Selasa, 19 Juli 2016

PUASA & KESALEHAN SOSIAL

Puasa memang ibadah yang amat istimewa. Hikmah dan kebajikannya bersifat multidimensional, tak hanya moral dan spiritual, tetapi juga sosial. Puasa tak hanya membentuk kesalehan pribadi (individual), tetapi sekaligus juga kesalehan sosial.
Puasa memiliki dua semangat yang sangat baik dilihat dari perspektif pendidikan akhlak. Pertama, semangat pencegahan (kaffun wa tarkun)dari hal-hal yang destruktif (al-muhlikat). Semangat yang pertama ini menjadi basis kesalehan individual.
Lalu, kedua, semangat pengembangan alias motivasi dan dukungan (hatstsun wa `amalun) terhadap hal-hal yang memuliakan, konstruktif, atau dalam bahasa Imam Ghazali, dukungan terhadap hal-hal yang menyelamatkan manuisa (hatstsun ila al-munjiyat). Semangat yang kedua ini menjadi pangkal kepedulian sosial yang pada gilirannya membentuk kesalehan sosial.
Dimensi sosial dalam ibadah puasa sangat kentara ditilik dari beberapa hal ini. Pertama, orang yang puasa harus menahan diri dari rasa haus dan lapar.
Ini merupakan latihan agar kita mampu mengendalikan diri dari dorongan syahwat yang berpusat di perut (syahwat al-bathn). Ia juga merupakan sarana agar kita bisa berempati kepada orang-orang miskin. 
Orang yang tak pernah lapar, ia tidak bisa berempati kepada orang lain. Mungkin itu sebabnya, ketika Malaikat Jibril AS menawarkan kepada Rasulullah SAW kekayaan melimpah (bukit emas), beliau menolaknya, seraya bekata: "Biarlah aku kenyang sehari dan lapar sehari."
Penting diketahui, lapar itu ada dua macam, yaitu lapar biologis dan lapar psikologis. Lapar biologis lekas sembuh dengan makan. Lapar psikologis, seperti lapar kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan, tak gampang disembuhkan.
Puasa menyembuhkan kedua macam lapar itu sehingga kita bisa terbebas dari penyakit vested interest, untuk selanjutnya lebih peduli dan sadar akan kepentingan orang lain (sosial).
Kedua, orang yang puasa disuruh banyak bederma. Nabi SAW menyebut, bulan puasa sebagai Syahr al-Muwasah atau bulan kepedulian sosial. Rasulullah SAW sendiri merupakan orang yang paling banyak bederma, dan dalam bulan Ramadhan, beliau lebih kencang lagi bederma, melebihi angin barat. (HR Hakim dari Aisyah).
Ketiga, pada penghujung puasa, kita disuruh mengeluarkan zakat fitrah, di luar zakat mal, tentu saja. Kewajiban ini seakan melengkapi dimensi sosial dari ibadah puasa. Karena, tanpa zakat, pahala puasa kita belum sampai kepada Allah. Ia masih bergantung dan berputar-putar di atas langit.
Di luar semua itu, puasa melatih dan mendidik kita agar menjadi manusia bermental giver (pemberi), bukan taker (peminta-minta). Ungkapan take and give yang populer di masyarakat kita, tentu tidak sejalan dengan sepirit puasa. Ungkapan itu semestinya berbunyi,giving and receiving.
Orang puasa sejatinya sedang meneladani Allah SWT, sejalan dengan doktrin, "Takhallaqu bi akhlaq Allah." Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Nabi Muhammad SAW juga demikian. 
Maka, orang yang berpuasa diminta meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu kepada umat manusia dengan cara berbuat baik dan berbagi kegembiraan. Dengan begitu, puasa membuat kita cerdas, baik secara moral, spiritual, maupun sosial, dan inilah karakter orang takwa. Wallahu a`lam.

***)Dr A Ilyas Ismail

Jumat, 15 Juli 2016

MEMULIAKAN TIGA ORANG

Sejatinya, tiada seorang pun yang bisa menggapai kejayaan hidup di dunia ini kecuali ia dibesarkan dengan belaian kasih sayang orang tua. Siapa sajakah orang tua yang wajib dimuliakan dan disebut-sebut namanya dalam lantunan doa seorang anak?
Pertama, orang tua yang melahirkan. Mereka adalah ayah dan ibu yang paling besar jasanya mengantarkan kita menjalani kehidupan. Terutama ibu yang mengandung dan melahirkan bersimbah darah bertaruh nyawa. 
Sekiranya, kita dapat meraih kemegahan dunia dan seisinya untuk membalas jasa mereka, tentulah tak sepadan menggantikannya. Apalagi, mereka tak pernah menghitung dan mengharapkan balasan material dari anaknya, kecuali sekadar bakti (birrul walidain) yang tulus semasa hidupnya dan kiriman doa setelah kematiannya. (QS [17]:23-24, [46]:15).
Betapa mulianya mereka, hingga Allah SWT merangkai pengabdian kepada-Nya dengan kedua orang tua (QS [31]:13), terutama kepada ibu (HR Muttafaq 'alaih). 
Mereka yang menanam benih-benih keimanan (akidah tauhid), menumbuhkan ketaatan dalam pengabdian (syariah), dan menghasilkan buah kebajikan (akhlak karimah). Karenanya, jika tampil seorang anak yang sukses, sungguh kedua orang tua yang hebat mengantarkannya. 
Kedua, orang tua yang mengajarkan. Mereka adalah guru-guru yang mengajar dan mendidik kita di bangku sekolah, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Jika kedua orang tua melahirkan dan membesarkan maka guru menumbuhkan segala potensi dan bakat agar berkembang dengan baik. 
Sungguh, seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemuliaan (transfer of value), mengembangkan keahlian dan kemandirian (transfer of skill), dan mengajarkan kearifan (transfer of wisdom). 
Murid yang hebat lahir dari sentuhan dan goresan tangan seorang guru yang hebat. Guru bukan sekadar orang tua kedua, tetapi mereka juga pewaris misi dan semangat kenabian dalam pendidikan dan dakwah Islam. 
Nabi SAW juga seorang guru yang diutus untuk melahirkan generasi pemimpin dan pendidik terbaik, yaitu Sahabat (HR Muslim).
Beliau SAW guru terbaik karena dididik langsung oleh Sang Maha Guru Terbaik, yakni Yang Maha Mengetahui ('Aalim). “Addabanii rabbii fa ahsana ta`dibii.” (Tuhanku telah mendidikku maka sempurnalah adabku). Begitulah pesan Nabi SAW. 
Guru kehidupan saya, Prof KH Didin Hafidhuddin pernah bercerita. Di tengah kesibukannya yang sangat padat sebagai ulama dan dosen, ia selalu hadir ke sekolah untuk menerima rapor anak-anaknya. Beliau pun selalu memberikan uang kepada guru sebesar biaya sekolah anaknya. Subahanallah. 
Kini, semua anaknya sukses dalam pendidikan, tawadhu, dan dihormati oleh semua kawan. “Muliakanlah guru di depan anakmu agar anakmu memuliakanmu dan menghormati gurunya,” demikian pesan beliau. 
Saya sedih ketika seorang murid kelas 4 SD berani menuduh guru berbohong di depan orang tuanya. Apalagi, orang tua membela anaknya dan balik menyalahkan guru. Perlakuan buruk orang tua kepada guru, apalagi di depan anak, adalah kesalahan besar dalam proses pembelajaran. 
Ketiga, orang tua yang menikahkan. Mereka adalah orang tua pasangan hidup kita (mertua). Jika kedua orang tua melahirkan dan membesarkan penuh pengorbanan, guru mengajar dan mendewasakan penuh ketulusan, lalu mertua menikahkan putri kesayangannya dengan penuh pengharapan. 
Mereka menyerahkan putri yang sudah dilahirkan, dibesarkan, dan didewasakan untuk mendampingi perjalanan hidup kita. Mereka pun bersedia menjadi sandaran dalam membangun rumah tangga, di saat bumi tempat berpijak belum kokoh, hingga mencapai kemapanan. 
Tiadalah patut jika mereka yang menghadiahkan mutiara hidupnya mendapat perlakuan yang berbeda dengan kedua orang tua yang melahirkan. 
Menikahi anaknya itu berarti menyatukan dua orang tua sekaligus, yakni mereka yang melahirkan dan menikahkan. Perlakuan baik kepada mereka menjadi pembuka pintu rezeki. Itu pula anak yang pandai berbakti. Allahu a'lam bish-shawab.  


***) Hasan Basri Tanjung 

Kamis, 14 Juli 2016

DAHSYATNYA KEKUATAN HIDAYA

 Ikrimah bin Abu Jahal. Jika menyebutkan nasabnya, orang akan mengira jika ia adalah salah satu musuh Allah. Abu Jahal tak kurang perbuatan jahatnya dalam menghalangi Rasulullah SAW. Anak yang tumbuh dalam suasana kebencian terhadap Islam, bisa jadi terdampak dan memiliki kebencian yang sama. Itu yang terjadi pada sosok Ikrimah, pada mulanya.
Seperti halnya ayahnya, Ikrimah adalah penentang Islam ketika dakwah mulai merekah di Makkah. Cap musuh Allah disematkan kepadanya bersama sang ayah.Saat Fathul Makkah, semua kaum Quraisy Makkah menyerah tanpa syarat termasuk pemimpin mereka Abu Sufyan. 
Namun tidak begitu dengan Ikrimah. Jiwa pemberontakannya begitu tinggi. Meski ia sadar kalah jumlah, ia terus mengobarkan perlawanan terhadap kaum Muslimin. Ia menyerang kavaleri pasukan Rasulullah. Ikrimah terdesak dan akhirnya kabur hingga Yaman. Saat penduduk Makkah terbuka hatinya menerima Islam, Ikrimah justru masih berkutat dengan kegelapan.
Hidayah, memang hanya milik Allah SWT. Maka sungguh sejatinya tak pantas bagi kita mencap seseorang adalah musuh abadi dakwah. Kita, manusia yang amat lemah ini, tak paham bagaimana skenario perjalanan hidup seseorang. Dan Ikrimah membuktikannya. Cahaya Islam merasuk ke dadanya, saat ia justru berada dalam puncak permusuhan terhadap Islam.
Ikrimah membuktikan imannya tak sekadar kedok untuk menyelamatkan nyawa. Ia, yang tadinya amat bernafsu membunuh kaum Muslimin, kini menjadi sosok yang rela terbunuh demi tegaknya Islam. Pengorbanan nyawa adalah pengorbanan yang amat tinggi.
Sosok kepahlawanannya muncul saat perang Yarmuk. Saat semua usai, tergeletaklah tiga sahabat yang terluka. Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Ikrimah bin Abu Jahal. Ketiganya memerlukan air demi bertahan. Lalu seorang sahabat datang menawarkan air. 
Ikrimah yang hendak diberi minum melihat Ayyasy lebih membutuhkan. Ia pun memerintahkan agar Ayyasy diberi minum terlebih dahulu. Saat Ayyasy hendak diberi minum, ia melihat Harits lebih membutuhkan. Maka sang pembawa air bergerak memberi minum. Belum sempat memberi minum Harits, ketiganya syahid tanpa ada setetes air yang singgah ke tubuh mereka. 
Itulah itsar. Puncak tertinggi ukhuwah. Tidak ada basa-basi, yang ada hanya kejujuran. Sebuah kejujuran dalam pembuktian iman. Ikrimah, telah melesat dari seseorang yang berada dalam titik nadir, kini terbang mengangkasa menjemput janji bersama bidadari. Hanya iman yang jujur yang mampu menggerakkan pengorbanan setinggi itu. Dan bagi mereka yang diberikan hidayah, bukan tak mungkin Allah memberikan percepatan-percepatan iman. 
Kita seharusnya iri terhadap mereka yang diberikan hidayah oleh Allah SWT. Mungkin mereka menerima Islam belakangan. Mungkin saat ini mereka masih mengeja huruf hijaiyah demi azzam bisa membaca Alquran. Mungkin saat ini shalat mereka masih belum sempurna. Mungkin secara kasat mata, mereka orang yang butuh pertolongan. 
Namun bisa jadi, Allah hendak memuliakan mereka dengan pemahaman Islam yang amat sadar. Islam merasuk ke dalam dada mereka seiring dengan pemahaman yang kuat. Iman menancap di nurani mereka jauh lebih kokoh karena hasil dari sebuah pencarian panjang. Mungkin kita seharusnya pantas iri. Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorang pun dapat memberinya petunjuk. Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak seorang pun dapat menyesatkannya….” (QS az-Zumar [39]: 36-37).


***) Hafidz Muftisany

Rabu, 13 Juli 2016

DARI TANPA NIAT KE NIAT YG LUHU

 Masih banyak di antara kita melakukan perbuatan baik, termasuk menjalani rutinitasnya tanpa niat. Padahal, Nabi Muhammad Saw dalam hadis mutawatirnya selalu mengingatkan: Innamal a'mal bi al-niyat (sesungguhnya perbuatan [yang bernilai ibadah] ialah perbuatan yang disertai dengan niat [karena Allah]).
Hadis ini menafikkan nilai ibadah setiap amal dan perbuatan tanpa niat. Sekalipun yang dilakukan adalah ibadah khusus. Sebaliknya amal perbuatan duniawi yang baik dan dilakukan dengan niat ibadah, maka  akan bernilai ibadah di mata Tuhan. 
Ulama fikih menganggap sia-sia amal perbuatan tanpa niat. Karena itu, imam Syafi’ pendiri mazhab Syafi’ yang banyak dianut di Asia Tenggara dan Mesir mengharuskan adanya niat bagi setiap perbuatan jika dikehendaki sebagai ibadah. Kalangan ulama Kalam (teolog) menganggap niat sebagai faktor yang membedakan antara perbuatan manusia (human creations) dan perbuatan binatang (animal creations). 
Senada dengan pandangan ulama tasawuf seperti dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi di dalam Fushush al-Hikam-nya, perbuatan yang dilakukan dengan niat suci dan penuh penghayatan adalah perbuatan keilahian (al-af’al al-Haqqani/Divine Creations).
Niat adalah bentuk keterlibatan Tuhan mulai dari kehendak (masyi’ah), kemampuan (istitha’ah), sampai terjadinya perbuatan (kasab). Semakin terasa keterlibatan Tuhan di dalam sebuah perbuatan maka semakin kuat niat itu. Segala perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan niat, maka semakin berkah pula perbuatan itu. 
Pada hakikatnya niat adalah konsep matang dan penuh kesadaran dari dalam diri kita tentang suatu perbuatan yang kita akan lakukan. Dalam bahasa manajemen, niat dapat dihubungkan dengan programming atau perencanaan yang baik. Tanpa perencanaan sulit mengharapkan hasil yang baik.
Dalam ilmu manajemen modern, selalu dititik beratkan arti penting sebuah programming, karena sebuah pekerjaan tanpa perencanaan yang baik pasti tidak akan menjanjikan out-put dan out-come lebih baik. Niat adalah the first creation dan implementasinya adalah the second creation. 

***) Prof Dr KH Nasaruddin Umar

Senin, 11 Juli 2016

RASULULLAH PUN BERHENTI MENDOAKAN ORANG YG ENGGAN BERSYUKUR

Ishak bin Abdullah bin Abi Thalhah menceritakan, pada suatu hari datanglah seorang laki-laki ke hadapan Rasulullah SAW. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Rasul kepada orang itu. "Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah untukmu, wahai Nabi!" jawab orang itu. Mendengar jawaban tersebut, Rasul lalu mendoakannya.
Pada hari selanjutnya, orang tersebut kembali datang menemui Rasul. Seperti pada pertemuan pertama, Rasul pun menanyakan keadaannya. "Bagaimana keadaanmu?" "Baik," jawab orang tersebut pendek. Rasul hanya diam mendengar jawaban itu. Maka, dengan nada heran orang itu bertanya. "Ya Rasulullah, kemarin engkau menanyakan keadaanku, lalu engkau mendoakanku.
Hari ini engkau bertanya kepadaku, tetapi tidak mendoakanku. Mengapa demikian?". Rasulullah SAW menjawab, "Ketika aku bertanya kepadamu, engkau bersyukur kepada Allah. Sedangkan hari ini aku bertanya, tetapi engkau diam saja, tidak bersyukur kepada-Nya."
Kisah atau dialog yang dikutip dari buku Kitabusy-Syukur karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad tersebut, secara tersirat sedikitnya ada dua hal yang dapat kita ambil hikmah atau ibroh-nya. Pertama, kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah, minimal secara lisan. Yakni, mengucapkan hamdalah.
Kedua, jawaban pendek orang tersebut, ketika ditanya Rasulullah untuk kedua kalinya, menunjukkan ia lupa bahwa keadaan baik pada dirinya, yakni sehat dan masih diberi umur untuk menikmati hidup ini (kesempatan). Sehat dan kesempatan adalah dua nikmat yang sering dilupakan atau tidak disadari. Akibatnya, orang pun lupa mensyukurinya. Sebagaimana ditegaskan Nabi SAW, "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu olehnya, yakni kesehatan dan kesempatan" (HR. Bukhari).
Bahkan, nikmatnya sehat sering baru terasa oleh kita pada saat kita sakit. Misalnya, betapa nikmatnya bernafas sering baru terasakan betul-betul ketika kita terserang flu. Nikmatnya makan baru terasakan ketika kita dilanda sariawan. Nikmatnya berjalan normal baru terasa ketika kita sakit karena kaki keseleo. Dan seterusnya.
Kesempatan pun demikian. Nikmatnya waktu luang sering baru terasakan ketika kita kepepet atau sibuk. Dan kesempatan terbesar, yang merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri, adalah hidup atau masih belum dicabutnya nyawa kita oleh Allah. Syukurilah kesempatan itu dengan menjalani hidup sesuai ketentuan Allah, beribadah pada-Nya, selalu beristighfar, tobat, dan lain-lain, sebelum ajal menjemput. Sedang kita tahu, datangnya ajal dapat kapan dan di mana saja


***)ASM Romli))-Pusat Data Republika

Kamis, 07 Juli 2016

KURMA RASULULLAH UNTUK LELAKI YG “CELAKA

Sahabat Abu Hurairah pernah berkisah, ketika kami (para sahabat) sedang duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang lelaki dan mengadu kepadanya, "Duhai utusan Allah, aku telah celaka." "Apa yang membuatmu celaka?" tanya Rasulullah. "Aku telah menggauli istriku, dan aku sedang berpuasa (Ramadhan)," kata lelaki tadi mengadu.
"Apakah kamu punya budak untuk dibebaskan (sebagai kafarat)?" kata Rasulullah bertanya dengan tenang. "Tidak," jawab lelaki itu. Rasulullah bertanya lagi, "Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?" "Tidak," lelaki itu kembali menjawab. "Kalau memberi makan enam puluh orang miskin, bisa?" Lelaki itu tetap menjawab, "Tidak."
Rasulullah lalu bangkit, dan tidak lama kemudian, beliau datang kembali membawa keranjang besar berisi kurma. Rasulullah memberikan sekeranjang kurma itu kepada lelaki tadi dan berpesan, "Ambil dan bersedekahlah dengan kurma ini."
Tetapi, lelaki tadi protes, "Duhai utusan Allah... Memangnya di Madinah ini ada seseorang yang lebih berhak menerima sedekah dariku? Demi Allah, di antara bumi Madinah ini tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluargaku." Lalu, Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi taringnya. Rasulullah lalu berkata, "Berikanlah kurma ini kepada keluargamu." (HR Bukhari: 1834).
Sepanjang sejarah peradaban, bisa dipastikan tidak ada seorang manusia pun yang memiliki kasih sayang sesempurna Rasulullah SAW (al-Rahmah al-Syamilah). Kasih sayang Rasulullah terhadap manusia, terlebih umatnya, tidak hanya terbatas pada mereka yang taat saja, tetapi juga pada mereka yang sudah jelas melakukan perbuatan dosa.
Sebagai umat Rasulullah, kita malah sering kali berlaku sebaliknya terhadap saudara kita yang melakukan perbuatan dosa, alih-alih membimbingnya kembali kepada kebaikan dengan kasih sayang, kita sering kali malah mencaci maki dan bahkan melakukan perbuatan keji. Dan, kita juga kerap kali "merasa lebih suci" dari saudara-saudara kita yang melakukan perbuatan dosa.
Jangankan kepada saudara kita yang berbuat dosa, tak disadari kita juga berlaku keji dan jauh dari yang Rasulullah ajarkan kepada saudara sesama Muslim yang hanya berbeda pendapat dengan kita.
Bayangkan, Rasulullah SAW sama sekali tak menampakkan kekesalan, kemarahan, atau bahkan kebencian terhadap lelaki yang mengaku telah berbuat dosa di hadapannya. Rasulullah malah menyambutnya dengan penuh kasih sayang, dengan harapan lelaki itu tidak akan mengulangi perbuatan dosanya kembali.
Dakwah yang diajarkan Rasulullah kepada kita umatnya adalah dakwah dengan kasih sayang. Sudah seharusnya kita yang mengaku sebagai umat Rasulullah mengikuti semua ajaran Beliau SAW. Menebarkan kasih sayang kepada sekalian alam, bukan menebar kebencian. 


***) Em Farobi Afandi (( Pusat Data Republika

Rabu, 06 Juli 2016

LAPAR DAN TAKUT

Sudah menjadi suatu kewajaran bahwa manusia itu bisa merasa lapar lantaran perut kosong. Selain itu, menjadi kewajaran pula bahwa di dalam diri manusia itu terkandung sifat takut.
Lapar dan takut merupakan bawaan yang menjadi kekhasan makhluk hidup. Lapar akan hilang ketika kita telah mengisi perut kita dengan makanan. 
Lantas, dari mana makanan itu bisa kita dapat sehingga kita bisa memakannya dan terhindar dari kelaparan? Tentu saja kita harus berusaha untuk mendapatkannya.
Usaha untuk mendapat makanan adalah dengan bekerja yang produktif. Apapun bentuk pekerjaannya, jika pekerjaan itu menghasilkan maka kita akan membelanjakan hasil kerja tersebut untuk mendapatkan makanan. 
Sementara itu, bagaimana jika kita takut? Takut adalah pekerjaan hati. Ia tidak terlihat secara kasat mata tetapi bisa dirasakan begitu ia datang menghampiri kita. Entah ketakutan tersebut ditujukan kepada apa atau siapa, yang pasti ketakutan itu benar-benar membuat kita tidak nyaman. 
Oleh karenanya, kita hendaknya mengelola takut tersebut hanya ditujukan kepada Allah SWT. Takut kepada Allah SWT juga harus dibumbui dengan cinta kepada-Nya. Allah SWT memberikan kita tuntunan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan kita dari ketakutan. 
Tuntunan tersebut termaktub dalam firman-Nya, surah Quraisy ayat 1 sampai 4, "Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." 
Dalam surah Quraisy tersebut Allah mengisahkan kebiasaan orang-orang Quraisy. Mereka senantiasa bepergian di musim dingin dan panas.
Mereka bepergian bukan tanpa maksud, melainkan karena berniaga. Dari hasil perniagaan tersebut, mereka memperoleh rezeki. Mereka berniaga ke Syam pada musim panas dan ke Yaman pada musim dingin.
Dari hal ini, kita bisa merenungkan bahwa mereka bekerja (berniaga atau bernisnis) dengan gigih meskipun musim senantiasa berganti. Mereka justru membaca alam (musim) untuk kelancaran perniagaan yang mereka lakukan.
Walhasil, mereka mendapatkan banyak rezeki dari perniagan tersebut. Rezeki itu pun menghilangkan mereka dari rasa lapar. 
Dalam bepergian untuk berniaga tersebut, mereka mendapatkan jaminan rasa aman dari penguasa Syam dan Yaman. Mereka mendapatkan kenikmatan berupa rasa aman.
Dalam arti lain, mereka tidak usah takut akan keselamatan mereka di perjalanan ketika berniaga. Karena rasa aman tersebut, Allah pun menganjurkan kepada mereka agar senantiasa menyembah-Nya. 
Karena hanya Allah SWT sajalah mereka mendapatkan kenikmatan tersebut. Dengan begitu, menyembah Allah SWT adalah bentuk dari rasa syukur atas nikmat yang mereka peroleh. Dari surah Quraisy tersebut, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa kita bisa meniru orang-orang Quraisy. 
Mereka senantiasa giat dalam bekerja meskipun musim terus berganti. Hendaknya kita juga giat bekerja untuk mencari rezeki sehingga kita tidak kelaparan. Namun demikian, kita juga tidak boleh melalaikan Allah SWT, Dzat yang telah memberikan berbagai kenikmatan. 
Itulah yang bisa membuat kita merasa aman ketika kita takut. Seyogianya, mengingat Allah SWT dengan bertauhid adalah sumber dari keberanian dan penghilang rasa takut akan kehidupan dunia ini.
Surah Quraisy telah memberikan pelajaran untuk menghindari lapar dan mengamankan diri dari ketakutan. Semoga kita bisa mengamalkan semangat Quraisy ini. Wallahu a’lam. 


 ***) Supriyadi 

Senin, 04 Juli 2016

HAKIKAT ZUHUD RASULLAH

 "Melakukan zuhud dalam kehidupan dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah. Dan hendaknya engkau bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu." (HR. Ahmad). 
Menurut Imam Ali ra, zuhud adalah amal yang lebih utama setelah mengenal Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda, "Zuhudlah kamu di dunia, niscaya Allah mencintaimu." 
Zuhud terhadap dunia bukan berarti terlarang memiliki harta dunia dan kekayaan lainnya. Zuhud berarti lebih yakin dengan yang ada di tangan Allah daripada yang ada di tangan makhluk. Bagi orang zuhud, ketentraman tidak ditentukan banyaknya harta. Baginya, ketentraman adalah keyakinan akan janji dan jaminan Allah. Allah Mahatahu akan segala kebutuhan makhluk-Nya. 
Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW Dia menceritakan keadaan suaminya, yang jika malam hari ia tidak pernah tidur karena ingin beribadah. Hampir tiap hari dia juga selalu shaum. Rasul SAW kemudian memanggil sang suami dan mengklarifikasi hal itu. Sang suami menjawab: "Ya Rasulullah saya melakukan semua itu karena merasa bahwa ibadah saya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan ibadahmu". 
Rasulullah SAW menimpali perkataan laki-laki itu, "Ketahuilah, bahwa saya ini adalah orang yang paling takwa di antara kamu sekalian. Tapi di malam hari, saya ada waktu untuk tidur dan ada pula untuk ibadah. Di siang hari, saya ada waktu buka dan ada waktu shaum". Dari Hadis di atas, kita lihat bahwa zuhud tidak berarti meninggalkan dunia sama sekali. Dunia tetap dicari, tapi tidak sampai terbuai olehnya. Seorang sufi mengatakan, orang zuhud adalah orang yang menyikapi dunia hanya sebatas tangannya saja. Maka dari itu, dia akan lebih berhati-hati, cermat dan tidak sampai diperbudak oleh dunia. 


***)Pusat Data Republika

Minggu, 03 Juli 2016

WANITA PENGHUNI SURG

 Menurut Atha Ibnu Rabbah, Ibnu Abbas bertanya kepadanya. “Maukah aku tunjukkan kepadamu seorang wanita penghuni surga?”Atha menjawab, “Ya. Saya mau.” Ibnu Abbas menjelaskan, “Dia adalah wanita kulit hitam yang datang kepada Nabi SAW dan berkata, 'Wahai Nabi. Saya menderita penyakit ayan/epilepsi dan (kala penyakit saya kambuh) auratku tersingkap. Berdoalah untuk saya agar Allah menyembuhkan penyakit saya'. 
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika engkau mau, bersabarlah dan bagimu surga. Tetapi jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah menyembuhkanmu”. Luar biasa. Wanita kulit hitam itu rupanya memilih bersabar. “Saya memilih bersabar, wahai Nabi." Kemudian dia melanjutkan kata-katanya, “Kala penyakit ayan/epilepsi menimpa saya, aurat saya tersingkap. Berdoalah kepada Allah untuk saya agar aurat saya tidak tersingkap. Nabi SAW kemudian mendoakannya.” (HR Bukhari dan Muslim). 
Kisah ini dapat kita ambil hikmahnya. Pertama, wanita penghuni surga tidak ditentukan oleh warna kulitnya. Kedua, wanita penghuni surga tidak ditentukan oleh kemulusan dan/atau keindahan kulitnya. Lalu, dengan apanya? Berdasar pada kisah ini wanita dapat masuk surga hanya karena dua hal.
Pertama, menerima takdir Allah dengan ikhlas. Tak masalah bila warna kulitnya hitam. Tak masalah pula bila kulitnya kurang mulus/indah. Maka wanita tak perlu sibuk memikirkan penampilan fisiknya. Kedua, menerima takdir Allah dengan sabar. Tak masalah bila suatu ketika fisiknya sakit. Bersabarlah karena Allah Maha Penyembuh.
Istri-istri Nabi SAW semuanya menjadi penghuni surga. Mereka adalah Khadijah binti Khuwailid RA, Saudah binti Zumah RA, Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq RA, Hafshah binti Umar bin Khaththab RA, Zainab binti Khuzaimah RA, Hindun binti Abi Umayyah RA (Ummu Salamah), Zainab binti Jahsy RA, Juwairiyah binti al-Harits RA, Shafiyah binti Huyaiy RA, Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan RA, dan Maimunah binti al-Harits RA. 
Istri-istri Nabi SAW menjadi penghuni surga lantaran memiliki keutamaan. Tak masalah bila Anda ingin mencari tahu keutamaan mereka. Tetapi yang jelas mereka memiliki keutamaan dalam hal keimanan, ketakwaan, dan akhlak. 
Bila demikian, wanita selain istri-istri Nabi SAW pun memiliki peluang menjadi penghuni surga sepanjang memiliki keutamaan dalam hal keimanan, ketakwaan, dan akhlak. Maka, peliharalah keimanan, ketakwaan, dan akhlak Anda masing-masing. 
Dalam salah satu sabda Nabi SAW disebutkan wanita lebih “mudah” menjadi penghuni surga dibandingkan pria. Beliau bersabda, “Apabila wanita (istri) telah menunaikan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara harga dirinya, dan menaati perintah suaminya, maka di akhirat dipersilakan masuk surga dari pintu mana (saja) yang dia suka (sesuai pilihannya)” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Thabrani). Bayangkan, hanya dengan memihara empat perkara tersebut wanita berhak menjadi penghuni surga.  

***) Mahmud Yunus 

TAK BERLEBIHAN DALAM BERAGAMA

Anas ra berkisah, ada tiga orang datang menemui istri-istri Rasulullah untuk menanyakan ibadah baginda nabi. Saat diberitahu mengenai ibadah Rasulullah, mereka merasa sangat  kecil. Rasulullah SAW yang sudah dijamin mendapat ampunan dan surga Allah SWT ternyata melaksanakan ibadah 'berat'. Sungguh terasa sangat jauh dibanding dengan mereka.
Orang pertama pun bertekad dan menyatakan akan shalat malam terus menerus. Orang Kedua akan puasa sepanjang tahun tanpa henti. Orang ketiga akan menjauhi perempuan dan tak akan menikah selamanya.  
Ketika mendengar niat ketiga orang itu, Nabi bersabda, “Benarkah kalian yang mengatakan akan shalat malam terus menerus, akan berpuasa setiap hari, dan tidak akan menikah selama hidup? Bukankah, demi Allah, aku orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, namun demikian aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga tidak berpuasa, dan aku menikahi wanita? Barangsiapa tidak menyukai sunahku maka ia bukan golonganku.” (HR Bukhori dan Muslim).  
Sebagaimana sabda Nabi di atas, kita tidak dibenarkan untuk melaksanakan agama dengan cara yang berlebih-lebihan. Untuk mengukur kadar ibadah yang pas, tentu tidak mudah. Oleh karenanya, di samping memiliki tolok ukur ibadah Nabi, juga harus melihat para sahabat serta sikap toleransi Nabi terhadap apa yang diamalkan para pengikutnya.
Pada waktu berbeda, masih dikisahkan Anas bin Malik, Rasulullah SAW menerangkan tentang laki-laki calon penghuni surga. “Sebentar lagi akan muncul dihadapan kalian salah seorang ahli surga." Ketika diketahui orangnya, seorang sahabat Abdullah bin Amr meneliti dengan bertamu bermalam di rumahnya.
Setelah diamati ternyata ibadah orang itu biasa-biasa saja, bahkan si peneliti sendiri merasa ibadah dia jauh lebih baik. Setelah berdialog dan didalami maka diketahuilah bahwa kelebihannya adalah “tidak pernah berlaku curang” dan “tidak iri” atas kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain. Jadi, kekuatannya ternyata ada pada mental and moral attitude.
Dalam Alquran disebutkan, orang yang berlebih-lebihan dalam beragama dikaitkan dengan doa dan pendekatan diri kepada Allah. Ketika menderita, dia intensif berdoa, tapi saat lapang dia menyimpang.
“Dan, apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Tetapi, setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan.” (QS Yunus 12).

M Rizal Fadilah  Pusat Data Republika

Rabu, 29 Juni 2016

BEKAL JELANG RAMADHAN

Ramadhan akan kembali hadir di tengah-tengah kaum Muslim. Sebagai orang beriman sudah sepatutnya kita berbahagia menyambut kehadiran Ramadhan dengan penuh kegembiraan.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ketika bulan Ramadhan datang, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa, dibuka lebar pintu surga, ditutup rapat pintu neraka, dan dibelenggu tangan setan. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, barang siapa yang terhalang untuk mendapatkan kebaikannya maka sungguh ia terhalang dari kebaikan bulan puasa." (HR Ahmad).
Hadis di atas memberikan penjelasan sekaligus kabar gembira tentang keistimewaan bulan Ramadhan. Sehingga mendorong kita untuk menyambut kehadiran bulan suci Ramadhan dengan penuh kebahagiaan. Namun,di tengah kebahagiaan itu, kita perlu melakukan persiapan sebagai bekal menghadapi Ramadhan dengan berbagai amalan saleh. 
Pertama, banyak berdoa. Tidak ada seorang pun yang dapat menjamin usia kita sampai bulan Ramadhan, untuk itu teruslah berdoalah kepada-Nya. "Allahumma bariklana fii rajaba wa sya'ban, wa balighna ramadhan" (Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan). 
Kedua, puasa sunah di bulan Sya'ban. Dikisahkan oleh Aisyah RA, "Rasulullah banyak berpuasa (pada Sya'ban) sehingga kita mengatakan, 'Beliau tidak pernah berbuka dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat Rasulullah banyak berpuasa (di luar Ramadhan) melebihi Sya'ban'." (Muttafaq 'alaih).
    Ketiga, tadarus Alquran. Dengan memperbanyak tadarus Alquran di bulan Sya'ban, dapat mengantarkan kepada kebersihan jiwa, sehingga saat memasuki Ramadhan jiwa dalam keadaan bersih dan pada akhirnya mengantarkan kepada keikhlasan dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Keempat, menelaah buku-buku terkait ibadah puasa. Hal ini dilakukan untuk pemantapan dan penyempurnaan ibadah di bulan Ramadhan. Sebab, ibadah yang tidak disertai ilmu (pemahaman) hanya akan merusak kesempurnaan ibadah itu sendiri. 
Hasan al-Basri mengatakan, beramal tanpa ilmu hanya membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan kebaikan. Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh, tapi jangan sampai meninggalkan ibadah. Gemarlah pula beribadah, tapi jangan sampai meninggalkan ilmu. Karena ada segolongan orang yang rajin ibadah, tapi meninggalkan belajar (lihat dalam Miftah Daris Sa'adah karya Ibnul Qayyim).
Kelima, silaturahim kepada keluarga, tetangga, teman, terutama kepada kedua orangtua untuk saling memaafkan dan mendoakan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghadirkan suasana kebersamaan dan saling memotivasi, guna memaksimalkan ibadah Ramadhan.
Semoga Allah membimbing kita agar dapat menjalankan ibadah Ramadhan dengan penuh keimanan dan ihtisaban, terampuni dosa-dosa kita dan meraih derajat takwa. Amin.


***) Imam Nur Suharno

Senin, 27 Juni 2016

RIDHA ALLAH

Di atas segala ikhtiar optimal dan sikap tawakal menyerahkan hasil kepada-Nya, ketahuilah, ada izin dan ridha Allah di dalamnya. Izin dan ridha Allah itu bisa diraih melalui cara-cara yang sesuai dengan ridha-Nya, yang telah disyariatkan, bukan cara yang bathil. 
Dari Umar bin Khattab RA berkata, Nabi SAW bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang,” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim). 
Itulah jaminan Allah SWT kepada seluruh makhluk. Tugas kita adalah berusaha maksimal dan bertawakal. Tentu saja, jika kita berhasil mencapai salah satu tahapan dalam tujuan kehidupan, bukan berarti itulah akhir atau puncaknya. Mesti diingat akan ada tahapan berikutnya yang harus dilalui. 
Ketercapaian suatu rencana dan keinginan, bukanlah satu tujuan, tapi merupakan ujian. Boleh jadi, di situlah ujian sesungguhnya. Kita harus mampu mensyukuri, menjalani, dan memenuhi sejumlah harapan yang menyertai keberhasilan itu dengan niat untuk meraih keridhaan-Nya. 
Allah SWT berfirman, “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya,” (Al-Baqarah: 207). Tak ada puncak kenikmatan hidup selain mendapatkan ridha-Nya. 
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah berfirman kepada penghuni surga: Hai penghuni surga! Mereka menjawab: Kami penuhi seruan-Mu wahai Tuhan kami, dan segala kebaikan ada di sisi-Mu. Allah melanjutkan: Apakah kalian sudah merasa puas? Mereka menjawab: Kami telah merasa puas wahai Tuhan kami, karena Engkau telah memberikan kami sesuatu yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu. Allah bertanya lagi: Maukah kalian Aku berikan yang lebih baik lagi dari itu? Mereka menjawab: Wahai Tuhan kami, apa yang lebih baik dari itu? Allah menjawab: Akan Aku limpahkan keridaan-Ku atas kalian sehingga setelah itu Aku tidak akan murka kepada kalian untuk selamanya,'' (HR Muslim). 
Dengan demikian, jangan sempitkan satu momen keberhasilan dengan sekadar perayan apalagi penuh hura-hura. Jadikan momen keberhasilan itu sebagai alat introspeksi, melakukan pengukuran ke dalam diri terkait dengan potensi dan kemampuan yang mungkin dilakukan untuk memenuhi harapan dan tujuan. 
Harapan di sini artinya harapan umum, bukan harapan pribadi atau golongan. Sebagai contoh, jika Anda lulus sekolah atau kuliah sebagai sebuah momentum keberhasilan, maka lakukanlah pengukuran ke dalam diri Anda tentang kemampuan yang sepadan dengan kelulusan itu sendiri. 
Di situlah makna syukur dari sebuah momentum keberhasilan, di mana bukan capaian pada tahap keberhasilan itu, tetapi lihatlah proses sebelumnya dan apa yang akan dilakukan setelah momen itu diraih. 
Dengan demikian, tak ada kata berhenti untuk belajar, berusaha dan bekerja secara terus menerus. Mereka yang pandai bersyukur pasti akan berikhtiar maksimal untuk bekerja keras, cerdas, tuntas, dan ikhlas dalam proses pasca perayaan keberhasilan. 
Tidak akan ada capaian yang hilang, karena setiap capaian akan dipandang sebagai langkah awal baru bagi capaian berikutnya. Dengan demikian, bila kita merasa berhasil pada satu tahap tahapan kehidupan, seyogyanya segera menyiapkan diri untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang muncul dari capaian tersebut dan berusaha meningkatkan kemanfaatan bagi yang lainnya. Wallahu ’alam.


***) Iu Rusliana 

Sabtu, 25 Juni 2016

MUNAJAT PAGI

Pagi merupakan awal aktivitas kita. Kesegaran udara pagi, tidak saja baik untuk badan, tetapi juga sangat baik untuk ruhani kita. Pagi menjadi waktu yang utama bagi setiap Muslim untuk berzikir dan bermunajat kepada Allah SWT. 
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah menyebutkan bahwa zikir siang (an-nahar) yang paling utama adalah di waktu pagi usai Subuh. Bahkan, di antara doa dan zikir Nabi Muhammad SAW yang paling banyak adalah berzikir di waktu pagi, selain juga waktu sore. 
Ini menunjukkan bahwa pagi merupakan waktu yang baik untuk mengawali hari dengan bermunajat kepada Allah SWT. Sebab, doa akan berpengaruh terhadap perilaku kita. Di antara doa yang dimunajatkan Nabi Muhammad SAW di waktu pagi adalah doa yang diriwayatkan Ummu Salamah. 
Ia meriwayatkan bahwa tatkala pagi, Rasulullah SAW berdoa:Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqobbalan (Ya Allah, sungguh aku mohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima). (HR Ibnu Majah). 
Doa yang dimunajatkan Nabi Muhammad SAW di atas berisi tiga permohonan yang sangat penting digapai oleh setiap Muslim. Pertama, ilmu yang bermanfaat (‘ilman nafi’an). Siapapun kita, terutama yang sedang menuntut ilmu, tentu sangat menginginkan kemanfaatan ilmunya. 
Ilmu yang bermanfaat tidak sekadar ilmu yang banyak, tetapi lebih dari itu, pengetahuan yang diperoleh dapat memberikan kemanfaatan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan agamanya.
Kemanfaatan ilmu itu dapat diukur seberapa besar kebaikan ilmu dapat dirasakan oleh diri dan orang lain. Bukan ilmu yang merusak dan menyengsarakan umat, apapun dalih dan profesinya. 
Kedua, rezeki yang baik (rizqan thayyiban). Hampir setiap kita, di saat pagi tiba, diawali untuk mencari rezeki. Dan, ajaran Nabi SAW adalah bagaimana kita mencari rezeki yang baik.
Tentu saja, rezeki yang baik adalah yang diambil melalui cara dan proses yang benar dan dibelanjakan dengan jalan yang benar pula. Cara-cara haram, seperti korupsi, hanya akan menjauhkan diri kita dari keberkahan rezeki dan kebaikan nikmat.
Ketiga, amal perbuatan yang diterima oleh Allah SWT (‘amalan maqbulan). Menurut ulama, kriteria aktivitas amal kita dapat diterima oleh Allah adalah amal perbuatan itu benar (ash-shawab) dan dilandasi dengan keikhlasan (al-ikhlash). 
Jika kita menginginkan amal baik diterima oleh Allah SWT, maka kita harus mendasarkan amal kita dengan parameter kebenaran dan keikhlasan. Semoga hari kita senantiasa dinaungi ilmu, rezeki, dan amal yang baik sebagaimana yang dimunajatkan Nabi SAW di waktu pagi.  

***) Ahmad Munir 

Jumat, 24 Juni 2016

MANAKAH YG LEBIH UTAMA? AHLI ILMU ATAU AHLI IBADAH

Diriwayatkan dari Abu Umamah, ia berkata: Disebutkan kepada Rasulullah SAW tentang dua orang, yaitu seorang ahli ibadah dan seorang ahli ilmu.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian." Setelah itu beliau melanjutkan, "Sesungguhnya Allah, para malaikat, para penduduk langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya, dan para ikan mendoakan pengajar kebaikan pada manusia." (HR At-Turmidzi).
Dalam redaksi lain Al Bazzar meriwayatkan hadis ini dari 'Aisyah ra bahwa: "Para pengajar kebaikan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai oleh para ikan di lautan."
Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Alquran yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Hadis ini adalah salah satu bagian kecil dari kaidah Islam, yang memperlihatkan penghargaan yang tinggi pada ilmu dan orang-orang yang memilikinya.
Ibadah adalah sebuah kemuliaan, tapi jauh lebih mulia ilmu dan orang-orang yang memilikinya. Demikian utama orang berilmu di atas ahli ibadah, hingga Rasul dalam hadis di atas mengumpamakan kemuliaan dirinya dengan orang yang paling rendah di antara para sahabatnya. Perumpamaan ini analog dengan perumpamaan "bagaikan langit dan bumi" karena sangat jauhnya.


Sumber : Pusat Data Republika

Selasa, 21 Juni 2016

HIKMAH DARI AHLUL JANNAH

Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh aku mengetahui penghuni neraka yang terakhir kali keluar dari neraka dan penghuni surga yang terakhir masuk surga yaitu seseorang yang keluar dari neraka dengan cara merayap, maka Allah Swt berfirman, “Pergilah kamu dari neraka dan masuklah ke dalam surga!” maka orang tersebut mendatangi surga dan melihat kondisi yang teramat sesak di dalam surga (karena dipenuhi penghuninya). Orang itu kembali kepada Allah dan bberkata, “Wahai Rabb, kutemukan surga telah penuh sesak,” maka Allah Swt berfirman, “Pergi dan masuklah ke surga!” maka ia kembali ke surga dan kembali melihat pemandangan yang sama (surga telah penuh sesak).
Lalu ia kembali kepada Allah dan berkata, “Wahai Rabb, aku telah kembali ke surga, namun kutemukan bahwa surga telah penuh, ya Rabb,” maka Allah Swt berfirman, “Pergi dan masuklah ke surga dan bagimulah surga seluas dunia bahkan sepuluh kali lipatnya,” hamba tadi lantas mengatakan, “Rabb, apakah Engkau menghinaku ataukah mengejekku sedang Engkau adalah Maharaja?” maka, kulihat Rasulullah Saw tertawa hingga gigi gerahamnya kelihatan seraya bersabda, “Itulah penghuni surga yang tingkatannya paling rendah,” (HR Bukhari dan Muslim)
Sungguh menarik jika kita mau mengambil hikmah dari kisah penghuni neraka—yang akhirnya diizinkan Allah keluar dari naar dan terakhir diizinkan masuk ke surga-Nya. Menariknya adalah betapa sebenarnya hamba ini mengakui bahwa dirinya mungkin belum layak (menyadari dosa-dosa dan kesalahannya selama di dunia) hingga akhirnya dengan rahmat Allah-lah ia bisa keluar dari panasnya api neraka dan dahsyatnya siksaan para malaikat penyiksa.
Namun saat ia berbahagia karena berhasil keluar dari neraka, ia dapati surga sudahoverload baginya—ia merasa surga tak mampu lagi menampung penghuni baru sepertinya. Satu hal yang lebih menariknya lagi, Rasulullah Saw pun saat menceritakan hadits ini kepada Ibn Mas’ud tak kuasa menahan hasrat ingin tertawa karena hamba ini mengira bahwa Allah telah menghina ataupun mengejeknya dengan memberikan balasan yang subhaanallah mulia berupa surga yang luas dan ni’matnya sepuluh kali dunia, sedangkan amalnya di dunia tidaklah seberapa.
Dr Mahmud Abdurrazak ar-Rridwani  dalam Ad-Du’au bil Asma-il Husna, mengungkapkan bahwa hadits di atas memberikan faedah bahwa kenikmatan yang paling rendah bagi ahli surga sebanding dengan sepuluh kali keni’matan yang ada di dunia.
Betapa baik dan maharaja-Nya Allah hingga Dia selalu ingin memberikan balasan yang terbaik untuk para hamba-Nya kendati kita menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa amalan apapun takkan pernah sanggup membayar kebaikan-kebaikan Allah apalagi membeli surga-Nya. Dengan sifat rahman dan rahim-Nya-lah Dia tempatkan para hamba-Nya di tempat yang telah Dia tentukan; entah itu surga maupun neraka.
Tentu saja, selain memasuki surga merupakan kehendak mutlak Allah, kita tetap diwajibkan untuk beribadah dan memohon kepada-Nya. Seperti dalam surah Ali Imran ayat 133 Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu, dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (QS. Ali Imran: 133)
Atau dalam surah lain, “Berlomba-lombalah kamu sekalian untuk mendapatkan ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya,” (QS. Al-Hadiid : 21)
Dengan demikian, kendati surga adalah hadiah khusus tanda cinta-Nya untuk para hambanya yang bertaqwa, kita juga dianjurkan untuk berusaha dan berlomba-lomba mendapatkannya. Dengan apa? dengan amal shalih yang tulus ikhlas mengharap keridhaan-Nya. Allahu a’lam


***)Ina Salma Febriany

Jumat, 17 Juni 2016

MENJADI IHSAN

 Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW mendapat pelajaran penting tentang makna iman, Islam, dan ikhsan dari Malaikat Jibril yang mendatangi beliau dengan menjelma menjadi manusia biasa.
Secara berurutan, Nabi menjawab pertanyaan ujian Malaikat Jibril. Apa yang disebut iman? Nabi menjawab, ''Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, percaya akan adanya perjumpaan dengan Allah, percaya kepada para rasul, dan percaya adanya hari kebangkitan.'' Apa yang disebut Islam? Nabi menjawab, ''Islam adalah engkau menghamba kepada Allah dan tidak menyekutukannya, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan puasa di bulan Ramadhan.''
Apa arti ihsan? ''Engkau beribadah kepada Allah dengan kondisi seolah-olah engkau melihatnya dengan mata. Jika tidak, yakinilah bahwa Allah sedang melihatmu,'' demikian jawab Nabi. (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Iman, Islam, dan ihsan adalah satu kesatuan komponen agama Islam yang tak terpisahkan. Ketiga komponen tersebut seharusnya terintegrasi secara berimbang dalam keberislaman seorang Muslim. Dan pengurutan seperti itu bukanlah kebetulan. Iman didahulukan karena ia adalah pokok dari Islam. 
Selanjutnya, iman di dalam hati menjadi tidak bermakna jika tidak dimanifestasikan dalam tindakan nyata, yang diimplementasikan dalam Islam. Agama Islam pada diri seorang Muslim harus dibenarkan dengan hati (iman) dan dipraktikkan dengan perbuatan (Islam).
ihsan adalah penyatuan dari iman dan Islam. Artinya, seseorang tidak akan bisa melihat Allah SWT, jika tidak percaya akan Mahawujud-Nya, serta tidak mengamalkan apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya. Ihsan bisa diraih jika iman dan Islam telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dalam diri seorang Muslim. Sebab, iman tidak bermakna tanpa Islam. Dan Islam tanpa iman akan rapuh.
Namun, ada sebagian ulama yang mendahulukan Islam, kemudian iman, dan ihsan. Alasannya adalah karena Islam adalah amalan lahir yang rasional, sedangkan iman adalah amalan batin yang suprarasional. Dan ikhsan adalah puncak pencapaian dari keduanya dan melampaui keduanya.
Kenapa ihsan diakhirkan? Hal itu menjadi isyarat bahwa ia adalah hal yang sulit dilakukan. Jika Islam terbatas pada lahiriah, iman terbatas pada batiniah, maka ikhsan tidak terbatas pada keduanya, karena berusaha memfokuskan kesadaran kita akan Allah SWT setiap saat. 


**) Juman Romarif--Pusat Data Republika

Kamis, 16 Juni 2016

ENERGI CINTA BERBAGI

Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92) 
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seseorang tidak disebut mukmin selama belum mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah). 
Ayat dan hadis tersebut menunjukkan urgensi energi cinta berbagi sebagai spirit kebajikan dan keluhuran akhlak. Energi cinta berbagi dalam diri manusia perlu dididik dan diaktualisasikan dalam bentuk kedermawanan sosial.
Etos filantropi untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama memang harus dilandasi rasa cinta. Karena cinta menyemangati dan menggerakkan manusia untuk mewujudkan cita-cita mulia. 
Kedermawanan sosial berbasis cinta (filantropi) merupakan akhlak mulia, karena etos cinta berbagi dan berderma dalam Islam intinya adalah memberi dan memberi (give more and more) rezeki Allah yang dikaruniakan kepada kita dengan semangat menyayangi dan memberdayakan sesama. Ingatlah bahwa “Tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (peminta).” (HR Muslim). 
Jadi, esensi cinta sejati, dalam segala hal, mulai dari cinta anak dan istri, cinta berbagi kepada sesama hingga cinta Ilahi, adalah memberi dan mendedikasikan diri. Pendidikan cinta berbagi telah dipelopori dan diteladankan Nabi Muhammad SAW dan istri beliau tercinta, Khadijah RA. 
Sedemikian cintanya kepada Islam, Khadijah RA mendermakan hampir seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah dan kejayaan Islam. Para sahabat juga selalu dididik oleh Nabi SAW untuk gemar berderma dengan menyisihkan sebagian rezeki sebagai bukti cinta terhadap Islam, sekaligus sebagai sikap peduli terhadap sesama. 
Sejarah membuktikan, tradisi tersebut menjadi solusi jitu dalam mengatasi masalah umat, terutama kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Pendidikan cinta berbagi termasuk ajaran Islam yang paling dini diperkenalkan Nabi Muhammad SAW setelah pendidikan iman. 
Pendidikan ini ditanamkan Nabi SAW dengan menjauhkan diri dari sikap pamrih, sebab pamrih hanya akan menghilangkan nilai sedekah sekaligus menyuburkan penyakit riya’. Oleh karena itu, pada masa awal kerasulannya, Allah SWT dengan tegas menyatakan, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir [74]: 6). 
Larangan ini juga sekaligus mendidik Nabi SAW dan para sahabatnya untuk mandiri dalam membangun sistem ekonomi umat yang solid, kuat,dan menyejahterakan semua, sehingga tidak tergantung pada sistem ekonomi kapitalistik dan individualistik ala kafir Quraisy Makkah. 
Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, krisis sembako, dan sebagainya. 
Zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial dapat terwujud dengan sangat indah. “Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-Taghabun [64]: 16). 
Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan, kemunduran, dan kebodohan. Gagasan pendirian Baitul Mal oleh Umar bin al-Khattab merupakan upaya institusionalisasi filantropi dengan menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan kekayaan dari, oleh, dan untuk kemaslahatan umat.
Baitul Hikmah dan Universitas al-Azhar di Mesir, misalnya, didirikan, dikembangkan, dan dibesarkan oleh donasi filantropi sebagai manifestasi pendidikan cinta berbagi.
Umat Islam sesungguhnya tidak akan pernah miskin jika energi cinta berbagi dalam rangka aktualisasi kedermawanan sosial umat dapat diidentifikasi, didata, dikelola, dikembangkan, dioptimalkan, dan dimanfaatkan dengan penuh amanah dan manajemen modern. 

***) Muhbib Abdul Wahab 

Rabu, 15 Juni 2016

BERIMAN DI TEPIAN

''Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan), jika ia memperoleh kebajikan tetaplah ia dalam keadaan itu (keimanan) dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berbaliklah ia kebelakang (menjadi kafir lagi). Rugilah ia di dunia dan di akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.'' (QS Al-Hajj [22]:11).
 Ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang menggunakan syarat dalam menyembah Allah SWT. Ia mau beribadah kalau semua keinginannya terpenuhi. Ia menjadikan agama sebagai sarana untuk memuaskan nafsunya. Ia menjadikan Allah SWT seperti lampu Aladin yang harus mengabulkan semua keinginannya.
Jika keinginannya tidak terpenuhi dan jika ia ditimpa berbagai musibah serta kesusahan dalam menjalani hidup, maka ia kembali menjadi orang kafir. Orang seperti ini, menurut Al-Qurtubi dan Ibn Al-Katsir, adalah orang-orang munafik yang sangat merugi di dunia dan di akhirat, dan merekalah golongan orang-orang munafik yang akan berada di neraka yang paling bawah, ''Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.'' (QS An-Nisa [4]: 145).
Begitu juga dalam bermuamalah atau interaksi sosial, ia mau menegakkan kebenaran dan berlaku adil jika kebenaran dan keadilan itu menguntungkan dirinya. Ia mau membantu dan peduli terhadap sesama jika hal itu bisa membuat dirinya populer. Namun, jika tidak maka ia berdiam diri dan pura-pura tidak tahu akan musibah dan problem orang lain.
Rasulullah SAW menegaskan kerugian orang-orang seperti itu dengan sabdanya, ''Sangatlah merugi budak harta dan budak baju beludru (baju yang sangat bagus), jika ia diberikan harta dan baju beludru maka ia ridha dan jika tidak maka ia marah.'' (HR Al-Bukhari).
Penyebutan harta dan baju beludru dalam hadis di atas hanyalah contoh semata. Namun, dalam pengertiannya yang luas mencakup semua hal yang sifatnya bisa memuaskan dan membahagiakan.
Semoga kita tidak menjadi budak hawa nafsu seperti orang-orang di atas. Semoga pasca-Ramadhan ini kita menjadi insan yang 'kembali', yang menapaki hidup di rel-Nya. ''Wahai Tuhanku tolonglah aku agar selalu mengingat-Mu, selalu bersyukur kepada-Mu dan selalu bagus dalam beribadah kepada-Mu.'' (HR Abu Dawud).


**) Asep Sulhadi--Pusat Data Republika