin yang berkomitmen terhadap agamanya adalah yang aktif ke masjid. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu melihat seseorang aktif ke masjid, maka saksikanlah bahwa ia adalah orang yang beriman (saleh). Karena Allah SWT berfirman bahwa yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Mardawaih, dan al-Hakim).
Dan termasuk kategori berkhianat kepada Allah, rasul-Nya, dan kaum Muslimin adalah jika tidak memilih pemimpin yang terbaik (saleh). Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada orang yang lebih pantas (saleh), maka ia telah mengkhianati Allah, rasul-Nya, dan kaum Muslimin.” (HR Hakim). Naudzu billah.
Kedua, shalat Istikharah dan bermusyawarah. Jika mengalami kesulitan dalam memilih pemimpin, sebaiknya lakukan shalat Istikharah dan bermusyawarahlah dengan orang-orang yang mengetahui persoalan memilih pemimpin agar tidak salah.
Dalam hal ini Rasulullah SAW menegaskan tidak akan pernah kecewa orang-orang yang beristikharah dan tidak akan pernah menyesal pula orang-orang yang suka bermusyawarah (HR Ahmad).
Ketiga, hendaknya bertanya kepada ahlinya atau orang yang mengenal sepak terjang dan latar belakang calon pemimpin yang akan dipilih. Allah SWT menegaskan, “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” (QS an-Nahl [16]: 43). Semoga Allah selalu membimbing masyarakat agar dapat memilih pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Amin.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa., )


***) Imam Nur Suharno

Sabtu, 15 Agustus 2015

RENUNGAN AJAL

Kematian identik dengan ajal sementara sebagian manusia jika mendengar kata ajal masih merasa belum siap dan punya perasaan takut. Alasan mereka bervariasi, masih banyak dosa, belum punya bekal, anak-anak masih kecil-kecil, dan berbagai argumentasi lainnya.
Allah SWT menegaskan, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS 21:35).
Rahasia Allah yang tidak semua makhluk bernyawa mengetahuinya adalah kematian. Sebab, kematian merupakan salah satu hak prerogatif Allah semata. Bila Allah berkehendak kematian seseorang telah tiba, tak seorang pun yang bisa menolak atau minta ditangguhkan barang sesaat pun. Allah SWT berfirman dalam Alquran (QS 15: 5): “Tidak ada satu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak (pula) dapat mengundurkan (nya).”
Gemerlapnya dunia sering kali menggoda dan melalaikan manusia untuk mengingat mati. Maka, tak ayal lagi, akan lahir sosok manusia berperilaku hewaniyah, menghalalkan berbagai cara untuk memuaskan nafsu syahwatnya-termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme-yang cukup merugikan dirinya dan orang lain. Sogok-menyogok, suap-menyuap menjadi santapan rutinitas kesehariannya karena hanya mengejar kepuasan sesaat.
Pada era global ini, keberadaan fasilitas yang maju dan modern juga ikut andil bagi manusia untuk semakin jauh dari tujuan diciptakannya. Allah berfirman: “Bermegah-megahan (dalam soal banyak anak, harta, pangkat, pengikut, dan kemuliaan) telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu) dan janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui.” (QS 108: 1-4).
Yang mengherankan, toh masih banyak manusia yang tidak segera sadar bahwa waktu dan kesempatan yang telah berlalu adalah langkah pasti menuju ketentuan Allah, yakni kematian. Karena tidak disadari kedatangannya, sering kali kematian dianggap terlalu cepat, mendadak, dan di luar perkiraan. Tidak sedikit manusia yang ketika dicabut nyawanya sedang dalam kondisi “mabuk kepayang terhadap kenikmatan dunia”, misalnya, sedang berbuat zina, mencuri, mabuk, berjudi, dan perbuatan dosa lainnya. Ini semua bisa terjadi lantaran manusia sudah tidak ingat lagi kepada kematian.
Padahal, dengan datangnya kematian maka tidak ada artinya lagi isi dunia ini. Sebab, kematian berarti berhentinya segala nikmat yang pernah atau sedang dirasakan manusia dan terpisahnya manusia dengan anak, keluarga, pangkat, harta, dan segala apa yang ada di dunia ini.
Karena itu, alangkah baiknya bila kematian-baik saudara, anak, tetangga, atau teman, dan bahkan orang lain pun-bisa dijadikan sebagai renungan yang jitu hingga manusia tidak lupa diri terhadap hak dirinya dan hak kepada penciptanya.
Orang bijak mengatakan, “Sering-seringlah kamu takziah karena dengannya akan mengingatkan diri kamu akan kematian.”
Dan di bulan Syawal ini, sudah selayaknya bagi kita untuk lebih mawas diri dengan meningkatkan ibadah kita kepada Allah, dalam rangka menyambut kedatangan tamu Allah, yakni kematian. Ibadah shalat, puasa, silaturahim, infak, dan sedekah kita perlu dipercantik dan ditingkatkan kualitasnya. Harapannya, jika suatu saat Allah memanggil kita, insya Allah kita telah siap. Inilah harapan setiap insan Muslim. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa, )


***) Hasan Basrie Alcaff --- Republika

Jumat, 14 Agustus 2015

RAHASIA MANAJEMEN WAKTU RASULULLAH

Alquran dan sunah sangat perhatian terhadap waktu dari berbagai sisi dan dengan gambaran yang bermacam-macam. Allah SWT telah bersumpah dengan waktu-waktu tertentu dalam beberapa surah Alquran, seperti al-Lail (waktu malam), an-Nahar (waktu siang), al-Fajr (waktu fajar), adh-Dhuha (waktu matahari sepenggalahan naik), al-‘Ashr (masa).
Sebagaimana firman Allah (QS al-Lail 92: 1-2; QS al-Fajr 89: 1-2; QS adh-Dhuha 93: 1-2; QS al-‘Ashr 103: 1-2). Ketika Allah SWT bersumpah dengan sesuatu dari makhluk-Nya, maka hal itu menunjukkan urgensi dan keagungan hal tersebut. Dan agar manusia mengalihkan perhatian mereka kepadanya sekaligus mengingatkan akan manfaatnya yang besar.
Rasulullah SAW pun telah mengabarkan bahwasanya waktu adalah salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Allah kepada hamba-Nya yang harus disyukuri. Jika tidak, nikmat tersebut akan diangkat dan pergi meninggalkan pemiliknya.
Manifestasi dari syukur nikmat adalah dengan memanfaatkannya dalam ketaatan dan amal saleh. Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua nikmat yang kebanyakan orang merugi padanya: waktu luang dan kesehatan." (HR Bukhari).
Waktu luang adalah salah satu nikmat yang banyak dilalaikan oleh manusia. Maka Anda akan melihat mereka menyia-nyiakannya dan tidak mensyukurinya. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda, “Gunakanlah lima perkara sebelum datang yang lima: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang ajalmu.” (HR Hakim dishahihkan oleh Al Albani).
Allah memberikan kita setiap hari “modal” waktu kepada semua manusia adalah sama, yaitu 24 jam sehari, 168 jam seminggu, 672 jam sebulan, dan seterusnya. Ada tujuh poin rahasia manajemen “modal” waktu Nabi Muhammad. Dalam waktu 23 tahun beliau telah membuat perubahan besar di Jazirah Arab. Hal ini terjadi lantaran bagusnya manajemen waktu Rasulullah.
Rahasia pertama adalah shalat fardhu sebagai ajang membentuk watak dan tonggak ritme hidup. Umat Islam telah membuat pemilahan waktu dalam sehari dengan jelas. Umat Islam memiliki trik manajemen waktu sehingga aktivitas kita dapat terprogram dengan baik.
Rahasia kedua, berpola pikir investasi, antimanajemen waktu instan. Maksudnya, jangan mengelola waktu dengan instan karena akan membuat kita malas dalam berproses. Persiapkan segala hal untuk masa depan kita sehingga kita dapat memetik hasilnya di kemudian hari.
Rahasia ketiga, terus produktif, jangan biarkan waktu terbuang percuma. Rahasia keempat adalah gunakan aji mumpung selagi ada peluang dan kesempatan.
Rahasia kelima adalah jauhi sikap menunda-nunda. Rahasia keenam adalah cepat tetapi jangan tergesa-gesa. Rahasia terakhir adalah rutin melakukan evaluasi. Ternyata beginilah Rasulullah menggunakan dan mengelola waktu, sungguh menghargai waktu dan tidak pernah menyia-nyiakannya dengan hal yang tak bermanfaat. Semoga.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, pendidikan, )


***) Ahmad Agus Fitriawan

Kamis, 13 Agustus 2015

EFEK TERAFI ALQURAN

Sebelum masuk Islam, Umar Ibn Khattab termasuk orang yang keras permusuhannya terhadap eksistensi Islam. Tetapi, ketika ia mendengar bacaan Alquran yang dilantunkan adiknya, Fathimah, Umar merasakan ketenangan, kedamaian, dan kekuatan kalamullah.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar mengungkapkan, salah satu sebab utama yang mendorong Umar masuk Islam karena ia mendengarkan bacaan Alquran adiknya. Dalam kisah lain, seseorang yang jiwanya sedang gelisah mendatangi Abdullah Ibn Mas'ud. Orang tersebut meminta nasihat kepada Ibn Mas'ud, terkait kondisi hatinya yang gelisah.
Kemudian, Ibn Mas'ud menasihati orang itu untuk membaca Alquran, mendengarkan bacaan Alquran orang lain, mendatangi tempat di mana banyak orang membaca Alquran, dan memahami perintah Allah dalam Alquran. Setelah mengamalkan anjuran Ibn Mas'ud untuk bersahabat dengan Alquran, orang itu merasakan ketenangan jiwa, kejernihan pikiran, dan kesehatan jasmani.
Oleh karena itu, membaca Alquran tak hanya bernilai ibadah, tetapi juga dapat menjadi obat penawar jiwa yang gelisah, pikiran yang tak menentu, dan jasmani yang kurang sehat. Sebagaimana Allah SWT mengungkapkan, “Dan kami turunkan Alquran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS al-Isra [17]: 82).
Al-Qurthubi menjelaskan, ada beberapa pendapat dalam menafsirkan kata syifa` pada ayat itu. Pertama, Alquran dapat menjadi terapi bagi jiwa seseorang yang dalam kondisi kebodohan dan keraguan. Kedua, Alquran membuka jiwa seseorang yang tertutup dan menyembuhkan jiwa yang rapuh. Ketiga, membaca Alquran juga menjadi terapi untuk menyembuhkan penyakit jasmani.
Hal yang sama juga dikemukakan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Membaca Alquran dapat mengobati penyakit jasmani dan rohani seseorang. Bagi Ibnu Qayyim, sumber penyakit rohani ketika seseorang menuntut ilmu bukan mengharapkan ridha Allah, kemudian menjalani hidup dengan tujuan yang salah.
Bila seseorang menuntut ilmu bukan karena Allah dan tujuan hidupnya bukan mencari ridha Allah, kondisi ini akan mengakibatkan kesesatan, kerusakan, penyakit jasmani, dan rohani. Obat penawar yang mujarab untuk mengobati kedua penyakit ini adalah mengakrabkan diri dengan Alquran.
Alquran mengarahkan jalan terbaik untuk memaksimalkan eksistensinya, mengembangkan karakter baiknya, dan menjadikannya memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Terlebih lagi, seseorang yang mengakrabkan diri dengan Alquran, ia akan memperoleh pertolongan Alquran di hari kiamat.
Sebagaimana dalam penjelasan hadis Nabi, “Bacalah Alquran karena sesungguhnya pada hari kiamat ia akan hadir memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membacanya.” (HR Baihaqi).
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, sabar, syukur., )


***)Muslimin

Rabu, 12 Agustus 2015

MERASA DIAWASI ALLAH

Salah satu nilai takwa yang dihasilkan dari ibadah puasa adalah muraqabatullah, yakni merasa diawasi oleh Allah SWT. Betapa tidak, pada siang hari ketika kita sedang melaksanakan puasa, kita bisa saja makan dan minum di tempat yang tersembunyi. 
Namun, hal itu tidak dilakukan karena kita meyakini, walaupun dapat bersembunyi dari penglihatan dan pengawasan manusia, kita tidak akan mampu bersembunyi dari penglihatan dan pengawasan Allah. 
Kita bisa saja berpura-pura menjalankan ibadah puasa di hadapan manusia, tetapi kita tidak dapat menyembunyikan hal itu dari pengawasan Allah. Inilah bentuk dari muraqabatullah. 
Tegasnya, muraqabarullah itu adalah mengondisikan diri merasa diawasi oleh Allah di setiap waktu kehidupan hingga akhir kehidupan. Allah melihat, mengetahui rahasia-rahasia, memperhatikan semua amal perbuatan, dan juga mengamati apa saja yang dikerjakan semua jiwa.
Allah berfirman, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata.” (QS Yunus (10): 61)
Dalam ajaran Islam, muraqabatullah merupakan suatu kedudukan yang tinggi. Hadis menyebutkan bahwa muraqabatullah sejajar dengan tingkatan ihsan, yakni beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya dan jika kita tak mampu melihatnya, maka sesungguhnya Allah melihat kita. (Muttafaq alaih)
Sebagai seorang mukmin hendaknya kita berusaha menggapai kedudukan muraqabatullah ini. Ketika kita sudah mencapai kedudukan muraqabatullah, serangkaian kebaikan dan keutamaan akan kita dapatkan. 
Di antaranya, kita akan merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan-Nya, tenteram ketika ingat nama-Nya, merasakan ketenteraman ketika taat kepada-Nya, ingin bertetanggaan dengan-Nya, datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.
Akhirnya, mari kita merenungi sebuah kisah yang dituturkan oleh Abdullah bin Dinar sebagai motivasi bagi kita untuk menjadi orang yang merasa selalu diawasi oleh Allah SWT.
Abdullah bin Dinar berkata, “Pada suatu hari, aku pergi ke Makkah bersama Umar bin Khaththab. Di salah satu jalan, kami berhenti untuk istirahat, tiba-tiba salah seorang penggembala turun kepada kami dari gunung. Umar bin Khaththab bertanya kepada penggembala tersebut, ‘Hai penggembala, juallah seekor kambingmu kepada kami’.”
Penggembala tersebut berkata, “Kambing-kambing ini bukan milikku, tapi milik majikanku.’’ Umar bin Khaththab berkata, “Katakan saja kepada majikanmu bahwa kambingnya dimakan serigala.’’
Namun, penggembala yang budak tersebut berkata, “Kalau begitu, di mana Allah?” Umar bin Khaththab menangis, kemudian ia pergi kemajikan penggembala tersebut, lalu membeli budak tersebut dan memerdekakannya.” Wallahu’alam.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, takwa., sabar, syukur)


***) Moch Hisyam

Selasa, 11 Agustus 2015

KISAH HAYAT ANNE COLLINS OSMAN

Anne tahu dia tidak sudah mempercayai sejumlah ajaran Kristen, tapi gadis itu tetap menghadiri gereja. Saat jemaat membacakan bagian-bagian tertentu seperti Kredo Nicea, diam-diam Anne tidak melafalkannya. Ia merasa terasing, hampir seperti alien di gereja. 
Satu kali, Anne benar-benar merasa jijik. Seorang kawan dekat mengalami masalah perkawinan yang serius, lalu menemui pendeta gereja untuk minta saran. Mengambil kesempatan di tengah kesempitan, pendeta itu mengajak teman dekat Anne ke hotel dan menggodanya. 
Jika selama ini Anne merasa tidak perlu waspada dengan peran pendeta dalam kehidupan umat Kristiani, sekarang ia merasa harus. Ia pergi ke gereja dan melihat para pendeta itu di depan. Mereka tidak lebih baik daripada jemaat yang hadir, bahkan beberapa lebih buruk.
 
Ia heran, mengapa mereka tidak bisa berurusan dengan Tuhan secara langsung, termasuk dalam menerima pengampunan-Nya ? Segera setelah itu, dia membeli Alquran terjemahan di toko buku dan mulai membacanya. Anne membaca Alquran selama delapan tahun. Selama itu pula, ia terus menyelidiki agama-agama lain.
Lama kelamaan, Anne semakin sadar dan takut akan dosa-dosanya. Dia tidak lagi percaya pada pengampunan Tuhan model agama Kristen. Dosa-dosa itu terasa begitu membebani, sementara dia tidak bisa melarikan diri. Ia merindukan pengampunan. 
Suatu hari, ia membaca surah Al Maidah ayat 83-84 tentang keimanan para ahlul kitab setelah turunnya wahyu. Anne mulai berharap Islam bisa menjadi jawaban. Ia semakin yakin ketika melihat cara Muslim shalat dalam sebuah berita di TV. Mereka mempunyai cara khusus untuk sholat.
Anne juga menemukan sebuah buku panduan sholat yang ditulis non-Muslim dan mencoba mempraktikkannya. Ia shalat dengan cara seperti itu diam-diam selama beberapa tahun. 
Akhirnya, sekitar delapan tahun sejak pertama kali membeli Alquran, ia menemukan surah Al Maidah ayat 3. Pada hari ini telah Ku sempurnakan agamamu, telah Ku-cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu.
Ia menangis gembira karena ia tahu bahwa jauh sebelum dia tercipta Allah telah menuliskan Alquran untuknya. Allah sudah tahu bahwa Anne Collins di Buffalo, New York akan membaca ayat itu pada tanggal sekian jam sekian. 
Sekarang, ia tahu bahwa ada banyak hal yang harus ia pelajari. Misalnya, cara sholat, membaca Alquran, dan lain-lain. Anne tidak tahu apa-apa tentang Islam. Muslim AS belum sebanyak sekarang dan Anne tidak tahu di mana menemukan mereka.
Ia lantas mendapati nomor telepon Islamic Society di daftar buku telepon dan membuat panggilan. Tapi, ketika seorang pria menjawab teleponnya, Anne justru panik dan menutup telepon. Apa yang harus dikatakan? Apakah mereka akan curiga? 
Selama beberapa bulan ke depan, ia beberapa kali menelepon masjid. Setiap kali itu pula ia panik dan menutup telepon. Akhirnya, ia melakukan cara yang dirasa aman, meski menurutnya pengecut. Dia menulis surat meminta informasi.
Pengurus masjid kemudian menelepon Anne dan mengirimkan beberapa tulisan tentang Islam. Ia mengatakan kepada mereka keinginannya untuk menjadi Muslim, tapi mereka menjawab, “Tunggu sampai Anda yakin.”
Itu membuatnya agak kecewa. Tapi, Anne tahu mereka benar. Ia harus benar-benar yakin dengan pilihannya karena setelah itu semua tidak akan sama lagi. Siang malam, ia berpikir tentang Islam.  Pada beberapa kesempatan, ia pergi ke sebuah masjid (rumah tua yang dialihfungsi) dan berputar berkali-kali sambil berharap melihat seorang Muslim.
 
Sampai suatu hari di awal November 1986, saat tengah bekerja di dapur, tiba-tiba ia merasa apa yang dia lakukan selama ini tak ada beda dengan yang dilakukan Muslim. Masih merasa pengecut, ia mengirim surat ke masjid, menyatakan keislamannya.
 
Pengurus masjid menelepon Anne keesokan harinya. Gadis itu menyatakan syahadat melalui telepon. Ia merasa beban dosa itu terangkat dari bahunya. Ia pun menangis dan bersyukur.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )

Senin, 10 Agustus 2015

EMPAT AMALIAH ISTIGFAR

Dosa ibarat debu. Jika menempel dan tidak segera dibersihkan, akan berkarat dan kotorannya melekat kuat di hati. Sedangkan, usaha untuk membersihkannya tidak lain adalah dengan bertobat dan membaca istigfar.
Sebagai hamba Allah SWT yang tidak pernah luput dari salah dan dosa, sepantasnya kita memperbanyak istigfar, mohon ampun kepada Allah SWT. "Demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar dan bertobat kepada Allah lebih dari 70 kali dalam sehari." (HR Bukhari). Dalam riwayat lain sampai 100 kali dalam sehari (HR Muslim).
Hadis di atas memberikan gambaran tobat dan istighfarnya Nabi Muhammad SAW. Meski telah mendapat jaminan ampunan dan surga dari Allah SWT, tapi beliau tetap bersungguh-sungguh dalam beristigfar dan bertobat kepada-Nya. Sebagai hamba-Nya yang tidak mendapatkan jaminan dari Allah, hendaknya kita mencontoh perilaku Baginda Nabi dan merasa malu kepadanya apabila kita lalai dalam memohon ampunan-Nya.
Paling tidak terdapat empat keutamaan amaliah istigfar. Pertama, istigfar merupakan cermin akan kesadaran diri orang-orang yang bertakwa. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (QS Ali Imran: 135).
Kedua, istigfar merupakan sumber kekuatan umat. Kaum Nabi Hud yang dikenal dengan kekuatan mereka yang luar biasa, masih diperintahkan oleh nabi mereka agar senantiasa beristigfar untuk menambah kekuatan mereka.
“Dan (dia berkata), 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'." (QS Hud: 52).
Bahkan, Rasulullah dalam salah satu hadisnya menegaskan bahwa eksistensi sebuah umat ditentukan di antaranya dengan kesadaran mereka untuk selalu beristigfar. Karenanya, bukan merupakan aib dan tidak merugi orang-orang yang bersalah lantas ia menyadari kesalahannya dengan beristighfar memohon ampun kepada Allah SWT.
Ketiga, istigfar dapat menolak bencana dan menjadi salah satu sarana turunnya keberkahan dan rahmat Allah SWT. Ketika menafsirkan surah al-Anfal: 33, “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.”
Ibnu Katsir menukil riwayat dari Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah menurunkan kepadaku dua pengaman atau penyelemat bagi umat dari azab dan bencana, yaitu keberadaanku dan istighfar. Maka ketika aku telah tiada, masih tersisa satu pengaman hingga hari kiamat, yaitu istigfar." Bahkan, Ibnu Abbas menuturkan bahwa ungkapan istighfar meskipun keluar dari pelaku maksiat dapat mencegah dari beberapa kejahatan dan bahaya.
Keempat, istigfar akan memudahkan urusan seseorang, memudahkan jalan mencari rezeki, dan memelihara seseorang. Dalam konteks ini, Ibnu Katsir menafsirkan surah Hud: 52 dengan menukil hadis Rasulullah SAW yang bersabda, “Barang siapa yang mampu mulazamah atau kontinu dalam beristighfar, maka Allah akan menganugerahkan kebahagiaan dari setiap duka dan kesedihan yang menimpanya, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan, dan memberi rezeki dengan cara yang tidak disangka-sangka." (Ibnu Majah).
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )


***) Ustaz Arifin Ilham

Minggu, 09 Agustus 2015

CIRI ALUMNI UNIVERSITAS RAMADHAN

Ramadhan yang merupakan bulan pendidikan akan segera berakhir. Gelar muttaqin atau orang bertakwa pun akan didapat jika kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Dengan gelar takwa setelah menunaikan puasa, selain meraih ampunan dan jaminan surga, seorang Muslim memperoleh kemuliaan di sisi-Nya (QS al-Hujurat [49]: 13). Ramadhan bagaikan sebuah universitas bagi Muslim untuk menjalani pendidikan.
Keberhasilan seorang mahasiswa yang menjalani proses pendidikan di Universitas Ramadhan, tidak dilihat dari aktivitasnya selama di kampus, tetapi sejauh mana ia dapat merealisasikan nilai-nilai pendidikan Ramadhan pada sebelas bulan berikutnya.
Karena itu, Ramadhan menjadi permulaan atau pijakan menuju perubahan kehidupan yang lebih baik, dalam skala individu, keluarga, masyarakat, bahkan secara lebih luas, bangsa dan negara.
Perubahan tersebut mencakup perubahan secara vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas). Perubahan menuju perbaikan dalam berbagai dimensi kehidupan merupakan keniscayaan bagi seorang Muslim.
Selama Ramadhan, Muslim tak diperkenankan melakukan hal-hal yang pada hakikatnya halal jika dilakukan pada siang hari selain Ramadhan, seperti makan dan minum. Maka seusai Ramadhan, Muslim harus memiliki komitmen kuat soal makanan ini.
Ini berarti, Muslim mestinya hanya mengonsumi makanan dan minuman yang jelas asal-usulnya atau berstatus halal. Saat Ramadhan, Muslim juga didorong untuk menghindari setiap perkataan kotor.
Maka, tatkala telah lulus dari Universitas Ramadhan, seorang alumnus harus berkomitmen selalu mengeluarkan ucapan yang baik dan berusaha menjauhi segala bentuk permusuhan dan menyakiti hati orang lain.
Ramadhan juga melatih Muslim untuk banyak mengeluarkan infak. Setelah melewati Ramadhan maka kita dituntut memiliki komitmen untuk selalu peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Muslim yang selalu dilatih disiplin waktu melalui sahur dan berbuka pada waktu yang telah ditentukan diharapkan senantiasa setelah mengikuti penempaan di Universitas Ramadhan, berdisiplin dalam menjalani kehidupannya.
Karena itu, bila diikuti secara serius, proses pendidikan selama bulan Ramadhan berpotensi memicu perubahan kehidupan setiap Muslim ke arah yang lebih baik. Ada perbaikan yang tercapai pascapuasa Ramadhan.
Dengan demikian, idealnya, dari rahim Universitas Ramadhan tersebut lahir sumber daya manusia unggul, seperti bayi yang baru lahir, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi yang baru lahir.”
Semoga kita menjadi alumni yang dapat menjaga kebiasan baik dan amal saleh yang telah diajarkan selama proses pendidikan di Universitas Ramadhan. Amin.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur,  takwa, )

***)Imam Nur Suharno


Sabtu, 08 Agustus 2015

YANG PERLUDITINGKATKAN SETERLAH RAMADHAN

YANG PERLUDITINGKATKAN SETERLAH RAMADHAN
Dan Ramadhan pun berlalu. Tidak ada perjumpaan terindah kecuali berjumpa dengan Ramadhan. Sekaligus tidak ada perpisahan yang mengharukan terselip kesedihan kecuali berpisah dengan Ramadhan.
Disebut perjumpaan terindah karena di bulan ini banyak di antara kaum Muslimin mendadak saleh dan berwajah taat. Ramadhan sebagai syahrut tarbiyah berhasil mendidik mereka menjadi pribadi elok, gampang beringsut untuk berbuat baik.
Dan disebut perpisahan yang mengharukan karena Ramadhan yang setahun sekali datangnya ini belum tentu kita adalah yang akan menemuinya lagi. Syawal sebagai bulan setelahnya, apakah bisa melesatkan minimal mengamankan dan melestarikan semua amal kebaikan Ramadhan yang indah itu.
Nah, kita bersedih karena khawatir diri kita tidak bisa meneruskannya apalagi meningkatkannya, sebagaimana yang diminta dengan kehadiran Syawal sebagai syahrut tarqiyah (bulan peningkatan).
Apa yang perlu kita tingkatkan? Pertanyaan ini menarik, sebab banyak kita tidak menyadari Ramadhan itu sebenarnya prosesi awal dari 11 bulan berikutnya. Bagaimana Allah menguji kita, apakah kebiasaan tilawah minimal sehari satu juz dapat bertahan. Bahkan seharusnya dilebihkan.
Perlunya melebihkan karena pahalanya tidak digandakan lagi sebagaimana di bulan Ramadhan sementara sebagai bekal untuk menghalau godaan maksiat dan berdosa sedikit. Bukankah setelah Ramadhan pintu maksiat dan dosa semakin terbuka, disebabkan setan telah terlepas dari belenggunya?
Untuk itulah kita perlu melebihkan bacaan tilawah Alquran. Ketika Ramadhan kita sibuk tadarus Alquran, tiada hari tanpa membaca firman Allah. Itu mengapa hati kita selalu tenang selama menjalani sakralitas ibadah shaum. Sebab, kalimat Alquran mengendap kuat di hati kita.
Berikutnya tentu tarqiyatul ‘ibadah, peningkatan ibadah khususnya amal sunah.  Kalau amal wajib sudah pasti, tidak boleh sedikit pun terpikir untuk meninggalkannya. Yang sunah harus menjadi kecintaan sebagaimana cintaya kita dengan Tarawih, shalat berjamaah selalu di masjid dan tepat waktu, sedekah atau berbagi takjil, iktikaf, dan lain sebagainya.
Dari kecintaan itu tumbuh semangat untuk menghidupkannya, di mana pun, kapan pun dan dalam kondisi bagaimana pun. Harusnya semua amal sunah itu kita teruskan dan tingkatkan.
Tarqiyatul akhlaq, peningkatan akhlak dan kepribadiaan adalah hal yang juga harus kita teruskan di bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Selama Ramadhan kita melatih lidah kita untuk berpuasa dari amarah, ucapan kotor, dusta, fitnah, gibah, sifat dengki, dan berkata kasar. Proses itu berujung terciptanya manusia saleh yang berakhlak mulia seperti yang dicontohan Rasulullah SAW.
Sebagai pihak yang kedatangan tamu Syawal harusnya kita meneruskan dan berikhtiar kuat untuk meningkatkan kualitas kepribadian itu, demi terbukanya tabir kebaikan yang Allah janjikan kepada siapa pun yang berakhlak mulia. Sebuah maqalah Arab menyebutkan, maa syarafal makhluq illa bihusnil khuluq, tidak ada kemuliaan seorang makhluk kecuali pada kemuliaan akhlak.
Walhasil, setelah Ramadhan benar-benar berlalu renungi firman-Nya dalam surah al-Insyirah [94], ayat 7, fa idza faraghta fanshab, jika engkau sudah selesai dengan satu urusan, kembalilah tegak (untuk meneruskan dan beramal lain). Dari tarbiyah kita menuju tarqiyah. Wallahu a’lam. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur,  takwa, )


***) Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Jumat, 07 Agustus 2015

MUDIK KE HARIBAAN ALLAH

Baru saja kita menyaksikan peristiwa mudik Lebaran tahun ini. Barangkali inilah salah satu peristiwa mudik Lebaran yang terbesar sepanjang sejarah mudik di Tanah Air kita. Bahkan, boleh jadi di dunia.
Pemudiknya sangat banyak. Moda transportasi yang dipilihnya sangat beragam. Sarana transportasi yang dibutuhkannya sangat banyak. Destinasi yang ditujunya sangat jauh. Waktu tempuh yang diperlukannya sangat lama.
Kita dibuat terkagum-kagum dengan perjuangan saudara-saudara kita yang menjalani mudik tahun ini. Betapa tidak? Mereka harus berkorban lahir dan batin. Segala daya dan upaya mereka kerahkan demi mudik ke kampung halaman.
Kita menyaksikan keramaian lalu lintas kendaraan yang sangat luar biasa. Maka, kemacetan demi kemacetan terjadi di banyak tempat. Antrean kendaraan sangat panjang. Hanya untuk melewati satu titik, yakni gerbang Tol Cikopo-Palimanan, misalnya, antrean kendaraan dikabarkan mengular mencapai 20 kilometer! Mudik Lebaran sebenarnya sebuah pilihan. Boleh mudik, boleh tidak.
Ingatlah, selain mudik Lebaran kita dihadapkan pada peristiwa mudik ke haribaan Allah, yakni Raja pada hari kiamat. Bedanya, mudik ini bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Bedanya lagi, mudik ini permanen. Kita tidak dapat kembali ke "perantauan" lagi.
 
Laksana akan mudik Lebaran, kita harus mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa. Kita seharusnya hanya membawa sesuatu yang akan memudahkan perjalanan. Kita tidak seharusnya membawa sesuatu yang justru akan menyulitkan perjalanan.
 
Kita tidak boleh berhenti belajar menentukan prioritas paling tepat guna mempersiapkan diri masing-masing untuk mudik ke haribaan Allah. Kita harus berkali-kali mengalkulasi segala sesuatu yang kita perlukan di sana. Laksana hendak mudik Lebaran, kita harus pastikan apa yang mesti dipersiapkan untuk dibawa.
Ketika kita memilih mudik dengan menggunakan moda transportasi umum (bus, kereta api, kapal laut, dan/atau kapal udara), salah satu yang harus kita bawa adalah tiket. Maka, untuk berjaga-jaga, kita harus menyiapkan tiket itu jauh hari sebelumnya, lalu seperangkat pakaian dan keperluan lainnya.
Jangan lupa, harga tiket yang akan dibeli itu lumrahnya bervariasi sesuai dengan destinasinya dan fasilitas yang ditawarkannya. Ketika kita hendak membeli tiket kapal udara, misalnya, tentu tidak akan membeli tiket kelas ekonomi kalau ingin mendapatkan layanan yang jauh lebih baik. Dalam konteks ini lazimnya harga tidak menjadi persoalan serius.
Tiket untuk mudik ke haribaan Allah itu namanya syahadatain (syahadat tauhid dan syahadat Rasul) dengan segala syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya. Sedangkan, pakaian yang harus dibawa namanya pakaian ketakwaan.
Tambahannya, seperangkat amal kebajikan seperti shalat, puasa/shaum, sedekah, dan lainnya. Rasulullah SAW menyebutkan karena mereka akan dipersilakan memasuki surga sesuai dengan amalnya. Misalnya, ahli puasa akan disilakan masuk dari pintu Rayyan. Wallahu a'lam bishawab.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )

***) Mahmud Yunus

Kamis, 06 Agustus 2015

LANJUTKAN IKTIKAF PRODUKTIF

Dalam Ensiklopedi Islam (1999), iktikaf berarti tinggal di dalam masjid yang dilakukan oleh seseorang dengan niat. Dalam sejumlah referensi fikih yang tersebar dan dibaca di Indonesia, secara istilah, iktikaf berarti menetap dan tinggal di masjid dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla.
Pengertian ini sama sekali tidak menyiratkan hanya pada bulan Ramadhan, yang secara eksplisit disebutkan dalam pengertian di atas adalah masjid. Iktikaf hanya bisa dilakukan di dalam masjid. Memang ada perbedaan pendapat tentang kategori masjid yang dapat digunakan sebagai tempat iktikaf.
Abu Hanifah, Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur sepakat bahwa iktikaf hanya dapat dilakukan di masjid-masjid yang biasa dijadikan tempat shalat lima waktu oleh masyarakat umum dan sepekan sekali di gunakan untuk shalat Jumat. Nabi SAW mengisyaratkan, "Masjid yang mempunyai muazin dan imam." (HR Da ruquthni).
Selama iktikaf, orang dapat melakukan apa saja yang berkaitan dengan proses taqarrub. Ada sebagian yang membaca Alquran, berzikir, atau diisi dengan shalat-shalat sunah.
Lalu pertanyaannya kemudian, dapat kah seseorang yang tengah melakukan iktikaf melakukan pekerjaan lain dan bahkan dilakukan di luar masjid? Menurut jumhur ulama, dapat.
Ketika Shafiyyah datang menjenguk Rasulullah yang tengah beriktikaf, lalu Rasulullah pun bangkit dan mengantarkan Shafiyyah pulang.
Bahkan dalam beberapa riwayat, dijelaskan bahwa selama iktikaf, seseorang dapat tetap terlibat dalam urusan rumah tangga, seperti menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan lain sebagai nya.
Ia tetap dapat terlibat dalam aktivitas sosial. Ia tidak bisa hanya menjadi dirinya sendiri. Bukankah agama selalu memelihara keseimbangan individu dan sosial?
Jadi, setiap ibadah termasuk iktikaf, tidak boleh kehilangan fungsi sosial yang berkaitan dengan dirinya dan orang lain.
Ibadah ini, dan juga ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, selain memberikan pencerahan melalui proses ta qarrub kepada Allah, juga harus mampu mem berikan dampak produktif bagi kepentingan umum (kemaslahatan sosial).
Islam tidak pernah memisahkan secara dikotomi dua kepentingan tersebut. Bahkan, Alquran berkali-kali mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara dimensi duniawi dan ukhrawi.
Dengan demikian, jika ajaran iktikaf masih mencerminkan praktik pengasingan diri secara pasif dengan mengambil posisi di masjid secara penuh selama sekitar sepuluh hari, menarik untuk dikaji ulang, terutama berkaitan dengan kepentingan produktivitas sosial yang juga tidak terlepas dari tuntunan agama.
Dalam Islam, tidak mungkin adanya pertentangan antara perintah yang satu dan perintah yang lainnya. Jika Alquran memerintahkan untuk tetap produktif, seseorang tidak boleh terus duduk dan tidak beranjak untuk mencari dunia.
Karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman dalam praktik iktikaf, tampaknya perlu dirumuskan makna "baru" dengan tetap memelihara spirit yang menjadi substansi ajaran itu.
Kita tentu tidak bisa memindahkan iktikaf ke kantor atau ke supermarket, bahkan di rumah sekalipun. Secara fisik, iktikaf tetap hanya dapat dilakukan di masjid. Namun, secara spirit kita harus mampu memelihara iktikaf di manapun dan kapan pun.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar. syukur, takwa, )


***) Asep S Muhtadi -- Republika

Rabu, 05 Agustus 2015

SATU KEKUATAN INDONESIA YG TERAMAT DASYAT

Bismillah, saya tahu bagaimana caranya menurunkan dolar AS sampai di bawah Rp 10 ribu. Bahkan, bisa sampai di bawah Rp 5.000 atau malah terbalik. AS, Cina, dan Jepang yang minjem ke Indonesia. Tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhannya Allah.
Seorang kawan tersenyum heran. Beliau pikir saya lagi bercanda atau bermimpi. ''Gimana caranya?'' tanyanya. Yunani dalam waktu dekat, pada Juli, agaknya akan mengumumkan sesuatu, sehubungan mereka bakal gagal lagi bayar utang.
Mudah-mudahan Allah menolong kita semua. Masalah di negara yang satu, dampaknya akan ada bagi negara yang lain. Sebab, kita hidup di bumi yang satu. Saling terhubung. ''Ya udah, gimana caranya?" tanya lagi kawan saya tidak sabar.
Ini berkah Ramadhan. Supaya terjadi nanti, berwujud nanti, habis Ramadhan. Bila kita mampu melakukan cara ini bersama-sama, se-Indonesia. Saya lalu bismillah, mulai memberi tahu kawan saya tersebut.
Buat diri saya dan buat siapa pun yang mau merenungi QS 3 ayat 189, semua kekuasaan, termasuk menjatuhkan, membangunkan, menaikkan, atau menurunkan. Apa saja dan urusan apa saja, kekuasaannya ada pada Allah.
Dan, Allah bilang, ''Wallaahu 'alaa kulli syaiin qodiir." Allah sangat sanggup melakukan segala sesuatunya. Jangan bilang ga mungkin. Dan jangan bilang kekuasaan dan kemampuan itu hanya pada orang atau lembaga tertentu, seperti the Fed, BI, atau negara tertentu.
Semuanya, pure ada pada Allah. Yuk lihat lagi, yaitu surah yang sama, Ali Imran ayat 109. Kekuasaan mutlak, terhadap apa saja, dan pada urusan apa saja, di langit-Nya dan di bumi-Nya, adalah ada pada dan milik Allah semata.
Allah kemudian bilang, ''Wa ilallaahi turja'ul umuur." Langkah apa saja yang kalian lakukan, ikhtiar apa saja yang kalian kerjakan, semua akan berpulang ke Allah juga segala urusannya. Indonesia punya satu kekuatan yang teramat dahsyat.
Sebanyak 80 persen penduduknya insya Allah Islam. Tinggal dijadikan beriman saja. Jika kekuatan ini digerakkan untuk mengimani Allah, bisa menolong, bahkan tidak hanya soal rupiah, dolar, yuan, yen, euro, real, tapi di semua urusan.
Komandonya dari presiden. Kalau perlu siarkan, presiden yang azan pada lima waktu shalat. Presiden tinggal muncul saja di tujuh stasiun televisi nasional. Pagi, siang, sore, malam. Ngajak masyarakat sepenuh-penuh hatinya, rasanya, berdoa kepada Allah.
Minta dolar diturunin, rupiah dinaikkin. Minta agar tidak dikontrol oleh kebijakan negara manapun, juga oleh siapa pun, termasuk dari dalam negeri sendiri jika itu merugikan. Kalau sama-sama untung, oke lah.
Presiden muncul pagi, siang, sore, dan malam di stasiun televisi nasional. Pimpin baca Alquran dan sedikit menadaburinya, lalu menjadi agenda nasional.
(Da'wah, hidayah, hikmah, kebesaran, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Ustaz Yusuf Mansur

Selasa, 04 Agustus 2015

TETAPLAH LAPAR

“ Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk sering-sering merasakan lapar dan dahaga karena dapat mengetuk pintu surga.”

Sewaktu Bulan Suci Ramadhan pergi, seakan ia berpesan kepada semua alumni-nya agar memegang teguh janji (adab) sebagai ikatan persahabatan sejati yang pernah terjalin.
Paling tidak, ada empat pesan penting yang ia titipkan kepada kita jika betul merasa sedih saat kepergiannya dan rindu menanti kedatangannya.  
Pertama; tetaplah lapar. Lapar memang sengsara membawa nikmat.  wa maal ladz-dzatu illa ba’da ta’bi (tiada kelezatan kecuali setelah kepayahan”). 
Apa maknanya ? Yakni meneruskan kebiasaan tak makan di siang hari, dengan menjalankan puasa sunnah, seperti enam hari di bulan syawal, puasa Senin-Kamis, apalagi puasa Nabi Daus As, sehari lapar sehari kenyang. 
Kenapa lapar itu penting dijaga, karena hanya orang lapar yang mengerti arti sesuap nasi. Jika makan tak pernah bersisa walau sebutir. 
Makan yang nikmat adalah ketika lapar. Tetaplah lapar, karena lapar membuat badan sehat dan enteng, pikiran cerdas dan hati lembut serta mudah berempati kepada derita sesama, lalu senang bersedekah kepada yatim dan dhuafa.  
Kedua; Tetaplah haus. Semakna dengan lapar, ia juga derita. Tetapi melahirkan kelezatan. Minum yang nikmat ketika haus, maka berhaus-hauslah di siang hari (puasa), agar enak minum di sore hati (berbuka). 
Ketika air banyak berlimpah, kita sering kali membuang-buangnya seakan tak berdosa, padahal itu mubazzir (QS.17:26-27).
Lalu, kapan air baru berharga? Ketika kehausan atau kekeringan melanda karena kemarau panjang seperti yang terjadi saat ini. Orang yang haus akan menghargai segelas air dan jika ia minum tak bersisa walau setetes. 
Orang puasa akan menghargai, menjaga kebersihan dan kejernihannya. Mereka tidak akan mengotori, mencemari atau merusak lingkungan. Mereka pun  tak tahan melihat derita orang yang dahaga, binatang kehausan atau tanaman yang hampir mati kepanasan.  
Ketiga; Tetaplah bodoh. Orang yang merasa bodoh tak berprasangka macam-macam kepada orang lain. Mereka polos menjalani kehidupan, dan sadar akan kekurangan dirinya lalu terus belajar (QS.58:11). 
Orang yang merasa bodoh itu pertanda tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun yadri annahu laa yadri). Tapi, orang yang merasa tahu pertanda tidak tahu ia tidak tahu (rajulun laa yadri annahu laa yadri). Orang yang merasa tahu semua hal sebenarnya tidak apa-apa dan itu kesombongan.
Meski sudah banyak belajar, mengkaji, meneliti, mendengar tausiah, tapi tetaplah merasa bodoh (murid). Tanda orang berilmu itu menyadari yang diketahuinya lebih sedikit daripada yang tidak diketahuinya (rajulun yadri annahu yadri). Yang paling berbahaya adalah orang dungu, yakni tidak tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun laa yadri annahu laa yadri).
Keempat; Tetaplah rendah hati  (tawadhu’). Walaupun sudah banyak ilmu yang dipahamkan, banyak sedekah yang diterbarkan, banyak kearifan yang didapatkan, kenikmatan spritual yang dirasakan, namun tetaplah rendah hati. 
Penyakit orang kaya dan orang berilmu itu keangkuhan. Hanya sedikit orang kaya rendah hati, yakni yang dermawan. Sedikit pula orang berilmu rendah hati, yakni yang saleh. Allah SWT benci kepada orang kaya sombong, tapi lebih benci melihat orang miskin yang sombong. 
Allah SWT juga tak suka orang berlimu sombong, namun lebih tak suka kepada orang bodoh yang sombong. Setinggi apapun pun pangkat, sebanyak apapun harta, seluas apapun ilmu, sehebat apapun pencapaian, namun tetaplah rendah hati. Karena, keangkuhan adalah awal dari setiap kejatuhan. 
Pesan-pesan ini saling berkaitan satu sama lain. Keempatnya adalah kesalehan indvidual yang berbuah pada kesalehan sosial. Itulah mukmin sejati, yakni al-Muttaqiin (orang-orang bertakwa). Allahu a’lam bish-shawab. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa, toleransi,  )

***) Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA --- republika