Sabtu, 31 Oktober 2015

BERCANDA SEHAT ALA RASULLAH

Canda gurau sebagai obat stres tentu menjadi kebutuhan setiap makhluk bernama manusia. Islam juga tidak melarang umatnya untuk bersenda gurau dan tertawa. Namun, syariat memberikan tuntunan, bagaimana harusnya seorang Muslim menyikapinya.
Rasulullah SAW sebagai suri tauladan telah memperlihatkan bagaimana semestinya seorang Muslim dalam bersenda gurau. Beliau SAW sendiri juga bercanda dengan keluarga dan para sahabatnya. Dengan bercanda, Beliau SAW bisa menambah keakraban, menghibur, menimbulkan kasih sayang, sekaligus memberikan edukasi positif.
Dalam suatu riwayat, seorang wanita tua mendatangi Rasulullah SAW. Ia menanyakan perihal surga. ”Wanita tua tidak ada di surga,” sabda Beliau SAW. 
Mendengar ucapan itu, si nenek pun menangis tersedu-sedu. Rasulullah SAW segera menghiburnya dan menjelaskan makna sabdanya tersebut itu. “Sesungguhnya ketika masa itu tiba Anda bukanlah seorang wanita tua seperti sekarang.” Rasulullah pun kemudian membacakan ayat, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.“ (QS al-Waaqi’ah : 35-36). Akhirnya, si nenek tua tadi pun tersenyum.
Mungkin ada yang menilai, betapa kasarnya guyonan Rasulullah sehingga membuat wanita yang sudah tua sampai menangis. Namun perlu dicermati, guyonan tersebut adalah suatu kebenaran, punya nilai edukasi, dan sarat dengan ilmu pengetahuan. Si nenek diajarkan suatu ilmu baru, bahwa kelak para penghuni surga akan dikembalikan seperti masa ia ketika muda.
Rasulullah juga dikenal sebagai seorang suami yang hangat dalam keluarga. Suatu kali, Rasulullah SAW menantang istrinya Aisyah RA lomba lari. Karena Aisyah masih sangat muda, ia berhasil mengalahkan Rasulullah SAW. Mungkin saja Rasulullah SAW hanya mengalah demi membahagiakan istrinya yang masih sangat muda itu. Ia ingin memupuk rasa cinta dan kasih sayang dengan istrinya.
Beberapa waktu setelah itu, Rasulullah kembali menantang Aisyah untuk lomba lari. Karena badannya sudah gemuk, Rasulullah pun memenangkan perlombaan itu. “Ini pembalasan untuk kekalahan yang dulu," sabda Beliau SAW.
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah RA, seorang sahabat bertanya kepada Beliau SAW, “Wahai, Rasullullah! Apakah Engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Rasulullah SAW menjawab, “Benar. Hanya saja saya selalu berkata benar.” (HR Ahmad).
Begitulah model bercanda yang dicontohkan Beliau SAW. Dalam bercanda, Beliau SAW tidak pernah tertawa sampai terbahak-bahak. Tertawanya hanya sampai terlihat gigi taringnya saja. Beliau juga tidak melontarkan lelucon bohong, dusta, atau merendahkan orang lain. Beliau juga tidak berlebih-lebihan dalam bercanda. Hanya sebatas refreshing dan pelepas kesuntukan sesaat.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa)

***)Republika.co.id

Jumat, 30 Oktober 2015

SEKOLAH ANAK KITA

Pilu rasanya hati melihat kenyataan yang menimpa anak-anak kita belakangan ini. Peristiwa kekerasan dan pelecehan seksual seakan menjadi rangkaian mata rantai yang belum juga bisa diakhiri.
Sebagian anak mengalami nasib malang karena dianiaya oleh orang tuanya sendiri. Begitu pula seorang anak SD menganiaya temannya hingga tewas. Hingga seorang gadis kecil ditemukan tewas di dalam kardus setelah mengalami kekerasan seksual.
Sejatinya, anak-anak adalah perhiasan hidup dunia yang menyenangkan hati orang tua. Mereka dilahirkan bersih, jujur dan tiada nista, fitrah dan selalu condong kepada kebaikan. (HR Bukhari). Anak kecil selalu tampil apa adanya sehingga kehadiran mereka selalu dinanti dan dirindukan dalam keluarga (QS 3: 14, 18: 46).
Anak belajar dari kehidupan sehingga mereka adalah produk masa yang dilaluinya. Karena itu, kita wajib menyediakan tempat-tempat belajar (sekolah) terbaik bagi mereka.
Ada empat sekolah yang membentuk kepribadian mereka. Pertama, keluarga. Sekolah pertama bagi anak adalah keluarga. Dalam sebuah keluarga dibangun tata sosial dan etika seorang anak. Ayah dan ibu menjadi guru utama untuk menanamkan akidah tauhid, syariat, dan akhlak (QS 2: 132-133, 31: 13-19).
Sikap, kata, dan perbuatan orang tua menjadi model dan rujukan utama bagi anak (kurikulum). Dr M Nasih Ulwan dalam buku Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan, keluarga menjadi wadah menanam akidah pohon tauhid dan syariat dengan keteladan, pembiasaan akhlak karimah, serta nasihat yang baik. Lalu, proses itu dikawal dengan pengawasan maksimal agar tumbuh menjadi pohon yang baik (syajaratun thayyibah).
Kedua, lembaga pendidikan (sekolah). Sekolah menjadi rumah kedua bagi anak, di mana tata sosial dibangun lebih terbuka. Sekolah harus menjadi komunitas baru yang aman dan nyaman agar anak bisa tumbuh normal bersama teman sebayanya.
Guru layaknya orang tua kedua bagi anak. Kurikulum yang baik akan membantu keluarga dalam pembiasaan sikap, kata, dan perilaku anak. Orang tua wajib memilih sekolah terbaik bukan termahal, yakni sekolah yang mengajarkan akidah lurus, syariat yang benar, dan akhlak yang baik.
Ketiga, lingkungan. Lingkungan sosial paling besar pegaruhnya, yakni kerabat, tetangga, teman sebaya, publik figur, tokoh masyarakat, pejabat negara, dan lainnya. Kejahatan, kekerasan, dan penyimpangan seksual sering kali dilakukan oleh orang dekat dan dikenal.
Orang tua harus memastikan anak pergi dengan siapa, di mana, main apa, dan berapa lama. Anak juga bisa belajar dari lingkungan alam sekitarnya. Jika alam masih terjaga, akan berdampak positif pada diri anak. Sebaliknya, jika alam rusak, hutan ditebang dan dibakar, polusi udara, asap kabut, dan hewan yang mati juga akan buruk bagi anak. Untuk itu, wajib bagi kita menjaga kelestarian alam semesta sebagai sekolah buat anak-anak masa depan.
Keempat, media. Sekolah keempat adalah media massa (cetak, elektronik, dan online), media sosial (Facebook, Twitter, dll), dan media komunikasi (HP, gadget). Dampak buruk siaran TV, internet, game online, gadget begitu nyata. Pornografi dan pornoaksi begitu mudah diakses.
Tayangan TV yang tidak mendidik dan HP yang merenggangkan hubungan keluarga. Warnet menjadi "sekolah" buruk yang bertebaran 24 jam. Anak pun bisa menjadi pribadi yang lemah, malas, dan pesimistis. (QS 4: 9).
Tidak ada kata lain kecuali kita harus hijrah berjamaah dari kemaskisatan, kezaliman, ketidakpedulian, kepura-kepuraan (ad-dzulumat) menuju ketaatan, keadilan, kepedulian, kejujuran (an-nuur). Kembali kepada keluarga dengan kasih sayang.
(Da'wah, hidayah, keyakinan ., keyakinan, sabar, syukur, takwa, )


***) Hasan Basri Tanjung

Rabu, 28 Oktober 2015

LAHIRNYA UMAT TERBAIK

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Dari hijrah, Rasulullah SAW bisa membangun masyarakat baru di Kota Madinah. 
Masyarakat yang terformulasikan dalam bentuk persaudaraan ukhuwah yang sangat kental antara orang-orang yang berhijrah dari Makkah atau kaum Muhajirin dan penduduk Kota Madinah yang membantu mereka atau lebih dikenal kaum Anshar. Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk hijrah dari meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. "Dan berbuat dosa tinggalkanlah." (QS al Muddatstsir [74]: 5).  
Hijrah adalah satu peristiwa penting yang harus selalu melekat dalam benak kaum Muslim. Hijrah adalah perjalanan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau ke Madinah untuk menyongsong kehidupan bernegara yang berdaulat dan berdiri sendiri serta terbebas dari penguasaan negara-negara lain. 
Hijrah itulah yang dijadikan sebagai awal penanggalan dalam Islam, awal munculnya sebuah umat dalam sejarah dunia, yaitu umat Islam yang dikatakan oleh Allah sebagai umat terbaik yang lahir ke dunia.
Sekarang sudah memasuki tahun ke-1437 H, umat Islam telah eksis di belantara kehidupan hampir satu setengah milenium. Suatu umur yang amat panjang sehingga amat wajar jika umat ini telah melewati segala pahit-manis, susah-senang, maju-mundur sebagai umat dan peradaban.
Umat ini pernah melalui masa-masa gemilang yang tidak ada tandingannya dalam sejarah. Menaungi kemanusiaan dengan keadilan dan kesejahteraan sebab Islam bukan hanya rahmat bagi umat Muslim, melainkan juga rahmat bagi seluruh alam, seluruh manusia. Bukankah Allah SWT telah berfirman, "Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (QS al-Anbiyaa[21]: 107).
Namun, sayang, sekarang ini umat Islam sedang terbelenggu oleh penguasaan negara-negara kafir. Harta mereka dikuasai, tenaga mereka dikuras, dan mereka hidup dalam kehidupan yang sempit. Semua ini disebabkan oleh umat ini telah berpaling dari mengingat Allah, mengingat aturan-aturan-Nya, dan menerapkannya dalam kehidupan seperti yang difirmankan-Nya dalam ayat 124 surah Thaha: "Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit."
Imam Ibnul Qoyyim dalam Risalah Tabukiyah menyatakan hijrah yang hukumnya fardhu ain adalah menuju Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya berupa jasad, namun juga diikuti dengan hati. Allah berfirman, "Maka segeralah (berlari) kembali menaati Allah." (QS adz-Dzariyaat [51]: 50). 
Hijrah ini meliputi dari dan menuju: Dari perbuatan syirik menuju tauhid, dari jahiliyah menuju Islamiyah, dari mungkar menuju makruf, dari maksiat menuju taat. Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya. 

Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat la ilaha illallah. Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. 
Allah berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS al-Ahzab [33]: 36). 
Pada akhirnya, hijrah adalah keberanian untuk tampil beda. Berani menolak suap ketika tradisi suap sudah membudaya. Berani menutup aurat ketika sebayanya ramai-ramai membuka aurat. Berani mengatakan yang benar, ketika yang lain justru menutup kebenaran. Wallahu 'alam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, pendidikan, sabar, syukur., takwa, )

***) Suparman Jassin

Selasa, 27 Oktober 2015

BERAZAM ISTIQAMAH

Teruslah berazam untuk istiqamah, di mana pun kapan pun dan dalam kondisi bagaimana pun. Mengapa perlu untuk terus istiqamah? Karena hikmahnya tidak hanya kita dapatkan kelak di akhirat, bahkan saat ini, di tempat ini, buah dari istiqamah itu terlalu nikmat dan lezat untuk kita rasakan di dunia ini. 
Pertama, istiqamah adalah perintah Allah dan Rasul-Nya, "Dan beribadahlah kepada Allah sampai ajal tiba" (QS Al-Hijr [15]: 99). “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selain padamu. Rasulullah menjawab, “Katakanlah, saya beriman kemudian istiqamahlah.” (HR Muslim).
Kedua, sunah utama Rasulullah SAW, "Sungguh pada diri Rasulullah ada teladan terbaik bagi kalian." (QS Al-Ahzab [33]: 21). Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang terus menerus (ajeg) meski sedikit." (HR Muslim).
Ketiga, Allah SWT akan perbaiki keadaannya, “Dan mereka yang beriman atas apa yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad dan itu haq dari Allah, maka Allah maafkan kesalahan mereka dan Allah perbaiki keadaan mereka." (QS Muhammad [47]: 2).
Keempat, pahala yang tidak terputus, "Kecuali bagi mereka yang beriman dan beramal saleh untuk mereka ganjaran yang tidak terputus,” (QS At-Tiin [95]: 6). “Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat." (HR Bukhari).
Kelima, dikagumi para malaikat sebagaimana para malaikat selalu dalam istiqamah. Allah SWT berkenan menolong untuk semua urusan dunia dan akhiratnya. Bahkan dipenuhi kebutuhannya. Doanya diijabah dan insya Allah masuk surga-Nya.
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." (QS Fashilat [41]: 30-32).
Berikutnya, selalu dalam hidayah Allah dan selalu bersama Allah, "Mereka yang sungguh-sungguh istiqamah mendekatkan diri kepada Allah maka Allah tunjukkan jalan hidayah-Nya, dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama para hamba-Nya yang selalu berbuat baik." (QS Al-Ankabut [29]: 69).
Meraih rahmat Allah, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yg selalu berbuat baik.” (QS Al-A’raf [7]: 56). Saat susah akan ditolong Allah. “Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah” (HR Al Hakim).
Sungguh, istiqmah itu adalah amalan hamba Allah yang sangat paham dunia ini sebentar sehingga disibukkan dengan beramal ibadah sesuai dengan visi-misi hidup Islami, dan tidak ada lagi perbuatan sia-sia, mubazir apalagi maksiat, "Orang orang beriman itu meninggalkan perkataan perbuatan yang tidak berguna." (QS Al-Mu'minun [23]: 3). 
Rasulullah bersabda, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat baginya.” (HR At-Tirmidzî). Semoga terus bergelora semangat berazam dalam istiqamah.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar,  syukur., takwa, )

***)  Muhammad Arifin Ilham

Senin, 26 Oktober 2015

LIMA SYARAT HIJRAH

Khalifah Umar RA memang seorang pemimpin brilian. Pilihannya menjadikan momentum hijrah sebagai awal penanggalan kalender Hijriyah patut diapresiasi sebagai ide cerdas dan orisinal. Ini berkah buat sejarah umat Islam.
Sebagaimana disebutkan Ismail al-Faruqi dalam bukunya, Hijrah Modern, peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia, langkah awal paling menentukan dalam menata masyarakat Muslim yang berperadaban. Bagaimana umat Islam yang sebelumnya menjadi umat yang terintimidasi, mustadh'afin mampu keluar dari kesulitannya dan dalam tempo yang singkat menjelma menjadi sebuah kekuatan baru.
Dalam konteks ini, Umar berhasil melanggengkan volume progres hijrah tersebut dalam putaran waktu. Bahkan, dia berhasil mewariskan aura dan spirit hijrah itu kepada generasi berikutnya di sepanjang masa. Hampir di setiap pergantian tahun Hijriyah, kita diingatkan dengan sejarah hijrah yang memberdayakan itu.
Sementara, sisi orisinalitas idenya terletak pada kekhasan mengambil momentum. Umar RA tidak mau terjebak dalam budaya ikut-ikutan, meniru (tasyabbuh) dengan umat lain. Karena itu, tawaran untuk menjadikan awal penanggalan dimulai dari kelahiran nabi, bi'tsah, atau Isra Mi'raj tidak dipilihnya. Sebabnya, dikhawatirkan adanya kultus dan budaya pengagungan hari. Selain itu, dalam pandangannya, semua peristiwa itu hanya sekadar memberi nuansa psikologis atau sebatas bernostalgia.
Berbeda dengan momentum hijrah yang kaya secara filosofis, sarat makna, dan nilai. Dalam hijrah terdapat aksi ('amal), perjuangan (jihad), pengorbanan (tadhiyyah), pergerakan (harakah), harapan (amal), dan masa depan (mustaqbal).
Jika dicermati, anasir-anasir tersebut merupakan unsur-unsur penting bagi sebuah keberdayaan. Untuk menjadi berdaya dan kuat, paling tidak ada lima syarat harus terpenuhi. Dan, kelima syarat itu berkumpul dalam sebuah masterpiece kebangkitan, bernama hijrah.
Pertama, keberdayaan membutuhkan aksi nyata, bukan sekadar angan-angan. Dan, berbuat dalam kondisi keterpurukan menjadi modal besar yang membawa pada keberdayaan. Setidaknya, itulah yang bisa kita rekam dari aksi hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Hijrah mereka ibaratnya adalah terobosan besar bagi sebuah perubahan dari lemah menjadi kuat dan berdaya. Sebab, Allah SWT akan membukakan pintu peluang yang banyak menuju keberdayaan. (QS an-Nisa: 100).
Kedua, untuk menjadi berdaya butuh perjuangan. Dan, hijrah adalah sebuah perjuangan. Tengoklah perjalanan hijrah Rasulullah SAW yang penuh dengan mara bahaya. Perjalanan yang mempertaruhkan jiwa raga. Namun, itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah keberdayaan yang diimpikannya di Madinah. Dalam Alquran, Allah SWT menggandengkan hijrah dengan jihad secara beriringan di banyak ayat, salah satunya surah al-Baqarah ayat 218.
Ketiga, keberdayaan juga menuntut adanya pengorbanan. Mereka kaum Muhajirin telah berkorban banyak demi hijrah ini. Mengorbankan harta, keluarga, kerabat, cinta tanah air, dan sebagainya. Sejarah mencatat bagaimana hijrahnya Shuhaib bin Sinan yang harus menebus dirinya dengan hartanya demi hijrah. Allah pun mengabadikannya dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 207.
Keempat, agar berdaya kita harus bergerak. "Fil harakah barakah," dalam bergerak ada keberkahan. Bergerak berarti berusaha, berupaya sebagai wujud dari ikhtiar manusia. Itulah salah satu pelajaran penting dari hijrah Rasulullah SAW, yaitu al-akhdzu bil asbab.
Kelima, keberdayaan muncul dari keyakinan akan harapan dan masa depan gemilang. Inilah kekuatan optimisme dalam hidup. Tidak ada motivasi yang menggerakkan keberdayaan secara luar biasa selain himmah (tekad) dan cita-cita yang menggelora.
Semoga spirit hijrah di Tahun Baru 1437 H ini mampu membawa umat pada keberdayaan. Wallahu a'lam bishawab.
(Da'wah, hidayah, hikmah, sabar, syukur., takwa, )

***)  Imanuddin Kamil  

Minggu, 25 Oktober 2015

TENTANG MASA DEPAN

Banyak di antara kita yang mencemaskan tentang masa depannya di dunia ini. Hanya sedikit saja yang mengkhawatirkan kehidupan akhiratnya. Bagaimana besok, sukseskah? Lancarkah urusan rezeki atau justru sebaliknya? Tentang karier, pekerjaan, dan hal-hal lain yang menyangkut kehidupan duniawi, semuanya masih berbentuk harapan yang harus diperjuangkan.
Perbuatan syirik dengan meminta tolong paranormal kadang menjadi pilihan sebagian orang untuk mendukung kesuksesan. Bahkan, ada yang ironis, berziarah ke makam hingga berhari-hari waktunya, sementara orang tua yang sudah jompo di rumah ditelantarkan. Sesajen disiapkan sebaik mungkin, sementara orang tua tak dimuliakan.
Sekolah dan universitas terbaik dipilih, walau dengan biaya mahal sekalipun. Semuanya demi masa depan dan "narasi kesuksesan" yang disimbolkan oleh rumah dan mobil mewah, harta melimpah ruah, dan simbol kesuksesan duniawi lainnya. Apakah kita tahu tentang masa depan? Tentu, tak ada seorang pun yang tahu pasti tentang masa depannya.
Peramal terhebat sekalipun hanya bisa menduga-duga dan menyampaikan kebohongan. Untuk itulah Islam menilai syirik bagi mereka yang percaya dengan ramalan. Rasulullah SAW ber sabda, "Barang siapa yang mendatangi tukang ramal, kemudian menanyakan sesuatu dan ia memercayainya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari." (HR Muslim).
Masa depan merupakan akumulasi hasil dari seluruh tindakan yang terlukis pada deret ukur waktu. Tahapan dari bilangan kehidupan yang telah dicatatkan. Orang saleh akan mencatatkan bilangan kebaikan tiada henti, tiap helaan napasnya. Puncak dari kebaikan adalah harapan sejati, kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Di dunia akan dikenang kebaikannya, di akhirat akan menghuni surga.
Sabda Rasul SAW, "Orang yang cerdik adalah yang selalu menjaga dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang kerdil, yaitu orang yang hanya mengikuti nafsunya, tetapi ia mengharapkan berbagai harapan kepada Allah." (HR Tirmidzi). Hasil yang didapatkan berbanding lurus dengan usaha yang dilakukan.
Firman-Nya, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang sia pa yang mengerjakan keburukan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya,"(QS al-Zalzalah: 7-8).
Mereka yang malas-malasan, tentu akan mendapatkan buah pahitnya kehidupan. Menangis dan menyesal pun tiada gunanya, jangankan di akhirat, di dunia ini balasan nyata bagi si malas akan terlihat.
Di dunia ini, setiap individu tengah memerankan tugas kehidupan, baik sebagai khalifah maupun hamba Allah SWT. Kepada mereka yang tengah menjalani peran apa pun itu, baik sebagai pejabat, staf, orang kaya, orang miskin, dan yang lainnya, sadari bahwa peran itu adalah kehendak-Nya, begitulah Tuhan meletakkan kuasa-Nya.
Tugas kita adalah bagaimana memerankan peran tersebut sebaik mungkin untuk mendapatkan ridha-Nya semata. Tugas kita adalah berikhtiar semaksimal mungkin agar menjadi yang terbaik dalam setiap peran. Peran dan fungsi yang berbeda tersebut merupakan bentuk kasih sayang Allah agar roda kehidupan terus berjalan.
Maka dari itu, pergunakan peran serta waktu yang dimiliki sebaik mungkin. Di atas semua peran itu, manusia bertakwalah yang paling mulia. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, pendidikan, sabar,  syukur., takwa, )


***)Iu Rusliana--Republika

Sabtu, 24 Oktober 2015

SURAU UNTUK PEMUDA

Alkisah seorang kakek penjaga di suatu surau desa. Kakek tersebut menghabiskan hidupnya di surau itu sebagai wujud ketundukannya kepada Tuhan. Suatu hari ia ditemukan meninggal secara mengenaskan (bunuh diri) di surau tersebut setelah sehari sebelumnya mendapat cerita dari seseorang bernama Ajo Sidi mengenai pengadilan Tuhan di akhirat kelak. Terguncang secara batin, lalu meninggalkan dunia menjadi pilihan.
Begitulah gambaran besar cerita pendek "Robohnya Surau Kami" yang ditulis oleh Ali Akbar Navis. Bagaimana ironi sebuah surau yang hanya dinilai sebagai tempat melaksanakan ibadah wajib,  muhdah an sich (relasi vertikal). Namun, nyatanya surau juga perlu untuk melaksanakan fikih yang lain, yang mampu mengeluarkan manusia dari jurang kejumudan dan keterbelakangan, baik dalam sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Sahal Mahfud menyebutnya sebagai fikih sosial.
Bayangkan saja berapa banyak "Surau si Kakek" yang ada di Indonesia. Apalagi, Indonesia ini negara dengan jumlah surau terbanyak di dunia (dari data Kementerian Agama tahun 2010, yaitu sekitar 255.147), mengalahkan jumlah di wilayah Arab. Setiap kecamatan, kelurahan, desa, kantor, hingga dusun rasanya kurang gereget kalau tidak memiliki masjid atau minimal mushalla di dalamnya. Sayangnya, surau tersebut hanya terisi saat melakukan ibadah-ibadah wajib—terutama shalat Jumat. Setelah itu hanya sepi yang terjadi di dalamnya.
Bisa juga kita lihat bagaimana dengan jumlah jamaah yang senantiasa mengisi ibadah wajib di surau ataupun masjid. Jumlah mereka tentu tidak sebanding dengan orang-orang yang mengisi tempat-tempat lainnya. Apalagi sebuah survei dilakukan di media sosial, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa masjid di Indonesia hanyalah memiliki 10 persen jamaah. Masjid dan surau menjadi kehilangan peminat dan sepi pengunjung terlebih lagi anak-anak muda yang semakin kurang memasuki surau.
Pentingnya surau
Berangkat dari sejarah, sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Muhammad SAW tidak mempunyai istana seperti halnya para raja pada waktu itu. Beliau menjalankan roda pemerintahan dan mengatur umat Islam di masjid. Semua permasalahan umat beliau selesaikan bersama-sama dengan para sahabat di masjid, bahkan hingga mengatur strategi peperangan.
Di Indonesia, surau dan masjid yang berdiri bukan semata-mata hanya dijadikan tempat ibadah yang sifatnya kontemplatif dan asketis saja. Namun, lebih dari itu telah menjadi sentral peradaban umat Islam. Jejak-jejak sejarah telah menyebutkan bahwa betapa besar peranan surau dalam menumbuhkembangkan pola pikir umat Islam.
Azyumardi Azra bahkan dalam bukunya, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, menyebutkan, bagaimana peranan penting surau dan masjid dalam pendidikan awal mula Islam di Indonesia. Bahkan, hingga hari ini pendidikan Alquran untuk anak masih dapat kita jumpai di masjid ataupun surau.
Anthony Giddens membedakan antara definisi ruang dan tempat—di mana tempat ditandai oleh hubungan tatap muka dan ruang ditandai dengan adanya relasi antarorang. Masa telah berganti, seharusnya surau dan masjid menjadi media alternatif gerak kaum Muslim di Indonesia ketika ruang dan tempat menjadi salah satu masalah masyarakat kita. Apalagi problematika masyarakat modern berkisar pada kurangnya ruang dan tempat dalam mengembangkan wacana publik dan mengekspresikan berdemokrasi mereka.
Ketika 1 Muharram, kita senantiasa mendapatkan cerita mengenai kelahiran Rasulullah SAW yang ditandai dengan penyerangan Ka'bah oleh Raja Abrahah yang mengomandoi sepasukan gajah. Seluruh warga telah mengungsi dari Makkah, tapi Raja Abrahah harus bertekuk lutut akan hadirnya burung ababil dengan batu-batunya yang menyerang pasukan gajah. Gagallah usaha penghancuran rumah Allah tersebut.
Mari kita melihat pada konteks negara kita. Raja Abrahah di sini lebih besar mengangkang dalam bentuk budaya dan gaya hidup hingga hal-hal yang sifatnya hedonis dan individualis. Raja Abrahah ini merasuk dalam diri kita membentuk suatu konsekuensi yang kemudian menggilas tatanan kita—Anthony Giddens menyebutnya sebagai juggernaut.
Tanpa sadar perilaku kita semakin menjauhi surau atau rumah Allah yang semakin banyak dengan berbagai macam rasionalisasi dan kesibukannya. Mengikis rasa sosial yang terkandung dalam shalat berjamaah sehingga kita tanpa sadar terjebak dalam alienasi yang bertakhta.
Kita membutuhkan agensi-agensi yang mengendalikan dan sebagai pelindung, yaitu burung ababil, yang saya umpamakan sebagai sosok pemuda Islam di Indonesia—terlebih Indonesia menghadapi ledakan jumlah penduduk usia muda. Surau-surau di Indonesia butuh pengolahan sedemikian rupa agar para pemuda di dalamnya senang datang dan memanfaatkan ruang di dalamnya. Dengan begitu, surau dapat lebih optimal dalam peranannya sebagai pemantik fikih sosial.
Sehingga surau-surau dan masjid layak menjadi madrasah kecil ataupun perpustakaan (bayt al-hikmah) sebagai proses pencerdasan umat lewat literasi. Selain itu, sebaiknya surau menjadi ruang intelektualitas tempat di mana ilmu-ilmu Barat dibahas, karya-karya sastra dibedah, wacana-wacana demokrasi dan kemasyarakatan dituangkan, mural-mural dipajang, hingga tempat di mana para pemuda mengembangkan kemampuan berkesenian (dari tari, seni rupa, dan musik)—apalagi rumah budaya dan wadah ruang apresiasi seni di Indonesia masih kurang.
Tantangannya tentu ketika "burung-burung ababil" ini mencari rumah yang cocok buat mereka. Bisa saja dalam bentuk rumah karaoke, mal, kafe, atau warung kopi hingga mungkin saja klub-klub malam. Ketika masjid mengeksklusifkan diri dan tidak mengakomodasi, tentu para pemuda akan mencari ruang di mana mereka akan dibutuhkan dan diapreasiasi.
Para pemuda menjadi pelindung perlu dibuat tidak merasa asing berada di dalamnya. Mereka akan merasa surau dan masjid sebagai bagian dari mereka. Lebihnya lagi mereka akan menganggap ajaran Islam sebagai rahmatan lil 'alamin yang mampu mengakomodasi mereka yang selama ini dianggap tidak cocok dengan lingkungan surau dan masjid.
Tentu kita akan senang ketika barisan dalam shalat wajib senantiasa diisi oleh para anak muda dan intelektual hingga nanti merekalah yang kemudian memakmurkan dan mengisi masjid dengan kegiatan kreatif mereka. Dengan begitu masjid dan surau akan senantiasa hidup dan terus bergenerasi. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, sabar, syukur., takwa,  pendidikan, )

***)M Arief Rosyid Hasan

Jumat, 23 Oktober 2015

HIJRAH MENTAL SPIRITUAL

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa historis yang sangat bermakna bagi umat Islam. Hijrah menandai babak baru sekaligus titik balik perjuangan iman menuju terwujudnya peradaban Islam yang bervisi rahmatan lil 'alamin. Berdasarkan peristiwa hijrah, Umar bin al-Khattab menetapkan kalender Islam yang berlaku hingga kini, yaitu kalender hijriyah.
Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan, berpindah atau bermigrasi secara fisik maupun nonfisik. Berpindah menunjukkan adanya dinamika, transformasi, dan perubahan. Manusia memang ditakdirkan Allah SWT menjadi makhluk yang harus berhijrah karena perbaikan kualitas hidup menuntut transformasi mental spiritual, yaitu menghijrahkan hati dan pikiran, dari hati dan pikiran (mindset) jahiliyah (kebiadaban, kesewenang-wenangan, kezaliman, dan kebobrokan moral) menuju hati dan pikiran yang diterangi cahaya iman, Islam, ihsan, dan ilmu sehingga membuahkan amal saleh, amal kemanusiaan yang memberi nilai tambah bagi peningkatan kualitas kehidupan.
Di antara ayat Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi SAW pada masa awal kenabiannya adalah perintah hijrah dari perbuatan dosa. "Dan hendaklah engkau hijrah (tinggalkan) dosa besar." (QS al-Mudatstsir [74]: 5).
Meninggalkan dosa merupakan pangkal hijrah mental spiritual karena jika dosa sudah ditinggalkan berarti hati dan pikirannya akan senantiasa didasari akidah (tauhid) yang benar, dipandu oleh syariah yang jelas, dan dihiasi akhlak mulia. Jika dosa-dosa sudah dihijrahi, perubahan menuju kebenaran, kebaikan, kemuliaan, dan kemasalahatan akan menjadi orientasi kehidupan.
Pada malam hijrah ke Madinah, Abu Jahal dan komplotannya telah merencanakan menangkap hidup-hidup atau membunuh Muhammad. Berdasarkan hasil "permufakan jahat" di Darun Nadwah--tempat berkumpulnya para petinggi Quraisy, di dekat pintu Darun Nadwah Masjidil Haram sekarang--Abu Jahal mengerahkan ratusan pasukan pemburu dan penyergap untuk mengepung rumah Nabi SAW. Rencana jahat itu disampaikan malaikat Jibril AS kepada Nabi SAW agar pada malam hijrah itu Ali bin Abi Thalib RA menempati tempat tidur Nabi SAW dan beliau diizinkan untuk berhijrah.
Kata Nabi kepada Ali, "Tidurlah di atas ranjangku, dan berselimutlah dengan selimutku yang berwarna hijau ini!" Pada saat itu, Allah juga menurunkan ayat kepada Nabi SAW. (QS al-Anfal [8]:30).
Ketika menerima ayat ini, Nabi SAW sama sekali tidak panik. Di saat itu, Allah menurunkan mukjizat-Nya. Semua pasukan penyerbu itu tertidur lelap sehingga tidak mengetahui keluarnya Nabi SAW. (QS Yasin [36]: 9).
Beliau meninggalkan kota kelahirannya (Makkah) menuju Yatsrib (Madinah) dengan transit tiga hari di dalam Gua Tsur, sekitar tujuh kilometer arah selatan Makkah, padahal Madinah itu berlokasi di utara Makkah. Ini salah satu bentuk kecerdasan strategis Nabi SAW dalam membaca pergerakan lawan dan memenangi "pertarungan taktis".
Dengan transit beliau dapat melakukan apa yang dalam bahasa militer disebut "operasi intelijen". Melalui Asma' binti Abu Bakar dan Abdullah bin Abu Bakar, beliau mendapat informasi pergerakan musuh, sekaligus pasokan logistik karena perjalanan yang akan ditempuh menuju Madinah masih jauh, sekitar 454 kilometer dari Makkah, sementara alat transportasi hanyalah unta dan kuda atau berjalan kaki.
Nabi SAW berhijrah tidak untuk melarikan diri, tetapi menyelamatkan visi dan misi Islam sebagai rahmat untuk semua. Pesan moral hijrah adalah penguatan mental spiritual dengan memurnikan tauhid kepada Allah. Selama prosesi hijrah, Nabi SAW menampilkan figur teladan dalam mengawal dan menyelamatkan visi dan misi suci Islam dengan penuh amanah dan kecerdasan intelektual, emosional, ataupun spiritual.
Sejumlah gagasan besar dan langkah strategis diambil Nabi SAW begitu sampai di Yatsrib. Pertama, mendirikan masjid Quba' dan Masjid Nabawi. Masjid bukan sekadar tempat ibadah dan dakwah, melainkan juga dioptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan, pusat konsolidasi, spiritualisasi, pemersatuan umat (kaum Muhajirin dan Anshar), dan pembangunan peradaban kemanusiaan.
Bahkan di saat peperangan, masjid juga sebagai latihan bela diri dan militer, perencanaan strategi perang, perawatan korban luka, dan penyiapan logistik. Trilogi integrasi masjid, pasar (baca: pusat-pusat ekonomi dan perdagangan), dan istana (baca: pusat kekuasaan) yang mewarnai dunia Islam, seperti Masjidil Haram, istana raja, pusat-pusat perekomian dan perdagangan di sekitarnya, Blue Mosque, Grand Bazar, dan Istana Ottoman di Turki, Masjid, Keraton, Alun-alun dan Malioboro di Yogyakarta, merupakan aktualisasi fungsi multidimensi masjid.
Kedua, deklarasi rekonsiliasi dua suku besar Madinah yang selama ini terlibat konflik sosial berkepanjangan, yaitu suku Aus dan Khazraj. Nabi tidak hanya berhasil mendamaikan dua kubu, juga sukses mempersaudarakan mereka dengan kaum muhajirin (para sahabat Nabi yang berhijrah dari Makkah).
Nabi SAW juga menggalang persatuan dan persaudaraan umat beragama dengan menyiapkan Piagam Madinah yang berisi perjanjian hidup bersama secara damai, rukun, dan saling menghargai perbedaan agama antara umat Islam dan non-Muslim, seperti Yahudi dan Nashrani (Kristen). Piagam Madinah ini merupakan dokumen kontrak sosial politik dan kemanusiaan pertama yang luar biasa berharga bagi masa depan umat manusia.
Ketiga, penegakan supremasi hukum yang benar dan adil melalui pemerintahan yang amanah, bersih, berwibawa, adil, sejahtera, dan bermartabat. Hukum ditegakkan, tidak membela yang bayar, tetapi membela yang benar. Nabi SAW menegaskan, "Seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku sendirilah yang akan memotong tangannya!" Penegakan hukum oleh Nabi SAW terbukti memberikan rasa aman, kepastian, dan keadilan hukum bagi semua, tanpa diskriminasi dan kriminalisasi.
Keempat, perubahan nama kota dari Yatsrib menjadi al-Madinah al-Munawwarah (kota berperadaban yang tercerahkan). Perubahan nama ini mengindikasikan hijrah Nabi itu hakikatnya hijrah pencerahan dan pemajuan umat manusia. Sebagai pemimpin umat, Nabi SAW memberi nama baru, tentu dengan maksud memberi harapan baru dan masa depan peradaban kemanusiaan yang berkemajuan.
Jadi, hijrah mental spiritual sejatinya proses internalisasi tauhid sekaligus transformasi sosial kemanusiaan, dari budaya jahiliyah menjadi budaya hadharah (peradaban) Islam yang agung.
Pesan moralnya bahwa spirit hijrah adalah semangat perubahan dan perbaikan tanpa henti menuju peningkatan kualitas iman, ilmu, dan takwa, ketakwaan personal dan sekaligus ketakwaan sosial. Hijrah mental spiritual menghendaki kita meninggalkan mindset dan budaya lama yang merugikan bangsa, seperti korupsi, pembalakan dan pembakaran hutan, melakukan tindak kekerasan, pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya.
Hijrah mengharuskan kita bangkit bersama (dan sama-sama bangkit) menuju peradaban bangsa yang berkemajuan, berkeadilan, berkesejahteraan, dan berkeadaban. Selamat Tahun Baru Hijriyah 1437 H.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )

***)Muhbib Abdul Wahab 

Kamis, 22 Oktober 2015

SPIRIT DARI PERISTIWA HIJRAH

Umat Islam kembali memperingati Tahun Baru Islam 1437 Hijriyah pada 14 Oktober 2015. Sebagaimana kita ketahui, puncak kejayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah.
Di kota inilah Nabi dan para sahabatnya (muhajirin) disambut luar biasa oleh penduduk asli Madinah (anshar). Dari kota ini pula dakwah Islam berkembang pesat melewati batas toritorial wilayah Arab.
Masyarakat Madinah yang awalnya hidup dalam suasana kesukuan, diskriminatif, primordial, eksklusif, dan penuh permusuhan dalam waktu relatif singkat mampu diubah oleh Rasulullah SAW menjadi masyarakat yang egaliter, penuh cinta kasih, terbuka, toleran, inklusif, serta memiliki semangat membantu dan berbagi (QS al-Hasyr [59]: 9).
Dengan demikian, peristiwa hijrah merupakan titik balik (centre point) bagi perkembangan Islam dan titik awal bagi (entry point) bagi pembentukan masyarakat madani (civil society). Maka tidak mengherankan manakala Khalifah Umar menjadikan peristiwa hijrah tersebut sebagai awal perhitungan kalender Islam, yang kemudian dikenal dengan Tahun Baru Hijriyah.
Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, beberapa Nabi sebelumnya (Nabi Musa, Ibrahim, dan Yusuf) juga telah melakukan hijrah dengan meninggalkan tempat kelahirannya menuju tempat yang baru. Hijrah mereka lakukan untuk mendapatkan suasana kehidupan yang lebih baik terutama bagi kepentingan dakwah.
Dalam dunia modern, banyak masyarakat yang melakukan hijrah. Mereka pindah dari daerah asalnya menuju tempat yang baru (migrasi), hijrah dari desa yang satu ke desa yang lain, dari kota yang satu ke kota yang lain, bahkan dari negara yang satu ke negara yang lain. Itulah yang kemudian melahirkan konsep migrasi, emigrasi, transmigrasi.
Orang hijrah disebabkan atau didorong berbagai sebab atau niat (motivasi). Ada yang karena faktor ekonomi, dakwah, keamanan, ikut keluarga, dan lain sebagainya. Nabi Muhamaad SAW mengatakan, "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barang siapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR Bukhari). Meski pada prinsipnya hijrah dilakukan karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Rasulullah SAW bersabda bahwa orang yang hijrah yaitu yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT (HR Abu Dawud). Beliau juga ditanya oleh sahabat, hijrah yang bagaimana yang paling utama? Beliau menjawab, engkau jauhi segala sesuatu yang dibenci Tuhanmu (HR Ahmad).
Alquran menjelaskan, orang yang berhijrah akan mendapatkan rahmat, ampunan Allah, nikmat yang mulia, mendapatkan derajat yang tinggi serta memperoleh kemenangan (QS al-Baqarah [2]: 218; QS al-Anfal [8]: 74; dan QS at-Taubah [9]: 20). Spirit hijrah sebagaimana dijelaskan adalah bagaimana meninggalkan berbagai keburukan menuju kebaikan, melakukan hal yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Kalau kita perhatikan kondisi umat Islam sekarang, sungguh sangat memprihatinkan. Konflik di antara umat dan negara Islam luar biasa. Apa yang terjadi di Timur Tengah sungguh menjadi catatan kelam bagi sejarah perkembangan Islam.
Negara-negara Islam yang seharusnya melakukan peran menciptakan kondisi kehidupan yang damai, aman, nyaman, dan tenang justru terlibat konflik berkepanjangan. Akibatnya, banyak masyarakat tidak berdosa menjadi korban, ada yang meninggal dan banyak dari mereka terusir dari negaranya menjadi pengungsi. Bahkan, kasus pengungsi dari Timur Tengah sekarang khususnya dari Suriah merupakan kasus pengungsi terbesar setelah Perang Dunia II.
Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Hijriyah 1437 H dapat memberikan spirit bagi umat Islam dan para pemimpin Islam untuk kembali merajut dan memperkokoh ukhuwah Islamiyah serta memperbaiki kehidupan umat di seluruh bidang kehidupan. Dalam konteks Indonesia, peringatan Tahun Baru 1437 Hijriyah yang hampir bersamaan dengan usia satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Juga adanya ancaman krisis ekonomi, gangguan asap akibat kebakaran hutan pada 2015 ini, serta berbagai permasalahan lain seperti masih tingginya angka korupsi, maraknya berbagai tindakan pedofilia serta kekerasan di tengah-tengah masyarakat seperti apa yang terjadi di Lumajang.
Karenanya, peringatan Tahun Baru 1437 Hijriyah selain menjadi momentum mengevaluasi diri, juga bagaimana kita dapat melakukan perbaikan di seluruh bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, mari kita berhijrah dengan meninggalkan berbagai perilaku tidak baik seperti pembalakan dan pembakaran hutan, korupsi, kolusi, nepotisme, pemalas, tindakan kekerasan, pedofilia, main menang sendiri dan hakim sendiri, serta selalu mempertontonkan dan mengikuti syahwat kekuasaan.
Sebaliknya, kita menggantinya dengan perilaku yang baik seperti kesadaran menjaga lingkungan alam yang lestari, perilaku bersih, santun, jujur, sabar, tekun, taat hukum dan aturan, kerja keras, penuh optimisme, mau berkorban dan berbagi untuk orang lain, serta semangat kerja sama dan berprestasi.
Selamat Tahun Baru 1437 Hijriyah, semoga umat Islam dan bangsa Indonesia dapat menyongsong dan menggapai kehidupan yang lebih baik kini dan yang akan datang.

***)Rahmat Hidayat---Republika


Rabu, 21 Oktober 2015

JANGAN ABAI DALAM BERMUHASABAH

Muhasabah atau mengevaluasi diri sendiri perlu kita lakukan setiap saat, terlebih pada saat pergantian tahun Hijriyah seperti sekarang ini. Kita tak boleh bertindak lengah dan abai dalam bermuhasabah. Dengan bermuhasabah, kita menjadi lebih tahu diri dan tak telanjur berlarut-larut membuat kesalahan yang akan menimbulkan berbagai penyesalan yang tiada berguna.
Introspeksi dan mawas diri harus secepatnya dilakukan. Terkait hal ini, Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, "Perhitungkanlah dirimu sebelum kamu diperhitungkan oleh Allah dan timbanglah dahulu amalannya sebelum ditimbang di hari qiyamah."
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban, "Bila engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu-nunggu datangnya waktu sore, dan jika engkau berada di waktu sore jangan pula menunggu datangnya waktu pagi. Ambillah kemanfaatan sewaktu hidupmu ini untuk mempersiapkan bekal kematianmu, dan sewaktu engkau masih sehat untuk bekal di waktu sakitmu.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menekankan perlunya evaluasi terhadap diri sendiri. Muhasabah dinyatakan bagai seorang pedagang yang memperhitungkan harta perniagaannya, ia perlu meneliti kembali modal asalnya, kemudian keuntungan atau kerugiannya, sehingga dapat diketahui secara jelas apakah harta perniagaannya bertambah atau berkurang.
Apabila bertambah, harta perlu disyukuri dan apabila berkurang, harta perlu diteliti dan diselidiki latar belakang kekurangan tersebut dan diusahakan bagaimana cara penanggulangannya.
Menurut Imam Al-Ghazali, orang yang beragama diibaratkan sebagai pedagang. Modal pokok seseorang beragama adalah amalan-amalan yang wajib. Keuntungannya adalah amalan-amalan yang sunah. Adapun kerugian-kerugiannya bagi orang yang beragama itu adalah perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dilarang agama.
Pertama-tama, hendaklah dibuat perhitungan tentang ibadah-ibadah wajib. Jika ibadah wajib  telah dikerjakan sebagaimana mestinya, bersyukurlah kepada Allah SWT. Dengan suatu harapan kepada-Nya, semoga untuk selanjutnya kita tetap senang berbuat dan beribadah sebagaimana yang sudah-sudah, sambil terus meningkatkan mutu dan kualitas ibadah tersebut.
Namun, apabila dalam mengerjakan ibadah-ibadah wajib itu masih terdapat kekurangan, hendaklah kita tutupi kekurangan-kekurangan tersebut dalam menunaikan ibadah-ibadah wajib itu, lebih baik lagi disertai memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunah. Mengerjakan ibadah-ibadah sunah tidak hanya dikerjakan sebagai penutup kekurangan-kekurangan di dalam mengerjakan ibadah wajib, tetapi ibadah sunah itu dikerjakan sebagai bekal dan keuntungan kita kelak.
Kemudian, apabila kita merasa telah berbuat kemaksiatan, bersegeralah bertobat kepada Allah dengan penyesalan yang mendalam dan bertekad tidak akan mengulangi perbuatan maksiat tersebut untuk selama-lamanya.
Allah  SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu menutupi kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai." (QS At-Tahrim [66] :8)
Bulan Muharram merupakan momentum untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Mari kita bersihkan akidah kita dari berbagai sikap dan perkataan yang menjurus pada kemusyrikan. Kita sirnakan dendam kesumat dan buruk sangka terhadap orang lain, sehingga apa yang kita harapkan dari-Nya cepat atau lambat akan terwujud, sesuai dengan permohonan kita setiap saat.
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka." (QS Al-Baqarah [2)] :201). Semoga.
(hidayah, Da'wah, keyakinan, syukur, sabar, takwa, )


***) Ahmad Agus Fitriawan

Senin, 19 Oktober 2015

HIJRAH MELAWAN DIRI SENDIRI

Tahun baru hijriah sudah nampak di hadapan kita. Momen pergantian tahun baru Islam ini disambut suka cita. Selain suka cita yang menggelora, ada beberapa insan yang berduka.
Duka darurat asap di belahan bumi Indonesia yang tak kunjung mereda, juga berduka karena banyaknya nista dan dosa. Ya, sudah sepatutnya kita menyedihkan keduanya; terutama menangisi sesuatu yang sempat kita anggap kurang bermakna.
Kurangnya pemaknaan itu tercermin dari nikmat sehat yang terkadang lupa disyukuri, nikmat iman yang terkadang diabaikan, dan nikmat islam serta usia dan rezeki yang terkadang masih saja kita anggap kurang berarti. Maka, saat pergantian tahun inilah sering kita manfaatkan untuk bermuhasabah, menghitung nikmat-nikmat Illahi, dan meletakkan landasan untuk melangkah ke depan.
Pergantian tahun hijriah juga bisa menjadi momentum untuk memaknai peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW. beserta kaum Mukminin waktu itu. Setelah 13 tahun berdakwah di Makkah penuh dengan tekanan dan siksaan, perintah Hijrah dari Allah SWT menjadi titik balik bagi Islam dan kaum Muslimin. Hijrah mereka ke Madinah menjadi kunci perkembangan pesat islam dan kemenangan.
Gambaran hijrah Rasul dengan para sahabatnya dalam konteks sejarah ayat di atas ternyata sarat dengan nilai perjuangan, pengorbanan, kepeduliaan terhadap sesama, kesabaran dan persaudaraan (ukhuwah) yang melebihi batas kekeluargaan dan kekerabatan karena direkat dengan ikatan akidah.
Nilai luhur ini merupakan nilai universal yang berlaku sepanjang zaman pascasabda Rasulullah SAW tentang hijrah: “Tidak ada hijrah setelah pembebasan kota Makkah, selain jihad dan niat”. (H.R. Bukhari). Justru ujian nilai hijrah akan tetap menjadi neraca ketulusan dan kualitas iman seseorang dengan sebuah jaminan bahwa hijrah yang diperintahkan Allah tidak ada lain adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Allah berfirman menjelaskan jaminan-Nya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’: 100).
Secara tekstual, hijrah dalam surah di atas ialah hijrah dalam berperang melawan kaum kuffar karena Allah. Maka dalam konteks kekinian, hijrah bersifat makro; tak hanya berperang melawan orang-orang yang memusuhi Islam, namun juga hijrah melawan diri sendiri.
Diri sendiri adalah musuh yang nyata bagi kita. Penyakit-penyakit sombong yang membawa virus membahayakan semacam iri hati, dengki, dendam, saling menghasut, harus sirna dari dalam diri agar hijrah semakin diridhai. Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk berhijrah ke arah yang lebih baik. Aamiin 
(hidayah, Da'wah, keyakinan, takwa,)


***) Ina Salma Febriany

Minggu, 18 Oktober 2015

KEUTAMAAN HIJRAH

Tahun baru Hijriyah kembali menyapa kaum Muslimin. Dan perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah menjadi titik tolak perhitungan kalender Hijriyah. 
Sehingga setiap pergantian tahun baru Hijriyah tersebut selalu mengingatkan kita kembali akan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW, sehingga hal itu menjadi sebuah spirit bagi kaum Muslimin untuk berhijrah. 
Berhijrah dari keburukan menuju kebaikan, dari kebodohan menuju ilmu, dari kebohongan menuju kejujuran, dari kesewenang-wenangan menuju keadilan, dari arogansi menuju kelemah-lembutan, dari permusuhan menuju perdamaian, dari saling menjatuhkan menuju saling membangun.
Lalu, dari yang biasanya minta dilayani menuju berlomba saling melayani, dan begitu seterusnya. Intinya, berhijrah menuju kehidupan yang lebih baik dan memberi manfaat yang lebih besar kepada umat, bangsa, dan negara. 
Dengan berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya maka seseorang akan memperoleh banyak keutamaan. Karenanya semangat hijrah tersebut hendaknya terus terjaga hingga maut menjemput kita. 
Pertama, akan diberikan keluasan rezeki. ”Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa’ [4]: 100).
Kedua, dihapuskan kesalahan-kesalahannya. ”Maka, orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS Ali Imran [3]: 195).
Ketiga, ditinggikan derajatnya di sisi Allah dan mendapatkan jaminan surga-Nya. ”Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS at-Taubah [9]: 20-22).
Keempat, diberikan kemenangan dan meraih keridhaan-Nya. ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS at-Taubah [9]: 100).
Semoga Allah membimbing kita agar dapat istikamah dalam berhijrah menuju surga-Nya. Selamat tinggal tahun 1436 H, dan selamat datang Tahun Baru 1437 H.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa., sabar, syukur., takwa, )

***)  Imam Nur Suharno

Sabtu, 17 Oktober 2015

LAHIRNYA UMAT TERBAIK

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Dari hijrah, Rasulullah SAW bisa membangun masyarakat baru di Kota Madinah. 
Masyarakat yang terformulasikan dalam bentuk persaudaraan ukhuwah yang sangat kental antara orang-orang yang berhijrah dari Makkah atau kaum Muhajirin dan penduduk Kota Madinah yang membantu mereka atau lebih dikenal kaum Anshar. Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk hijrah dari meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. "Dan berbuat dosa tinggalkanlah." (QS al Muddatstsir [74]: 5).  
Hijrah adalah satu peristiwa penting yang harus selalu melekat dalam benak kaum Muslim. Hijrah adalah perjalanan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau ke Madinah untuk menyongsong kehidupan bernegara yang berdaulat dan berdiri sendiri serta terbebas dari penguasaan negara-negara lain. 
Hijrah itulah yang dijadikan sebagai awal penanggalan dalam Islam, awal munculnya sebuah umat dalam sejarah dunia, yaitu umat Islam yang dikatakan oleh Allah sebagai umat terbaik yang lahir ke dunia.
Sekarang sudah memasuki tahun ke-1437 H, umat Islam telah eksis di belantara kehidupan hampir satu setengah milenium. Suatu umur yang amat panjang sehingga amat wajar jika umat ini telah melewati segala pahit-manis, susah-senang, maju-mundur sebagai umat dan peradaban.
Umat ini pernah melalui masa-masa gemilang yang tidak ada tandingannya dalam sejarah. Menaungi kemanusiaan dengan keadilan dan kesejahteraan sebab Islam bukan hanya rahmat bagi umat Muslim, melainkan juga rahmat bagi seluruh alam, seluruh manusia. Bukankah Allah SWT telah berfirman, "Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (QS al-Anbiyaa[21]: 107).
Namun, sayang, sekarang ini umat Islam sedang terbelenggu oleh penguasaan negara-negara kafir. Harta mereka dikuasai, tenaga mereka dikuras, dan mereka hidup dalam kehidupan yang sempit. Semua ini disebabkan oleh umat ini telah berpaling dari mengingat Allah, mengingat aturan-aturan-Nya, dan menerapkannya dalam kehidupan seperti yang difirmankan-Nya dalam ayat 124 surah Thaha: "Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit."
Imam Ibnul Qoyyim dalam Risalah Tabukiyah menyatakan hijrah yang hukumnya fardhu ain adalah menuju Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya berupa jasad, namun juga diikuti dengan hati. Allah berfirman, "Maka segeralah (berlari) kembali menaati Allah." (QS adz-Dzariyaat [51]: 50). 
Hijrah ini meliputi dari dan menuju: Dari perbuatan syirik menuju tauhid, dari jahiliyah menuju Islamiyah, dari mungkar menuju makruf, dari maksiat menuju taat. Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya. 
Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat la ilaha illallah. Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. 
Allah berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS al-Ahzab [33]: 36). 
Pada akhirnya, hijrah adalah keberanian untuk tampil beda. Berani menolak suap ketika tradisi suap sudah membudaya. Berani menutup aurat ketika sebayanya ramai-ramai membuka aurat. Berani mengatakan yang benar, ketika yang lain justru menutup kebenaran. Wallahu 'alam.


***) Suparman Jassin

Jumat, 16 Oktober 2015

ASAP DALAM ALQURAN

Allah SWT telah memberikan oksigen secara gratis yang bebas dihirup. Namun, sekarang ini masyarakat mulai membeli oksigen. Saat ini asap yang berasal dari pembakaran lahan di Sumatra dan Kalimantan terus mengepul yang seolah menjadi rutinitas tahunan.
Andaikan saja Allah SWT memutar arah angin ke arah timur, mungkin asap pekat meliputi semua wilayah Indonesia, termasuk Pulau Jawa. Alquran telah menceritakan istilah asap, minimal dalam beberapa surat.
Pada surah Fushilat ayat 11, misalnya. "Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati.'"
Asap yang dimaksud di dalam ayat di atas adalah gambaran awal diciptakannya langit yang masih berupa asap atau uap air dengan istilah dukhanun. Pada surah ar-Rahman ayat 15, asap yang dimaksud adalah berkaitan dengan penciptaan jin dari nyala api yang tidak berasap (mim marijim min nar).
Asap pada surah al-Waqi'ah ayat 43 adalah gambaran orang golongan kiri atau orang durhaka dengan dinaungi angin dan air yang mendidih serta dalam naungan asap yang hitam. Wa zhillin (dan dalam naungan) yang menaungi mereka. Miy yahmum (asap yang hitam), yakni asap neraka jahanam yang hitam pekat.
Sedangkan, asap pada surah al-Mursalat ayat 30 adalah asap neraka jahanam (zhillin) bagi orang-orang kafir dari segala penjuru. Orang-orang kafir telah dikepung asap dari segala penjuru.
Asap yang digambarkan dalam Alquran terutama pada surah ar-Rahman ayat 15, al-Waqi'ah ayat 43, dan al-Mursalat ayat 30 dengan asap yang saat ini menjadi bencana di sebagian pulau di Indonesia memang berbeda, tetapi memiliki esensi yang sama bahwa asap di sini adalah sesuatu yang membuat manusia tersiksa seperti asap yang berasal dari neraka. Banyak korban yang mengalami sakit, bahkan meninggal dunia, yang diakibatkan oleh asap dari akibat pembakaran lahan yang ada di beberapa daerah.
Asap dalam kasus ini merupakan akibat perbuatan manusia-manusia serakah, juga akibat sikap permisifnya manusia-manusia yang memiliki kewenangan dalam menindak. Kebakaran yang terjadi disinyalir merupakan tindakan sengaja yang dilakukan secara terorganisasi, dan ini sudah terulang beberapa tahun. Sehingga, perilaku pembakaran dan tidak ditegakkannya hukum, keduanya menjadi sistem produksi asap pekat sekaligus menjadi neraka dunia bagi masyarakat yang tidak berdaya.
Amar makruf nahi mungkar dan penegakan hukum adalah harapan besar agar neraka dunia ini jangan terulang kembali. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, pendidikan, sabar, syukur., takwa, )

Kamis, 15 Oktober 2015

LULUS UJIAN KEHIDUPAN

Manusia tidak bisa lepas dari ujian dalam kehidupannya sehari-hari. Setiap diri pasti mengalami ujian, ringan maupun berat. Semakin tinggi derajat keimanan seseorang, ujian yang Allah berikan pasti semakin berat. Semakin lemah keimanan seseorang, ujian pun semakin ringan, maka tak heran jika para anbiya adalah mereka yang paling berat ujiannya.
Ujian tidak hanya dialamatkan kepada individu, tetapi juga kepada keluarga, masyarakat, golongan, bahkan kepada umat. Namun sayang, tak sedikit orang yang gagal dalam menghadapi "hujan" ujian yang datang bertubi-tubi.
Bermacam- macam bentuk ujian yang Allah berikan, bisa berupa dipecat dari pekerjaan, anak meninggal, sakit yang berkepanjangan, dan lain-lain. Bahkan, ujian kadang datang pada kesempatan yang genting, seperti saat dipecat dari pekerjaan bersamaan mendadak anak sakit keras dan harus segera dirawat di rumah sakit.
Sering kita mendengar ada orang bunuh diri karena tidak mampu menahan impitan kehidupan yang begitu dahsyat. Bahkan, tidak sedikit pula yang mengalami krisis kepercayaan dan keyakinan kepada Allah. Mereka menggangap semua ujian itu wujud dari ketidakadilan Allah terhadap diri mereka.
Tak jarang pula mereka membandingkan teman yang jahat dan curang dalam usaha, tetapi bisnisnya terus maju, sedangkan dirinya yang jujur malah dipecat dari pekerjaan dengan tuduhan yang menyakitkan.
Allah SWT berfirman, "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah beriman, dan mereka tidak diuji'," (QS [29]: 2). Orang yang beriman memandang ujian kehidupan sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang Allah dalam bentuk lain kepada dirinya. Tidak tebersit dalam hati dan pikirannya sangkaan jelek kepada Allah. Apalagi, yang dapat menggerus keyakinan dan keimanannya karena dia yakin bahwa Allah punya rencana indah terhadap dirinya. Allah adalah sebaik-baik perencana.
Berdasarkan firman Allah di atas, jelas ujian bagi orang yang beriman sudah dikemas "satu paket", tinggal bagaimana pola pikir dan pola sikap tetap selaras dengan cara pandangan Islam, tidak boleh menyimpang dari koridor yang telah ditentukan, serta tetap tegar dan yakin bahwa ujian pasti berlalu.
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS [94]: 5–6). Firman Allah ini menjadi motivasi bagi kita agar selalu meyakini bahwa kesulitan atau ujian hidup dan bentuknya selalu dibarengi dan diakhiri dengan kemudahan dan keindahan. Allah tidak menyia-nyiakan kesabaran hambanya dalam menerima ujian. Sekecil apa pun ujian tersebut, Allah pasti membalasnya dengan kebaikan.
Sebaliknya, orang yang lemah imannya, ketika ujian hidup datang, mereka tak punya pegangan yang kokoh, galau, dan frustrasi menjadi irama hidup dalam keseharian. Dunia terasa sempit. Masa depan terlihat suram. Tak ada cahaya yang menerangi langkahnya, maka tak heran bila  minuman keras, narkoba, dan obat adiktif menjadi tempat pelarian dan mereka menyangka masalah akan selesai dengan mengonsumsi barang terlarang tersebut. Semua hanya menawarkan kesenangan sesaat, kesenangan yang dibungkus dengan khayalan yang menghancurkan dirinya dan masa depannya, kesenangan yang memorak-porandakan rumah tangga dan masa depan keturunannya.
Marilah kita hidup selaras dan harmonis dengan Alquran. Menjadikan Alquran pedoman, teman hidup, dan tempat bertanya sehingga hidup kita bisa kokoh dan tegar, tidak mudah goyah dan rapuh meski ujian hidup datang bak ombak di lautan.
Kata pepatah, "Ombak yang besar akan melahirkan nakhoda yang cakap." Makna ujian hidup menjadikan kita lebih bijak dan tegar, menjadikan kita lebih memahami arti sebuah kehidupan, dan semakin mendekatkan kita kepada Allah. Dengan ujian, kita semakin paham betapa di balik ujian itu bertabur hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik.
Pelajaran berharga yang tak didapat di buku dan bangku sekolah, pelajaran yang akan menambah khazanah pengalaman batin seseorang sehingga dalam melangkah selalu dipenuhi dengan keyakinan dan kepastian, jauh dari keraguan dan rasa putus asa, dan meyakini bahwa Allah memberikan ujian sesuai dengan batas kemampuan hamba-hamba-Nya. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Sarbini Abdul Murad

Rabu, 14 Oktober 2015

BELAJAR SEDEKAH DARI POHON

Alquran menjelaskan fenomena alam dengan ungkapan yang sangat indah. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Dan, apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS al-Fushilat [41]: 53).
Kebenaran Alquran dapat diketahui melalui apa saja, mulai dari merenungi fenomena alam semesta hingga fenomena kemanusiaan yang terjadi pada diri kita. Namun, yang banyak luput dari aktivitas permenungan kita, yakni bukti kebenaran Alquran terdapat pada fenomena pohon.
 Alquran banyak menyebut jenis pohon sebagai sesuatu yang penting dan mesti diperhatikan. Pohon tien dan zaitun, misalnya, dijadikan sarana sumpah Allah atas kesempurnaan ciptaan-Nya, yaitu manusia (QS at-Tien [95]: 1-5). Bahkan, pohon zaitun secara khusus disebut sebagai pohon penuh berkah (syajarah mubaarokah) (QS an-Nur [24]: 35).
Bila dilihat dengan mata telanjang, pohon tidak memperlihatkan gejala menarik apa pun. Ia merupakan makhluk hidup yang statis, diam dan tidak bergerak. Namun, bila dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan sains, betapa keberadaan pohon sungguh menarik. Ternyata, ia tidak diam; ia terus bekerja tanpa henti memberikan kebaikan kepada penghuni di muka bumi.
Dalam perspektif ilmu biologi, siang dan malam, melalui akarnya, pohon terus menyerap air dan unsur makanan lainnya yang kemudian disalurkan ke batang, dahan, ranting, dan daun. Bahkan, pada siang hari pekerjaannya semakin bertambah.
Di bagian hijau daun (klorofil) dengan dibantu sinar matahari, pohon melakukan kerja fotosintesis, yaitu sebuah proses sintesis antara air yang diserap dari tanah dan karbondioksida yang diserap oleh daun dari udara bebas. Proses fotosintesis ini menghasilkan glukosa dan oksigen.
Glukosa dipakai untuk menumbuhkan dirinya, sedangkan oksigen dibagikan kepada makhluk hidup lainnya, termasuk manusia. Karena pohon berbagi sebagian hasil kerjanya dalam bentuk oksigen, siapa pun yang mendekatinya akan merasakan suasana nyaman, sejuk, dan damai.
Fenomena pohon di atas setidaknya mengajarkan dua hal kepada kita. Pertama, kita mesti senantiasa menyisihkan sebagian rezeki hasil usaha atau kerja kita untuk dibagikan secara ikhlas kepada orang lain sebagaimana pohon berbagi tanpa pamrih sebagian hasil kerjanya dalam bentuk oksigen kepada makhluk hidup lainnya.
Kedua, kebiasaan berbagi rezeki secara ikhlas kepada orang lain akan mendatangkan suasana damai, sejuk, dan nyaman sebagaima kesejukan yang diberikan oksigen akibat dari sifat berbagi pohon.
Jadi, bila kita, baik secara pribadi maupun komunitas, ingin hidup damai, sejuk, tenteram dan penuh cinta kasih, biasakanlah berbagi kepada sesama. Suasana nyaman, sejuk, dan damai akibat kebiasaan dari berbagi dengan ikhlas sejatinya merupakan prakondisi untuk membuka pintu-pintu rezeki, kemudahan hidup, kemuliaan, dan persaudaraan yang hakiki.
Allah SWT berfirman, "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." (QS al-lail [92]: 5-7).
Sebagai seorang hamba Allah, kita harus belajar dari kebaikan tanpa pamrih yang diberikan pohon dengan menebarkan kepedulian sosial, menjaga kebersihan lingkungan, membebaskan fakir miskin dari penderitaan, dan selalu memberi tanpa henti untuk kemaslahatan seluruh penduduk di muka bumi. Wallahu a'lam. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Karman

Selasa, 13 Oktober 2015

PEMIMPIN PEMBERI SOLUSI

Suatu hari, ada seseorang dari golongan Anshar yang datang meminta sesuatu kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW lantas bertanya kepada orang tersebut, "Adakah sesuatu di rumahmu?" Ia menjawab, "Ada, yaitu hamparan yang sebagian kami pakai dan sebagian lagi kami hamparkan, dan juga wadah yang kami pergunakan untuk minum."
Kata Nabi SAW, "Bawalah olehmu kepadaku dua benda itu." Lalu, orang tersebut menyerahkannya kepada Nabi SAW. Lalu, Rasulullah menawarkan barang tersebut kepada para sahabatnya, "Siapa yang akan membeli dua barang ini?"
Seseorang berkata, "Saya akan membelinya dengan satu dirham." Kata Nabi SAW, "Siapa yang akan menambah lebih dari dari satu dirham?" Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali. Seseorang berkata, "Aku akan membelinya dengan dua dirham."  Lalu, Rasulullah memberikan barang itu kepada orang itu dan mengambil uang dua dirham, dan langsung diberikannya kepada seorang Anshar tadi.
Nabi SAW berkata, "Belikanlah dengan salah satu dirham ini makanan, lalu berikan kepada keluargamu. Kemudian, belikan dengan dirham yang satunya lagi kapak, lalu bawa kapak itu kepadaku." Lalu, Rasulullah mengikatkan kayu sambil berkata kepadanya, "Pergilah, carilah kayu bakar dan juallah. Dan, kau jangan memperlihatkan diri kepadaku selama lima belas hari."
Kemudian, laki-laki tadi mengambil kayu bakar dan menjualnya. Setelah lima belas hari, ia datang kepada Nabi dan telah memiliki sepuluh dirham. Sebagiannya ia belikan pakaian dan sebagiannya lagi dibelikan makanan.
Rasulullah SAW bersabda, "Ini semua lebih baik bagimu daripada kau datang meminta-minta yang menjadi noda pada wajahmu di hari kiamat nanti. Sesungguhnya meminta-minta itu tidaklah pantas, kecuali bagi tiga orang: orang yang sangat fakir, orang yang mempunyai utang yang memberatkannya, atau orang yang harus membayar diat."
Itulah keteladanan yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin. Beliau memberikan solusi, bukan sekadar janji. Sikap seperti itulah yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin di negeri ini.
Seorang pemimpin hendaknya memiliki kepedulian dan perhatian kepada masyarakat yang dipimpinnya. Selain itu, ia juga harus memiliki kemampuan memotivasi, membantu, mengakomodasi, menyingkap potensi orang-orang yang dipimpinnya, dan memberdayakannya untuk kepentingan mereka.
Ketahuilah bahwa, "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki/suami adalah pemimpin bagi keluarganya, ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Wanita/istri adalah pemimpin terhadap keluarga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya." (HR Bukhari dan Muslim).
Semoga Allah menganugerahkan kepada para pemimpin di negeri ini kemampuan untuk menjaga amanah kepemimpinan yang diembannya. Semoga.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Nur Suharno

Senin, 12 Oktober 2015

MENJAGA AMANAHNYA

Hampir dua bulan sudah darurat sipil kabut asap menimpa beberapa pulau di Indonesia; Riau, Jambi, Palembang dan Palangkaraya dan lainnya. Satu persatu korban berjatuhan karena kesulitan bernafas, baik tua- muda, lelaki perempuan, balita, bahkan bayi. Tidak ada pilihan lain selain bertahan di kediaman mereka masing-masing karena mengungsi pun kondisinya akan tetap sama.
Bantuan dari negara lain pun berdatangan, tapi pengambil keputusan negeri ini masih enggan menerimanya dengan keyakinan kuat bahwa ia dan jajarannya mampu mengatasi masalah ini dengan baik. Sementara kita di Jakarta?
Syukur Alhamdulillah, hujan sudah mulai turun di beberapa titik ibukota meski belum merata. Hujan, mungkin adalah salah satunya jawaban—selain sebagai rahmat Tuhan—hujan dapat menghentikan kabut asap yang menghalangi jarak pandang dan membuat sesak nafas berkepanjangan. Tak perlu diragukan, hujan pasti akan Dia turunkan. Namun, ada baiknya bahwa musibah yang menimpa banyak penduduk Riau dan sekitarnya ialah koreksi keras dari-Nya; wahai siapapun ia yang lalai dalam melestarikan alam semesta pemberian-Nya.
 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (Q.S. Ar Rum (30) : 41)
Kerusakan telah nampak dalam dua tempat, demikian Allah melukiskan dalam firmanNya yang sungguh mengena dalam sanubari kita. Darat dan laut adalah sasaran empuk manusia-manusia lalai yang gemar merusak alam yang sudah ‘difasilitasi-Nya’ dengan cuma-cuma.
Malahan, sebagian besar mereka justru asyik masyuk membuat kerusakan dan pencemaran tanpa berpikir panjang; bagaimana dampak yang akan ditimbulkan dari peristiwa tersebut? Sebelum kita menginjak tema tentang kerusakan, mari kita tengok maksud ayat 41 surah ar-Ruum di atas.
Qotadah dan As-Suddiy mengatakan: “Yang dimaksud kerusakan adalah Syirik, dan itu merupakan kerusakan yang paling besar” sedangkan Ibnu Abbas, ‘Ikrimah dan Mujahid mengatakan: “yang di maksud kerusakan di daratan yaitu seseorang membunuh saudaranya (saling membunuh diantara mereka), sedangkan kerusakan yang berada di lautan adalah  mereka yang membawa kapal-kapal (mencari hasil laut) dengan paksa”.
Ada yang mengatakan kerusakan di sini adalah kekeringan dan sedikitnya tumbuh-tumbuhan dan kurangnya keberkahan. Ibnu Abbas mengatakan: “kurangnya keberkahan dikarenakan perbuatan manusia agar mereka bertaubat” Ath-Thobari mengatakan: “sudah nampak kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah dimana-mana di darat maupun di laut. Dari sekian banyak definisi para mufassir, kabut asap akibat kerusakan darat di muka bumi adalah salah satu bentuk ‘kemaksiatan’ manusia kepada Allah.
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerh yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”(Q.S. Al-A’raf (7) : 56-58)
Surah al-araf ayat 56 sampai 58 ini sangat terkait dengan tema yang Allah buka dengan kalimat larangan ‘jangan’. Kalimat nahyu ini mengindikasikan bahwa penegasan sudah berlaku agar tidak merusak alam. Ini terkait setelah musibah asap ini merenggut banyak nyawa. Selanjutnya. Allah menyuruh kita untuk berdoa dengan dua adab yang dituntunNya yakni dengan perasaan takut dan penuh harap; yang berarti kita (yang tidak terkena cobaan asap) ini, jika kurang bisa memebantu secara moril dan materil, ikhlas membantu doa untuk para korban yang masih hidup atau syahid karena musibah asap. Terakhir dari ayat ini, Allah kemudian memberikan rahmatNya berupa turun hujan dan kemudian; seizinNya musibah asap ini segera berakhir.
Tentu saja, dengan berakhirnya badai asap ini nanti, harus ada oknum yang bertanggungjawab atas musibah ini. Sebab, jika ditelusuri penyebabnya, musibah ini cecnderung menunjuk kepada kelalaian dan ketamakan manusia; bukan karena takdir Allah semata. Benar bahwa segala yang terjadi adalah seizin Allah, namun, musibah yang sifatnya ulah tangan manusia, akan berbeda urusannya. Kita tidak boleh menyalahkan Allah atas takdir ini. Justeru, kita yang harus mampu mengukir takdir menjadi lebih baik; dengan bekerjasama dan mengajak seluruh lapisan masyarakat turut peduli dan lebih menjaga alam dan apa saja yang telah dianugerahkanNya.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***)Hikmah--Republika

Minggu, 11 Oktober 2015

EMPAT PERINGKAT KUALITAS CINTA

Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, antara lelaki dan perempuan. Manusia dianugerahi perasaan cinta dan kasih sayang. Karena itu, menjadi fitrahnya manusia ingin mencintai dan dicintai satu sama lain. Jika kebutuhan mencintai dan dicintai terpenuhi, hatinya menjadi tenteram, damai, dan bahagia.
Pertanyaannya, "Mengapa Allah menanamkan rasa cinta pada diri manusia? Apakah cinta merupakan sumber kebahagiaan? Ataukah justru penyebab berbagai masalah kemanusiaan? Bagaimana mengaktualisasikan "fitrah cinta" manusia dalam rangka mewujudkan ketaatan dan dedikasi sejati kepada Allah SWT dan dalam menjalani kehidupan rumah tangga?"
Cinta adalah fitrah manusia sekaligus merupakan anugerah Ilahi. Manusia yang tidak memiliki rasa cinta adalah manusia yang tidak normal. Sejak lahir, fitrah cinta itu ada dalam diri manusia. Allah menarasikan fitrah cinta itu, antara lain, dengan istilah hubbub asy-syahawat (mencintai yang menjadi keinginannya). (QS Ali Imran [3]: 14).
Menurut Imam al-Ghazali, ada empat peringkat kualitas cinta. Pertama, cinta diri sendiri; semua hal yang berhubungan dengan cinta diukur dengan kesenangan diri sendiri. Cinta jenis ini cenderung hedonis dan materialistis.
Kedua, cinta transaksional, yaitu cinta kepada orang lain sepanjang orang yang dicintainya itu membawa keuntungan baginya, seperti cinta pedagang kepada pembeli atau para calon pemimpin dengan rakyat yang akan memilihnya. Bujuk rayu, janji, dan harapan palsu diberikan demi mewujudkan transaksinya.
Ketiga, cinta kepada orang, baik meski tidak memperoleh keuntungan langsung, seperti cinta seseorang kepada kiai, ulama, dan pemimpin. Ia rela berkorban demi orang yang dicintainya. Kebahagiaan hidupnya, antara lain, terletak pada kepuasannya berjuang dan berkorban demi yang dicintainya.
Keempat, cinta pada kebaikan semata, terlepas dari siapa yang memiliki kebaikan, bahkan kebaikan yang ada pada musuhnya. Jenis cinta yang terakhir inilah yang dapat mengantarkan ke tingkat cinta kepada Tuhan.
Bagi seorang sufi Rabi'ah al-Adawiyyah, cinta sejati adalah cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi). Cintanya kepada Allah tidak memberikan ruang di dalam hatinya untuk membenci, termasuk membenci setan. Cinta Ilahi adalah cinta yang membuatnya selalu rindu untuk bersimpuh di hadapan-Nya, selalu memuja dan memuji-Nya tanpa berharap apa pun selain ridha-Nya.
Aktualisasi cinta sejati dalam keluarga sakinah harus dibarengi dan dilandasi oleh cinta yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan senantiasa menaati syariat-Nya. Sebagai anugerah yang indah, cinta dalam rumah tangga harus dirawat dan dikembangkan dengan membiasakan "berjamaah" dalam banyak hal, misalnya dalam shalat, pengambilan keputusan penting, makan, rekreasi, suka dan duka, dan seterusnya.
Indahnya cinta dalam keluarga sakinah seperti itulah yang pernah diteladankan Rasulullah SAW dalam mengarungi mahligai rumah tangganya. Meskipun tidak serbaberkecukupan secara ekonomi dan materi, Rasulullah sukses mewujudkan "surga dunia" yang penuh kebahagiaan hakiki.
Sesungguhnya di antara manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang sabar, lisannya terus berzikir, dan pandai bersyukur. (HR at-Thabarani).
Jadi, cinta sejati itu anugerah yang kaya energi positif jika dilandasi cinta Ilahi. Cinta Ilahi dengan berhias kesabaran, kebersyukuran, dan lisan yang berzikir akan membuahkan kebahagiaan bila diaktualisasikan dalam rangka meraih ridha-Nya, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(Da'wah, hidayah, keyakinan ., sabar, syukur., takwa, )


***) Muhbib Abdul Wahab

Sabtu, 10 Oktober 2015

AGAR HIDUP DIMUDAHKAN

Alkisah, tiga orang pemuda terpaksa harus menginap di dalam sebuah gua ketika sedang menempuh suatu perjalanan. Belum lama mereka beristirahat di dalam gua tersebut, tiba-tiba sebongkah batu besar menutupi rongga gua. 
Mereka pun berusaha keluar dari gua, tetapi karena terlalu beratnya, batu besar itu tak bergeser sedikit pun. Mereka pun kelelahan, tetapi tetap berupaya mendorong batu besar itu dengan segala upaya.

Di tengah keputusasaan menghampiri mereka karena segala usaha tidak membuahkan hasil, akhirnya mereka berdoa kepada Allah SWT. 
Satu per satu mereka mengutarakan keikhlasan ketika beramal baik sehingga batu besar yang menutupi rongga gua sedikit demi sedikit bergeser. Pemuda pertama berdoa sembari mengutarakan amal baik kepada Allah, yakni ia tidak berani memberikan jatah minum (susu) orang tuanya pada anak-istri. 
Suatu ketika, ketika ia mendapati ibunya sedang tertidur, ia tidak membangunkannya untuk memberikan jatah minum susu. Ia dengan sabar menunggu hingga orang tuanya terbangun. 
Pemuda kedua berdoa sambil mengingat amal baik yang pernah ia lakukan, yakni ketika berhasil lari dari tipu daya wanita yang dicintai untuk melakukan perbuatan zina, meskipun wanita tersebut sudah berada di hadapannya. 
Kemudian pemuda ketiga berdoa sembari mengutarakan amal baiknya, yakni ketika ia lupa memberikan upah pekerjaan kepada seseorang, lalu upahnya itu diinvestasikan sehingga keuntungannya berlipat-lipat. 
Tetapi, selang beberapa waktu, orang upahan tersebut datang untuk menagihnya. Dengan penuh keikhlasan, ia pun memberikan seluruh unta, sapi, kambing, dan budak sebagai upah orang tersebut. 
Batu besar yang menutupi rongga gua itu pun bergeser dan mereka bertiga dapat keluar dari dalamnya sehingga dengan penuh kegirangan mereka melanjutkan perjalanannya. 
Kisah di atas memberikan pemahaman bahwa sebagai manusia, ketika mengarungi hidup di muka bumi ini, kita selalu berharap selalu dimudahkan ketika ditimpa kesulitan. 
Betapa banyak doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT saat shalat, zikir, atau yang lainnya, berisi harapan agar terhindar dari kesulitan. Harapan kita untuk terhindar dari kesulitan itu tidak hanya sebatas di dunia, tetapi sampai di akhirat nanti. 
Bukankah kita selalu berharap agar Allah memupus dosa-dosa kita? Ini, misalnya, tercermin dalam doa: "Rabbanaghfirli waliwalidayya walilmu'minîna yauma yakumul hisab." (Ya Tuhanku, maafkanlah dosa dan kesalahan kami, dosa dan kesalahan kedua orang tua kami, juga dosa dan kesalahan orang-orang mukmin pada hari penghisaban). 
Orang yang dalam kesehariannya selalu membiasakan diri dengan perilaku-perilaku baik, bergaul dengan orang baik, dan selalu mengejawantahkan nilai-nilai kebaikan akan dengan gampang menemukan kemudahan itu. Karenanya, kalau kita bersungguh-sungguh menjalankan kebaikan, kesulitan akan digantikan dengan kemudahan. 
Allah SWT berfirman, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” (QS al-Lail [92]:5-10). 
Karenanya, ketika ingin selalu dimudahkan menapaki kehidupan ini, berbuat baiklah. Insya Allah hidup kita akan selalu dimudahkan Allah SWT. 
Orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan jalan-jalan yang mudah dari Kami. Sesungguhnya Allah senantiasa berserta dengan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS al-Ankabut [29]: 69). Wallahu 'alam
(hidayah, hikmah, keyakinan, sabar,syukur., takwa,  )

***)Ahmad Sarbini

Jumat, 09 Oktober 2015

PETUNJUK QURAN DALAM MENELUSURI INFORMASI

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang seorang fasik dengan membawa suatu informasi maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena suatu kebodohan, sehingga kalian menyesali perbuatan yang telah kalian lakukan,” (Qs. Al-Hujurat [49: 6])
Inti dari salah satu surah ke- 49 dalam Alquran di atas memberikan tuntunan praktis bagaimana Allah, melalui Alquran menuntun kita dalam membangun hubungan baik antar sesama. Surat Al-Hujurat yang bermakna kamar-kamar, diturunkan setelah Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).
Saat itu, suku-suku yang ada di Jazirah Arab berbondong-bondong masuk Islam. Termasuk di dalamnya adalah Bani Musthaliq, yang di pimpin oleh Al-Harits bin Dhirar. Meskipun masuknya Islam Al-Harits diawali dengan sebuah peperangan,  keislaman Al-Harits ini tidak diragukan. Apalagi putrinya yang bernama Al-Juwairiyah dinikahi oleh Rasulullah Saw.
Sesudah masuk Islam Rasulullah Saw memerintahkan Al-Harits untuk mengajak kabilahnya masuk Islam dan membayar zakat. Al-Harits pun menyatakan kesanggupannya. Namun ketika kaum Bani Musthaliq sudah masuk Islam dan zakat sudah terkumpul, utusan Rasulullah belum juga datang. Maka melalui musyawarah dengan tokoh-tokoh Bani Musthaliq, Al-Harits merasa harus datang kepada Rasulullah Saw, bukan menanti kedatangan utusan beliau yang akan menarik zakat.
Sementara itu, dalam waktu yang hampir bersamaan Rasulullah Saw mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat yang telah dikumpulkan Al-Harits. Di tengah jalan Al-Walid melihat Al-Harits beserta sejumlah orang berjalan menuju Madinah.
Didasari oleh ingatan permusuhan masa jahiliyah antara dirinya dengan al-Harits, timbul rasa gentar di hati Al-Walid, ia berpikir Al-Harits akan menyerang dirinya. Karena itulah kemudian ia berbalik kembali ke Madinah dan menyampaikan laporan yang tidak benar kepada Rasulullah Saw bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah saw tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits.
Ketika utusan itu bertemu dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus Rasulullah Saw untuk bertemu denganmu.” Al-Harits bertanya, “Ada apa?” Utusan Rasulullah itupun menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengutus Al-Walid bin Uqbah, untuk mengambil zakat, lalu ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya.”
Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.”Maka ketika mereka sampai kepada Nabi Saw., beliau pun bertanya, “Apakah benar engkau menolak untuk membayarkan zakat dan hendak membunuh utusanku?” “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” jawab Al-Harits. Selang beberapa lama, turunlah ayat di atas untuk membenarkan pengakuan Al-Harits.
Asbaabun nuzul surah Al-Hujurat ayat 6 ini mengisyaratkan bahwa laporan yang tidak benar, tentu akan berdampak buruk baik kepada si pemberi kabar, terlebih korban. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memang tak terlepas dari permasalahan seperti ini. Tak ubahnya di zaman digitalisasi ini. Media- media sosial yang belum bisa dipercaya kabarnya, kerap memengaruhi efek kognitif pembaca; contohnya saja kabar musibah yang melanda jamaah haji; dari mulai runtuhnya crane, badai pasir, hingga insiden di Mina.
Sebagian kabar tersebut menyatakan bahwa segala yang terjadi karena kesalahan pemerintah Arab Saudi yang tidak melayani tamu-tamu Allah dengan baik. Ada pula yang menyatakan bahwa Arab Saudi sedang sibuk menyulap negaranya menjadi Las Vegas. Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, salah satu media tersebut menyatakan bahwa musibah ini terjadi karena anak Raja Saudi melintas saat pelemparan jumrah berlangsung.
Belajar menjadi mukmin yang, kita berkewajiban untuk bertabayun; menggali dan menelusuri informasi yang datang silih berganti setiap hari; baik permasalahan yang berkaitan dengan sosial kemasyrakatan, terlebih agama. Musibah dan cobaan berat bagi jamaah haji tahun ini, adalah salah satu takdir dari Allah yang harus kita imani bahwa segala yang terjadi di muka bumi, pasti seizin-Nya. Jika pun ada campur tangan manusia, semoga ini dapat menjadi pelajaran yang amat berharga dan tidak terulang lagi di masa mendatang.
“Musibah apapun yang menimpamu itu adalah seizin Allah. Dan bagi orang beriman kepada Allah, maka hatinya akan tenang (atas musibah tersebut). Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu,” (Qs. Ath-Thagaabuun: 11)
Lalu, bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap informasi yang belum jelas beritanya tersebut? Sikap bijaksana yang dapat kita ambil ialah bertawaquf (berdiam diri, tidak menyebarkan/ men-share berita tersebut). Itu akan jauh lebih mendatangkan mashalat. Sebab, jika kita turut menyebarkan informasi tersebut (padahal kita belum tahu kabar tersebut secara benar), dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan umat dan perselisihan antar sesama. Tentu hal tersebut yang tidak diinginkan.
Akhirnya, mari kita menengadahkan tangan agar para jamaah yang wafat saat berhaji, mendapatkan ampunan dan surga-Nya, dan yang telah sampai dengan selamat di negaranya masing-masing, Allah jadikan haji yang mabruur; yang dengan hajinya tersebut, dapat memberi manfaat dan keberkahan baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk sesama. Aamiin.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan, sabar, syukur., takwa, )


***) Ina Salma Febriany