Sabtu, 30 April 2016

BATAS KEZALIMAN

"Sesungguhnya Allah takkan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya walaupun orang-orang yang berdosa tidak menyukainya.'' (QS Yunus, 10: 81-82).
Wahai semua pejuang kebenaran, inilah kabar gembira. Bahwa setiap kemungkaran dan kemaksiatan ada batasnya. Sejarah manusia membuktikan bahwa runtuhnya kezaliman demi kezaliman, sekuat apa pun dia, hanya soal masa.
Ada Fir'aun di era Nabi Musa. Hampir semua orang menyembahnya. Namun, kekuasaannya lenyap sekejap ditelan air laut, berikut ketuhanannya. Sekarang banyak pemimpin zalim, tapi tak ada yang sampai menuhankannya. Bahkan, rakyatnya mengkritik dan mencercanya. Logika sederhana: kesewenang-wenangan mereka punah lebih segera.
Hal serupa juga terjadi pada kaum dan penduduk 'Ad, Tsamud, Sodom, Al Hijr, dan sebagainya. Mereka bisa membangun rumah di gunung dan bukit, yang tak mampu lagi ditiru generasi kita. Toh, semuanya sirna.
Kita juga dapat becermin pada riba. Teori menyatakan uang akan membukit tanpa bekerja. Orang-orang tertentu dapat segera kaya raya. Tapi, itu semua terbukti membangkrutkan negara. Andaikan tiada korupsi dan penyelewengan kekuasaan, yang dibiarkan berlalu seiring dengan berotasinya bumi, tentulah semua insan yang menyemai riba dan memelihara berbagai sarananya, akan jatuh miskin dan menderita.
Firman-Nya, ''Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.'' (QS Al-Baqarah, 2: 276). Terbukti, sebagai kezaliman nyata, bunga dan sejenisnya ada batasnya. Apa pun kezaliman itu, siapa pun pelakunya, seberapa banyak pun pendukungnya, semuanya akan punah tak bersisa. Ambruk di dunia, remuk di alam baka. Itu takdir Allah Taala. Itu sunnatullah, hukum alam bagi siapa saja.
''Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.'' (QS Faathir, 35: 43).
Ironisnya, masih banyak orang tertawa ketika berdosa. Ada yang bangga bisa menenggak minuman keras dan berzina. Mereka tiada malu itu semua dari korupsi dan suap-menyuap menggarap aset rakyat dan negara. Bahkan, gembira bisa berkolusi, walau rakyat jadi tambah menderita karena kenaikan harga, misalnya.
Tidak pernah ada kesedihan, padahal belum berhasil menyejahterakan warga. Seolah-olah tiada takut memikirkan pertanggungjawaban amanah di alam baka. Padahal, semua kezaliman akan sirna. Sementara kita tidak hidup, kecuali terus menghampiri ajal kita.


***) Fahmi AP Pane

Jumat, 29 April 2016

WUDHU KITA MENYELAMATKAN KITA

Wudhu. Sebuah amalan yang kerap dianggap biasa namun memiliki fadilah yang amat besar. Wudhu kerap dimaknai hanya sebuah ritual membasuh anggota tubuh sebelum shalat. Padahal, maknanya jauh melebihi itu.
Wudhu mendapat tempat penting dalam kitab-kitab fikih. Biasanya ia diletakkan di awal pembahasan bersama dengan bahasan bersuci. Bersuci khususnya wudhu menjadi pembuka amaliyah yang amat penting yakni shalat. Tanpa bersuci, maka tidak akan sah shalat seorang Muslim. Wudhu menjadi pembuka amal-amal lain yang terlihat lebih besar.
Makna wudhu secara spiritual juga amatlah membekas. Wudhu menjadi terminal seorang Mukmin untuk membersihkan diri. Bersih secara fisik maupun suci secara batin. Basuhan air ke anggota tubuh saat berwudhu akan menghilangkan hadas. Basuhan yang sama juga akan menggugurkan dosa.
Siapakah makhluk yang bernama manusia yang berani mendeklarasikan diri bebas dari dosa? Hanya Nabi Muhammad SAW yang memiliki sifat maksum. Selebihnya, termasuk kita, adalah gudangnya khilaf dan alpa. Dosa-dosa yang amat kotor jikalau ia nampak itu akan mengerak dalam hati. Menutup kalbu hingga hitam pekat. Sehingga sebuah cahaya akan kesulitan menembus dindingnya dan menghantarkan hidayah.
Allah SWT yang Maha Pengampun menyiapkan banyak sarana untuk mencuci dan membilas dosa-dosa kita agar tak makin legam. Wudhu, adalah salah satu diantara sarana penyucian diri.
Adalah Amr bin Abasah yang bertanya kepada Rasulullah SAW dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim. 
“Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku tentang wudhu?” 
Pertanyaan Amr ini akan menjadi sejarah sekaligus kabar gembira bagi umat. Kabar gembira karena jawaban sang Nabi SAW nantinya, akan mengurai panjang fadilah wudhu dalam menggugurkan dosa-dosa anggota tubuh.

***) Oleh Hafidz Muftisany


Kamis, 28 April 2016

DOSA TERBESAR

Dari Abu Bakrah ra, ia berkata, Nabi Saw bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kamu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?” Kami menjawab, “Tentu saja, wahai Rasulullah!” Rasulullah Saw pun bersabda, “Dosa-dosa tersebut ialah menyekutukan Allah (syirik), mendurhakai orangtua,” beliau pun bersandar lantas duduk, “Ingatlah! dua dosa lagi yaitu perkataan keji dan kesaksian palsu,” Beliau mengatakannya terus menerus dan diulang-ulang hingga kami pun berkata dalam hati, “Duhai, andai saja Rasulullah berhenti mengucapkannya,” (HR Bukhari dan Muslim)
Menurut Dr Musthafa Said al-Khin, Hadits di atas mengandung beberapa faedah yaitu peringatan bahwa dosa yang paling dibenci Allah ialah menyekutukan-Nya, durhaka kepada orangtua, perkataan yang keji dan kesaksian palsu.
Kedua, ancaman keras terhadap perkataan keji dan kesaksian palsu. Rasulullah berulang- ulang memperingatkannya untuk menjelaskan betapa besarnya bahaya perbuatan itu yang dapat mengancam perdamaian umat dan beratnya siksaan yang akan ditanggung oleh pelakunya pada hari kiamat.
Ada dua penyandingan dalam hadits tersebut yang diucapkan Rasulullah pertama, dosa syirik dan dosa mendurhakai orangtua. Betapa banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang perintah untuk hamba-Nya agar menaati Allah dan berbakti kepada orangtua, surah Al-Isra ayat 23 misalnya; dalam ayat tersebut Allah memerintahkan (mewasiatkan; dengan menggunakan lafadz Qadaa) agar kita tidak mendurhakai Allah atau menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun ditambah dengan anjuran untuk berbuat baik kepada orangtua.
Dalam surah lain, yakni Qs Al-Baqarah ayat 215 pun demikian, dengan santun Allah mengajak para hamba-Nya agar menyisihkan rezeki yang Dia berikan untuk orang-orang yang berhak menerimanya; salah satu orang yang berhak yang disebut pertama kali oleh Allah adalah orang tua, kemudian disusul untuk keluarga (kaum kerabat), anak yatim, orang miskin dan orang-orang yang sedang berada di dalam perjalanan (Ibn Sabil).
Pada akhir ayat, Allah menjamin bahwasannya kebaikan apapun yang kita lakukan, Allah pasti akan mengetahuinya. Tentu saja Allah tak sekedar tahu, namun juga Maha Membalas kebaikan yang dilakukan para hamba-Nya untuk dapat memberatkan timbangan kebaikan mereka di yaumil akhir kelak.
Kembali ke konteks hadit yang telah disebutkan di atas, dua perilaku dosa terbesar yang disebut bersamaan adalah perkataan keji dan kesaksian palsu. Disebut bersamaan karena orang-orang yang cenderung mudah untuk mengatakan kata-kata kotor, dusta dan tidak benar, mereka tentu juga akan mudah memfitnah, menghasud, memprovokasi, mengadu domba, bahkan memberikan kesaksian palsu.
Mengapa kesaksian palsu juga masuk ke dalam kategori dosa terbesar? Jelas, karena kesaksian palsu tak hanya menjerumuskan pelakunya ke dalam lubang dosa namun juga merugikan orang lain; terlebih orang yang difitnah karena kesaksian yang tidak benar itu. Karenanya, Allah menegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 263 bahwa perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah dengan diiringi ketidakikhlasan (menggerutu dan sebagainya).
Kendati surah Al-Baqarah ayat 263 secara khusus berbicara tentang sedekah, namun secara umum juga berfungsi sebagai penegasan dan pengingat untuk kita bahwa seutama-utamanya sedekah adalah perkataan baik—yang diharapkan dengan pengingat ini bahwa kita mampu menjaga dan menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang kurang manfaat. Rasulullah pun dalam suatu hadits juga bersabda bahwa kita dianjurkan untuk berkata yang baik-baik (saja), atau jika tidak sanggup maka diam akan jauh lebih baik.
Karenanya, Ibn Mas’ud ra dalam sebuah hadits menguraikan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Allahumma inni as-alukal huda wattuqo wal’afaaf walghinaa—Ya Allah, aku memohon kepadamu hidayah, ketaqwaan, kemampuan untuk menahan diri dan kecukupan rezeki,” (HR Muslim)
Akhirnya, do’a Rasulullah inilah yang mengantarkan kita semua kepada sebenar-benarnya doa dan permohonan bahwa yang perlu kita pinta pada-Nya hanyalah petunjuk, rasa takut yang bertambah kepada Allah, kemampuan untuk tidak melakukan hal-hal buruk (termasuk berkata keji dan kesaksian palsu), juga kekayaan hati dan materi.
Semoga Allah memampukan kita untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak terpuji juga melindungi kita dari empat dosa terbesar di antara yang besar ini. Aamiin.


***) Ina Salma Febriany

Rabu, 27 April 2016

ETIKA MENASEHATI

Harun ibn ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadis yang juga pedagang kain di kota Baghdad bercerita: Suatu hari, saat malam beranjak larut, pintu rumahku di ketuk. “Siapa?” tanyaku. “Ahmad,” jawab orang di luar pelan. “Ahmad yang mana?” tanyaku makin penasaran.
“Ibn Hanbal,” jawabnya pelan. "Subhanallah, itu guruku!" kataku dalam hati. Maka kubuka pintu. Kupersilakan beliau masuk dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya. 
Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak berderit mengeluarkan suara. “Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini?” 
“Maafkan aku ya Harun. Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadis selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu. Ada hal yang mengusik hatiku sedari siang tadi.” Aku terkejut. Sejak siang? 
“Apakah itu wahai guru?” “Mmmm begini!” Suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan, nyaris berbisik. “Siang tadi aku lewat di samping majelismu, saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadis-hadis, sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan. Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun! Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk!” 
Aku tercekat, tak mampu berkata. Maka beliau berbisik lagi, mohon pamit, melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati. Masya Allah! Inilah guruku Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasehat.
Beliau bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi itu tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku di hadapan murid-muridku. Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain yang mengetahui kesalahanku.
Bahkan beliau berbicara dengan suara yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan, agar tak ada anggota keluargaku yang terjaga. Lagi-lagi demi menjaga wibawaku sebagai imam dan teladan bagi keluargaku.
Dari kisah di atas, kita bisa belajar bagaimana arifnya Ahmad bin Hanbal; seorang imam mazhab menyampaikan nasihat kepada muridnya sendiri. Nasihat bukan menunjukkan diri yang paling benar. Nasihat bukan untuk menunjukkan eksistensi diri atau arogansi.
Seringkali kita melupakan etika dalam menyampaikan nasehat. Nasehat hanya bisa diterima oleh hati yang benar-benar menginginkan kebaikan bagi orang yang dinasehatinya. 
Jika nasehat yang disampaikan hanya untuk mempermalukan diri orang lain, niscaya nasehat tak lebih hanya akan menjadi bibit kebencian dan permusuhan. 
Teringat perkataan Imam Asy Syafi’i, “Nasihati aku saat sendiri, jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab nasehat di tengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak; maka maafkan jika hatiku berontak.”  (HR Thabrani). Wallahu’alam.


***) Miftah al-Banjary

Selasa, 26 April 2016

ISYARAT KEMATIAN

 Dalam kitab Irsyadul Ibad dikisahkan, Nabi Ya’qub AS biasa berbincang dengan Malaikat Maut. Di antara perbincangan itu membahas mengenai kematian. 
Nabi Ya’qub berkata, “Aku tahu tugasmu sebagai pencabut nyawa. Alangkah baiknya, jika engkau mengabari aku terlebih dahulu sebelum menjemput ajalku nanti. 
Malaikat Maut pun berkata, “Baiklah, nanti akan kukirimkan kepadamu dua atau tiga utusan.” Selang beberapa lama, datanglah Malaikat Maut menemui Nabi Ya’qub AS. Bertanyalah Nabi Ya’kub, “Apa kedatangan Saudara sekadar bertamu seperti biasanya?
Malaikat Maut menjawab, “Tidak, aku mau mencabut nyawamu.” Nabi Ya’qub berkata, “Bukankah aku pernah berpesan padamu agar mengingatkan aku sebelum kau mencabut nyawaku? 
Malaikat Maut menjawab, “Aku sudah kirimkan kepadamu pesan itu, tidak hanya satu bahkan tiga: pertama, rambutmu yang mulai memutih; kedua, badanmu yang mulai melemah; dan ketiga badanmu yang mulai membungkuk. Itulah pesan yang kukirimkan kepada semua manusia sebelum aku mendatangi mereka.
Begitulah sejatinya Allah SWT telah memberikan peringatan kepada segenap manusia akan datangnya kematian. Karena tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS al-Anbiya’ [21] :35). 
Akan tetapi, manusia lebih suka berpura-pura melupakannya. Manusia seringkali mengakui tiga hal, tetapi sesering itu pula mereka menyalahinya dengan perbuatannya. 
Mereka mengaku sebagai hamba Allah, tetapi kelakukannya sangat tercela. Mereka berkata Allah-lah yang mencukupi kehidupannya, tetapi perhatian dan hati mereka terborgol dengan keduniawian. Mereka mengetahui kematian itu pasti, tetapi mereka beramal seolah-olah tidak akan pernah mati.
Betapa banyak orang yang mengaku ia adalah hamba Allah, tetapi perbuatannya justru mencerminkan dirinya adalah hamba dunia, hamba harta, hamba jabatan, dan sebagainya. 
Lisannya bisa saja berkata, “aku adalah hamba Allah,” tetapi tangannya masih saja mengambil yang bukan haknya, melakukan tindakan korupsi yang merugikan orang banyak, atau menerima sesuatu yang tidak seharusnya.
Oleh karenanya, semoga kita memiliki komitmen yang kuat untuk menata kembali kehidupan kita dengan lebih baik, sehingga sisa-sisa umur kita ini dapat kita gunakan dengan sebaik-baiknya, sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah SAW. 
Dengan bertambahnya umur, semoga bertambah pula ketaatan dan ibadah kita kepada Allah SWT, dan bukan justru bertambah dosa-dosa kita kepada-Nya.

***)Ahmad Agus Fitriawan

Senin, 25 April 2016

LARI DARI TAKDIR

Dalam hadis sahih diterangkan tentang salah satu doktrin keimanan Islam, yaitu percaya kepada takdir. Hadis itu berbunyi, ''Wa bi al-qadar khairihi wa syarrihi min Allah (dan kamu harus percaya kepada takdir yang baik maupun yang buruk sebagai ketetapan dari Allah).''
Sebagian kaum Muslim, menurut pembaharu Muslim Jamaluddin al-Afghani, telah melakukan kesalahan besar berkenaan dengan paham takdir ini. Mereka dinilai keliru, karena memahami takdir identik dengan nasib, sehingga mereka menjadi orang-orang yang apatis, bermalas-malasan, dan gampang menyerah kepada nasib (fatalistis), tanpa aktivisme dalam hidup, baik dalam berpikir maupun bertindak.
Kritik serupa dilontarkan pemikir besar Maulana Muhammad Ali. Takdir seperti dipahami oleh kebanyakan kaum Muslim itu, menurut Muhammad Ali, agak aneh lantaran tidak ditemukan dalam Alquran. Dalam Alquran, kata qadar atau takdir hanya menunjuk pada dua makna, yaitu ukuran segala sesuatu (al-Qamar: 49) dan hukum alam (Yasin: 38). Jadi, tidak ada dalam Alquran kata takdir untuk arti pasrah dan menyerah kepada nasib (fatalisme).
Umar bin Khathab, sahabat Rasulullah SAW yang dikenal sangat cerdas dan memiliki intelektualisme tinggi, mempunyai pemahaman menarik mengenai takdir itu. Diceritakan, selaku khalifah Umar bin Khathab pernah berencana melakukan kunjungan ke Suriah. Tiba-tiba terbetik berita bahwa di daerah itu sedang terjadi wabah penyakit menular.
Lalu, Khalifah Umar membatalkan rencana kunjungannya itu. Para sahabat banyak yang protes atas sikap Umar itu. ''Apakah Tuan hendak lari dari takdir Allah?'' tanya mereka. Jawab Umar, ''Aku lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain.''
Secara teologis, jawaban Umar ini sangat menarik untuk dipelajari. Dari jawaban tersebut, terlihat bahwa Umar tidak memahami takdir dalam arti sempit dan tidak dalam arti fatalistik (jabariyah). Di sini Umar memandang bahwa wilayah yang terkena musibah itu sebagai takdir Allah, tetapi wilayah yang aman dan tenteram juga takdir Allah.
Sebagai sama-sama takdir Allah, maka Umar, dengan kehendak dan pilihan bebasnya, memilih menghindar dari takdir yang buruk dan beralih menuju takdir yang baik.
Dalam pandangan Umar, takdir bermakna kesempatan baik dan kesempatan buruk diciptakan oleh Tuhan untuk selanjutnya manusia memilih dan menetapkan takdirnya sendiri. Kesempatan baik dan kesempatan buruk sebagai takdir dari Tuhan, tentu harus diterima dengan sepenuh hati. Namun, manusia dengan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki wajib berikhtiar untuk menggapai kesempatan yang baik itu. Inilah sesungguhnya makna hadis, ''Wa bi al-qadar khairihi wa syarrihi min Allah.''
Dalam pengertian ini, paham takdir tidak membawa pada fatalisme. Ini berarti, kalau bersedia dan ada kemauan, kita dapat memilih takdir yang lebih baik untuk diri maupun untuk bangsa kita, sehingga kita lebih dewasa dan tidak kehilangan akal sehat dalam menyikapi berbagai bencana dan musibah yang kini melanda bangsa kita.Wallahu a'lam.


***) A Ilyas Ismail-- Pusat Data Republika

Minggu, 24 April 2016

MENGHINDARI SIFAT MUNAFIK

Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Amru, Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Tanda orang munafik ada tiga. Jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, jika diberi amanah ia berkhianat. (HR Bukhari). Dalam HR Muslim ada penambahan, ''Walaupun ia puasa, shalat, dan mengaku sebagai Muslim.''
Menurut para ulama, penipuan, makar, pengelabuan dengan menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan, termasuk dalam nifak. Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Jami'u l-Ulum wa l-Hikam membagi nifak dalam dua jenis.
Pertama, nifak besar (akbar) yang biasa dikenal dengan nifak i'tiqady. Pelakunya berkamuflase mengaku beriman kepada Allah SWT, malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, dan hari akhir.
Namun, di balik itu ia mendustakan semua atau sebagiannya. Nifak seperti ini ada pada zaman Muhammad SAW dahulu. Saat itu, Abdullah bin Ubay menjadi panutan kaum munafik. Ia menyebarkan isu bahwa antara Ummul Mukminin Aisyah dan Shafwan bin Mu'aththal ada affair.
Kedua adalah nifak kecil (asghar) yang bersifat amali. Biasanya si pelaku bersikap hipokrit (munafik) dengan menampakkan kebaikan yang sejatinya tidak demikian. Sebagian ciri-ciri nifak jenis ini seperti dusta, ingkar janji, dan khianat.
Sudah jamak diketahui bahwa dusta dalam berbicara adalah sifat yang tidak terpuji. Apalagi kalau dusta kepada orang yang percaya akan kejujuran si pembicara. Dalam al-Musnad ada sebuah hadis bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Sebuah pengkhianatan yang besar jika kamu berbicara dengan saudaramu dan ia percaya kepadamu (bahwa kamu tidak akan berdusta), sedangkan kamu berdusta kepadanya.''
Sedangkan ingkar janji adalah perkara yang dilarang keras dalam Islam, baik dalam urusan yang besar maupun remeh. Abdullah bin Amir pernah bercerita, ''Suatu ketika Muhammad SAW berkunjung ke rumah kami. Ketika itu aku masih kecil. Tatkala aku hendak keluar rumah untuk bermain, ibuku memanggilku, Abdullah! sini ibu punya sesuatu untukmu.''
Maka Rasulullah bertanya, ''Apa yang akan kamu berikan buat anakmu?'' ''Akan kuberi kurma,'' jawab ibuku. Rasulullah SAW berkata, ''Seandainya kamu tidak memberi apa-apa kepada anakmu maka kamu dicatat telah berbuat dusta.'' (HR Abu Daud).
Mengenai amanah, ia merupakan perwujudan kepercayaan orang kepada yang diamanahi. Sangat tidak wajar jika ada orang yang menitipkan barangnya kepada pengkhianat. Selayaknya seorang Muslim membalas kepercayaan saudaranya dengan menjaga amanah yang dibebankan kepadanya.
Menjaga diri dari tiga sifat di atas sangatlah perlu. Jika tiga sifat itu bersemayam dalam diri seseorang dan tidak segera diobati, maka pada gilirannya akan menggiring pada nifak akbar yang ancamannya tidak ada selain api neraka.


Sumber : Pusat Data Republika

Sabtu, 23 April 2016

JIHAD BAGI WANITA

Ibnu Abbas RA menuturkan, datang seorang wanita kepada Nabi SAW seraya berkata, “Sesungguhnya aku adalah duta kaum wanita untuk menghadapmu. Tidak ada seorang wanita di antara mereka, baik yang mengerti maupun tidak mengerti, melainkan dia akan merasa senang dengan kehadiranku di hadapanmu." 
Allah adalah Tuhan kaum laki-laki dan wanita, sedang engkau adalah Rasul Allah kepada kaum laki-laki dan wanita. Jihad telah diwajibkan kepada kaum laki-laki. Jika menang, mereka akan kaya. Jika gugur sebagai syahid, mereka tetap hidup di sisi Tuhannya. Lalu, adakah di antara amal-amal kaum wanita yang mampu menandingi hal itu?” 
Nabi SAW menjawab, “Menaati suami dan mengetahui hak-hak mereka (dapat menyamai jihad di jalan Allah), tetapi sedikit dari kalian yang melakukannya.” (HR Thabrani). 
Hadis di atas memberikan penjelasan bagi kaum wanita yang memiliki semangat untuk berjihad di jalan Allah SWT. Dan ternyata, jihad bagi kaum wanita itu cukup mudah dan hal itu tidak jauh dari rumah tangganya. 
Jihad bagi kaum wanita sebagaimana hadis di atas adalah taat kepada suami. Sebab, ketaatan seorang wanita (istri) kepada Allah tidak akan sempurna jika tanpa diikuti dengan ketaatan kepada suami, selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat. 
Aisyah RA berkata, “Seandainya seorang wanita menaati Tuhannya dan menjaga kemaluannya, kemudian ia menyakiti suaminya dengan suatu kata, maka malaikat akan melaknatnya sepanjang malam.” (HR Baihaki).
Rasulullah SAW pernah berpesan kepada seorang sahabat dari kalangan kaum wanita agar taat suami karena surga dan neraka seorang wanita (istri) ada pada suaminya. Sabdanya, “Perhatikanlah posisimu dari dirinya karena sesungguhnya dia (suami) adalah surgamu dan nerakamu.” (HR Ahmad). 
Meski demikian, sebagai seorang laki-laki (suami), tidak boleh egois. Justru Rasulullah SAW berpesan khusus kepada kaum laki-laki agar memperlakukan kepada kaum wanita dengan lemah lembut. 
Rasulullah SAW bersabda, “Berpesanlah kebaikan kepada kaum wanita karena mereka tercipta dari tulang rusuk. Sesungguhnya yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika kalian berusaha meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Jika engkau membiarkannya, dia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berpesanlah kebaikan kepada kaum wanita.” (HR Bukhari). 
Semoga Allah membimbing kita para wanita agar menjadi istri yang selalu taat kepada suami dan menjadi laki-laki (suami) yang dapat memperlakukan istri dengan lemah lembut. Amin. 

***)  Siti Mahmudah ---Republika online

Jumat, 22 April 2016

TETANGGA PENJAMIN SURGA

Manusia adalah makhluk-makhluk sosial. Saat lahir, dia membutuhkan dekapan seorang ibu, saat kecil butuh teman bermain, saat dewasa memerlukan teman hidup, dan saat beranjak tua perlu orang yang merawat serta memperhatikannya. Bahkan saat meninggal pun, masih membutuhkan orang lain untuk memandikan, menshalatkan, dan menguburkannya.
Karena itu, sejak manusia belum terlahir hingga setelah meninggal, pasti butuh kehadiran orang lain. Sangat tidak tepat bila kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri. Dalam posisi seperti inilah arti penting tetangga sebagai orang yang dekat dengan kita.
Terkadang kedudukan tetangga jauh lebih penting daripada saudara, karena merekalah pihak pertama yang kita mintai pertolongan saat dalam posisi bahaya. Demikian pentingnya tetangga, hingga Rasulullah SAW pernah menyebutkan, kualitas keimanan seseorang, salah satu tolak ukurnya adalah sejauh mana ia mampu berbuat baik kepada tetangganya.
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya." (HR Bukhari dan Muslim). Bahkan berbuat baik kepada tetangga merupakan salah satu penjamin seseorang bisa masuk surga. "Tidak masuk surga seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya." (HR Bukhari dan Muslim).
Seseorang berkata, ''Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah banyak melakukan shalat, sedekah, dan puasa. Hanya saja ia menyakiti tetangga dengan lisannya.'' Rasulullah SAW bersabda, ''Seseorang diceritakan sedikit melakukan puasa dan shalat, tapi ia bersedekah dengan beberapa potong keju dan tidak menyakiti tetangganya, maka wanita ini ada di dalam surga.'' (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Untuk itu, mulailah berbuat baik kepada tetangga kita. ''Sebaik-baik teman di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara mereka terhadap temannya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.'' (HR Tirmidzi).
Berbuat baik kepada tetangga bisa diwujudkan seperti berbahagia ketika tetangga mendapat karunia dan ikut bersedih (berempati) bila mendapat musibah, sehingga melahirkan sikap saling membantu; berpikir positif terhadap yang dilakukan tetangga dan jangan berprasangka negatif; bila kita punya kelebihan rezeki, hendaklah berbagi dengan tetangga.
Rasulullah SAW menganjurkan untuk saling memberi hadiah, karena itu akan melahirkan kecintaan di antara sesama. Bahkan saat orang lain berbuat keburukan, kita tidak dianjurkan untuk membalasnya dengan keburukan yang serupa. ''Kalau kamu memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian lihatlah keluarga dari tetanggamu. Dan berilah mereka dengan baik.'' (HR Muslim). Bukhari pun meriwayatkan, ''Tidaklah disebut Mukmin orang yang kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan.''


Sumber : Pusat Data Republika

Kamis, 21 April 2016

MENJADI BURUNG BUTA DAN LUPUH

 Syaqiq Al-Balkhy, seorang zahid, bermaksud menggeluti dunia bisnis. Ia berpamitan kepada Ibrahim bin Adham, juga seorang zahid yang sangat wara'. 
Ibrahim berdoa agar Syaqiq diberkahi dalam bisnisnya, senantiasa zahid, dan melaksanakan ibadah dan dzikir. Namun, baru beberapa hari meninggalkan kampung halamannya, Syaqiq kembali. Ibrahim merasa heran dan bertanya, "Mengapa engkau kembali lagi?" 
Syaqiq menceritakan peristiwa yang membuatnya kembali pulang dan meninggalkan tekadnya semula. "Tatkala saya singgah di tengah perjalanan untuk beristirahat, saya memasuki reruntuhan rumah untuk suatu keperluan. Di dalamnya saya melihat seekor burung yang buta lagi lumpuh, tentu saja tak mampu bergerak, apalagi terbang. Saya merasa iba melihatnya. Kemudian saya berkata sendiri, 'Dari mana burung malang ini bisa mendapatkan makanan di tempat ini?' Tak lama kemudian, seekor burung lain membawa makanan, menyuapi burung yang buta dan lumpuh tersebut. 
Saya mengamatinya sampai beberapa hari. Terbesit di hati saya, 'Sesungguhnya yang memberikan rezeki kepada burung yang buta dan lumpuh di reruntuhan ini, juga mampu memberikan rezeki kepadaku.' Lalu saya menetapkan kembali ke kampung halaman." 
Ibrahim bin Adham berkata, "Subhanallah! Wahai Syaqiq! Mengapa engkau rela menjadikan diri sendiri sebagai burung buta dan lumpuh yang hanya bisa menunggu pertolongan yang lain? Mengapa engkau tidak bertekad menjadi burung lain yang berusaha dan berjerih payah, lalu kembali sambil membawa hasil jerih payahnya untuk disuapkan kepada burung yang buta dan hanya duduk-duduk saja? 
"Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi SAW, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?" Syaqiq bangkit menghampiri Ibrahim, lalu memeluk tangannya. Seraya berkata, "Engkau adalah guru kami, Wahai Abu Ishaq!" 


***) ASM Romli---Sumber : Pusat Data Republika

Rabu, 20 April 2016

GUBERNUR YANG MISKI

 Suatu waktu, Khalifah Umar bin Khattab kedatangan tamu dari negeri Himsy, salah satu wilayah kekuasaan Islam. Khalifah Umar dengan ramah tamah menghormati tamu-tamunya.
Selang beberapa saat, Khalifah Umar mengadakan temu wicara dengan mereka. Ia banyak bertanya tentang kondisi rakyatnya di sana, baik pendidikan, kesehatan maupun kesejahteraannya. Seusai dialog, Khalifah Umar bin Khattab menyuruh para tamunya itu untuk mencatat dan melaporkan rakyatnya yang kurang mampu. 
Ketika membaca laporan tersebut, Khalifah Umar tiba-tiba terlihat kaget saat melihat nama Sa'id bin 'Amir tercantum dalam daftar orang miskin. Dengan keadaan penasaran Khalifah Umar memanggil mereka dan bertanya. ''Wahai tamu-tamuku, siapakah gerangan Sa'id ibn 'Amir yang kalian maksud?'' Mereka menjawab, ''Beliau adalah gubernur kami dan salah seorang utusan Amirul Mukminin yang telah diamanahi tugas untuk memimpin kami.'' 
Pada saat itu, Khalifah Umar langsung menangis. Ia tak kuat menahan haru atas kejujuran serta keamanahan utusannya. Khalifah Umar pun segera memberikan hadiah khusus buat sang gubernurnya.
Sesampainya hadiah tersebut kepada Sa'id bin 'Amir, ia justru bukan merasakan kebahagiaan dengan mendapatkan bingkisan dari atasannya. Yang terjadi malah sebaliknya. Ia sangat khawatir dengan ujian kenikmatan mendapatkan materi. 
Dengan bersegera, Sa'id pun membagikan kembali hadiah tersebut kepada rakyatnya yang betul-betul membutuhkannya. Ia bahkan tidak mengambil sepeser pun buat kepentingan pribadi dan keluarganya. Sungguh dalam kisah ini terkandung banyak hikmah yang bisa kita petik.
Seorang pemimpin besar yang mempunyai kekuasaan luas, walau ia belum sempat mengunjungi semuanya, tapi ia sangat telaten untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Kebutuhan rakyatnya selalu ia perhatikan serta segera dipenuhi. 
Bukan malah sebaliknya, kebutuhan rakyat yang sangat mendasar dihilangkan atau kurang dipenuhi, sehingga menelantarkan dan menyusahkan mereka. Begitu pula pejabat yang diamanahi tugas, betul-betul melaksanakan amanahnya. Para pembantunya tidak serta-merta karena mempunyai wewenang, lantas manfaatkan kedudukannya dengan mengeksploitasi segala hal untuk memenuhi keinginannya. 
Penunjukan pejabat bukan karena hasil kolusi dan nepotisme atau uang pelicin. Tapi, lebih berdasarkan pada profesionalisme. Dengan cara seperti itulah insya Allah semua tugas akan mampu dilaksanakan dengan baik. Sungguh, alangkah rindunya kita kepada tipe pemimpin dan pejabat seperti mereka. Wallahu a'lam.


***) Pardan Syafrudin--Sumber : Pusat Data Republika

Selasa, 19 April 2016

MEMELIHARA TAKWA

Suatu ketika, Abu Hurairah ditanya oleh seseorang, ''Wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu?'' Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi.
''Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?'' Orang itu menjawab, ''Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.'' Abu Hurairah cepat berkata, ''Itulah dia takwa!'' (HR Ibnu Abi Dunya).
Kata takwa, menurut HAMKA dalam tafsirnya, Al-Azhar, diambil dari rumpun kata wiqayah yang berarti memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT. Memelihara jangan sampai terperosok kepada perbuatan yang tidak diridhai-Nya. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang penuh lumpur atau duri.
Takwa, dengan demikian, tidak dapat diartikan sebatas takut kepada Allah SWT. Rasa takut kepada Allah SWT adalah bagian kecil dari takwa. Menurut HAMKA lagi, dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, dan sabar. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh. Bahkan, dalam kata takwa terkandung juga arti berani.
Itulah kandungan takwa yang diilustrasikan Allah SWT. ''Itulah Alquran yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Ia adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Yaitu, mereka yang beriman kepada hal-hal gaib, mendirikan shalat, dan menyedekahkan sebagian harta yang mereka miliki dari rezeki Kami. Dan, juga mereka yang beriman dengan yang kami turunkan kepadamu wahai Muhammad, dan yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelummu. Mereka juga beriman kepada akhirat. Itulah mereka yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka. Dan, mereka itulah orang-orang yang beruntung.'' (QS Al-Baqarah: 2-5).
Pada ayat yang lain, Allah SWT mengungkapkan makna takwa sebagai upaya pemeliharaan. ''Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Di dalamnya ada malaikat yang sangar dan keras. Mereka tidak pernah mendurhakai Allah. Justru, mereka selalu patuh menjalankan segala perintah Allah.'' (QS At-Tahrim: 6).
Maka, takwa, sebagai upaya pemeliharaan diri, harus terus-menerus terbenam dalam hati kita. Dengan bekal takwa, seseorang akan mampu mengontrol tingkah laku. Ia akan selalu menimbang apakah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan rasul-Nya atau tidak. Jika takwa sudah menjadi baju dan bekal hidup seseorang, maka takwa akan menjadi gaya hidupnya.
Gaya hidup itulah yang kemudian terakumulasi menjadi suatu budaya. Yaitu, hasil budi daya manusia dalam mengembangkan dan menerapkan ketakwaan itu dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman, ''Jika penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maka Kami akan bukakan untuk mereka pintu-pintu keberkatan dari langit dan bumi.'' (QS Al-A'raf: 26). Wallahu a'lam bi as-Shawab.

***) Fajar Kurnianto

Sumber : Pusat Data Republika

Minggu, 17 April 2016

BAGAIMANA SUPAYA TIDUR BERPAHALA ?

Tidur  hakikatnya adalah kematian yang tertunda. Begitulah Alquran memberitakan. Dalam QS Az-Zumar [39] ayat 42 Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang yang belum mati) di waktu tidurnya. Maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan kembali jiwa orang (yang tidur, menjadi hidup kembali ketika bangun) sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mau berpikir."
Apa makna ayat ini? Allah SWT menempatkan nafs atau nyawa dalam wadah yang tidak kekal. Wadah tersebut bernama badan (jasmani). Bila wadah tersebut rusak, hingga menimbulkan kematian, maka Allah SWT akan memisahkan nafs tersebut dengan pemisahan yang sempurna.
Dalam tidur pun terjadi pemisahan, tetapi pemisahannya tidak sempurna. Karena itu, nafs (nyawa) bagi yang tidur akan kembali pada wadah yang menampungnya. Sehingga ia dapat bangun kembali sampai tiba masa pemisahan yang sempurna saat kematiannya. Demikian komentar Dr Quraish Shihab tentang ayat tersebut.
Rasulullah SAW pun dalam beberapa hadisnya mempersamakan tidur dengan kematian. Ketika hendak tidur misalnya, beliau selalu berdoa, "Ya Allah dengan nama-Mu aku hidup dan mati" (HR Bukhari). Saat terjaga beliau pun membaca doa yang hampir serupa, "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitan" (HR Bukhari dan Muslim).
Tidur menghabiskan sepertiga waktu hidup kita. Alangkah ruginya bila waktu yang melimpah tersebut kita sia-siakan begitu saja. Setidaknya ada dua hal yang layak kita lakukan. Pertama, meniatkan tidur sebagai ibadah. Niat adalah faktor fundamental dalam setiap gerak langkah seorang Muslim. Baik tidaknya sebuah amal sangat dipengaruhi lurus tidaknya niat yang di-azzam-kan dalam hati.


Sumber : Pusat Data Republika

Sabtu, 16 April 2016

4 AMALAN MENJELANG TIDUR

Berkaitan dengan persiapan menjelang tidur. Rasulullah SAW pernah pula berwasiat kepada istrinya, Siti 'Aisyah. Rasul bersabda, "Wahai 'Aisyah, janganlah engkau tidur sebelum engkau lakukan empat hal: mengkhatamkan Alquran, memperoleh syafaat dari para nabi, membuat hati kaum Mukminin dan Mukminat senang dan ridha kepadamu, serta melakukan haji dan umrah."
'Aisyah bertanya, "Ya Rasul, bagaimana mungkin aku melakukan itu semua sebelum tidur?" Rasulullah SAW menjawab, "Sebelum tidur, bacalah Qul huwallahu ahad tiga kali. Itu sama nilainya dengan mengkhatamkan Alquran". Yang dimaksud dengan Qul huwallahu ahad adalah seluruh surat Al-Ikhlas, bukan ayat pertamanya saja. Dalam banyak hadis, sering kali suatu surat disebut dengan ayat pertamanya.
Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, "Kemudian agar engkau mendapat syafaat dariku dan para nabi sebelumku, bacalah shalawat: Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama shalayta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim. Allahumma barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim fil 'alamina innaka hamidun majid." 
"Sebelum tidur, hendaknya kamu lakukan haji dan umrah." Bagaimana caranya? Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang membacasubhanallah wal hamdulillah wa la ilaha ilallah huwallahu akbar, ia dinilai sama dengan orang yang melakukan haji dan umrah".

Niat dan ikhtiar (berupa persiapan) bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak akan sempurna yang satu tanpa pelaksanaan yang lain. Akhirnya, semoga kita bisa mengamalkannya, sehingga tidur kita menjadi bagian dari pengabdian diri pada Allah SWT. Wallahu a'lam bish-shawab. 

***)Republika Online

Jumat, 15 April 2016

3 KELOMPOK YANG DIBENCI RASULLAH SAW

Dalam Kitab Riyadhush-Shalihin, Imam an-Nawawi menukil sebuah hadis yang diriwayatkan Imam At-Turmudzi dari Jabir RA. Pada suatu kesempatan, Nabi SAW berkumpul dengan sahabatnya, lalu memberi petuah yang menggetarkan hati. 
Sesungguhnya, yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan, sungguh yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah al-tsatsaruun dan al-mutasyaddiquun serta al-mutafaihiquun," sabda Rasulullah SAW. 
Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, Kami mengerti al-tsartsaruun dan al-mutasyaddiquun. Tapi, siapakah al-mutafaihiquun itu?” Beliau SAW menjawab, “al-mutakabbiruun." 
Melalui hadis ini, Nabi SAW hendak mengingatkan umatnya akan tiga perkara yang paling dibencinya karena termasuk akhlak al-mazmumah (perilaku buruk) yakni: Pertama, al-tsartsaruun (orang yang banyak celoteh dan suka membual). 
Golongan pertama yang dibenci Nabi SAW adalah pembual atau pendusta yang banyak cakap dan lagunya, serta pandai pula bersilat lidah. Kadang disertai argumentasi logis dan yuridis, namun mengandung kebohongan dan tipuan. Kalau bicara seenaknya, kurang menjaga adab dan menyela pembicaraan. 

Nabi SAW berpesan, “Katakanlah yang baik atau diam.” (HR Bukhari). Banyak kata tapi sedikit makna dan tidak sesuai fakta. Mereka itulah orang-orang munafik yang apabila berkata ia dusta, bila berjanji diingkari dan bila dipercaya dikhianati (HR. Bukhari). Jangan percaya kepada orang yang banyak cakap, tapi minim amal atau tidak sesuai dengan lakunya (QS [61]:2-3). 
Kedua, al-mutasyaddiquun (Orang yang suka bicara berlebihan kepada orang lain). Golongan kedua yang dibenci Nabi SAW adalah orang berlagak fasih dengan tata bahasa yang menakjubkan. Jika bicara, bumbunya berlebihan hingga tak sesuai kenyaataan. 
Lihai dalam bertutur kata, tapi hanya ingin dapat pujian. Tidak jarang pula, bahasanya indah namun berbisa (menghinakan). Susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah. 
Dalam diri manusia ada hati (wadah), akal (pengendali) dan hawa nafsu (keinginan). Jika hati kotor maka yang keluar dari lisan pun kotor. Jika baik maka yang keluar dari ucapan juga baik (QS [91]:8-10). Alquran menyindir manusia yang perkataannya menarik, tetapi palsu belaka (QS [2]:204, [22]:30). 
Ketiga, al-mutafaihiquun (Orang yang suka membesarkan diri). Golongan ketiga yang sangat dibenci Nabi SAW yakni orang sombong atau angkuh. Kesombongan pertama adalah ketika Iblis menolak sujud kepada Nabi Adam AS, lalu ia pun dikeluarkan dari surga (QS [5]:29-35). 

Fir’aun yang mengaku Tuhan (QS [79]:23-25,[28]:38), akhirnya ditenggelamkan di Laut Merah. Qarun yang pongah karena harta kekayaannya (QS [28]:76-82), dilenyapkan ke perut bumi. Raja Namrudz yang menyetarakan diri dengan Allah SWT. (QS [2]:258), justru dimatikan oleh seekor nyamuk. 
Nasihat Imam Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam perlu kita renungi, "Kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan penyesalan, lebih baik dari ketaatan yang melahirkan bangga dan kesombongan." 
Tetaplah rendah hati, karena keangkuhan adalah awal dari semua kejatuhan. Jangan sombong di depan orang tawadhu, nanti kau dipermalukan. Jangan pula rendah hati di depan orang sombong, nanti kau dihinakan. Allahu a’lam bish-shawab. 


***) Dr Hasan Basri Tanjung (Republika Online)

Kamis, 14 April 2016

BAGAIMANA SUPAYA TIDUR BERPAHALA ?

Tidur hakikatnya adalah kematian yang tertunda. Begitulah Alquran memberitakan. Dalam QS Az-Zumar [39] ayat 42 Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang yang belum mati) di waktu tidurnya. Maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan kembali jiwa orang (yang tidur, menjadi hidup kembali ketika bangun) sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mau berpikir."
Apa makna ayat ini? Allah SWT menempatkan nafs atau nyawa dalam wadah yang tidak kekal. Wadah tersebut bernama badan (jasmani). Bila wadah tersebut rusak, hingga menimbulkan kematian, maka Allah SWT akan memisahkan nafs tersebut dengan pemisahan yang sempurna.
Dalam tidur pun terjadi pemisahan, tetapi pemisahannya tidak sempurna. Karena itu, nafs (nyawa) bagi yang tidur akan kembali pada wadah yang menampungnya. Sehingga ia dapat bangun kembali sampai tiba masa pemisahan yang sempurna saat kematiannya. Demikian komentar Dr Quraish Shihab tentang ayat tersebut.
Rasulullah SAW pun dalam beberapa hadisnya mempersamakan tidur dengan kematian. Ketika hendak tidur misalnya, beliau selalu berdoa, "Ya Allah dengan nama-Mu aku hidup dan mati" (HR Bukhari). Saat terjaga beliau pun membaca doa yang hampir serupa, "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitan" (HR Bukhari dan Muslim).
Tidur menghabiskan sepertiga waktu hidup kita. Alangkah ruginya bila waktu yang melimpah tersebut kita sia-siakan begitu saja. Setidaknya ada dua hal yang layak kita lakukan. Pertama, meniatkan tidur sebagai ibadah. Niat adalah faktor fundamental dalam setiap gerak langkah seorang Muslim. Baik tidaknya sebuah amal sangat dipengaruhi lurus tidaknya niat yang di-azzam-kan dalam hati.

Sumber : Pusat Data Republika

Selasa, 12 April 2016

DOA MENJELANG UJIAN

Doa bersama menjelang digelarnya ujian seakan menjadi sebuah tradisi tersendiri di lingkungan sekolah. Hal itu dilakukan sebagai upaya pemantapan mental siswa. 
Agar kegiatan doa bersama itu tidak menjadi sekadar rutinitas hendaknya pihak sekolah melalui guru mata pelajaran pendidikan Agama Islam memahamkan kepada siswa tentang pentingnya doa. Sebab kesuksesan, termasuk dalam ujian, tidak ditentukan oleh kecerdasan siswa, melainkan adanya pertolongan Allah SWT (QS an-Nashr [110]: 1).
Siswa yang selalu berdoa –-bukan berdoa ketika lagi butuh-- akan terinternalisasi dalam dirinya dan memahami bahwa manusia tidak memiliki kuasa. Manusia hanya dapat berencana dan Tuhan-lah yang menentukan kesuksesan itu, termasuk kesuksesan dalam ujian. 
Karenanya sebelum, selama, dan setelah ujian pun siswa hendaknya terus berdoa. Melalui doa, siswa akan lebih tenang, rileks, dan lebih fokus dalam menghadapi ujian. 
Terkait hal ini Rasulullah SAW memberikan tuntunan doa mengusir kegelisahan. ”Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hazan, wa a’udzubika minal ’ajzi wal kasal, wa a’udzubika minal jubni wal bukhl, wa a’udzubika min ghalabatid daini wa qahrir rijal. 
Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan kesedihan, dan aku berlindung pada-Mu dari ketidakberdayaan dan kemalasan, dan aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari problem keuangan dan tekanan orang lain.''(HR Abu Dawud).
Pertanyaannya, kapan waktu yang tepat untuk berdoa? Terkait hal ini Rasulullah SAW menginsyaratkan waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa.
Di antaranya, yaitu pada sepertiga malam (HR Muslim), pada hari Jumat (HR Bukhari dan Muslim), sesudah shalat lima waktu (HR Tirmidzi), dan waktu antara adzan dan iqamat (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Selain dengan penguatan melalui doa, siswa hendaknya berusaha (belajar) secara rutin dengan bimbingan guru di sekolah dan orang tua di rumah. Berdoa dan belajar bagi siswa harus dilakukan secara istikamah, bukan musiman. 
Setelah itu lakukan tawakal, serahkan hasil akhir (lulus atau tidak lulus dalam UN) sepenuhnya kepada Allah SWT. Di sinilah perlunya internalisasi siswa melalui tradisi DUIT (Doa dan Usaha dilakukan secara Istikamah, lalu Tawakal). 
Dan untuk membumikan tradisi tersebut pihak sekolah harus bekerja keras (berjihad) melawan tradisi yang sudah mendarah daging di kalangan siswa, yaitu tradisi SKS (Sistem Kebut Semalaman).
Untuk menghentikan tradisi SKS di lingkungan sekolah, pihak guru (di sekolah), orang tua (di rumah), dan masyarakat sebagai kontrol sosial hendaknya terus mengkampanyekan secara masif DUIT yes, SKS no. 
Dengan demikian, jika tradisi DUIT ini dapat mengalahkan tradisi SKS di lingkungan sekolah maka tidak menutup kemungkinan akan dapat mengantarkan kepada kesuksesan siswa dalam menghadapi ujian dengan hasil yang terbaik. Semoga. 

***)  Imam Nur Suharno  (Republika Online)

Senin, 11 April 2016

GURU YANG ADIL

Guru adalah pemimpin. Layaknya seorang pemimpin, nilai utama yang harus dimiliki setiap guru adalah adil. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.'' (QS An-Nahl: 90). 
Maka, tantangan terbesar seorang guru sebagai pemimpin adalah konsisten menegakkan keadilan. Menurut Prof Yusuf Qaradhawi, adil adalah memberikan segala hal kepada yang berhak akan haknya, baik secara pribadi atau secara berjamaah, atau secara nilai apa pun, tanpa melebihi atau mengurangi sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula menyelewengkan hak orang lain. 
Bagi guru, adil bukan perkara gampang. Sebab, tiap guru harus memenuhi hak-hak semua anak untuk belajar dan dididik dengan penuh kasih sayang. Rasulullah SAW bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” (HR Bukhari). 
Guru bisa memaknai adil dalam arti sama (al-Musawat), yaitu perlakuan yang sama atau tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain. Guru memiliki anak didik cerdas yang cepat belajar, tak sedikit pula ada anak didik yang terlambat belajar. 
Ada anak didik yang baik perangainya, ada juga anak didik yang berperangai buruk. Tanpa sikap adil, guru akan cenderung menyukai anak didik yang cerdas dan berperangai baik. Tanpa disadari, anak didik cerdas dan berperangai baik kerap mendapatkan pujian. Sebaliknya, anak didik yang terlambat belajar dan berperangai buruk sering mendapatkan teguran. 
Saat kedua kelompok anak didik ini berkonflik, sikap guru akan tampak berat sebelah, lebih condong memihak anak didik yang cerdas dan berperilaku baik. Jika hal ini terjadi, tindakan guru memang tak adil. Padahal, sejatinya guru harus bisa menetapkan suatu keputusan yang adil bagi semua anak didik (QS An-Nisa: 58). 
Rasulullah SAW memberikan contoh bagaimana metode terbaik untuk menegur sekaligus memuji kapasitas para sahabat secara wajar dan proporsional. Memuji secara berlebihan berpotensi membuat anak didik menjadi tinggi hati. Sebaliknya, teguran yang berlebihan justru akan membuat anak didik makin berani melakukan tindakan keburukan dan hal-hal tercela. 
Di sinilah guru harus bersikap adil dalam mengatasi persoalan anak didik yang beragam dan kompleks. Anak didik yang berperilaku tercela mesti ditegur sesekali saja. Cara menegur didasari rasa kasih sayang dan lemah lembut, bukan didorong rasa amarah akibat hawa nafsu yang tak terkendali. 
Rasulullah SAW memilih sikap tidak banyak melakukan teguran dan tidak banyak pula mencela sikap anak. Hal itu dilakukan beliau untuk menanamkan rasa malu serta menumbuhkan keutamaan sikap mawas diri di dalam jiwa anak. 
Al Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya 'Ulumuddin, memberikan nasihat kepada para pendidik, “Jangan Anda banyak mengarahkan anak didik Anda dengan celaan setiap saat karena sesungguhnya yang bersangkutan akan menjadi terbiasa dengan celaan. Akhirnya, ia akan bertambah berani melakukan keburukan, dan nasihat pun tidak dapat memengaruhi hatinya lagi. Hendaklah seorang pendidik selalu bersikap menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak didiknya. Untuk itu, janganlah ia sering mencelanya, kecuali hanya sesekali.
Keadilan guru tampak dari kesabarannya saat dia punya kewenangan. Guru tak boleh sewenang-wenang. Ujian terbesar seorang guru adalah bisa tulus ikhlas menyayangi anak didiknya, sama seperti menyayangi anaknya sendiri. 
Jika pun anak kandungnya menjadi salah satu anak didiknya dan berlaku salah, dia tetap menghukumnya sama seperti anak didik lainnya yang berbuat keliru.
Jika itu dilakukan, keadilan bukan lagi jargon kosong. Inilah konsep keadilan yang sesungguhnya, adil bijaksana. Semoga kita bisa istiqamah untuk belajar menjadi guru adil dan bijaksana. Wallahu a'lam.

***) Asep Sapa'at (Republika Online)

Minggu, 10 April 2016

HAJI TUKANG SAPU

Ibnu Mubarak menceritakan bahwa setelah musim haji, ia bermimpi mendengar dialog antara dua malaikat tentang mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Dalam dialog dua malaikat itu terungkap bahwa tidak satu pun dari ribuan jamaah haji musim ini yang hajinya diterima Allah, kecuali hajinya seorang tukang sapu yang tinggal di Kota Damsyik.
Karena penasaran dengan mimpinya, Ibnu Mubarak pun pergi ke Damsyik untuk mencari keberadaan orang tersebut. Setelah bertemu, ia langsung menanyakan tentang perjalanan hajinya. Maka, tukang sapu yang bernama Muwaffak menceritakan bahwa ia telah lama mengumpulkan uang guna melaksanakan ibadah haji.
Setelah terkumpul dan mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatannya, tiba-tiba istrinya yang hamil muda (ngidam) menginginkan masakan daging yang bau lezatnya tercium dari rumah tetangganya.
Akhirnya, Muwaffak terpaksa mendatangi rumah tetangganya untuk meminta. Namun, jawaban yang didengar sangat mengejutkan, ''Daging ini halal untukku, tetapi haram untukmu.'' Sebab, daging yang dimasaknya itu adalah bangkai yang ditemukannya dalam perjalanan setelah lama berjalan ke sana ke mari mencari makanan untuk dirinya dan anak yatim yang telah beberapa hari tidak makan.
Mendengar kisah janda tersebut, hatinya terhenyak. Muwaffak segera pulang mengambil seluruh bekal yang telah lama ia persiapkan untuk keberangkatan haji. Dengan penuh keyakinan, ia berucap, ''Hajiku cukup di depan rumah.''
Tidak lama kemudian, Muwaffak dengan ditemani istrinya mendatangi tetangganya yang tengah didera lapar untuk memberikan uang simpanannya ditambah beberapa potong roti. ''Kami telah berbuat zalim, membiarkan tetangga yang tinggalnya tidak seberapa jauh, hidup dalam kelaparan. Maafkan kami,'' pintanya dengan penuh rasa bersalah.
Kisah ini jauh dari maksud merendahkan keutamaan pergi berhaji. Ini hanya sebuah renungan sebelum menentukan wajib tidaknya pergi berhaji bagi seseorang, terutama bila mengingat situasi dan kondisi sekitarnya, lebih lagi di tengah masyarakat yang cenderung memaksakan diri untuk pergi berhaji bahkan ada berkali-kali. Kepergiannya tidak benar-benar dalam rangka memenuhi panggilan Allah, melainkan untuk rekreasi, bertujuan politik, berdagang, dan lain-lain.
Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya pernah mensinyalir bahwa kelak di akhir zaman akan muncul empat macam orang-orang yang berhaji dengan berbagai motivasinya. Para pemimpin berhaji untuk rekreasi, orang-orang kaya untuk berdagang, orang-orang miskin untuk meminta-minta, dan para pembaca Alquran untuk mencari popularitas.
Mereka yang berhaji dengan berbagai niatan ini jika dibandingkan dengan tamu-tamu Allah yang ikhlas bagaikan tamu-tamu yang tak diundang. Kehadirannya tidak membawa perubahan apa-apa, kecuali sebutan Pak Haji dan Bu Hajah.


***) Muhammad Bajuri  --Pusat Data Republika

Sabtu, 09 April 2016

ORANG-ORANG YANG DIBENCI

Dalam Kitab Riyadhush-Shalihin, Imam an-Nawawi menukil sebuah hadis yang diriwayatkan Imam At-Turmudzi dari Jabir RA. Pada suatu kesempatan, Nabi SAW berkumpul dengan sahabatnya, lalu memberi petuah yang menggetarkan hati.
“Sesungguhnya, yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan, sungguh yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah al-tsatsaruun dan al-mutasyaddiquun serta al-mutafaihiquun," sabda Rasulullah SAW.
Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, Kami mengerti al-tsartsaruun dan al-mutasyaddiquun. Tapi, siapakah al-mutafaihiquun itu?” Beliau SAW menjawab, “al-mutakabbiruun."
Melalui hadis ini, Nabi SAW hendak mengingatkan umatnya akan tiga perkara yang paling dibencinya karena termasuk akhlak al-mazmumah (perilaku buruk) yakni: Pertama, al-tsartsaruun (orang yang banyak celoteh dan suka membual).
Golongan pertama yang dibenci Nabi SAW adalah pembual atau pendusta yang banyak cakap dan lagunya, serta pandai pula bersilat lidah. Kadang disertai argumentasi logis dan yuridis, namun mengandung kebohongan dan tipuan. Kalau bicara seenaknya, kurang menjaga adab dan menyela pembicaraan.
Nabi SAW berpesan, “Katakanlah yang baik atau diam.” (HR Bukhari). Banyak kata tapi sedikit makna dan tidak sesuai fakta. Mereka itulah orang-orang munafik yang apabila berkata ia dusta, bila berjanji diingkari dan bila dipercaya dikhianati (HR. Bukhari). Jangan percaya kepada orang yang banyak cakap, tapi minim amal atau tidak sesuai dengan lakunya (QS [61]:2-3).
Kedua, al-mutasyaddiquun (Orang yang suka bicara berlebihan kepada orang lain). Golongan kedua yang dibenci Nabi SAW adalah orang berlagak fasih dengan tata bahasa yang menakjubkan. Jika bicara, bumbunya berlebihan hingga tak sesuai kenyaataan.
Lihai dalam bertutur kata, tapi hanya ingin dapat pujian. Tidak jarang pula, bahasanya indah namun berbisa (menghinakan). Susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah.
Dalam diri manusia ada hati (wadah), akal (pengendali) dan hawa nafsu (keinginan). Jika hati kotor maka yang keluar dari lisan pun kotor. Jika baik maka yang keluar dari ucapan juga baik (QS [91]:8-10). Alquran menyindir manusia yang perkataannya menarik, tetapi palsu belaka (QS [2]:204, [22]:30).
Ketiga, al-mutafaihiquun (Orang yang suka membesarkan diri). Golongan ketiga yang sangat dibenci Nabi SAW yakni orang sombong atau angkuh. Kesombongan pertama adalah ketika Iblis menolak sujud kepada Nabi Adam AS, lalu ia pun dikeluarkan dari surga (QS [5]:29-35).
Fir’aun yang mengaku Tuhan (QS [79]:23-25,[28]:38), akhirnya ditenggelamkan di Laut Merah. Qarun yang pongah karena harta kekayaannya (QS [28]:76-82), dilenyapkan ke perut bumi. Raja Namrudz yang menyetarakan diri dengan Allah SWT. (QS [2]:258), justru dimatikan oleh seekor nyamuk.
Nasihat Imam Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam perlu kita renungi, "Kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan penyesalan, lebih baik dari ketaatan yang melahirkan bangga dan kesombongan."
Tetaplah rendah hati, karena keangkuhan adalah awal dari semua kejatuhan. Jangan sombong di depan orang tawadhu, nanti kau dipermalukan. Jangan pula rendah hati di depan orang sombong, nanti kau dihinakan. Allahu a’lam bish-shawab. 

***) Dr Hasan Basri Tanjung—(Republika Online)

Jumat, 08 April 2016

LUQMAN MENGAJARKAN JANGAN TAKABUR

Seorang budak belian yang memperoleh kedudukan terhormat dalam rentangan kurun peradaban manusia adalah Luqman. Bukan malaikat bukan Nabi, namun namanya terekam dalam Alquran, bahkan menjadi nama sebuah surah.
Nabi pun menegaskan bahwa ada tiga orang kulit hitam yang akan menjadi pemimpin penghuni surga, dan salah satunya adalah Luqman al-Hakim.
Banyak tamsil yang berisikan pelajaran yang berasal dari Luqman, yang salah satunya adalah pesan pada anaknya agar jangan takabur. Ucap Luqman pada anaknya, ''Dan jangan berjalan di muka bumi dengan congkak. Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.'' (Luqman: 18).
Takabur sering didefinisikan dengan rasa kagum terhadap diri sendiri, sikap suka membangga-banggakan, membesar-besarkan, dan membusungkan dada. Lantaran kagum pada potensi dirinya, akibatnya membuahkan sikap arogan, pongah, dan angkuh terhadap orang lain. Hanya dialah pemilik superioritas dan tak ada seorang pun yang bisa menandinginya. 
Ulama besar Ar-Razi berkata dalam ath-Thib ar Ruhani-nya: ''Seorang yang menyombongkan kudanya tak mau menukarnya dengan kuda lain yang lebih kencang larinya, sebab dia berpandangan bahwa tak ada kuda lain yang mungkin berlari lebih cepat daripada kuda miliknya.''
Mutakabbir (orang yang sombong) percaya bahwa dialah satu-satunya pemilik kebenaran, yang karenanya tak ada kebenaran lain di luar dirinya. Take and give tak masuk dalam kamus kehidupan para mutakabbir. Dia bebal terhadap inovasi, saran, dan kritik orang lain. Nabi bersabda, ''Sesungguhnya takabur adalah mencampakkan kebenaran dan meremehkan manusia.'' (HR Thabrani).
Takabur tak hanya berbahaya terhadap orang lain, tapi juga -- lebih-lebih -- terhadap mutakabbir sendiri. Dia hanya tahu pada kelemahan orang lain, sedangkan aibnya sendiri tak ia sadari. Dia menutup mata rapat-rapat akan kemajuan orang lain. Karena, sang mutakabbir itu ingin beroleh puja-puji, namun sesungguhnya ia tengah menuju ambang degradasi. Posisinya justru makin terpuruk.
Ulama Sufyan ats-Tsauri berucap, ''Sesungguhnya kemaksiatan yang tumbuh dari nafsu mempunyai harapan untuk beroleh ampunan, tapi setiap kemaksiatan yang lahir karena takabur tak ada ampun baginya. Karena, kemaksiatan iblis itu berawal dari takabur (dia menduga bahwa dia lebih baik dari Adam), sedangkan kedosaan (zallah) Adam berasal dari nafsu (keinginan untuk mengecap buah pohon terlarang).''
Maka, belajarlah dari bumi, meski semua makhluk mengeruk pelbagai karunia darinya, namun ia tetap berada di bawah. Jalaluddin Rumi berujar, ''Sebuah pohon yang sarat dengan buah-buahan, cabangnya merunduk ke bumi. Tetapi, kemudian pohon itu mengangkat kepalanya ke langit, dapatkah kita berharap memetik dan menikmati buah-buahannya?

Sumber : Pusat Data Republika

Rabu, 06 April 2016

RAHASIA KEBAHAGIAAN GURU

RAHASIA  KENAHAGIAAN  GURU Ada pertanyaan menggelitik di tengah kemelut persoalan yang kerap mendera para guru, apa dan di mana rahasia kebahagiaan guru tersembunyi? Apakah sumber kebahagiaan guru berasal dari meruyaknya harta dan tingginya pangkat serta jabatan? 
Firman Allah SWT, “Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam segala urusan. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS al-Imran: 159).
Guru yang bertawakal adalah guru yang berbahagia. Buya Hamka pernah menyatakan jika seorang Mukmin telah bertawakal atau berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT maka terlimpahlah ke dalam dirinya sifat terhormat dan mulia yang ada pada-Nya. 
Selain itu, orang bertawakal akan dilimpahi pengetahuan dan ilham dari Allah SWT yang mengantarkannya kepada meraih kebahagiaan dalam hidup. 
Ada tiga simpul nilai tawakal yang harus diamalkan dan dimaknai guru dalam kehidupan pribadi dan profesionalnya. Pertama, simpul nilai yang disebut azam. Azam mengandung makna kebulatan tekad yang diterapkan di dalam rencana dan ikhtiar yang sungguh-sungguh. 
Contoh, ketika guru hendak mengajar maka guru harus menyiapkan rencana program pengajaran dan pembelajaran yang detail dan sistematis. 
Setelah rencana program dirancang dengan sangat baik, guru bersungguh-sungguh melaksanakan dan memikul tanggung jawab sebagai pengajar seraya bertawakal kepada Allah SWT. Azam merupakan bagian tak terpisahkan dari sikap tawakal. Bahkan, tawakal menjadi cacat atau bisa gugur tanpa adanya azam. 
Kedua, simpul nilai yang disebut ujian. Ujian atau cobaan adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Sebab, pengakuan keimanan seorang guru belum dipandang cukup sebelum para guru akan mendapatkan ujian hidup (QS al-Ankabut: 2-3). 
Apakah bentuk ujian itu? Allah SWT berfirman: “Kami akan menguji (iman) kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (iman) yang sebenar-benarnya.” (QS al-Anbiya: 35). 

Guru bisa diuji dengan kebaikan seperti sehat lahir batin, banyak rezeki, lulus sertifikasi, punya jabatan, murid-muridnya pandai dan saleh, dan hal-hal baik lainnya. 
Tak jarang pula ujian keburukan pun menimpa guru, seperti sakit, kurang rezeki, murid-muridnya nakal, jadi kambing hitam kegagalan sistem kebijakan pendidikan, dan hal-hal buruk lainnya. Tawakal adalah dasar dari keimanan dan semua amal.
Demikian juga iman dan amal tak dapat ditegakkan kecuali di atas dasar tawakal. Tawakal sendiri hanya bisa terwujud dalam diri seorang guru setelah imannya lulus dalam ujian (QS al-Ankabut: 3). 
Ketiga, simpul nilai yang disebut sabar dan syukur. Sesungguhnya, ujian kelapangan hidup bagi seorang guru adalah bersyukur. Di sisi lain, ujian kesempitan hidup bagi seorang guru adalah kesabaran. 
Banyak guru yang terbiasa hidup lapang dan senang ternyata tak bisa bersabar menjalani satu kesulitan hidup. Sebaliknya, banyak guru yang tangguh saat menghadapi ujian keburukan, tetapi malah tak berhasil atasi diri saat mendapatkan kejayaan hidup.
Guru yang memiliki sifat tawakal akan diberikan ketenangan dan ketenteraman hati. Ketenangan dan ketenteraman hati itu sendiri datangnya dari Allah SWT. Dan, Allah SWT hanya akan memberikannya kepada guru-guru yang telah meraih makam tawakal. 
Guru bisa membeli kasur yang empuk, tapi tak akan pernah bisa membeli nyenyaknya tidur. Guru bisa membeli obat yang mahal, tetapi tak akan bisa membeli nikmatnya kesehatan.
Bagi guru yang bertawakal, rumah sempit terasa lapang. Tetapi, bagi guru yang kerap dirundung rasa keluh kesah, rumah luas pun terasa sempit. 
Allah SWT berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan (dan ketenteraman) ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada.” (QS al-Fath: 4). 
Sejatinya, ketenangan hati adalah syarat kebahagiaan hidup. Jika sepanjang hidup menjalani peran guru tetapi tak bisa merasakan kebahagiaan maka guru musti merenung, mengapa kita tak merasa bahagia? Lantas, apa sebenarnya yang kita cari di dunia ini? Wallahu alam.

***)Asep Sapaat--(Republika Online)