Dalam hadis sahih diterangkan tentang salah satu doktrin
keimanan Islam, yaitu percaya kepada takdir. Hadis itu berbunyi, ''Wa bi
al-qadar khairihi wa syarrihi min Allah (dan kamu harus percaya kepada takdir
yang baik maupun yang buruk sebagai ketetapan dari Allah).''
Sebagian kaum Muslim, menurut pembaharu Muslim Jamaluddin
al-Afghani, telah melakukan kesalahan besar berkenaan dengan paham takdir ini.
Mereka dinilai keliru, karena memahami takdir identik dengan nasib, sehingga
mereka menjadi orang-orang yang apatis, bermalas-malasan, dan gampang menyerah
kepada nasib (fatalistis), tanpa aktivisme dalam hidup, baik dalam berpikir
maupun bertindak.
Kritik serupa dilontarkan pemikir besar Maulana Muhammad
Ali. Takdir seperti dipahami oleh kebanyakan kaum Muslim itu, menurut Muhammad
Ali, agak aneh lantaran tidak ditemukan dalam Alquran. Dalam Alquran, kata
qadar atau takdir hanya menunjuk pada dua makna, yaitu ukuran segala sesuatu (al-Qamar:
49) dan hukum alam (Yasin: 38). Jadi, tidak ada dalam Alquran kata takdir untuk
arti pasrah dan menyerah kepada nasib (fatalisme).
Umar bin Khathab, sahabat Rasulullah SAW yang dikenal
sangat cerdas dan memiliki intelektualisme tinggi, mempunyai pemahaman menarik
mengenai takdir itu. Diceritakan, selaku khalifah Umar bin Khathab pernah
berencana melakukan kunjungan ke Suriah. Tiba-tiba terbetik berita bahwa di
daerah itu sedang terjadi wabah penyakit menular.
Lalu, Khalifah Umar membatalkan rencana kunjungannya itu.
Para sahabat banyak yang protes atas sikap Umar itu. ''Apakah Tuan hendak lari
dari takdir Allah?'' tanya mereka. Jawab Umar, ''Aku lari dari takdir Allah
kepada takdir Allah yang lain.''
Secara teologis, jawaban Umar ini sangat menarik untuk
dipelajari. Dari jawaban tersebut, terlihat bahwa Umar tidak memahami takdir
dalam arti sempit dan tidak dalam arti fatalistik (jabariyah). Di sini Umar
memandang bahwa wilayah yang terkena musibah itu sebagai takdir Allah, tetapi
wilayah yang aman dan tenteram juga takdir Allah.
Sebagai sama-sama takdir Allah, maka Umar, dengan kehendak dan pilihan bebasnya, memilih menghindar dari takdir yang buruk dan beralih menuju takdir yang baik.
Sebagai sama-sama takdir Allah, maka Umar, dengan kehendak dan pilihan bebasnya, memilih menghindar dari takdir yang buruk dan beralih menuju takdir yang baik.
Dalam pandangan Umar, takdir bermakna kesempatan baik dan
kesempatan buruk diciptakan oleh Tuhan untuk selanjutnya manusia memilih dan
menetapkan takdirnya sendiri. Kesempatan baik dan kesempatan buruk sebagai
takdir dari Tuhan, tentu harus diterima dengan sepenuh hati. Namun, manusia
dengan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki wajib berikhtiar untuk
menggapai kesempatan yang baik itu. Inilah sesungguhnya makna hadis, ''Wa bi al-qadar khairihi wa
syarrihi min Allah.''
Dalam pengertian ini, paham takdir tidak membawa pada
fatalisme. Ini berarti, kalau bersedia dan ada kemauan, kita dapat memilih
takdir yang lebih baik untuk diri maupun untuk bangsa kita, sehingga kita lebih
dewasa dan tidak kehilangan akal sehat dalam menyikapi berbagai bencana dan
musibah yang kini melanda bangsa kita.Wallahu a'lam.
***) A Ilyas Ismail-- Pusat Data Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar