Jumat, 23 Oktober 2015

HIJRAH MENTAL SPIRITUAL

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa historis yang sangat bermakna bagi umat Islam. Hijrah menandai babak baru sekaligus titik balik perjuangan iman menuju terwujudnya peradaban Islam yang bervisi rahmatan lil 'alamin. Berdasarkan peristiwa hijrah, Umar bin al-Khattab menetapkan kalender Islam yang berlaku hingga kini, yaitu kalender hijriyah.
Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan, berpindah atau bermigrasi secara fisik maupun nonfisik. Berpindah menunjukkan adanya dinamika, transformasi, dan perubahan. Manusia memang ditakdirkan Allah SWT menjadi makhluk yang harus berhijrah karena perbaikan kualitas hidup menuntut transformasi mental spiritual, yaitu menghijrahkan hati dan pikiran, dari hati dan pikiran (mindset) jahiliyah (kebiadaban, kesewenang-wenangan, kezaliman, dan kebobrokan moral) menuju hati dan pikiran yang diterangi cahaya iman, Islam, ihsan, dan ilmu sehingga membuahkan amal saleh, amal kemanusiaan yang memberi nilai tambah bagi peningkatan kualitas kehidupan.
Di antara ayat Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi SAW pada masa awal kenabiannya adalah perintah hijrah dari perbuatan dosa. "Dan hendaklah engkau hijrah (tinggalkan) dosa besar." (QS al-Mudatstsir [74]: 5).
Meninggalkan dosa merupakan pangkal hijrah mental spiritual karena jika dosa sudah ditinggalkan berarti hati dan pikirannya akan senantiasa didasari akidah (tauhid) yang benar, dipandu oleh syariah yang jelas, dan dihiasi akhlak mulia. Jika dosa-dosa sudah dihijrahi, perubahan menuju kebenaran, kebaikan, kemuliaan, dan kemasalahatan akan menjadi orientasi kehidupan.
Pada malam hijrah ke Madinah, Abu Jahal dan komplotannya telah merencanakan menangkap hidup-hidup atau membunuh Muhammad. Berdasarkan hasil "permufakan jahat" di Darun Nadwah--tempat berkumpulnya para petinggi Quraisy, di dekat pintu Darun Nadwah Masjidil Haram sekarang--Abu Jahal mengerahkan ratusan pasukan pemburu dan penyergap untuk mengepung rumah Nabi SAW. Rencana jahat itu disampaikan malaikat Jibril AS kepada Nabi SAW agar pada malam hijrah itu Ali bin Abi Thalib RA menempati tempat tidur Nabi SAW dan beliau diizinkan untuk berhijrah.
Kata Nabi kepada Ali, "Tidurlah di atas ranjangku, dan berselimutlah dengan selimutku yang berwarna hijau ini!" Pada saat itu, Allah juga menurunkan ayat kepada Nabi SAW. (QS al-Anfal [8]:30).
Ketika menerima ayat ini, Nabi SAW sama sekali tidak panik. Di saat itu, Allah menurunkan mukjizat-Nya. Semua pasukan penyerbu itu tertidur lelap sehingga tidak mengetahui keluarnya Nabi SAW. (QS Yasin [36]: 9).
Beliau meninggalkan kota kelahirannya (Makkah) menuju Yatsrib (Madinah) dengan transit tiga hari di dalam Gua Tsur, sekitar tujuh kilometer arah selatan Makkah, padahal Madinah itu berlokasi di utara Makkah. Ini salah satu bentuk kecerdasan strategis Nabi SAW dalam membaca pergerakan lawan dan memenangi "pertarungan taktis".
Dengan transit beliau dapat melakukan apa yang dalam bahasa militer disebut "operasi intelijen". Melalui Asma' binti Abu Bakar dan Abdullah bin Abu Bakar, beliau mendapat informasi pergerakan musuh, sekaligus pasokan logistik karena perjalanan yang akan ditempuh menuju Madinah masih jauh, sekitar 454 kilometer dari Makkah, sementara alat transportasi hanyalah unta dan kuda atau berjalan kaki.
Nabi SAW berhijrah tidak untuk melarikan diri, tetapi menyelamatkan visi dan misi Islam sebagai rahmat untuk semua. Pesan moral hijrah adalah penguatan mental spiritual dengan memurnikan tauhid kepada Allah. Selama prosesi hijrah, Nabi SAW menampilkan figur teladan dalam mengawal dan menyelamatkan visi dan misi suci Islam dengan penuh amanah dan kecerdasan intelektual, emosional, ataupun spiritual.
Sejumlah gagasan besar dan langkah strategis diambil Nabi SAW begitu sampai di Yatsrib. Pertama, mendirikan masjid Quba' dan Masjid Nabawi. Masjid bukan sekadar tempat ibadah dan dakwah, melainkan juga dioptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan, pusat konsolidasi, spiritualisasi, pemersatuan umat (kaum Muhajirin dan Anshar), dan pembangunan peradaban kemanusiaan.
Bahkan di saat peperangan, masjid juga sebagai latihan bela diri dan militer, perencanaan strategi perang, perawatan korban luka, dan penyiapan logistik. Trilogi integrasi masjid, pasar (baca: pusat-pusat ekonomi dan perdagangan), dan istana (baca: pusat kekuasaan) yang mewarnai dunia Islam, seperti Masjidil Haram, istana raja, pusat-pusat perekomian dan perdagangan di sekitarnya, Blue Mosque, Grand Bazar, dan Istana Ottoman di Turki, Masjid, Keraton, Alun-alun dan Malioboro di Yogyakarta, merupakan aktualisasi fungsi multidimensi masjid.
Kedua, deklarasi rekonsiliasi dua suku besar Madinah yang selama ini terlibat konflik sosial berkepanjangan, yaitu suku Aus dan Khazraj. Nabi tidak hanya berhasil mendamaikan dua kubu, juga sukses mempersaudarakan mereka dengan kaum muhajirin (para sahabat Nabi yang berhijrah dari Makkah).
Nabi SAW juga menggalang persatuan dan persaudaraan umat beragama dengan menyiapkan Piagam Madinah yang berisi perjanjian hidup bersama secara damai, rukun, dan saling menghargai perbedaan agama antara umat Islam dan non-Muslim, seperti Yahudi dan Nashrani (Kristen). Piagam Madinah ini merupakan dokumen kontrak sosial politik dan kemanusiaan pertama yang luar biasa berharga bagi masa depan umat manusia.
Ketiga, penegakan supremasi hukum yang benar dan adil melalui pemerintahan yang amanah, bersih, berwibawa, adil, sejahtera, dan bermartabat. Hukum ditegakkan, tidak membela yang bayar, tetapi membela yang benar. Nabi SAW menegaskan, "Seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku sendirilah yang akan memotong tangannya!" Penegakan hukum oleh Nabi SAW terbukti memberikan rasa aman, kepastian, dan keadilan hukum bagi semua, tanpa diskriminasi dan kriminalisasi.
Keempat, perubahan nama kota dari Yatsrib menjadi al-Madinah al-Munawwarah (kota berperadaban yang tercerahkan). Perubahan nama ini mengindikasikan hijrah Nabi itu hakikatnya hijrah pencerahan dan pemajuan umat manusia. Sebagai pemimpin umat, Nabi SAW memberi nama baru, tentu dengan maksud memberi harapan baru dan masa depan peradaban kemanusiaan yang berkemajuan.
Jadi, hijrah mental spiritual sejatinya proses internalisasi tauhid sekaligus transformasi sosial kemanusiaan, dari budaya jahiliyah menjadi budaya hadharah (peradaban) Islam yang agung.
Pesan moralnya bahwa spirit hijrah adalah semangat perubahan dan perbaikan tanpa henti menuju peningkatan kualitas iman, ilmu, dan takwa, ketakwaan personal dan sekaligus ketakwaan sosial. Hijrah mental spiritual menghendaki kita meninggalkan mindset dan budaya lama yang merugikan bangsa, seperti korupsi, pembalakan dan pembakaran hutan, melakukan tindak kekerasan, pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya.
Hijrah mengharuskan kita bangkit bersama (dan sama-sama bangkit) menuju peradaban bangsa yang berkemajuan, berkeadilan, berkesejahteraan, dan berkeadaban. Selamat Tahun Baru Hijriyah 1437 H.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )

***)Muhbib Abdul Wahab 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar