Sabtu, 31 Januari 2015

SIAPA MUSLIM PALING DERMAWAN ?

 SIAPA  MUSLIM  PALING  DERMAWAN ?

Manusia memiliki naluri untuk mencintai harta dan kehidupan duniawi. Kecintaan itu sesuatu yang wajar, tetapi apabila berlebihan, kecintaan itu akan membuat serakah dan tamak, kikir, serta melampaui batas. Serta, melupakan tugas utama kehidupan, menjadi hambanya yang beriman dan bertakwa.
Harta yang diperoleh selama hidup merupakan rezeki yang diberikan Allah SWT untuk bekal beribadah, digunakan untuk kepentingan kehidupan di dunia dan terutama  digunakan untuk mempersiapkan kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Harta yang  disedekahkan atau diwakafkan akan menjadi harta abadi, bermanfaat bagi yang beramal, bahkan kepada keluarganya.
Kaum Muslimin diberikan tuntunan agar selalu menyisihkan sebagian rezeki untuk berinfak, bersedekah, berwakaf, dan berzakat, serta menafkahi keluarga. Dalam kisah teladan diceritakan para sahabat banyak menafkahkan hartanya demi kejayaan agama. Mereka berlomba-lomba menginfakkan harta kekayaannya untuk perjuangan Islam. Salah satunya kisah masyhur yang banyak dikutip dalam berbagai buku sejarah Islam tentang kedermawanan Abdurrahman bin Auf.
Dalam satu kesempatan, Rasulullah SAW meminta kesediaan kaum Muslimin untuk menyumbangkan harta bendanya yang akan digunakan untuk membiayai peperangan menghadapi kaum kafir. Abdurrahman bergegas pulang ke rumahnya. Kemudian, segera kembali ke hadapan Rasulullah. 
Sesampainya di hadapan Rasulullah, ia kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki uang sebanyak 4.000 dirham. Tetapi, kali ini akan disumbangkan 2.000 dirham saja karena yang 2.000 dirham lagi akan ditinggalkan untuk keluarga.”
“Semoga Allah melimpahkan berkat-Nya kepadamu, atas harta yang engkau sumbangkan maupun yang kau tinggalkan untuk keluargamu,” ujar Rasulullah.

Demikianlah kedermawanan Abdurrahman bin Auf tertulis dalam sejarah. Ia tak segan-segan menumbangkan hartanya demi tegaknya agama Islam. Ketika Rasulullah memerlukan biaya untuk mempersiapkan Perang Tabuk, Abdurrahman tak segan-segan mendermakan uang yang dimilikinya, yaitu sebanyak 200 uqiyah emas.
Hal itu kemudian diketahui oleh Umar bin Khattab. Umar pun berbisik kepada Rasulullah SAW, “Agaknya Abdurrahman tidak meninggalkan uang sama sekali untuk istrinya.”
Setelah mendengar apa yang dibisikkan oleh Umar bin Khattab, Rasulullah pun kemudian bertanya kepada Abdurrahman, “Engkau mendermakan uang begitu banyak. Tetapi  aku khawatir, engkau tidak meninggalkan uang sepeser pun untuk belanja istrimu.”
“Ada, ya Rasulullah. Untuk istriku, aku tinggali yang lebih banyak dan lebih besar dari apa yang kudermakan.”
“Berapa?” tanya Rasulullah kemudian.
“Ia kutinggali sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah,” jawab Abdurrahman sambil tersenyum.
Abdurrahman bin Auf tak segan-segan menyumbangkan semua uangnya karena ia percaya bahwa Allah akan membalasnya dengan rezeki yang berlipat-lipat ganda dan akan mengganjarnya pula dengan nikmat di akhirat.
Setiap orang yang berjiwa dermawan tidak pernah menjadi miskin, bahkan bertambah kemuliaannya, dicintai keluarga dan tetangga, serta disayangi orang yang pernah ditolongnya. Oleh karena itu, harta yang diinfakkan merupakan harta yang abadi, bukan hanya di dunia, melainkan setia menyertai sampai di akhirat. 
Apa yang dimakan atau diminum sekadar memenuhi perut, menjadi tenaga atau bahkan menjadi penyakit apabila berlebihan. Sedangkan harta yang disedekahkan, akan tetap mengalir pahalanya ketika telah meninggal sekalipun.
Sebagaimana janji Allah dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 261, “Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, serupa dengan sebulir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” Wallâhu ‘alam.
(hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, kisah) 


DUA MOTIF PENYEBAB SESEORANG HINA RASULULAH


Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling mulia akhlaknya, sampai-sampai Allah SWT memujinya dan mengabadikan pujiannya tersebut dalam Alquran, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur”. Pertanyaannya, pantaskah manusia yang dipuji Allah SWT dalam Alquran akan melakukan kekejian atau kehinaan yang selama ini sering disematkan oleh musuh-musuh Beliau?
Jawabannya, tentu tidak. Hanya, biasanya orang menghina orang lain dilatarbelakangi beberapa motif. Pertama, orang biasanya menghina orang lain karena tidak tahu hakikat orang yang dihinanya, bagaimana kondisi sebenarnya orang yang dihina tersebut, dan seperti apa sepak terjang dia yang sesungguhnya. Hal ini bisa berangkat dari informasi yang salah atau informasi yang tidak lengkap tentang orang yang dihinanya tersebut.
Kedua, orang biasanya menghina orang lain karena benci, iri, dengki, dan perasaan buruk lainnya karena ia tidak memiliki atau tidak seperti orang yang dihinanya tersebut. Motif ini yang paling sering menjadi penyebab seseorang menghina orang lain. Sehingga, tidak ada gunanya ia mendapat informasi yang utuh dan menyeluruh tentang orang yang dihinanya karena fondasi dasarnya dalam menilai orang lain sudah berangkat dari rasa benci.
Ketiga, seseorang biasanya menghina orang lain karena orang yang dihina memang melakukan hal-hal hina yang pantas dibenci dan dihina.
Di antara ketiga motif di atas hanya motif ketiga yang tidak mungkin menjadi penyebab kebencian seseorang kepada Nabi Muhammad SAW. Karena, semasa hidupnya Beliau tidak pernah menyakiti orang lain sehingga lebih tidak mungkin lagi jika Beliau akan menyakiti orang lain setelah Beliau meninggal dunia. Dengan demikian, kemungkinannya hanya dua motif pertama yang menjadi penyebab seseorang menghina Nabi Muhammad SAW.
Pertama, orang bisa menghina Nabi Muhammad karena ia tidak tahu Nabi Muhammad yang sebenarnya. Sebab, informasi yang sampai kepadanya telah mengalami pencemaran atau malah diputarbalikkan. Apalagi, kemudian ada pihak-pihak yang mengaku pengikut Nabi Muhammad yang malah menguatkan informasi yang salah tersebut.
Kedua, orang juga bisa menghina Nabi Muhammad karena benci terhadap Beliau. Penyebab kebenciannya bisa bermacam-macam, bisa karena iri dengan pencapaian Beliau, bisa juga iri karena Beliau tidak termasuk golongan mereka, seperti yang pernah dilakukan orang-orang Yahudi pada masa Beliau.
Dalam kisahnya, serombongan orang-orang Yahudi mengunjungi Nabi Muhammad SAW dan mengucapkan, “Kecelakaan bagimu (Muhammad).” Aisyah, istri Nabi yang ada di dekatnya tidak terima suaminya didoakan tidak baik oleh rombongan tersebut. Ia kemudian membalasnya, “Kecelakaan dan laknat Allah bagi kalian.” Mendengar balasan Aisyah tersebut, Nabi menenangkan istrinya, “Santai saja wahai Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai kasih sayang dalam setiap hal.” 
Aisyah mengingatkan Nabi tentang apa yang diucapkan orang-orang Yahudi yang menghinanya, “Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka katakan tentangmu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Aku sudah menjawabnya: Dan juga bagi kalian.” 
Sangat singkat jawaban Nabi terhadap orang-orang yang menghinanya, “Dan juga bagi kalian.” Bukan hanya tidak menjawab lebih, Nabi juga melarang orang lain termasuk orang tersayangnya untuk membalas lebih dari apa yang dilakukan oleh orang yang menghinanya.
Alasannya tidak lain karena seperti sabda Beliau, “Ampunilah kaumku ya Allah! Sesungguhnya mereka (menghina/menyakitiku) karena tidak tahu.”  (hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, sabar, pendidikan.)



***)Replubika

Jumat, 30 Januari 2015

SATU PAGI DI DEPAN KA’BAH

Setiap kali kembali ke Masjid al-Haram dan lingkungannya selang  hanya beberapa tahun, ketika itu pula jamaah haji atau umrah bisa menyaksikan dan sekaligus merasakan banyak perubahan. Renovasi atau pembangunan kembali Masjid al-Haram seolah tidak pernah berhenti bertahun-tahun sepanjang ingatan.
Melakukan ibadah umrah. Jama’ah pagi itu tidak terlalu ramai  di jalanan dan pelataran luar masjid. Tetapi seperti biasanya, jama’ah yang sedang tawaf tetap berjubel. Begitu juga jama’ah yang mengerjakan sa’i—memadati koridor antara Shafa dan Marwa.
Semua ritual ibadah umrah berlangsung di tengah konstruksi besar-besaran. Begitu jamaah memasuki Masjid dari arah Pintu Raja Fahd atau pintu mana saja, terlihat dua tingkatan jalan layang beton, semacamflyover untuk bertawaf, tidak jauh di atas lingkaran luar Ka’bah. Kelihatan sangat mengganggu keindahan dan kesyahduan bertawaf. Belakangan saya mendapat informasi, ‘jalan layang’ di atas Ka’bah itu hanya sementara, yang bakal dibongkar ketika pembangunan selesai—sesuai rencana—pada 2020.
Soal fly over itu hanya bagian kecil dari perubahan jauh lebih besar baik terkait Masjid al-Haram maupun lingkungan di luar masjid. Dapat dikatakan, Masjid al-Haram mengalami pembangunan kembali agar lebih besar dan konon lebih indah (make over). Penulis Resonansi ini hampir tidak lagi mengenali lanskap masjid seperti 2009 ketika menjalankan umrah Ramadhan.
Lebih jauh, di mana-mana terdapat dinding tinggi menutupi bagian masjid yang sedang dikerjakan. Tak kurang, suara bising datang dari pekerjaan konstruksi yang tengah dikerjakan juga muncul dari mana-mana.
Di bagian luar masjid, secara mencolok terdapat sejumlah gedung baru yang menyatu menjadi semacam konglomerasi bangunan di tempat yang dulu adalah benteng ‘Ajyad’, kini diberi nama ‘Abraj al-Bayt’. Konglomerasi gedung jangkung ini terdiri dari mall sampai tingkat 5; seterusnya hotel mewah semacam Fairmont Hotel and Resort berbintang lima; apartemen (tepatnya kondominium) dan istana—terlihat sangat glamour.
Di puncak konglomerasi gedung ini bertengger Menara Jam Makkah (Mecca Clock Tower), yang sering disebut bahkan oleh banyak warga Hijaz sebagai ‘Mecca Big Ben’, seperti ‘London Big Ben’ yang jauh lebih tua (selesai 1858). Asosiasi ini sulit terelakkan. Menara Jam Makkah setinggi 601 meter merupakan tower tertinggi kedua di dunia pada 2012, mengalahkan ketinggian gedung 101 Taipei. Kini Menara Jam Makkah menduduki tempat ketiga tertinggi di dunia setelah Burj al-Arab Dubai dan Shanghai Tower. Sebagai menara jam, Menara Jam Makkah adalah yang tertinggi di dunia.
Dana yang dihabiskan untuk membangun kompleks Menara Jam Makkah ini tidak sedikit. Menurut Kementerian Wakaf Saudi dan berbagai sumber lain, dana yang dihabiskan sekitar 15 milyar dolar AS. Sedangkan biaya pembangunan kembali Masjid al-Haram sampai selesai lima tahun ke depan diproyeksikan mencapai 60 miliar dolar.
Dari satu segi, pengembangan atau bahkan pembangunan kembali Masjid al-Haram bisa dipahami karena meningkatnya jumlah jamaah haji mencapai sekitar lebih tiga juta jamaah. Menurut Kementerian Haji Arab Saudi mencapai 3,65 juta pada musim haji 2012, kemudian merosot sekitar satu juta orang pada 2013 dan 2014 karena pengurangan kuota akibat pembangunan tersebut.
Pengurangan kuota jamaah haji mengakibatkan peningkatan jumlah jamaah umrah. Sejak 2013 jumlah jamaah umrah mencapai lebih dari enam juta orang. Jumlah ini terus meningkat tajam pada 2014 khususnya pada bulan Ramadhan yang diyakini banyak jamaah umrah sebagai sama pahalanya dengan ibadah haji.
Tetapi pembangunan kembali Masjid al-Haram dan lingkungannya dengan alasan masuk akal itu juga mengundang banyak kontroversi dan oposisi. Salah satu alasan pokok, proyek ini mengakibatkan kian lenyapnya situs-situs historis, semacam ‘benteng Ajyad’ yang dibangun Dinasti Usmani, atau tiang-tiang Masjid al-Haram yang telah berusia berabad-abad.
Menurut The Islamic Heritage Research Foundation, lembaga asal Teluk Persia [atau Teluk Arab] yang berpusat di Washington DC, dalam 20 tahun terakhir, perluasan atau pembangunan kembali Masjid al-Haram melenyapkan sekitar 95 persen bangunan dan lingkungan aslinya. Seorang perempuan Saudi asal Hijaz dalam percakapan dengan penulis Resonansi ini menyatakan kejengkelan karena alasan sama. Bagi dia, proyek tersebut tidak lain merupakan penghancuran.
Selain itu, kritik juga tertuju pada ‘Abraj al-Bayt’ yang menjanjikan fasilitas serba mewah yang bukan tidak hedonistik semacam kamar suite hotel bertarif sekitar 7.000 dolar semalam atau fasilitas spa. Bentuk kemewahan yang ada di tempat lain, kini juga dapat dinikmati di ‘Abraj al-Bayt’, yang bukan tidak bisa mengingatkan orang dengan dunia gemerlap Las Vegas.
Di tengah kemewahan itu, terdapat masih banyak jamaah haji atau umrah yang menggelandang di pinggir jalan. Mereka pergi haji atau umrah lebih didorong keimanan-keislaman tanpa mempertimbangkan kesengsaraan yang mereka alami karena keterbatasan dana. Satu pagi yang kontras di depan Ka’bah yang terus berlanjut di hari-hari esok.     (hidayah, hikmah, keyakinan, keyakinan takwa, syukur.)


*)   Republika

Kamis, 29 Januari 2015

KEBEBASAN VS KEKERASAN


Tariq Ramadan, seorang cendekiawan muslim Eropa, pernah berdialog dengan Stephane Charbonnier, pemimpin redaksi majalah satiris Charlie Hebdo, yang terbunuh pada serangan 7 Januari lalu. Pria kelahiran Jenewa, Swiss, ini adalah profesor di Universitas Oxford. Dia juga cucu Hassan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslim. Dalam artikelnya di harian The Guardian, Inggris, ia menceritakan pengalamannya dalam suatu debat dengan Charb. Ia menghormati prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat yang dianut Charb, termasuk menolak segala bentuk sensor. Namun Tariq mengingatkannya agar hal itu dilakukan dengan lurus dan benar.
Tariq pun menyebut tindakan Charlie Hebdo yang memecat seorang kartunisnya pada 2008. Ini gara-gara sang kartunis membuat lelucon tentang seorang Yahudi yang memiliki hubungan dengan anak Presiden Sarkozy, presiden Prancis saat itu. “Saya katakan bahwa kebebasan berekspresi itu ada batasnya. Tidak setiap hal bisa dikatakan. [Namun ternyata] Ada standar ganda,” tulisnya.
Tragedi. Itulah yang terjadi di kantor Charlie. Ada 12 orang meninggal akibat serangan itu, termasuk seorang polisi beragama Islam, Ahmad Murabith. Serangan teroris itu segera menyedot perhatian dunia. Simpati pada korban, termasuk pada Charlie, segera mengalir. Kecaman terhadap teroris dan tindakan barbarnya pun bermunculan. Di ranah media sosial segera hadir tagar #NotAfraid (tidak takut). Juga#JeSuisCharlie (saya Charlie). Muncul pula #JeSuisAhmed (saya Ahmed). Juga #JeNeSuisPasCharlie (saya bukan Charlie).
Dari semua tagar itu, yang terbanyak tentu #JeSuisCharlie, sangat jauh melampui lainnya. Tagar ini dibuat Joachim Roncin, dari majalah gratis Stylist, yang terbit di Inggris. Joachim adalah wartawan musik dan film. Tagar itu dibuat satu jam setelah peristiwa. “Saya kehilangan kata-kata,” katanya. Namun hadirnya #JeSuisAhmed dan #JeNeSuisPasCharliebukan tanpa sebab. Mereka bersimpati terhadap korban dan mengecam terorisme. Namun mereka tak mau diidentikkan dengan Charlie. Mereka menilai majalah itu telah menghina keyakinan dan perasaan orang. Majalah itu tak hanya memparodikan Islam dan Nabi Muhammad SAW, tapi juga agama lain seperti Kristen dan Katolik. Juga lelucon tentang Paus, pemimpin tertinggi Katolik, maupun siapapun dan apapun juga.
Dalam situasi itu muncul pendapat Bill Donohue, presiden Liga Katolik: umat Islam berhak marah. Sedangkan semua pemimpin Islam di dunia mengecam aksi terorisme di Paris itu, termasuk Tariq. Namun hampir semua umat Islam di dunia tak terima penghinaan yang dilakukan Charlie. Kantor majalah ini beberapa kali mendapat ancaman kekerasan dan terorisme, bahkan pernah dibom. Karena itu pemerintah Prancis memberikan pengamanan khusus terhadap Charlie. Suatu kali Charb berucap, “Saya tak memiliki istri dan anak. Juga tak memiliki anjing. Namun saya tak akan bersembunyi.” Charb seorang penganut kebebasan tulen yang pemberani. Charb lupa di seberang sana ada yang merasa telah terlampaui oleh kebebasan Charlie. Hal itu terungkap jelas di lini masa media sosial. Salah satu netizen mengutip kata-kata Voltaire, filsuf besar Prancis: “Saya tak sependapat dengan yang Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakan hal itu.”
Pers di Amerika Serikat memilih tak turut memuat ulang kartun-kartun yang melecehkan itu. Sedangkan media-media di negara-negara Eropa tak sedikit yang memuat ulang – atas nama memberikan konteks pemberitaan. Ada pula yang memang sengaja memuat ulang sebagai bentuk perlawanan terhadap teror dan segala bentuk sensor. Selain ada faktor mengukuhi kebebasan, negara-negara Eropa pada umumnya memang memiliki sejarah monolitik. Hal itu misalnya berbeda dengan negara Amerika Serikat yang plural sejak awal, seperti halnya Indonesia. Pluralitas itu memberikan pengalaman batin yang berbeda. Ada sensitivitas, ada tenggang rasa, ada toleransi.
Kita ingat bagaimana koran Jyllands Posten dari Denmark, atas nama kebebasan, menurunkan rangkaian kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW. Muncul aksi protes dan demo di seluruh dunia. Namun Charlie justru menerbitkan ulang. Kartun Jyllands Posten ini menimbulkan hilangnya nyawa sekira 200 orang. Bisa saja jika ada yang mengatakan bahwa orang-orang itu tak siap berbeda pendapat. Bisa saja mengatakan bahwa tindakan teroris itu lebih menghina Nabi SAW daripada yang dilakukan mereka, termasuk oleh Charlie.
Di level obrolan warung kopi, pembicaraan soal ini bisa panas juga. Di media sosial, tak ubahnya hanya garis kontinum, bahkan bisa lebih keras. Saling caci maki dan menghinakan. Debat yang tiada putus antara liberalisme dan fundamentalisme. Karena itu bagi para pemikir harus ada diskusi yang melampaui permukaan. Slavo Zizek, filosof asal Slovenia, dalam artikelnya di NewStatesman tentang kasus Charlie, berucap: “Kini saat yang tepat menghimpun keberanian untuk berpikir.” Zizek menukik ke dasar liberalisme. Ia bertanya: “Lalu apa nilai-nilai inti dari liberalisme: kebebasan, kesetaraan, dan seterusnya?” Ia mengkritisi kaum libertarian. Karena itu ia menutup tulisannya dengan menyitir kata-kata pemikir mazhab Frankfurt, tradisi teori kritis, Max Horkheimer: Siapapun yang menolak mengkritisi kapitalisme harus bungkam terhadap fasisme. Dalil itu oleh Zizek dijadikan nisbah untuk menilai tragedi Charlie: Siapapun yang menolak mengkritisi demokrasi liberal harus bungkam terhadap fundamentalisme agama.
Dalam hal ini Anthony Giddens, salah satu sosiolog terbesar saat ini, mengingatkan ihwal bangkitnya fundamentalisme, bukan hanya fundamentalisme agama tapi juga fundamentalisme jender dan ekologi. Dalam sebuah bukunya, ia mencatat lema fundamentalisme muncul pada akhir 1950an di kamus Oxford. Sesuatu yang relatif baru. “Fundamentalisme merupakan penolakan terhadap model kebenaran yang dihubungkan dengan keterlibatan dan pertukaran gagasan secara dialogis di ruang publik. Fundamentalisme itu berbahaya karena dipersenjatai dengan potensi kekerasan.” Namun Giddens tak hendak cuma mengecam fundamentalisme. Ia justru menilai, seperti gugatan Zizek, “Pencerahan telah kehabisan tenaga...yang kita butuhkan saat ini adalah semacam pencerahan baru...Kita hidup di dalam dunia yang benar-benar rusak, yang memerlukan perbaikan radikal.”
Era modern ini lahir dari Pencerahan di Eropa pada Abad Pertengahan, yang justru dengan mengadopsi pencerahan dari peradaban Islam. Giddens menilai kini dibutuhkan pencerahan baru. “Radikalisme politik tak bisa diam puas dengan radikalisme neoliberal.” Ya neoliberal mengagungkan kekuatan pasar dan individualisme, seperti yang dikukuhi Charb.
Sudah saatnya Timur kembali menyinari Barat seperti di masa lalu. Kita menolak kebebasan yang menghinakan, menistakan, dan merendahkan. Jika sebaliknya, seperti kata Zizek, mereka tak punya hak mengkritisi fundamentalisme agama karena mereka tak akan pernah paham. Peradaban global adalah peradaban yang timbang terima, tidak searah. Ada dialog dan keterbukaan. Terjadi kesetaraan antarbudaya, tak seperti kisah Robinson Crusoe yang memandang peradaban di luar Barat harus ditaklukkan dan diadabkan dalam ukuran mereka. Harus ada saling hormat, saling percaya, dan toleransi. Itulah pers yang sehat di zaman baru, zaman ketika tiap budaya saling berinteraksi secara damai dan setara.
(hikmah, hidayah, kebesaran, keyakinan, takwa.) 


***)republika

Rabu, 28 Januari 2015

BERTOBAT SEBELUM TERLAMBAT


Ada seorang pemuda ahli maksiat, peminum miras dan pengonsumsi Narkoba, bernama Utbah al-Ghulam, datang dan bergabung dalam majelis zikir Hasan al-Basri.
Saat masuk majelis, pemuda ini mendengar sebuah ayat yang sedang dibaca al-Basri: “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka)…?” (QS.  al-Hadid/57: 16).

Setelah Hasan al-Basri menjelaskan kandungan ayat tersebut secara mendalam, para jamaah menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba seorang pemuda berdiri dan menghampiri beliau, lalu bertanya: “Apakah Allah SWT masih mau menerima orang fasik lagi durhaka seperti aku ini apabila mau bertaubat?” al-Basri menjawab: “Ya, Allah akan menerima taubatmu, meskipun kefasikanmu dan kedurhakaanmu seperti Utbah al-Ghulam.

Ketika Utbah al-Ghulam mendengar jawaban al-Basri tersebut, wajahnya berubah menjadi pucat, seluruh tubuhnya gemetar, lalu menjerit kemudian pingsan. Setelah sadar, ia mendekati al-Basri. 

Pemuda itu lalu membaca syair: “Wahai pemuda yang durhaka kepada Tuhan yang menguasai Arasy. Apakah engkau tahu apa yang menjadi balasan bagi orang-orang yang durhaka? Neraka Sa’ir adalah balasan bagi orang-orang yang durhaka. Di dalamnya mereka akan hancur. Kehancuran yang dahsyat itu akan terjadi pada hari dipegangnya ubun-ubun mereka. Jika engkau sabar (kuat) merasakan siksa neraka, maka teruskanlah kedurhakaanmu. Jika tidak, hentikanlah perbuatan durhaka itu. Kesalahan-kesalahan yang telah engkau perbuat itu karena engkau menghinakan dirimu. Karena itu, usahakanlah sekuat tenaga untuk menghindari kesalahan-kesalahan.
    
Setelah membaca syair tersebut, ia kembali menjerit dan pingsan. Setelah sadar ia berkata: “Wahai syeikh Hasan al-Basri, adakah Tuhan yang Maha Pemurah mau menerima taubat orang yang tercela seperti aku ini?” Beliau menjawab: “Tidak ada yang menerima taubat seorang hamba yang angkuh kecuali Tuhan yang Maha Pemaaf.
    
Setelah membacakan syair tersebut, Utbah mengangkat kepalanya dan berdoa dengan tiga permohonan. ”Wahai Tuhanku, apabila Engkau menerima taubatku dan mengampuni dosaku, maka berilah aku kecerdasan dalam memahami dan menghafalkan al-Qur’an, sehingga aku bisa paham dan hafal setiap mendengar ilmu dan al-Qur’an. 

Wahai Tuhanku, berilah aku suara yang indah nan merdu sehingga setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an-ku  bertambah lembut hatinya, meskipun sebelum itu hatinya sangat keras.” “Wahai Tuhanku, berilah aku rezeki yang halal lagi baik (thayyib) dan rezeki dari arah yang tidak aku sangka-sangka.

Tak lama setelah itu, Allah SWT mengabulkan doa Utbah. Taubatnya diterima. Pemahaman dan hafalanya terhadap Alqur’an bertambah.
Setiap membaca Alqur’an, orang yang mendengarnya pun bertaubat, kembali kepada jalan Allah. Setiap hari di rumahnya ada semangkuk gule dan dua potong roti, tanpa diketahui siapa pemberinya.

Kisah tersebut menginspirasi kita semua untuk selalu menyadarkan diri sendiri dan bertaubat (kembali) kepada jalan kebenaran, jalan Allah, dengan meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dan perbuatan dosa yang besar maupun kecil. Taubat  merupakan pintu gerbang menuju ampunan dan kasih sayang Allah, bahkan surga-Nya. 

Keharusan bertaubat itu bukan hanya bagi pemaksiat, tetapi juga berlaku bagi semua orang beriman, karena muara dari taubat adalah keberuntungan dunia dan akhirat.
Taubat merupakan kunci ma’rifat (mengenal dan bersikap arif) kepada Allah SWT, sehingga dengan ma’rifat ini hamba dapat menjadi lebih mencintai dan mendekatkan diri kepada-Nya. 

Karena itu, marilah kita selalu bertaubat sebelum terlambat karena Allah itu Maha Penerima taubat, dan karena kita tidak pernah tahu kapan ajal kematian itu menjemput kita. Wallahu a’lam!

Replubika 
hikmah, takwa, Tuhan, 

MENGAPA MANUSIA SERING GALAU SOAL REZEKI ?

 MENGAPA MANUSIA SERING GALAU SOAL REZEKI ?

Banyak orang menyangka bahwa rezeki itu merupakan sesuatu yang mesti dicari, padahal rezeki adalah sesuatu yang sudah ditetapkan Allah SWT. Rezeki pasti akan datang baik dicari atau tidak. Lantas, orang akan bertanya mengapa manusia mencari sibuk rezeki kalau dia sudah pasti datang? Jawabnya, karena mencari rezeki itu merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Melakukannya berarti menjalankan sebuah ibadah, yang berarti mendapatkan pahala di dalamnya. Rasul bersabda, “Mencari rezeki dengan cara yang halal merupakan perbuatan keramat di sisi Allah SWT.”
Di Medan ada seekor ular hijau yang bertubuh kecil, tetapi sangat berbisa. Ular ini hidup di pohon kayu dan terkenal sangat pemalas, lamban ,dan jarang bergerak. Dia bukan pemakan daun, tetapi pemakan ulat dan hewan kecil lainnya. Kami menyebutnya ular kintamani. Lantas, bagaimana ular yang sangat lamban dan jarang bergerak ini mendapatkan makanannya? Orang mungkin akan berpikir bahwa ular ini akan segera mati kelaparan karena kelemahannya itu. Ternyata, tidak demikian. Ular ini setiap hari mendapatkan jatah makanannya dari beberapa ekor burung kecil. Burung itu di Medan disebut burung perenjak. Setiap hari burung itu membawakan ulat dan menyuapkannya langsung ke mulut sang ular.
Ular kintamani hijau itu akan membukakan mulutnya untuk menerima makanannya dari sang burung berulang-ulang sampai kenyang. Sekalipun ular itu tidak pernah memakan sang burung untuk mengenyangkan perutnya. Padahal, jika ular itu mau, dengan sekali tangkap binasalah sang burung itu. Dan, ular itu pun akan kenyang dengan serta-merta tanpa perlu berulang ulang memakan ulat-ulat kecil yang memakan waktu lama dan melelahkannya.
Suatu hari, Imam Malik bin Dinar berhenti sejenak dalam perjalanan beliau di sebuah padang pasir yang sepi. Beliau mengeluarkan perbekalannya untuk santap siang. Ketika beberapa potong daging dendeng diletakkan di atas suprah makannya, tiba-tiba seekor kucing liar datang menghampiri dan menangkap sepotong daging. Kemudian dengan santainya, sang kucing melenggang pergi sambil membawa daging itu. Imam Malik bin Dinar merasa heran. Tidak biasanya seekor kucing berani mencuri makanan manusia dengan setenang itu. Kejadian langka ini menyebabkan beliau membatalkan makannya.
Sambil membungkus kembali perbekalannya, beliau mengikuti sang kucing. Ajaib, ternyata kucing itu sama sekali tidak memakan daging curiannya, tetapi terus berjalan menuju setumpukan batu. Kemudian sang kucing menjatuhkan daging itu ke dalam sebuah lubang di tumbukan batu. Sejenak sang kucing memandang ke dalam lubang, kemudian beranjak pergi meninggalkan lubang tersebut.
Imam Malik segera menghampiri lubang itu untuk mengambil tahu. Apa yang dilihat beliau di dalam lubang tersebut membuatnya tercengang. Ternyata di dalam lubang itu hidup seekor ular berbisa yang buta. Dapat dipastikan sang ular akan mati kelaparan tanpa bantuan si kucing. Kisah ini semestinya membuat kita yakin bahwa rezeki sudah dijamin Allah. Benarlah Allah yang berfirman dalam Alquran, “Dan apa-apa yang melata di muka bumi melainkan telah dijamin Allah rezekinya.” Dalam ayat lain Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa Dia kehendaki tanpa perhitungan banyaknya.”
Jika demikian, mengapa kita manusia sering galau dengan rezeki sehingga rela menempuh jalan hina yang tercela untuk mendapatkannya? Sungguh tak pantas jika keyakinan manusia yang telah dilantik Allah sebagai khalifah di bumi kalah dengan seekor ular. Wallahu a’lam bish shawab.
hidayah, keyakinan, sabar, syukur, takwa.


***)Replubika

Selasa, 27 Januari 2015

Terima Kasih Allah


Selalu mengeluhkan kemalangan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan spiritual kita. Bukankah kita sering merasakan semakin sering kita mengeluh, semakin dalam kita terbenam dalam kemalangan.
Oleh karenanya, sebaiknya kita berterima kasih kepada Allah atas semua nikmat yang kita terima, baik besar maupun kecil, dan mensyukurinya setiap detak jantung dan embusan napas kita.
Insya Allah, kebahagiaan akan terus bertambah jika kita selalu mengingat dan mengapresiasi nikmat-nikmat yang kita terima. 
Sebagaimana Allah mengingatkan, “Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmat-Ku kepadamu; sebaliknya jika kamu mengingkari nikmat itu, tentu siksaanku lebih dahsyat.” (QS Ibrahim [14] : 7)
Berterima kasihlah kepada Allah apabila kita mendapat banyak anugerah kenikmatan dan berterima kasihlah pula apabila kita hanya memperoleh sedikit. Bukankah kehidupan ini menawarkan berbagai macam keindahan dan kebahagiaan setiap saat.
Kita dapat menyaksikan kelucuan ikan-ikan menawan dapat muncul dari dalam air ke permukaan. Pohon-pohon tumbuh subur, semakin hari semakin rindang yang memberikan perlindungan kepada orang-orang yang berteduh di bawahnya. 
Beraneka jenis bunga indah berwarna cemerlang dapat muncul dari dalam tanah. Burung-burung bernyanyi riang sepanjang pagi dan sore hari.
Maha Suci Allah yang memberikan kenikmatan tak terhitung jumlahnya kepada kita semua, dengan kasih sayangnya yang tak pernah berhenti walau sedetik pun. Kenyataan sederhana, tetapi sarat makna.
Itulah juga yang menyadarkan Sa’di, penyair besar yang pernah kehilangan sepatunya di Masjid Damaskus. Ketika sedang bersungut-sungut meledakkan kejengkelannya, ia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum ceria. 
Tampak dalam perhatiannya, penceramah itu patah kedua kakinya. Sa’di berguman dalam hatinya,  “Mengapa aku harus terus berkeluh kesah, padahal penceramah ini patah kedua kakinya, tetapi ia terlihat sangat riang gembira.”
Tiba-tiba Sa’di tersadar dari kekeliruannya dalam melihat kemalangan. Segala kejengkelannya memudar. Ia sedih kehilangan sepatu, padahal di sini ada orang yang tertawa riang meskipun kedua kakinya sedang dibalut perban. 
Kisah Sa’di di atas mengingatkan kita, terkadang kita mudah melihat datangnya kemalangan, tetapi hampir tidak menyadari adanya kenikmatan. Baru setelah kehilangan nikmat itu, kita menjadi benar-benar menyadarinya.
Islam mengajarkan, dua kenikmatan yang biasanya tak dirasakan kehadirannya sampai kita kehilangan keduanya, yaitu kesehatan dan keselamatan. Kita terlalu memperhatikan kemalangan yang menimpa kita mungkin karena kemalangan itu dapat mengancam kesejahteraan kita. 
Tentu tidak seorang pun dapat menghindar dari semua kesulitan dalam hidup, tetapi janganlah berputus asa. Berusahalah mencari secercah harapan dalam semua kesulitan dan berterima kasihlah atas semua nikmat yang kita dapatkan. 
Cobalah untuk selalu berterima kasih kepada Allah ketika menghadapi tantangan dan masalah dalam hidup karena kita pasti akan menemui tantangan dan masalah itu. Seperti semua orang, kita juga akan menemui kesulitan yang harus kita lewati.
Namun, kesulitan itu tidak akan berlangsung selamanya dan Allah tidak akan meninggalkan kita dalam lorong gelap tanpa cahaya.
Berusahalah untuk terus menjadi hamba yang selalu berterima kasih kepada Allah. Tentu kita akan memperoleh hasil terbaik dari pengembangaan sikap berterima kasih kita kepada Allah.
 hidayah, keyakinan, takwa, syukur, 

***)republika

UANG & SUNYINYA SUARA AGAMA

 UANG & SUNYINYA  SUARA  AGAMA

Pemilu legislatif baru saja berlalu. Euforia pesta demokrasi berubah menjadi kabung nasional para caleg gagal.
Janji-janji pemilu dan rezeki musiman yang ditaburkan para caleg dan dinikmati sebagian besar pemilik suara berubah menjadi petaka. Yang dihasilkan hanya caleg stres dan kepentingan umum yang terancam terabaikan oleh bayang-bayang politik uang.
Jika pemilu merupakan partisipasi minimal masyarakat dalam politik untuk merajut masa depan sebuah bangsa, kiblatnya seharusnya terarah pada pertarungan program-program partai untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat.
Hasil jajak pendapat memperlihatkan arah yang sebaliknya. Sebanyak 69,2 persen dari 536 responden yakin bahwa telah terjadi politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Caleg atau partai politik cenderung memberi keuntungan materi secara langsung agar terpilih. Mereka memberikan keuntungan materi kepada pemilih ketimbang menawarkan program (Kompas, 28/4/2014). Jangankan program partai, anggota sebuah partai bahkan saling menjepit menuju puncak kekuasaan.
Membelenggu bangsa
Politik uang yang selanjutnya akan membiakkan pejabat yang korup membelenggu bangsa. Suara keagamaan (baca: profetis) sangat sunyi. Negeri yang dalam konstitusinya mengusung nilai dasar keagamaan dibuat lumpuh di hadapan wabah politik jual-beli suara.
Tak ada pelaku politik uang yang ditindak secara hukum. Tak ada yang mencela secara moral apalagi memberikan sanksi sosial. Para pembeli suara seba- liknya disambut sebagai pembawa berkah dalam kondisi rakyat kebanyakan yang terbelit aneka kesulitan hidup perekonomian.
Jika berbagai indikasi kecurangan politik uang tidak diungkap dan diadili secara transparan serta dipersoalkan sebagai sebuah cacat etis, demokrasi yang ingin dihasilkan keropos dari awalnya karena wakil yang terpilih kebanyakan merupakan hasil manipulasi suara rakyat.
Nilai-nilai keagamaan yang seharusnya diusung sebagai dasar pijak sikap etis dalam berpolitik ternyata tak dihayati secara substansial, tetapi sekadar baju pemoles diri. Secara lahiriah para calon pemimpin saleh, tetapi di ranah etis terjadi defisiensi moral. Tragisnya, ritus keagamaan hanya dihadirkan sebagai opium bagi caleg stres, tetapi gagal mencegah kesehatan jiwa berpangkal pada nilai keagamaan yang lebih mendasar seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, dan nurani yang bening. Apa yang dapat disumbangkan agama-agama?
Di Amerika Serikat, sejak 2004, terdapat diskusi hangat di kalangan para pemimpin gereja Katolik untuk menghukum politisi yang mendukung legislasi yang dianggap tak berpijak pada moralitas Kristiani. Beberapa senator dikeluarkan (ekskomunikasi) dari gereja.
Pada 2008, ada yang terancam sanksi serupa seperti dialami Joe Biden (kini Wakil Presiden AS) jika posisi politiknya dalam hal moralitas tidak direvisi. Di Indonesia pun telah digulirkan fatwa haram soal korupsi sejak 2000. Namun, sepertinya  tak berdampak terhadap perubahan tabiat korupsi dan politik uang di negeri ini.
Pengusungan nilai-nilai etis-religius di ranah publik bukanlah usaha moralisasi agar negara mengabdi pada kepentingan agama-agama. Agama, yang dalam akar kata bahasa Latinnya religare (merekatkan, secara erat), pada hakikatnya membentuk atau mengikat penganutnya pada nilai-nilai mendasar yang seharusnya membentuk tabiat pribadi dan sosialnya. Dalam kerangka itu, tabiat politikus seharusnya diikat nilai-nilai dasar yang diperoleh dari agamanya.
Dalam konteks Indonesia yang mengakui peran agama di ranah publik, agama-agama seharusnya melahirkan inspirasi etis-religius dalam pengambilan kebijakan publik. Meminjam pemikiran teolog kelahiran AS, Richard G Malloy (A Faith that Frees, 2007), agama-agama perlu memperkuat ”mitos”, yakni narasi tentang makna dan orientasi kehidupan.
Demokrasi pun, menurut dia, merupakan sebuah mitos. Artinya, kepercayaan akan demokrasi akan mendorong para politisi dan rakyat kebanyakan untuk mengusung nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan publik. Di dalamnya ada kepercayaan bahwa memberikan suara dalam pemilu merupakan sebuah nilai. Adapun pembelian suara merupakan tabiat tercela.
Tugas agama-agama
Tugas agama-agama dalam kondisi bangsa yang ditandai politik uang yang tak terkendali adalah merawat imajinasi rakyat akan mitos demokrasi. Melalui mitos sebagai sumber inspirasi makna dan arah hidup, suara keagamaan berfungsi mengadakan transformasi imajinasi individu dan sosial. Imajinasi yang dimiliki dalam kepala merupakan basis bagi kata-kata yang berada dalam pikiran dan landasan bagi perasaan dalam sanubari terdalam. Kata dan rasa itu selanjutnya mewujud
dalam tingkah laku kehidupan yang menjadikan hidup mendapat makna.
Imajinasi bangsa ini harus diubah agar pikiran, perasaan, dan sanubarinya tidak dibenamkan oleh uang, harta, dan kekuasaan. Imajinasi sosial bangsa ini harus didekonstruksi agar bayangan di dalam benak, kata-kata dalam pikiran, perasaan dalam hati, tindakan dan makna hidup diarahkan untuk kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa yang menjalankan demokrasinya secara bermartabat. Agama-agama terpanggil untuk terus-menerus menyucikan imajinasi bangsa ini agar terbebaskan dari diktator uang, harta, dan kekuasaan yang kini jadi wabah sosial yang tak terbendung.     (hidayah, keyakinan, syukur, takwa.)


***)opinikompas

Senin, 26 Januari 2015

MENJAUHKAN UMAT ISLAM UNTUK MENGANUT AGAMANYA

Ustadz H.Muhammad Tholib, Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang berkesempatan hadir dalam acara pengajian malam 1 Muharram  1346 Hijriah. Mengemukakan keprihatinan dengan kondisi masyArakat di negeri ini yang disuguhi terus dengan faham sekularisme.
Faham sekularisme yang dibonceng oleh liberalisme dan juga mnyebarkan sikap kapitalisme ke Indonesia telah membuat Umat Islam yang mayoritas menjadi penduduk negeri ini, semakin menjauhkan diri untuk menganut aajaran agama Islam secara kaffah dan tak lagi tunduk pada kebenarannya.
“Kita bisa melihat masyarakat yang mayoritas Islam telah semakin terlena dengan kehidupan materialistis dan keduniawian, tak lagi memiliki kepatuhan dan konsekwensi logis yang merupakan keharusan untuk menganut agamanya dan menjalankan aturan agama Islam itu secara sungguh-sungguh dan benar,” ustaz Ustadz Tholib dalam tausyiahnya.
Salah satu conto persoalan yang banyak mengajak umat Islam pada saat Mereka Misalnya, kesulitan hidup telah membuat umat Islam berhenti mengerjakan aturan aturan Islam. “Mereka tak lagi berdagang atau bekerja sesuai dengan syar’i. Malah lebih kapitalis dari pada penganut kapitalis, inikan berbahaya “Ujar Ustaz Tholib.
Firman Allah dalam Al-quran yang artinya, “Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar mereka taat dan menegaskn aku.: QS.Adz-Dzariyat 56, kok malah mengabdi dunia dengan segala macam kerusakannya itu.
Oleh karena itu, kata Muhammad Thollib, perlu ada perlawanan terhadap faham ini, agar tidak semakinjauh menggerus kepercayaan umat dalam menjalankan segala aturan yang telah Allah tetapkan bagi umat Islam. “Kita memang terlalu takut dengan kehidupan dunia ini. Padahal, Allah SWT telah menjamin umatnya. Jadi jangan lagi terlalu takut hidup ini akan menjadi susah,”katanya. “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah yang memberi (menjamin) Rizkinya...” QS.Huud:6   (keyakinan, takwa, hidayah)

Minggu, 25 Januari 2015

UTANG DAN AIR MENDIDIH


Seusai shalat Zhuhur di Masjid Nogotirto Yogyakarta. Pada 30 Desember 2014, sahabat saya H Hartoyo, pensiunan Pertamina, berkisah tentang mimpi anak sulungnya yang cukup mengerikan berkaitan dengan utang neneknya pada sebuah bank yang belum sempat terbayar sampai saat wafatnya. Jumlahnya hanyalah Rp 3juta dan itu pun bukan utang pribadinya, tetapi utang adiknya atas nama dia.
Ketika menceritakan kembali isi mimpi anak tentang ibunya ini, tangan Bung Hartoyo masih gemetar. Begitu mencekam, begitu menakutkan, sehingga anak Hartoyo menjerit sambil terbangun. Komentar Hartoyo, “Ternyata ada hubungan batin antara anak dan neneknya yang sudah wafat.”
Tidak mustahil karena memang mimpi penting untuk menyadarkan orang dari kealpaan.
Apa yang terlihat oleh anak Hartoyo dalam mimpi itu dan apa pula tafsiran Hartoyo terhadap mimpi itu? inilah gambarannya yang saya turunkan dari hasil tuturan Hartoyo: Ada sebuah bak besar berisi iair yang sedang mendidih, panas sekali. Di dalam nya terapung ibu kandung Hartoyo yang sedang berteriak mina tolong. Sambil menangis, anak Hartoyo mengadu kepada bapaknya tentang apa yang dilihatnya dalam mimpi itu.
Hartoyo ternyata cepat tanggap. Ini, katanya, pasti bertalian dengan masalah ibunya yang semasa hidup yang tidak diceritakan kepada anak-anaknya. Benar, ternyata ada utang adik ibunya sejumlah diatas. Hartoyo segera menghubungi pihak bank untuk melunasi hutang itu. Setelah utang dilunasi, lagi anak Hartoyo bermimpi bahwa neneknya mengucapkan terima kasih kepada Hartoyo, anak kandungnya itu.
Kita tidak tahu pasti takwil sebuah mimpi, tetapi tuturan Hartoyo diatas penting unutk direnungkan. Bukankah, jika seorang Muslim/Muslimah wafat, sebelum dimakamkan, pihak keluarga terntu tidak lupa menanyakan kepada para pelayat tentang kemungkinan si mayat punya utang atau tidak?
Jika ada utang, hendaklah pihak keluarga diberitahu agar semua masalah dunia itu diselesaikan segera atau direlakan demi perjalanan arwah si mayat ke lain tidak terhambat oleh utang yang masih belum terbayar. Kesulitan sebagian kita adalah kebiasaan berutang sampai menumpu, tetapi tidak cepat dibayar sehingga menjadi kumulatif.
Biasanya jika utang sudah berlapis-lapis kepada banyak pihak lagi, lama-lama kepekaan batin seseorang menjadi tumpul, sekrup ubun-ubun nya menjadi longgar. Namanya menjadi gunjingan di mana-mana. Seolah-olah utang bukan lagi sebuah beban yang dapat membuat kepalanya jadi pusing tujuh keliling.
Rasanya pintu rezrki akan terbuka lebar dengan syarat kita bersedia memulihkan kepekaan batin untuk secepatnya membayar utang itu. Jangan dibiarkan larut tersandung oleh tumpukan utang yang dapat sangat merepotkan pihak keluarga jika sewaktu-waktu kita didatangi malaikat maut.
Dulu kami pernah pula punya utang untuk keperluan anak dan untuk membayar uang muka rumah kredit perumahan rakyat (KPR) dan angsuran bulanannya setelah sekitar 20 tahun hidup dalam dalam rumah sewaan sampai pindah berkali-kali. Maklumlah nasib pegawai negeri dengan penghasilan yang serbakurang.
Saya sekeluarga baru bernafas secara ekonomi sejak tahun 1990 karena diminta mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia selama dua tahun atas dorongan almarhum DR Imaduddin Abdurrahim. Rampung d Malaysia, ada saja pintu rezeki yang dibukakan Allah. Pernah mengajar di Institute of Islamic Studies, bagian dari Universitas McGill, Kanada, atas rekomendasi Menteri Agama almarhum Munawir Sjadzali.
Tak selang beberapa tahun kemudian diminta pula oleh pak Akbar Tandjung (mensekneg ketika itu) untuk menjadi anggota DPA tahun 1998-2003 sejarang saya tidak miskin dan tidak kaya, sedang saja, tetapi tanpa untang dan kamsudah punya rumah pribadi. Alhamdulillah, Allah maha pemberi rezeki pribadi. Alhamdulillah, Allah maha pemberi rezeki yang tak putus-putusnya sampa hari ini. Ada doa yang baik, “Allahumma a’udzubika min al-dain” Ya Allah, aku berlindung kepada engkau dari jeratan utang.

hidayah, sabar, syukur, takwa.

Sabtu, 24 Januari 2015

BERSEDEKAH SAAT SEHAT


Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Bersedekahlah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta), takut miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan, janganlah kamu menunda-nunda sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu baru berkata, ‘Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian,' padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya).” (Muttafaqun ‘alaih).
Hadis di atas memberikan pelajaran penting kepada kita mengenai saat sedekah yang akan diganjar dengan pahala yang besar oleh Allah SWT, salah satunya adalah bersedekah saat diri kita sedang sehat.
Besarnya pahala yang didapat orang yang bersedekah pada saat sehat dikarenakan pada umumnya manusia akan merasa pelit ketika berada dalam keadaan sehat.
Bila ia bersedekah dalam kondisi sehat hal itu menjadi bukti akan kesungguhan niatnya dan begitu besar kecintaannya kepada Allah SWT. Inilah yang menjadikan bersedekah pada waktu sehat adalah sedekah yang utama dan berpahala besar.
Berbeda halnya dengan mereka yang sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk sehat. Sementara, ia memandang hartanya akan menjadi milik orang lain maka ketika itu sedekahnya merupakan suatu kekurangan. Karena itu, bersedekah pada saat sehat merupakan bagian penting yang harus kita lakukan dalam hidup ini.
Jangan sampai nikmat sehat yang Allah SWT anugerahkan kepada kita kosong dari amal saleh, salah satunya kosong dari bersedekah. Selain berpahala besar, ketika kita bersedekah pada saat sehat akan menjadikan kita golongan orang yang menyegerakan amal kebaikan.
Hal ini dapat kita pahami dari hadis Rasulullah SAW, “Bersegeralah kamu sekalian untuk beramal sebelum datang tujuh hal; tidaklah kamu menantikan kecuali kemiskinan yang menimbulkan kelalaian, kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang merusak, ketuarentaan yang melemahkan akal, kematian yang membunuh dengan cepat, atau menunggu datangnya dajal padahal ia adalah sejelek-jeleknya yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat itu lebih berat dan lebih pahit (pedih).” (HR Tirmidzi).
Selain itu, bersedekah pada saat diri kita sehat sama dengan mensyukuri nikmat kesehatan. Itu karena bukti mensyukuri nikmat sehat adalah mempergunakan nikmat sehat itu dengan melakukan ketaatan kepada-Nya yang salah satunya mengisi nikmat sehat dengan banyak bersedekah.
Lainnya, bersedekah pada saat sehat termasuk orang yang diutamakan karena kebanyakan manusia sering melupakan nikmat sehat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR Bukhari).
Untuk itu, selagi sehat, mari isi kesempatan yang Allah anugerahkan ini dengan memperbanyak amal kebaikan, di antaranya, dengan bersedekah agar mendapatkan pahala yang besar dan keutamaan dari Allah SWT.Wallahu’alam.   (hidayah, keyakinan, syukur., takwa.)


***)republika

BIADAB DAN BERADAB

 BIADAB  DAN  BERADAB

Hampir semua media cetak di Inggris yang terbit menampilkan berita utama mengenai penyerbuan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo. Beragam ekspresi dijadikan sebagai judul dalam pemberitaan mereka.
Sebagai contoh, the Guardian mengambil judul berita utamanya "Serangan terhadap demokrasi", Daily Mail dan the Daily Telegraph memilih "Perang terhadap kebebasan", atau lihat judul Daily Mirror, "Biadab". Sejumlah media tersebut ingin memberikan penekanan pada pesan bahwa penyerbuan kantor majalah satire itu merupakan tindakan tidak beradab, melanggar kebebasan berekspresi, dan tak mencirikan masyarakat modern yang beradab. Begitu kira-kira inti pesan yang ingin mereka sampaikan.
Hingga kemarin, pihak kepolisian Prancis menyebut salah satu pelaku telah menyerahkan diri, sedangkan identitas dua terduga lainnya sudah teridentifikasi. Melihat dari nama pelaku, termasuk ketika melakukan aksi penyerbuan sebagaimana banyak tersebar dalam video-video yang disiarkan sejumlah media, kuat dugaan mereka adalah penganut Islam. Berseliweran analisis motif para pelaku yang disampaikan sejumlah pengamat, yakni aksi balas terhadap pemberitaan Charlie Hebdo.
Melalui kartun-kartunnya, Charlie Hebdo selama ini memang kerap memperolok Islam dan tokoh-tokoh Islam, juga agama lain dan para tokohnya. Beberapa kali Charlie Hebdomenerbitkan kartun Nabi Muhammad, termasuk dalam pose yang tak pantas. Majalah satire ini pernah pula membuat kartun tentang Paus Fransiskus yang ikut dalam karnaval di Rio de Janeiro, sesuatu yang tak mungkin dilakukan pemegang takhta suci Vatikan itu.
Atas pemuatan banyak kartun kontroversialnya tersebut, Charlie Hebdo menuai kecaman berbagai pihak. Namun, dengan dalih semboyan "Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), Fraternite (persaudaraan)", kecaman dan keberatan itu mereka abaikan. Kebebasan berekspresi adalah segalanya meskipun kebebasan itu harus menghina, melecehkan, ataupun mengolok-olok pihak lain.
Di lain sisi, penghilangan nyawa dengan dalih sebagai kebebasan hak seseorang juga tidak dapat dibenarkan. Apalagi, pembunuhan itu tidak dilakukan di medan perang di mana dua kubu saling berhadap-hadapan. Sejatinya bahkan dalam peperangan pun ada aturannya, sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama Bab 7, misalkan pada Psal 51.
Bagaimana dengan jejak sejarah kenabian? Jika menilik sirah nabi, Nabi Muhammad SAW tidak lantas membunuh orang-orang kafir Quraisy yang menghinanya, termasuk pula yang berusaha meracuninya. Nabi Muhammad SAW saat itu lebih banyak menggunakan cara-cara penuh hikmah dengan memperlihatkan akhlak yang mulia. Para pembenci Nabi itu pun kemudian luluh hatinya, malah berbalik mendukung perjuangan dakwah Islam di barisan terdepan.
Menentang hinaan kepada agama, termasuk kepada Rasulullah, adalah keharusan. Namun, kita juga wajib mengingatkan diri kita bahwa tindakan teror termasuk membunuh atas nama agama bisa membuat orang-orang salah memahami Islam. Kekerasan dan aksi teror tidak akan membawa keuntungan yang menjadikan orang paham pada inti akhlak Islami.
Lantas kini pertanyaannya, apakah dengan membunuh maka akan memperbaiki citra Islam di mata masyarakat Eropa saat ini, seperti halnya yang dilakukan para peneror di kantor Charlie Hebdo.
Dunia Barat, khususnya Eropa, memang memandang agama bukan hal fundamental. Mereka lebih mendasarkan pada kebebasan, termasuk kebebasan berekspresi. Karena itu, harus ada upaya yang sistematis dan direncanakan secara matang untuk memahamkan kepada mereka bahwa agama itu adalah hal yang fundamental. 
Simak bagaimana Paus Fransiskus pun menyerukan kepada semua orang untuk menentang setiap cara menyebarkan kebencian. Kebencian hanya akan merusak dasar hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan kebangsaan, agama, atau budaya.
Inilah tugas setiap diri umat Islam di manapun adanya untuk menyosialisasikan bahwa Islam adalah ajaran penuh damai sebagaimana asal kata Islam itu adalah ‘damai’’. Masyarakat modern yang beradab, yang menghormati kebebasan berekspresi, yang menjunjung tinggi peradabannya pada etika dan moral yang adiluhur, tidaklah akan melakukan tindakan yang biadab, mudah menghina-dina, atau mengolok-olok pihak lain.      kebesaran, keyakinan, takwa, sabar.



***)Replubika 

Jumat, 23 Januari 2015

ZUHUD TIDAK MESTI MISKIN

 ZUHUD TIDAK MESTI  MISKIN

hidayah, keyakinan, takwa, sabar, syukur.     Ada data menarik yang disampaikan al-Mas’udi dalam kitabnya Muruj al-Dzahab terkait harta kekayaan para sahabat Rasulullah SAW. Zubair bin Al-Awaam meninggalkan 59,8 juta dirham setelah wafat. Konon, beliau memiliki 1.000 budak, 1.000 kuda, 11 rumah megah, juga ratusan hektare tanah dan perkebunan yang tersebar di Madinah, Basrah, Kufah, Fustat dan Iskandariyah. Selain itu, beliau juga seorang saudagar.
Abdurrahman bin Auf saat awal berhijrah ke Madinah tidak memiliki harta sepeser pun. Tapi, tak lama kemudian beliau menjadi orang paling kaya se-Madinah. Menjelang akhir hidupnya, beliau mewasiatkan agar sebagian hartanya dibagikan kepada 100 ahli Badar yang masih hidup. Masing-masing mendapat jatah 400 dinar. Selain itu, beliau memiliki 1.000 budak yang telah dibebaskan, 1.000 unta, 100 kuda, juga 3.000 domba yang digembalakan di Baqi’.
Zaid bin Tsabit meninggalkan 300 ribu dinar serta ratusan ton emas dan perak. Ibnu Mas’ud, selain memiliki 50 budak dan hewan ternak, meninggalkan 9.000 ton (mitsqal) emas dan beberapa rumah megah di pelosok-pelosok Irak. Al-Khabab bin al-Irts, sahabat Rasul SAW yang terkenal miskin, di akhir hidupnya mewasiatkan untuk membagi-bagi sisa hartanya yang berjumlah 40 ribu dinar.
Fakta ini menunjukan bahwa para sahabat adalah orang-orang kaya. Tapi, kekayaan mereka tidak lantas membuat mereka lupa akan akhirat. Mereka hidup zuhud. Ali bin Abi Thalib menjelaskan, zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam Alquran, supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu.
Orang yang tidak bersedih karena kehilangan sesuatu darinya dan tidak bersuka ria karena apa yang dimiliki, itulah orang yang zuhud. Dari tafsir yang dikemukakan Ali bin Abi Thalib tersebut, kita dapat melihat dua ciri orang yang zuhud dalam pandangan Allah.
Pertama, Zaid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimilikinya. Zuhud adalah pola hidup menjadi. Zaid tidak memperoleh kebahagiaan dari dengan memiliki. Para sahabat Rasulullah SAW tidaklah membuang semua yang dimilikinya, tetapi mereka menggunakan semuanya itu untuk mengembangkan dirinya. Kebahagiannya tidak terletak pada benda-benda mati, tetapi pada peningkatan kualitas hidupnya. 
Kedua, kebahagiaan seorang Zaid tidak lagi terletak pada hal-hal yang duniawi, tetapi pada dataran rohani. Kedewasaan kepribadian jiwa kita terletak pada sejauh mana kecenderungan kita pada hal-hal yang rohani. Makin tinggi tingkat kepribadian kita, kebahagiaan rohani meningkat. Dua prinsip inilah yang dipegang para sahabat.
Al-Ghazali menegaskan, zuhud itu menghilangkan keterikatan hati dengan dunia, tapi bukan berarti menghilangkannya. As-Syadzili, pendiri tarikat sufi As-Syadziliyah, dalam setiap doanya selalu meminta kepada Allah, “Ya Allah luaskanlah rizkiku di dunia dan janganlah ia menghalangiku dari akhirat, jadikanlah hartaku pada genggaman tanganku dan jangan sampai ia menguasai hatiku.” 
Para sahabat memiliki kekayaan dunia, tapi tidak punya keterikatan hati dengan materi. Harta bagi mereka hanyalah fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk tujuan hidup. Karena itu, petuah Rasul SAW harus dipegang erat-erat dalam sikap hidup kita, “Bekerjalah untuk duniamu seolah engkau hidup abadi dan beramalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati besok.” (HR al-Bazzar).
hidayah, keyakinan, takwa, sabar, syukur. 

***)republika

Kamis, 22 Januari 2015

PINTU SURGA


Surga dengan segala keindahan dan keelokannya memiliki banyak pintu masuk. Masing-masing pintu mempunyai nama-nama sendiri sesuai karakter yang akan memasukinya.
Seperti Sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang selalu mendirikan shalat akan dipanggil dari pintu shalat. Siapa yang ikut berjihad, ia akan di panggil dari pintu jihad. Dan, barang siapa yang selalu melaksanakan puasa akan dipanggil dari pintu yang memancarkan air yang segar (Ar-Rayyan). Dan, barang siapa yang selalu memberikan sedekah akan di panggil dari pintu sedekah." (HR Bukhari).
Mendengar hadis ini, seorang sahabat paling dekat dengan Rasulullah, Abu Bakar RA, bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah bisa seseorang dipanggil dari semua pintu surga tadi?" ujarnya.
Rasulullah SAW bersabda, "Ya (bisa). Aku sangat berharap bahwa engkaulah yang termasuk seorang di antara mereka yang dipanggil dari semua pintu surga itu." (HR Bukhari).
Jika seseorang ingin masuk surga, setidaknya ia harus mengetahui dari pintu mana ia masuk. Artinya, ada amal andalan yang bisa mengantarkannya ke surga. Amal tersebut ibarat tiket yang ia pergunakan untuk melewati pintu surga. Tentu saja, jika seseorang tidak mempunyai tiket, ia tak akan diperkenankan masuk. 
Misalkan, dengan berpuasa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat masuk dari pintu itu. Tidak dibolehkan seorang pun memasukinya selain meraka. Pintu itu mengimbau, 'Di mana orang-orang yang berpuasa?' Orang yang berpuasa pun bangkit. Tidak ada seorang pun yang masuk (pintu itu) kecuali dari mereka. Ketika mereka telah masuk, (pintunya) ditutup dan tak ada seorang pun yang bisa masuk lagi." (HR Bukhari Muslim).
Hanya mereka yang merutinkan puasa saja yang mempunyai harapan masuk dari pintu Ar-Rayyan ini. Siapa yang ingin masuk dari pintu ini maka seyogianya harus merutinkan dirinya dengan puasa-puasa sunah, seperti puasa sunah Senin-Kamis, puasa Asyura, puasa ayyamul bidh (puasa tengah bulan Hijriyah), dan puasa sunah lainnya. Di samping itu, ia juga harus menjaga puasa-puasa wajib.
Lantas, bagaimana nasibnya dengan orang-orang yang tidak mempunyai amal andalan? Berpuasa sering malas, shalat sering lalai, berjihad tidak ikut, beribadah sering enggan, berdakwah tidak mau. Lalu, mereka berangan-angan pula hendak masuk surga? Tentulah angan-angan mereka hanya sia-sia belaka.
Surga itu mahal, mustahil untuk didapatkan dengan angan-angan. Hanya orang-orang yang berkerja keras dengan harta dan dirinya, bersusah-payah beribadah, serta bersabar dengan ujian-ujian, merekalah yang pantas mendapatkan surga. Surga tak didapatkan dengan bersenang-senang dan gelak tawa. Terkadang, untuk mendapatkan tempat yang sangat mahal di akhirat itu, seseorang harus menanggung kelaparan, ketakutan, keletihan, serta sering berurai air mata. Merekalah yang pada akhirnya sampai ke dalam surga.
Adapun orang yang hanya bersenang-senang dengan duniawinya, tak mau direpotkan dengan urusan akhirat, enggan beribadah, dan tak mau mengisi ruhiahnya dengan agama. Ketika di akhirat, mereka selalu ditolak ketika hendak memasuki surga. Penjaga pintu surga tak mengizinkannya masuk karena ia tak termasuk dalam daftar peserta yang masuk ke pintu tersebut. Akhirnya, ketika seluruhnya telah masuk ke dalam surga, pintu surga pun tertutup. Tinggallah ia di luar meratapi nasib. Akhirnya, ia pun dimasukkan ke ruang tunggu, yakni neraka.
Ia dibersihkan dulu dari dosa-dosa yang memberatkannya. Sampai kapan? tidak ada riwayat pasti yang mengatakan berapa lama seseorang harus menunggu di 'ruang tunggu' bernama neraka itu. Ia disiksa sesuai dengan perangai buruknya selama di dunia. Sekejap saja seseorang dicelupkan ke dalam neraka, ia sudah babak belur seakan disiksa ribuan tahun lamanya. Apalagi, harus menanggung penyiksaan yang entah sampai kapan akan berakhir.
Bersyukurlah mereka yang mempunyai banyak amal andalan. Ketika ia sampai di pintu surga, para penjaga pintu berebut agar ia masuk di pintu mereka. Penjaga pintu Ar-Rayyan mempersilakannya, penjaga pintu shalat mengimbaunya, dan penjaga pintu jihad pun mengundangnya. Seperti Abu Bakar RA yang didoakan Nabi SAW bisa memasuki pintu mana saja yang ia kehendaki. Alangkah mulianya orang ini.
kebesaran, keyakinan takwa., hidayah, takwa,


***)republika


Rabu, 21 Januari 2015

PERLUKAH MALU BILA TIDAK TAHU ?

Menjadi suatu aib bagi seorang intelektual ketika ia ditanya dalam suatu pembahasan kemudian ia mengatakan, "Saya tidak tahu." Gengsi bercampur malu jika ada suatu pertanyaan yang tidak bisa ia selesaikan dengan baik. Akhirnya, ia paksakan jua untuk menjawabnya kendati uraiannya tidak berkaitan dengan pertanyaan. Tak jarang, mubalig atau cendekiawan seperti ini justru menjadi pionir penyesat umat.
Salah seorang murid Imam Malik bin Anas, al-Haitsam bin Jumail, pernah menyaksikan kejujuran gurunya. Al- Haitsam mengisahkan, tatkala ia bersama gurunya Imam Malik. "Ia (Imam Malik) ditanya mengenai 48 masalah, lalu menjawab, "La Adri (Aku tidak tahu) pada 32 masalah," kisah sang murid.
Akibat keluguan Imam Malik, si penanya merasa kesal. "Apa yang harus aku katakan kepada kaumku setelah kembali," protesnya. Imam Malik hanya menjawab, "Katakan saja, Malik bin Anas berkata, ‘Aku tidak tahu.’"
Terbayangkah, seorang imam besar mengaku tidak tahu ketika ditanya suatu persoalan? Kurang apa Imam Malik yang lintang-pukang dengan berbagai disiplin ilmu. Semua kajian fi kih dan hadis dilahapnya. Tak ada ketika itu yang lebih alim dari seorang fi gur Imam Malik. Tapi, ia sadar, manusia punya keterbatasan. Hanya Allah SWT saja yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Imam Ibnu Shalah dalam kitab Adab al-Fatawa menjelaskan, orang yang bertanya dalam kisah tersebut merupakan thalib (penuntut ilmu) yang datang dari luar Kota Madinah. Orang tersebut mela kukan perjalanan selama dua bulan sehingga bisa bertemu dengan Imam Malik.
Tetapi, Imam Malik hanya memberikan jawaban terhadap 16 masalah. Hal ini sangat wajar karena Imam Kota Madinah itu tidak pernah melakukan perjalanan selain hanya ke Kota Makkah. Itu pun untuk keperluan haji dan umrah. Seseorang yang tidak banyak melakukan perjalanan ke wilayah lain tentu akan merasa sulit untuk menganalogikan suatu masalah yang terjadi di luar daerahnya dengan persoalan yang ada di negeri asalnya.
Terlepas dari latar belakang itu, al- Hafizh Jalal al-Din al-Suyuthi menulis risalah pendek yang menarik di dalam kitab al-Hawi al-Fatawa tentang kejujuran intelektual ulama salaf. Ia menemukan riwayat-riwayat yang sahih dari para saha bat dan tabiin yang merasa tidak gengsi untuk berkata, "Aku tidak tahu." Bahkan, ada sebuah riwayat yang bersumber dari perkataan Abdullah bin Mas‘ud RA, "Perkataan ‘aku tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu".
Adapun maksud dari ungkapan ini ada lah ketika seseorang mengaku tidak tahu maka sikapnya mengindikasikan keju juran secara ilmiah dan usaha terus-mene rus untuk mencari jawabannya.
Sikap tersebut memang banyak di temu kan di kalangan Nabi SAW, sebagaimana diceritakan oleh Abdur Rahman bin Abu Laila seorang Tabi’in senior. Ia berkata, "Aku bertemu dengan 120 sahabat Anshar. Ketika salah seorang mereka ditanyai mengenai suatu persoalan, maka yang ditanya mengalihkan kepada sahabat yang lain. Begitu juga sahabat yang kedua mengalihkan kepada sahabat yang lain, sehingga kembali lagi kepada sahabat yang pertama."
Bahkan, amir al-mu’minin Umar bin al- Khattab setiap kali ditanyai menge nai suatu persoalan, maka ia selalu ber mu syawarah dan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan sahabat-sahabat Badr (Sahabat yang pernah mengikuti perang Badar).
Tak jarang seseorang menentang sesuatu yang sebenarnya belum dipahaminya dengan baik. Ini tidak hanya terjadi pada manusia biasa saja. Bahkan, orang sekaliber Nabi Musa AS ini pernah menentang prilaku Nabi Khidhr karena belum memahami hakikat dari kejadian yang dilihatnya. Inilah yang dimaksudkan Imam Abu al-Ghazali bahwa seseorang akan menentang sesuatu belum diketahuinya dengan baik.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Imam Malik berpesan kepada orang yang menjadi mufti atau konsultan keagamaan agar berhati-hati. "Hendaklah seorang mufti berpikir ulang sebelum menjawab suatu persoalan. Apakah jawabannya menyebabkan dirinya terjebak ke dalam neraka atau mengantarkannya masuk surga," pesannya. Ini dikarenakan kesa lah an dalam berfatwa menjadi salah satu penyebab seorang mufti digiring masuk Neraka.
Dengan demikian, seorang ustaz atau dai sebenarnya tak perlu merasa malu mengakui ketidaktahuannya, hanya dikarena kan malu di hadapan jamaahnya. Tetapi hendaklah malu kepada Allah Yang Maha Mengetahui isi hati makhluk-Nya
hidayah, keyakinan, takwa, pendidikan.



***)republika

Selasa, 20 Januari 2015

NIKMAT HUJAN


Alhamdulillah, sekarang sudah memasuki musim penghujan. Di mana-mana hujan turun. Ada yang lebat, sedang, tapi ada pula yang ringan.
Ketika hujan turun, beragam cara kita menyikapinya. Ada yang senang, gembira, dan penuh suka cita karena sudah lama hujan tak turun. Tapi banyak pula yang kesal, marah, jengkel, dan kecewa, karena merasa dirugikan akibat hujan tersebut.
Bagi yang senang dengan turunnya hujan, di antaranya adalah petani. Sebab, hujan akan menyuburkan lahannya yang tandus atau gersang. Hujan membuat tanamannya menjadi subur, sehingga penghasilannya pun akan bertambah.
Tetapi hujan yang turun secara terus menerus, terkadang juga menjadibencana bagi petani. Hujan yang terus-menerus itu bisa menyebabkan tanamannya rusak. 
Apalagi kalau sampai terjadi banjir, petani kerap mengeluh karena tanamannya menjadi puso atau gagal panen.
Seperti halnya petani yang mengeluh karena hujan yang turun secara terus-menerus, mayoritas umat manusia pun menyikapinya dengan cara yang sama.
Kesal, jengkel, marah, dan mengeluh, karena hujan telah merugikannya. Tak jarang, umpatan dan cacian terlontar dari mulutnya. 
Mereka kecewa karena hujan merugikan dirinya. Para ibu pun tak kalah mengeluhnya. Jemuran tak kering, mau pergi ke mana-mana nggak bisa,nggak bisa pergi ke pasar, dan lain sebagainya.
Tukang ojek mengeluh karena hujan menyebabkan pendapatannya mungkin akan menurun. Dia tak bisa pergi mengantar penumpang, sebab penumpang lebih memilih naik angkutan umum.
Tetapi, di balik orang-orang yang mengeluh itu, banyak pula yang mensyukurinya. Sopir angkutan umum bersyukur dengan hujan yang turun, karena calon penumpang tukang ojek akan berpindah ke angkutan umum. 
Tukang jual payung bersyukur karena jualan payungnya akan laris. Tukang jual jas hujan beruntung karena penjualan jas hujan akan meningkat.
Karena itu, tak semua orang merugi dengan datangnya hujan. Tak semua orang sengsara dengan hujan. Sebab, ada pihak lain yang mendapatkan manfaat dari hujan itu.
Lalu, bagaimanakah sikap kita sebagai seorang Muslim tatkala hujan turun? Sudah selayaknya kita bersyukur atas nikmat dan karunia Allah berupa hujan itu. Sebab, pada hakikatnya, tak ada satu pun ciptaan Allah SWT yang sia-sia atau tak bermanfaat.
"Yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dengan berdiri, duduk atau sambil berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka." (QS Ali Imran [3]: 191).
Dan Rasulullah SAW mengajarkan kepada umat Islam, agar selalu berdoa di saat hujan turun. "Allahumma shabiyyan naafi'an. Ya Allah, jadikanlah hujan ini membawa manfaat."
"Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia-lah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 22).        kebesaran, keyakinan, hidayah, takwa, 


***)repulika



Senin, 19 Januari 2015

ALLAH PUN TERTAWA


Suatu waktu, Rasulullah SAW kedatangan tamu orang yang sangat tidak mampu (miskin),
Rasulullah SAW kemudian membawa tamunya kepada para sahabatnya, seraya menawarkan, “Siapa saja yang memuliakan tamuku ini, akan mendapat surga.” Salah seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah spontan menjawab, “Saya Rasulullah! 
Ia belum sempat berpikir, apakah di rumah ada makanan atau tidak? Yang terpenting, dia  bisa menolong orang lain dan mendapatkan surga sebagaimana ditawarkan Rasulullah SAW.
Selanjutnya, tamu Rasulullah itu pun diajak ke rumahnya. Sampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah ini!” Istrinya menjawab, “Kita tidak punya persediaan makanan, kecuali untuk si kecil anak kita!
Tanpa berpikir panjang, Abu Thalhah langsung mengutarakan idenya, “Siapkan makanan itu, lalu pura-puralah memperbaiki lampu penerang yang ada di rumah, dan tidurkanlah anak kita!” Ketika hari sudah gelap, tamu Rasulullah itu diajak ke tempat makan.
Istri Abu Thalhah sibuk mempersiapkan hidangan seakan-akan untuk seluruh anggota keluarganya ditambah tamu Rasulullah.
ngajak tamu tersebut ke rumah salah seorang istri beliau agar bisa dijamu selayaknya. Namun, istri Rasulullah hanya memiliki air putih dan tidak bisa menghidangkan makanan yang lain.
Setelah makanan dihidangkan, istri sahabat itu mendekati lampu penerang rumahnya, berpura-pura memperbaikinya, dan kemudian memadamkannya.
Tujuannya tidak lain, agar sang tamu merasa nyaman menikmati hidangan itu sendirian. Sebab, porsi makanan yang ada hanya cukup untuk satu orang.
kebesaran,    Tamu itu menikmati hidangan yang ada dengan lahap, tanpa merasa ada yang janggal dalam jamuan makan malam itu. Dia mengira tuan rumah juga ikut makan bersamanya.
Keesokan harinya, Abu Thalhah menghadap Rasulullah SAW, ia disambut dengan senyuman, lalu beliau bersabda, “Allah tertawa (rida) dengan yang kalian lakukan berdua tadi malam.
Hasilnya, Rasulullah rida dengan simbol berupa senyuman ketika bertemu Abu Thalhah, dan menyampaikan kabar gembira bahwa Allah pun rida dengan apa yang mereka berdua lakukan.
Setidaknya ada tiga hikmah yang bisa kita petik dari kisah yang menjadi sebab turunnya Surah al-Hasyr ayat 9 ini.
Pertama, betapa Rasulullah SAW dan Abu Thalhah sahabatnya memiliki jiwa penolong yang sangat mengagumkan sehingga dengan jiwa tersebut, keduanya tidak sempat berpikir apakah di rumahnya ada makanan yang bisa disuguhkan pada tamunya atau tidak? Yang penting memberi!
Kedua, ketika kedermawanan sudah mendarah daging dalam diri seseorang, berbagai cara bisa ia lakukan untuk tetap bisa memberi kepada orang lain, betapapun sulitnya kondisi yang sedang ia alami. 
Ketiga, orang yang dermawan tidak pernah memikirkan tentang dirinya saat hendak memberi, apa yang akan ia makan? Bagaimana nasibnya nanti ketika ia memberi apa yang dibutuhkannya kepada orang lain?
Bahkan, orang yang dermawan mungkin saja menomorduakan kebutuhan keluarganya ketika ada orang yang lebih membutuhkan.
Maka pantas jika kemudian orang yang memiliki jiwa seperti ini akan mendapat rida Allah SWT. Dan di akhirat akan dimasukkan ke surga-Nya. Sebab, orang yang seperti ini lebih mengutamakan orang lain, atas diri mereka sendiri. 
Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr [59]: 9).
kebesaran, keyakinan, takwa, Tuhan


***)republika

Minggu, 18 Januari 2015

MEMAKAN BANGKAI


Tuhan, tawakal, takwa.  Dalam keseharian, ada kebiasaan yang kadang kita tidak sadari, yaitu membicarakan orang lain. Menanyakan kabar si Fulan tentu saja sangat baik. Tapi, bila disertai dengan sikap mencemooh, apalagi berprasangka buruk dan bergosip ria, tak elok rasanya. Memang, gosip itu makin digosok makin sip.
 
Di waktu senggang, saat bercengkerama dengan tetangga atau rekan kerja, kerap terselip obrolan tentang kebaikan atau keburukan saudara kita. Apalagi, musim kampanye politik ketika saling menjelekkan (bergunjing) dan fitnah menjadi biasa.
Ibarat meminum es, bergunjing sangat mengasyikan, bahkan membuat pelakunya ketagihan tak ada habisnya. Rupanya, kita lupa bahwa tak ada seorang pun dalam kehidupan ini yang sempurna. Jika pun terpaksa membicarakan keburukan orang lain, hendaknya tidak disebutkan nama dan dijadikan hikmah agar kita tak melakukan perbuatan serupa.
Bergunjing merupakan penyakit jiwa yang berbahaya, termasuk kelompok nafsu lawwâmah. Munculnya karena sifat iri dengki dalam hati, tidak suka, cemburu, dan benci. Fitnah dan gosip pun tersebar ke masyarakat. Lalu, muncul guyonan, "Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah."

Sadarilah, kebiasaan tersebut sangat merugikan karena akan memakan amal kebaikan kita seperti api yang membakar kayu. Bahkan, Allah SWT menyerupakannya dengan memakan bangkai manusia.

Tuhan, tawakal, takwa.    "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hujuraat:12)

Bahkan, Rasululllah SAW mewanti-wanti agar kita sebagai umatnya menjauhi perbuatan menggunjing. Diriwayatkan Abu Dawud, Abu Hurairah berkata, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?" Rasulullah menjawab, "Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya." Ditanyakan lagi, "Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?" Rasulullah menjawab, "Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta."

Bayangkan bila yang digunjingkan itu kita atau keluarga, sangat menyakitkan bukan? Introspeksi dirilah lebih banyak lagi. Sibukkanlah diri dengan berbagai aktivitas positif sehingga tak sempat lagi bergunjing. Berprasangka baiklah kepada sesama. Pahamilah semua manusia selalu ada sisi kurangnya, ingatlah selalu sisi baiknya.

Apabila ada tetangga atau saudara yang sukses, kekayaannya bertambah, ikutlah senang. Siapa tahu kita akan ikut merasakan kesuksesannya. Tidak perlu terlalu curiga mendapat rezeki dari mana sehingga kekayaannya melimpah ruah. Jadikanlah penyemangat, giatlah bekerja. Setelah segala ikhtiar dilakukan, bertawakallah kepada-Nya. Syukurilah apa yang telah Allah karuniakan kepada kita.

Jauhkan diri dari perbuatan dosa karena itu berpotensi menjadikan gunjingan tetangga atau rekan kerja dan berlindunglah kepada Allah agar terhindar dari perilaku tercela tersebut. Renungkanlah, jika saja Allah SWT membukakan aib kita, betapa malu dan rendahnya kita di hadapan anak, keluarga, tetangga, dan manusia lainnya. Tutuplah aib saudara sendiri, jadikanlah pelajaran, dan berusahalah untuk terus menjadi manusia yang terbaik dalam penilaian-Nya. Wallâhu'alam.