hidayah, keyakinan, takwa. Perilaku gratifikasi
pernah terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu
Al-Lutaibah yang diberi tugas sebagai pengelola zakat, lantas ia menyalahgunakan
tugasnya (jabatan) untuk memperkaya diri. Suatu hari, Ibnu Al-Lutaibah seorang
petugas zakat datang menghadap Rasulullah SAW untuk melaporkan dan menyerahkan
hasil penarikan zakat dengan mengatakan: “Ini untukmu, dan yang ini telah
dihadiahkan kepadaku!”
Rasulullah SAW seketika
tersentak mendengar laporan keuangan zakat dari amil beliau yang berasal dari
suku Uzdi. Dengan geram dan heran Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya
mengatakan: “Ada apa gerangan seorang petugas yang kami utus untuk menjalankan
suatu tugas lalu mengatakan: “Ini untukmu
(Wahai Rasulullah), dan yang ini telah dihadiahkan untukku!”
Kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak?”
Lanjutnya, “Demi Tuhan yang jiwa kalian berada di tangan-Nya, bahwa tiada yang membawa sesuatupun dari hadiah-hadiah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban tengkuknya pada hari kiamat.” (HR Imam Ahmad).
(Wahai Rasulullah), dan yang ini telah dihadiahkan untukku!”
Kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak?”
Lanjutnya, “Demi Tuhan yang jiwa kalian berada di tangan-Nya, bahwa tiada yang membawa sesuatupun dari hadiah-hadiah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban tengkuknya pada hari kiamat.” (HR Imam Ahmad).
Melalui kisah di atas
Rasulullah SAW menegaskan tentang larangan (haramnya) bagi pejabat atau pegawai
di lingkungan manapun menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri dengan
menerima gratifikasi di luar hak yang telah ditentukan untuknya.
Menurut UU No 31/1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU No. 20/2001 bab
penjelasan Pasal 12B ayat (1), gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), mengungkapkan, sesuai Pasal 12B UU No. 20/2001, setiap
gratifikasi pada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai
pemberian suap, bila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan
kewajibannya. Dalam Islam, seorang pegawai atau pejabat dianggap sebagai
pengkhianat negara jika ia menerima gratifikasi terkait tugasnya. Dalam hal ini
Rasulullah SAW bersabda, “Gratifikasi untuk pegawai atau pejabat adalah
khianat” (HR Ahmad dan
Baihaqi).
Baihaqi).
Islam telah melarang dengan
tegas memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan, termasuk harta dari
hasil gratifikasi (QS al-Baqarah [2]: 188). Di kalangan masyarakat gratifikasi
biasa disebut dengan banyak istilah, seperti money politics, uang sogok, uang
kompromi, dan sejenisnya, tetapi esensinya
adalah suap.
adalah suap.
hidayah, keyakinan, takwa. Terkait suap, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang
yang menerima suap (HR Abu Daud). Dalam hadits yang lain, Rasul SAW pun
melaknat penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR
Hakim). Wallahu a’lam.
Hakim). Wallahu a’lam.
***)republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar