Kamis, 31 Maret 2016

GENERASI PENERUS & KEPEMIMPINAN

Beberapa ayat Alquran di awal surat Maryam mengisahkan Nabi Zakaria yang mengkhawatirkan generasi di belakangnya. Dengan suara lembut Zakaria bermunajat kepada Allah SWT menuturkan kondisi tulang belulangnya yang telah lemah, rambutnya yang telah bertabur uban, dan istrinya yang mandul. Zakaria menginginkan anak untuk menjadi ahli waris perjuangannya.
Seperti permohonan sebelumnya, permohonannya yang satu inipun dikabulkan Allah SWT. Nabi Zakaria memperoleh seorang anak yang diberi nama Yahya, suatu nama yang belum pernah dipakai orang sebelumnya. Yang artinya hidup, berarti kehidupan Yahya akan melanjutkan kehidupan generasi yang semula diduga akan terputus.
Nabi Zakaria merasa beruntung, karena anaknya Yahya memegang erat Kitab Allah, dia diberi hikmah sejak kecil, memiliki sifat belas kasihan dan kesucian, serta memelihara diri (takwa), berbuat baik kepada ibu bapaknya, jauh dari kesombongan dan kedurhakaan. Yahya memperoleh kesejahteraan di waktu lahir, di hari wafatnya, hingga hari berbangkit nanti.
Kisah Nabi Zakaria di atas menggambarkan sikap semua tokoh Islam yang menginginkan suksesi pemimpin umat. Keinginan mempunyai generasi penerus sebuah jeritan batin yang kadangkala disertai rintihan dan tetesan air mata. Harapan untuk terwujudnya suksesi itu biasanya muncul ketika pemimpin umat telah panjang umur, kulit telah kendur, gigi telah mulai gugur, mata mulai kabur, di kepala uban bertabur, dan sudah hampir ke liang kubur.
Upaya mendapatkan suksesi itu sebaiknya diiringi dengan kegiatan pembinaan dan bimbingan, meliputi pembinaan akidah dan kemauan beramal, seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim kepada anaknya Ismail. Firman-Nya, ''Dan ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan sendi Baitullah (keduanya berdoa), 'Oh Tuhan kami! Terimalah dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Oh Tuhan kami! Jadikanlah kami berdua orang yang patuh kepada Engkau dan jadikanlah dari keturunan kami umat yang patuh juga kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara beribadah dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Penerima Tobat dan Penyayang'.'' (Al-Baqarah: 127-128).
Kerja keras Ibrahim meletakkan dan meninggikan sendi-sendi Baitullah dengan melibatkan anaknya Ismail adalah sebuah ibadah besar yang berhubungan dengan tauhid, serta berisi dimensi pembinaan dan bimbingan dari seorang pemimpin umat kepada generasi penerusnya. Hingga kini dan insya Allah sampai akhir masa, kerja keras mereka berdua dirasakan bermanfaat besar buat kelangsungan ibadah umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Sejalan dengan itu, umat Islam pun diajar memohon kepada Allah untuk mendapatkan suksesi pemimpin umat yang sekaligus merupakan kriteria seorang hamba Allah Tuhan Yang Maha Pengasih.
Firman-Nya, ''Dan mereka (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berkata, 'Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami istri dan anak cucu yang menjadi penyejuk mata dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertakwa'.'' (Al-Furqan: 74). Wallahu a'lam.

Sumber : Pusat Data Republika

Rabu, 30 Maret 2016

SENI MENDENGARKAN

Penyair sufistik terkenal, Jalaluddin Rumi, pernah mengatakan, ''Karena untuk berbicara orang harus lebih dulu mendengarkan, maka belajarlah bicara dengan mendengarkan.'' Mendengarkan sepertinya mudah dilakukan, namun pada kenyataannya tidak semua orang berhasil menjadi pendengar yang baik. Tidak sedikit perselisihan, pertengkaran, bahkan pembunuhan terjadi hanya karena salah dengar.
Dalam dunia komunikasi, kita mengenal ungkapan, seorang pembicara yang baik adalah pendengar yang baik. Cinta, benci, rindu, pengertian, maupun salah pengertian, terbangun lewat bicara dan mendengarkan. 
Seluruh kekuatan ikatan persahabatan, percintaan, dan mahligai hidup bersama, kita rangkai dengan bicara dan mendengarkan. Khalifah Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata, ''Tuhan menyayangi seseorang yang suka mendengar hikmah atau ucapan yang baik lalu menyimpannya, kemudian ketika dipanggil kepada kebenaran, dia mendekat.''
Kita sering kelihatan seperti mendengarkan tapi sebetulnya tidak. Walaupun mata kita dihadapkan dan wajah kita diarahkan kepada orang yang berbicara, tapi sebenarnya kita tidak mendengarkan. 
Padahal, Allah mengingatkan dalam firman-Nya, ''Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.'' (Az-Zumar[39]:18).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi orang yang mau menjadi pendengar yang baik. Pertama, bila ingin menguasai teknik mendengarkan yang baik, belajarlah mendengarkan pembicaraan yang tidak menyenangkan hati kita. Mendengarkan pembicaraan yang mengenakkan hati kita itu mudah, tidak perlu dilatih. Untuk mendengarkan perkataan yang tidak mengenakkan, kita perlu melatih kestabilan emosi.
Kedua, belajarlah mendengarkan keluhan orang lain, walaupun tidak menarik bagi kita. Biasanya seseorang sangat antusias jika dia membicarakan masalah dirinya dan menceritakan kesusahannya kepada orang lain. Padahal, boleh jadi orang yang diajak bicara sebenarnya tidak tertarik. Tapi, kalau kita mau mendengarkan baik-baik, kemudian berempati kepadanya, berarti kita sudah berbuat baik kepadanya, dan itu termasuk amal saleh bagi kita.
Menurut para psikolog, banyak penderita gangguan jiwa yang penyakitnya menjadi berkurang ketika menemukan telinga yang mau mendengarkan perkataannya. Jika kita menjadi pendengar bagi orang lain yang membutuhkan saluran untuk mengungkapkan perasaannya, maka kita juga berarti telah membantu meringankan penderitaannya.
Ada juga nasihat bijak yang mengungkapkan bahwa kita dikaruniai oleh Allah SWT dua telinga satu mulut. Ini mengisyaratkan bahwa hendaknya kita harus lebih banyak mendengar daripada bicara. Untuk menjadi pembicara yang baik, maka syarat mutlaknya adalah kita harus terlebih dulu menjadi pendengar yang baik. Khalifah Ali bin Abi Thalib RA berpesan, ''Siapa yang baik mendengarkannya, dialah yang paling cepat memperoleh manfaat.''


Sumber : Pusat Data Republika

Sabtu, 26 Maret 2016

PENTINGNYA MEMBIASAKAN ISTIKHARAH


Istikharah berasal dari kata istakhara-yastakhiru yang berarti memohon kebaikan dari setiap urusan. Dalam konteks hubungan manusia dengan Allah SWT, istikharah berarti memohon kepada Allah SWT agar setiap keputusan yang akan diambil benar-benar merupakan keputusan terbaik.
Keputusan ini  mengandung kemaslahatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Ini berarti juga bahwa istikharah adalah berlindung kepada Allah SWT dari keburukan setiap keputusan yang akan diambil.
Bagi setiap Muslim, istikharah adalah kebiasaan yang sangat baik dilakukan. Istikharah selayaknya menjadi aktivitas rutin yang senantiasa mengiringi setiap Muslim dalam menentukan keputusan.

Dalam kehidupan yang sangat kompleks, manusia pasti dihadapkan pada berbagai macam urusan yang tarik-menarik sehingga sulit diselesaikan dengan satu keputusan. 
Bagi seorang Muslim, keadaan seperti ini tidak akan membuatnya bingung apalagi stres, sebab ia masih dapat menempuh satu cara yaitu dengan melakukan istikharah. Ini bisa dilakukan dengan shalat dua rakaat, doa, atau zikir yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Kamis, 24 Maret 2016

WUDHU RASULULLAH TAK HANYA UNTUK SHALAT

Sungguh indah Islam. Betapa tidak, awal mula yang diajarkan dalam ibadah adalah tentang kesucian (thaharah), meliputi kesucian badan, pakaian, maupun tempat untuk ibadah. Baik kesucian dari hadats, maupun dari segala najis. Kesemuanya ini sebagai ritual seorang hamba ketika akan menghadap Rabb-nya yaitu dengan keadaan yang benar-benar suci.
Wudhu adalah satu cara seorang hamba menyucikan diri dari hadats kecil. Berwudhu wajib dilakukan bagi orang yang hendak menunaikan shalat karena termasuk syarat sahnya.
Rasul berkata melalui riwayat Tirmidzi, ''Kuncinya surga adalah shalat dan kuncinya shalat adalah wudhu,'' dan riwayat Imam Ahmad, ''Tidaklah dianggap shalat bagi orang yang tidak berwudhu.''
Namun, Rasulullah melakukan wudhu tidaklah hanya ketika akan melaksanakan shalat. Beliau selalu mendawamkan wudhu dalam kesehariannya, yaitu senantiasa menjaga kesucian dengan cara selalu memperbarui wudhu ketika beliau hadats.
Kesunahan ini sangat dianjurkan. Sebuah pesan ajakan ittiba' ini terekam dari perkataannya, ''Sesungguhnya umatku akan datang pada hari kiamat dengan tanda ghurra yang bersinar (di wajahnya) karena atsar (bekas) dari wudhu. Barang siapa yang mampu untuk memperpanjang ghurra tersebut, maka lakukanlah.'' (HR Muslim dari Abu Huraiah).


Sumber : Pusat Data Republika

Rabu, 23 Maret 2016

NIKMATNYA MENJAGA AGAMA ALLA

Ibnu Abbas berkata, "Pada suatu hari, aku di belakang (dibonceng) Nabi SAW. Beliau bersabda, 'Hai anak muda, aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah (agama) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (agama) Allah, niscaya Allah selalu bersamamu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah.
Jika kamu memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, jika seluruh manusia berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan dapat memberikan manfaat kepadamu, kecuali sesuatu yang telah ditulis Allah untukmu. Jika mereka berkumpul untuk memberikan mudharat kepadamu, maka mereka tidak akan bisa memberikan mudharat, kecuali yang telah ditulis Allah untukmu. Pena telah diangkat dan lembarannya telah kering" (HR Tirmidzi)
Rasulullah SAW adalah rahmat bagi seluruh alam. Ajaran yang beliau sampaikan meliputi semua manusia, termasuk kelompok pemuda di dalamnya. Dalam berbagai kesempatan beliau mendampingi dan sering memberi arahan kepada para pemuda.
Seperti terungkap dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas tersebut. Ketika itu, Ibnu Abbas masih kecil. Ia adalah putra paman Rasulullah SAW, Abbas bin Abdul Muthalib.
Walaupun disampaikan kepada Ibnu Abbas, akan tetapi pesan yang disampaikannya berlaku universal. Pesan inti beliau sampaikan adalah menjaga agama Allah. Berada di jalan agama Allah adalah nikmat terbesar. Orang yang konsisten di dalamnya akan meraih cita-cita mulia, yaitu bahagia di dunia dan akhirat.


Sumber : Pusat Data Republika

Selasa, 22 Maret 2016

RASULULLAH PUN BISA LUPA

Mengutip salah satu hadis dari kitab al-Muwattha'(karya Imam Malik), Ibnu Taymiyyah mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah lupa.
Pernyataan ini sejalan dengan kisah yang termuat dalam kitab Minhaj al-Sunnah jilid 1. Di situ diceritakan bahwa saat shalat wajib empat rakaat, Nabi lupa menunaikannya dengan jumlah rakaat berlebih. Hanya, tidak ditegaskan apakah shalat wajib empat rakaat itu Zhuhur, Ashar, atau Isya.
Selesai shalat, beberapa sahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apakah memang ditambah rakaat dalam shalat itu?'' Nabi balik bertanya, ''Apa yang terjadi?'' Mereka menjawab, ''Engkau ya Rasulullah, melakukan shalat lima rakaat.'' Maka, dengan amat bijaksana Rasulullah SAW menjawab, ''Sesungguhnya aku hanyalah manusia. Aku dapat lupa, sebagaimana kamu semua dapat lupa. Maka jika aku lupa, ingatkanlah aku.'' (HR Bukhari-Muslim dalam kitab al-Shahihayn).
Hadis tersebut menjelaskan, kelupaan Nabi ini merupakan sifatnya sebagai manusia biasa. Bukan berarti lupa yang ada pada diri Nabi itu merupakan sesuatu yang rutin. Ini hanya "pelajaran" untuk menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia seperti kita. Beliau makan, minum, beristri, bekerja, dan sebagainya. Sifatnya ini disebut basyariah (kemanusiaan) Nabi.
Nabi yang merupakan seorang pemimpin meminta para sahabatnya untuk segera mengingatkan jika beliau lupa. Saat ini, banyak sekali pemimpin kita yang terkena penyakit lupa. Saat berkampanye, mereka mengumbar janji. Namun, setelah terpilih, ia seolah-olah melupakan janjinya. Masyarakat yang sudah telanjur memegang janji pun menjadi kecewa. Maka, wajar jika masyarakat kemudian mencoba mengingatkan pemimpinnya lewat dialog ataupun unjuk rasa.

Sumber : Pusat Data Republika

Senin, 21 Maret 2016

5 MAKNA AMANAH

Amanah berasal dari kata amuna yang bermakna tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Segala sesuatu yang dipercayakan kepada mansuia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun hak Allah SWT. Dalam konteks ayat-ayat Alquran, amanah punya beberapa varian makna. 
Pertama, terkait dengan larangan menyembunyikan kesaksian atau keharusan memberikan kesaksian yang benar (QS 2:283). Kedua, terkait dengan keadilan atau pelaksanaan hukum secara adil (QS 4:58). Ketiga, terkait dengan sifat khianat.
''Hai orang-orang beriman janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kami mengetahui." (8:27). 
Keempat, terkait dengan sifat manusia yang mampu memelihara stabilitas rohaninya, tidak berkeluh kesah bila ditimpa kesusahan, tidak melampaui batas ketika mendapat kesenangan (QS 70:32). Kelima, dipahami dalam pengertian sangat luas sebagai tugas keagamaan maupun kemanusiaan. 
Amanah adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang dinilai memiliki kemampuan untuk mengembannya. Namun, dengan kemampuannya, dia juga bisa menyalahgunakan amanah tersebut. 
Terdapat banyak hadis yang menjelaskan pentingnya amanah. Nabi SAW bersabda, "Serahkan amanah kepada orang yang telah mengamanahi kamu dan jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianati kamu." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). 
Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda bahwa pengabaian amanah merupakan sebab terjadinya kerusakan (HR Bukhari). Dalam hubungan antarsesama manusia, amanah menjadi jaminan terpeliharanya keselamatan hubungan tersebut. Keselamatan suatu negara dan bangsa terjamin karena pemerintah mengemban dengan baik amanah politik pemerintahan. Rusaknya amanah akan merusak hubungan antarmanusia. 
Sumber : Pusat Data Republika 

Minggu, 20 Maret 2016

BEKERJA KERAS

Sesampainya Rasulullah saw dan kaum Muhajirin di Madinah, agenda yang Beliau prioritaskan adalah memperat tali persaudaraan (muakhah) antara Muhajirin dan Anshar. 
Ikatan kuat inilah yang mendasari kerukunan, kasih sayang, serta berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dengan pengorbanan harta benda, jiwa, dan raga. Hal ini mereka tumpahkan hanya untuk mengharapkan keridlaan-Nya. Bahkan, kaum Anshar senantiasa mengutamakan kaum Muhajirin, sekalipun mereka dalam keadaan susah (QS 59:9).
Terdengarlah pada saat itu, Abdurahman bin 'Auf dari Muhajirin dipersaudarakan dengan sahabat Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad bin Rabi' adalah salah seorang konglomerat Madinah. 
Sa'ad mempersilakan kepada Abdurrahman untuk mengambil apa saja yang ia inginkan untuk memenuhi kebutuhannya. Abdurrahman bin 'Auf selaku seorang sahabat yang juhud, wara', jujur, serta baik akhlaknya tidak serta-merta mengabulkan permohonan saudaranya ini. Ia tidak mau menerima sesuatu tanpa didasari oleh usaha dan kerja keras untuk mendapatkannya. 
Karena itu, Abdurrahman meminta kepada Sa'ad untuk mengantarkannnya ke pasar. Kepiawaian berdagang yang ia miliki tidak disia-siakannya. Ia tidak hanya berpangku tangan untuk mendapatkan belas kasih orang lain, selagi masih ada kemampuan untuk berusaha. 
Tidak lama kemudian, karena sifatnya yang jujur, ulet, serta kerja keras, akhirnya ia pun menjadi pedagang yang sukses, sehingga ia menjadi seorang konglomerat yang dermawan, serta senantiasa menginfakkan hartanya demi keberlangsungan dakwah. 
Dari kisah tersebut, kita bisa memetik hikmah, di tengah-tengah himpitan  ekonomi yang berkepanjangan ini, bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat Abdurahman bin 'Auf-Abdurahman bin 'Auf yang baru guna menyegarkan dan menghidupkan bangsa ini, sehingga mampu mengembalikan identitas bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. 
Karena selama ini, kita telah kehilangan jati diri sebagai bangsa besar, disebabkan pemimpin-pemimpinnya yang selalu berharap untuk mendapatkan bantuan dari bangsa lain. 
Hal ini mengakibatkan ketergantungan rakyatnya untuk senantiasa mendapatkan sesuatu tanpa didasari usaha. Bukankah bangsa ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya? Ini adalah modal dasar yang telah kita miliki. Untuk itu, selanjutnya tinggal bagaimana kita mampu mengolahnya. Insya Allah dengan kejujuran, keuletan, dan kerja keras di antara kita, baik pejabat maupun rakyat, bangsa ini akan kembali menjadi bangsa yang diperhitungkan di kancah dunia. Semoga! Wallahu a'lam.

Sumber : Pusat Data Republika

Sabtu, 19 Maret 2016

MEMBENTENGI ANAK

Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) tengah menjadi perbincangan yang hangat di berbagai kalangan setelah keberanian mereka mengibarkan berbagai aksinya secara terang-terangan.
Jika perilaku yang menyimpang tersebut dibiarkan, akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dapat memengaruhi perilaku anak. Berkaitan dengan hal itu, Islam telah mengajarkan cara membentengi anak dari perilaku menyimpang sedini mungkin. 
Pertama, memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan anak perempuan. Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anak kalian mengerjakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak mau mengerjakannya) saat mereka berumur 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR Abu Dawud).
Kedua, membiasakan anak-anak bermain dengan alat atau jenis permainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para orang tua agar mengajari anak-anak laki-laki berlatih memanah, berkuda, dan bermain pedang. 
Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ajarilah anak-anak (laki-laki) kalian berkuda, berenang, dan memanah.” (HR Bukhari dan Muslim). Sedangkan, untuk anak-anak perempuan, sebagaimana yang dilakukan Aisyah RA saat masih anak-anak, yaitu dengan bermain boneka. 
Dari Aisyah RA, “Aku bermain-main dengan anak-anak perempuan (boneka perempuan) di sisi Rasulullah SAW dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah SAW, tetapi Rasulullah SAW malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian mereka bermain-main bersama aku.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, membiasakan menutup aurat sejak dini. Dalam surah an-Nur ayat 31, Allah SWT memerintahkan nabi-Nya untuk menyuruh kaum Mukminat menahan pandangan dan menjaga kemaluannya, serta melarang mereka menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak.
Dalam surah al-Ahzab ayat 59, Allah SWT memerintahkan nabi-Nya untuk menyuruh anak-anak perempuan dan istri-istri beliau sendiri serta kaum Mukminat pada umumnya untuk memakai jilbab (menutup aurat). 
Dalam hadis Nabi SAW berikut, diriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Asma binti Abu Bakar mendatangi Nabi dengan memakai baju yang tipis sehingga Nabi SAW berpaling darinya dan bersabda, “Hai Asma, sesungguhnya perempuan itu jika telah mencapai usia haid, maka tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini.” Beliau sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR Abu Dawud).
Keempat, hindarkan dari berpenampilan atau berperilaku seperti lawan jenis. Dari Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari).
Termasuk larangan memakai pakaian lawan jenis, dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR Abu Dawud). Semoga Allah melindungi keluarga kaum Muslimin dari perilaku tercela tersebut. Amin.

***)  Imam Nur Suharno- (Republika  Online)

Jumat, 18 Maret 2016

SABDA RASULLAH SOAL USIA KE 40

Ali bin Ali Thalib berkata, ''Alangkah cepatnya jam demi jam dalam satu hari, alangkah cepatnya hari demi hari dalam satu bulan, alangkah cepatnya bulan demi bulan dalam setahun, alangkah cepatnya tahun demi tahun dalam umur manusia.''
Dalam hidup manusia terdapat tonggak-tonggak umur yang sangat penting, di antaranya umur empat puluh tahun sebagaimana tertera dalam Alquran (Al-Ahqaf: 15--16). Nabi Muhammad SAW juga mengilustrasikan dalam sebuah hadisnya, ''Bila seseorang sudah mencapai usia empat puluh tahun, lalu kebaikannya tidak mengatasi kejelekannya, setan mencium di antara kedua matanya dan berkata, 'inilah manusia yang tidak beruntung'. '' 
Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, ''Barang siapa umurnya sudah melebihi empat puluh tahun sedang kebaikannya tidak lebih banyak dari kejelekannya, hendaklah ia mempersiapkan keberangkatannya ke neraka.'' 
Dari dua hadis tersebut di atas, Nabi SAW menganjurkan umatnya untuk memeriksa amal perbuatannya setiap kali menyadari umurnya kian bertambah. Dengan demikian, umur merupakan aset sekaligus pertanggungjawaban. Kita bisa beruntung dan celaka dengan umur panjang kita. 
Semuanya bergantung pada amal yang kita perbuat. Syahdan, menurut beberapa riwayat, sebelum Rasulullah SAW mengembuskan nafas terakhirnya, beliau mengatakan, ''Ummati, ummati, ummati,'' dengan lirih dan sendu. 
Kata ummati yang diungkapkan beliau itu sinonim dari kata komunitas atau masyarakat yang menurut Chairil Anwar dalam salah satu puisinya adalah laksana lautan, terkadang bergelombang dan bergolak yang melambangkan keteguhan dan keperkasaan seakan siap menelan dan menghantam semua yang dihadapi. 
Di lain waktu, ia laksana hamparan biru permadani yang menggambarkan ketenangan dan kedamaian. Namun, laut juga bisa diibaratkan sebagai "tong sampah", tempat pembuangan segala macam kotoran, sampah, limbah, dan sebagainya. 
Konteks yang diungkap Rasulullah tersebut merupakan refleksi dari pertanyaan siapakah di antara kita yang semangat imannya terus bergelombang seiring dengan pertambahan umurnya? Siapa pula yang tetap tenang dan tenteram meski cobaan datang bertubi-tubi? 
Siapakah di antara kita yang justru tidak memanfaatkan sisa umur ini dalam kebaikan dan keimanan? Orang semacam inilah bak tong sampah, tempat pembuangan kotoran sosial maupun kultural. Toh, umur ditentukan oleh mutunya, bukan panjangnya. Rasulullah menyimpulkannya dalam dua kalimat, ''Manusia paling baik ialah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya. Manusia paling buruk ialah yang panjang umurnya dan buruk amalnya.'' 


***) Inayatullah Hasyim(Republika Online)

Rabu, 16 Maret 2016

KEINDAHAN TOBAT

Dalam menjalani kehidupan ini, kita pasti pernah berbuat salah dan dosa. Hal demikian adalah manusiawi. Sebab, bukankah Rasulullah SAW berkata, "Setiap anak cucu Adam memiliki dosa, dan sebaik-baik pendosa adalah dia yang bertobat." (HR Ibnu Majah). Mengapa demikian? Sebab, manusia diciptakan dalam keadaan lemah. (QS An-nisa: 28).
Manusia yang lemah itu diberikan jalan tobat sebagai wujud kasih sayang Allah SWT kepada kita. Suatu hari, Umar bin Khattab RA datang menghadap Rasulullah saw dengan membawa beberapa orang tawanan.
Di antara tawanan itu terlihat seorang wanita sedang mencari-cari anaknya, lalu jika ia mendapatkan seorang bayi di antara tawanan langsung mengambil bayi itu, mendekapkannya ke perut untuk disusui. 
Rasulullah saw berkata kepada kami, "Bagaimana pendapat kamu sekalian, apakah wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?" Kami menjawab, "Tidak, demi Allah, sedangkan dia mampu untuk tidak melemparnya."  Rasulullah saw bersabda, "Sungguh Allah lebih mengasihi hamba-Nya daripada wanita ini terhadap anaknya." (HR Muslim).
Karena sedemikian kasih dan sayangnya Allah pada kita, Allah sangat senang bila seorang hamba telanjur berbuat dosa lalu bertobat, berjanji sepenuh hati tak akan pernah mengulangi perbuatannya.  
Rasulullah SAW menggambarkan kesenangan Allah SWT itu dengan bersabda, "Sungguh Allah akan lebih senang menerima tobat hamba-Nya ketika ia bertobat kepada-Nya daripada (kesenangan) seorang di antara kalian yang menunggang untanya di tengah padang luas yang sangat tandus, lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya dan putuslah harapannya untuk memperoleh kembali. Kemudian, dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba dia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya...." (HR Muslim).
Seringkali kita merasa bahwa dosa yang kita lakukan hanya dosa-dosa kecil sehingga tak diperlukan penyegeraan dalam bertobat. Padahal, kata Ibnul Qayyim, jangan pernah meremehkan dosa-dosa kecil. Lihatlah patok kayu (di dermaga) yang melilit tambang, ia bahkan dapat menarik kapal.
Tobat tidaklah sebatas usaha seorang hamba untuk memohon ampunan dari Allah SWT, tetapi sekaligus termasuk ibadah yang mulia di sisi-Nya karena perbuatan itu merupakan perintah dari Allah SWT. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 8 yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya...." 
Karena itulah, tobat merupakan amalan para nabi. Aisyah mengatakan, "Dahulu Rasulullah sebelum meninggal banyak mengucapkan, 'maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya aku memohon ampun dan aku bertobat kepada-Nya'." (HR Bukhari-Muslim). Demikian pula para nabi sebelumnya. Adam dan Hawa adalah para pendosa pertama yang segera bertobat. 
Allah SWT mengabadikan dalam firman-Nya, "Wahai Rabb-kami, kami adalah orang-orang yang berbuat zalim pada diri-diri kami, kalau sekiranya Engkau tidak mengampuni (dosa-dosa) dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka." (QS Al-A'raf: 23).
Tobat harus memenuhi syarat dan ketentuan. Imam Nawawi menyebutkan tiga persyaratan, yakni menjauhi maksiat, menyesali perbuatan tersebut, dan berjanji untuk tidak mengulangi selama-lamanya.
Jika hilang salah satu syarat-syarat tersebut di atas, tidak sah tobatnya. Rasulullah saw bersabda yang artinya, "Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selama nyawa belum sampai kerongkongan." (HR At Tirmidzi).
Sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas sehingga tidak sepantasnya bagi seorang hamba untuk berputus asa dari rahmat-Nya. 
Menutup tulisan ini, menarik untuk mengutip Ibnul Qayyim sekali lagi. Katanya, "Sekiranya seorang pelaku maksiat mengetahui bahwa kenikmatan bertobat lebih dahsyat berlipat-lipat dari kelezatan maksiat, niscaya dia akan bersegera menuju tobat lebih cepat dari usahanya menggapai maksiat". Wallahu a'lam.


***)  Inayatullah Hasyim (Republika Online)

Selasa, 15 Maret 2016

IRI DAN DENGKI

Penyakit hati yang dinamakan iri dan dengki hampir sama umurnya dengan sejarah peradaban manusia. Kejadian di awal zaman Nabi Adam, yaitu pertengkaran dan pertumpahan darah antara Habil dan Qabil bermuasal dari penyakit hati ini atau hasutan (provokasi) yang sangat menyesatkan dari setan. 
Penyakit iri dan dengki ini sangat merusak diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Karena penyakit hati ini dapat menjangkit siapa pun. Bila dibiarkan bercokol dalam waktu lama, penyakit ini dapat menimbulkan sikap yang destruktif bagi pengembangan kepribadian.
Pernahkah kita berpikir dan bertindak untuk selalu syukur dan senang bila ada orang lain mendapat sukses atau kenikmatan? Bila tidak, kita perlu membiasakannya.
Rasulullah mengatakan bahwa menjadi manusia baik adalah manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya. Artinya manusia harus bersikap inklusif dan peka terhadap lingkungan, baik sosial maupun alam, dan tidak bersikap eksklusif untuk kepentingan dirinya saja.
Barangkali perlu dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari untuk selalu terampil dalam memberi nilai-nilai positif bagi orang lain, dan dicegah kecenderungan untuk memberi nilai-nilai negatif bagi seseorang yang didasarkan oleh rasa subjektivitas.
Seorang yang telah beriman dan yakin menyatakan tiada ilah selain Allah, sepatutnya menampakkan keimanannya itu dalam setiap tindak tanduk pergaulan. Dia terus berupaya terus menjaga perilakunya itu sebagai suatu kebiasaan baik yang bernuansa Islami. 
Contohnya, keimanan terhadap takdir ditunjukkan dalam bersikap gembira dan bersyukur pada Allah, bila mendengar ada orang lain yang mendapat kesuksesan atau rezeki halal. Demikian pula memberikan empati bagi yang mendapat musibah atau kesulitan hidup, dan akan lebih bagus lagi bila langsung memberikan pertolongan yang bersifat finansial agar mereka langsung dapat memanfaatkannya.
Pola kebiasaan inilah yang harus ditumbuhkembangkan terus sebagai bagian dari sikap dan gaya hidup manusia Muslim, baik dalam berbagai profesi, kesempatan maupun urusan kenegaraan. Insya Allah perbuatan sekecil apapun bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah, akan selalu mendapat ganjaran hikmah di dunia maupun di akhirat. 

Sumber : Pusat Data Republika

Senin, 14 Maret 2016

BAHAYA GOSIP

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW berkata, ''Dari sebaik-baik bukti keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berkaitan dengan dirinya.'' Hadis ini mengingatkan kita bahwa bila kita masih sibuk dengan permasalahan orang lain, maka kualitas iman kita masih dapat dipertanyakan.
Mempersoalkan hal-hal orang lain --yang tidak berkaitan dengan diri-- biasa terjadi saat bergosip. Tindakan ini pula yang disebut ghibah. Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, menjelaskan tentang hal itu.
''Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?'' Para sahabat menjawab, ''Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.''Lalu Rasulullah berkata, ''Ia adalah menyebutkan apa-apa yang ada dalam saudaramu dari sesuatu yang kurang disukai.'' 
''Bagaimana apabila memang itu benar adanya?'' ''Kalau benar apa yang kamu katakan, maka kamu telah berbuat ghibah, namun apabila yang kamu katakan adalah tidak benar, maka kamu telah membuat kebohongan atasnya.'' HR Muslim.
Untuk hukumnya, Allah telah menerangkan dalam surat Al-Hujurat ayat 12, ''Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah seseorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.''
Selain berbahaya bagi orang yang digosipkan, ghibah juga berakibat negatif pada pelaku. Pikiran adalah saluran mental yang menyampaikan pesan positif dan negatif. Bila seseorang suka membicarakan orang --yang biasanya adalah aib dan keburukannya-- maka secara tidak langsung, pemancar yang terpasang adalah pemancar negatif yang menyebabkan ia selalu berpikiran buruk dan mempengaruhi interaksinya dengan orang lain.
Karena itu, ada bahaya bila kita mendengar komentar negatif tentang orang lain, karena kita pun akan berusaha negatif pada orang lain. Lebih berbahaya lagi, kadang tanpa sadar, orang lebih senang menambahkan bensin dalam pembicaraan negatif tersebut.
Untuk selalu dapat hidup optimistis, maka janganlah menebarkan pancaran negatif atas orang lain dan jangan juga mendengarkan pernyataan negatif atas orang lain. Tetaplah selalu berpikiran positif akan orang lain.
Benjamin Franklin, seseorang yang sangat tidak bijaksana dalam masa mudanya, bisa menjadi sangat diplomatis dan begitu mahir dalam menangani hubungan sesama manusia. Rahasia suksesnya? ''Saya tidak akan bicara hal buruk tentang seorang pun,'' katanya. Ia hanya membicarakan hal baik tentang semua orang.


***)  Sari Narulita (Republika Online)

Minggu, 13 Maret 2016

PERILAKU KAUM NABI LUTH AS

Maraknya isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) belakangan ini mengharuskan kita semua belajar lagi dan mengambil hikmah dari kisah Nabi Luth dan kaumnya yang dikenal berperilaku menyimpang, yaitu kaum homoseksual (liwath). 
Pembelajaran tersebut agar hikmah yang dipetik dari kisah kaum Nabi Luth itu benar-benar menjadi pelajaran bagi masa depan bangsa dan umat manusia. Setidak-tidaknya ada tujuh narasi kategori perilaku yang disematkan Alquran kepada kaum Nabi Luth AS. 
Pertama, perbuatan homoseksual (pria atau perempuan penyuka sesama jenis) disebut fahisyah. Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, 'Kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu'.” (QS al-'Ankabut [29]: 28). 
Menurut Muhammad al-Hijazi dalam at-Tafsir al-Wadhih, esensifahisyah itu adalah perbuatan yang sangat keji, buruk, menjijikkan, dan sangat membahayakan. 
Kedua, perilaku lesbian dan gay kaum Luth AS itu disebut mungkar (ditolak keras, tidak bisa diterima norma agama, etika, atau hukum). “Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” 
Maka, jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” (QS al-`Ankabut [29]: 29). Lebih parah lagi, mereka menantang Nabinya untuk meminta didatangkan azab Allah SWT kepada mereka.
Ketiga, perilaku kaum Nabi Luth AS itu dinilai mufsid (merusak). “Dia (Luth) berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas golongan yang berbuat kerusakan itu.” (QS al-`Ankabut [29]: 30). 
Mereka dinilai sebagai pembuat kerusakan karena mereka itu merusak indahnya lembaga pernikahan berbeda jenis, merusak salah satu tujuan dan fungsi pernikahan, yaitu reproduksi secara sehat dan halal, sekaligus merusak mental-spiritual dan masa depan manusia. 
Bayangkan, jika mayoritas manusia berperilaku seperti kaum Nabi Luth AS, niscaya punahlah kehidupan manusia di muka bumi ini. 
Keempat, perilaku kaum Nabi Luth AS itu dianggap musrif, sungguh keterlaluan, atau melampaui batas: rasionalitas, kepatutan, dan kewajaran (abnormal). “Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah urusanmu yang penting wahai para utusan (malaikat)?”
Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Luth) agar kami menimpa mereka dengan batu-batu dari tanah (yang keras), yang ditandai dari Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas.” (QS az-Dzariyat [51]: 31-34). 
Betapa tidak melampaui batas, binatang saja yang tidak diberikan oleh Allah SWT akal dan kalbu, tidak ada yang menyukai sesama jenis.
Tidak ada ayam, kambing, kerbau dan lainnya yang jantan atau betina menyukai dan mengawini sesama jantan atau betina. Artinya, perilaku kaum Nabi Luth itu jauh lebih buruk daripada perilaku binatang. 
Kelima, perilaku kaum Nabi Luth AS itu dinilai zalim (aniaya), baik terhadap diri mereka sendiri maupun orang lain. Disebut zalim karena mereka melakukan perbuatan yang menyimpang dari fitrah kemanusiaan dan melawan norma dan etika sosial. 
Banyak riset menunjukkan asal mula timbulnya penyakit AIDS adalah karena hubungan seksual sesama jenis, melalui perilaku seks anal (dubur) yang oleh Nabi SAW secara tegas dilarang. 
Keenam, perilaku kaum Nabi Luth AS itu merupakan dosa besar, pelakunya disebut mujrimun. Ketujuh, perilaku kaum Nabi Luth itu termasuk perilaku yang berulang kali diberi peringatan (mundzar)oleh Allah SWT, namun mereka tetap tidak percaya, bahkan menentang dan menantang didatangkannya azab kepada mereka. 
Akibatnya, “Dan Kami hujani mereka (dengan hujan batu), maka betapa buruk hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS asy-Syu'ara' [26]: 173-174). 
Kisah dalam Alquran tersebut faktual, benar adanya, dan tidak ahistoris. Azab yang diturunkan Allah SWT kepada kaum Nabi Luth AS yang berperilaku ala LGBT itu adalah hukuman superdahsyat. 
Tidak ada argumen yang dapat dijadikan sebagai pembenaran atas legalisasi perkawinan sejenis, termasuk argumen HAM, karena perilaku kaum Nabi Luth itu justru melanggar HAM: melawan nurani dan fitrah kemanusiaan yang benar dan lurus, mematikan proses reproduksi melalui pernikahan berbeda jenis dan mematikan masa depan kemanusiaan.

***) Muhbib Abdul Wahab (Republika Online)

Sabtu, 12 Maret 2016

KEKUATAN SABAR

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa suatu hari Nabi SAW menemukan seorang wanita yang sedang menangis di hadapan sebuah kuburan. Beliau bersabda kepadanya, ''Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.'' Wanita tersebut menjawab, ''Pergilah! Jangan ikut campur dalam urusanku, engkau tidak tertimpa seperti apa yang menimpaku.''
Setelah wanita tersebut sadar dan menyesal, ia pergi ke rumah Nabi SAW. Ia menyampaikan penyesalannya dengan berkata, ''Aku tidak mengenalmu.'' Beliau bersabda, ''Hakikat sabar itu akan terlihat pada saat-saat pertama terjadinya malapetaka.''
Dalam kamus-kamus bahasa, kata sabar diartikan sebagai menahan, baik dalam pengertian fisik material, seperti menahan seseorang dalam tahanan, maupun nonfisik (immaterial), seperti menahan diri atau jiwa dalam menghadapi sesuatu yang diinginkannya. Dari akar kata shabara diperoleh sekian bentuk kata dengan arti yang beraneka ragam, antara lain berarti menjamin, pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya, gunung yang tegar dan kokoh, awan yang berada di atas yang lain dan melindungi yang di bawahnya, batu-batu yang kokoh, tanah yang gersang, sesuatu yang pahit atau menjadi pahit, dan sebagainya.
Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa sabar menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, pahit, yang harus dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Dari sini tidak heran jika bulan Ramadhan dikatakan sebagai bulan sabar, sebab di dalamnya terdapat kewajiban ibadah puasa yang esensi pokoknya adalah pengendalian diri hingga berakhir dengan kemenangan.
Seorang yang menghadapi rintangan yang berat, terkadang hati kecilnya membisikkan agar ia behenti (putus asa), meski yang diharapkannya belum tercapai. Dorongan hati kecil itu selanjutnya menjadi keinginan jiwa. Jika keinginan itu ditahan, ditekan, dan tidak diikuti, maka tindakan ini merupakan pengejawantahan dari hakikat sabar yang mendorongnya agar tetap melanjutkan usahanya walaupun harus menghadapi berbagai rintangan yang berat.
Pengertian sabar yang demikian tersirat dalam sabda Rasulullah SAW. Suatu hari kaum muslimin bertemu dengan musuh dalam suatu peperangan, maka Rasulullah SAW bersabda, ''Wahai manusia, janganlah kalian berharap bertemu musuh, mohonlah kepada Allah keselamatan, namun jika kalian bertemu musuh maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu di bawah tajamnya pedang.'' (HR. Bukhari-Muslim).
Dengan demikian, sabar tidak identik dengan sikap lemah atau menerima apa adanya, namun sabar merupakan perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan dan mengendalikan keinginan nafsunya. Bahkan sabar di saat ini menjadi kekuatan moral dalam menghadapi berbagai kejahatan, kezaliman, serta teror yang dilakukan oleh mereka yang tidak ingin kejahatan dan kezalimannya terbongkar. 
Allah SWT berfirman: ''Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.'' (QS al-Baqarah: 153).


***) Muhammad Bajuri (Republika Online)

Jumat, 11 Maret 2016

MEMAHAMI DEFINISI ZUHUD

Merasa cukup (qanaah) terhadap apapun yang kita peroleh memang gampang-gampang susah. Ego diri, kurang bersyukur serta melihat seseorang yang lebih tinggi dan memiliki dari kita adalah penyakit-penyakit yang semestinya harus kita obati. Kendati demikian, tak sedikit pula orang-orang di sekeliling kita yang memilih untuk zuhud meski ia memiliki banyak harta, jabatan yang tinggi dan kekayaan yang tak ada habisnya. Lalu, apa definisi zuhud yang sebenarnya?
Zuhud dalam sesuatu (al-zuhd fi al-sya’i) menurut bahasa artinya berpaling dari sesuatu yang bersifat duniawi karena menganggapnya hina, remeh, dan yang lebih baik adalah tidak membutuhkannya. Di dalam Alquran banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, kabar tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, dan kabar tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara’ ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan tetapi bukan pula memakan makanan yang sudah kering atau mengenakan pakaian yang kurang layak (lusuh).
Sedangkan pengertian zuhud yang paling baik dan menyeluruh menurut Hasan bin Ali bin Abu Thalib, seperti dikutip oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah ialah zuhud di dunia bukan hanya berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta tetapi jika engkau meyakini bahwa apa yang ada di tangan Allah itu lebih baik daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada tidak tertimpa musibah sama sekali.
Definisi terakhir inilah yang dinilai paling baik dan menyeluruh oleh Ibnul Qayyim sebab di dalamnya ada keridhaan seorang hamba terhadap takdir yang menghampirinya; baik maupun buruk. Itu artinya, Ibnul Qayyim tidak hanya memberikan pandangan bahwa secara fisik zuhud itu harus miskin dan lusuh, tapi juga lebih dari itu. Hakikat zuhud ialah membuahkan keridhaan terhadap takdir Allah dan Allah pun akhirnya meridhai kita.
Menurut Imam Ahmad zuhud menunjukkan tiga perkara. Pertama, meninggalkan yang haram dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam. Kedua, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang khas atau khusus. Ketiga, meninggalkan kesibukan selain mengingat Allah dan inilah zuhudnya orang-orang yang ma’rifatullah (orang-orang yang memahami betul zat Allah dan kekuasaan-Nya).
Sehubungan dengan keutamaan zuhud, hadits berikut ini menggambarkan tentang anjuran Rasulullah untuk bersikap zuhud. Dari Abul Abbas, Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, ia berkata, seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu perbuatan yang jika aku mengerjakannya maka saya akan dicintai Allah dan manusia,” maka Rasulullah bersabda, “Zuhudlah engkau di dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah engkau dalam hal yang dicintai manusia, niscaya manusia mencintaimu,” (HR Ibnu Majah)
Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa seutama-utamanya perbuatan yang dapat mendatangkan cinta Allah dan manusia ialah zuhud. Rasulullah melalui hadits ini juga menganjurkan kita supaya menahan diri dari memperbanyak harta dunia dan bersikap zuhud. Beliau bersabda, ‘Jadilah kamu di dunia ini laksanan orang asing atau pengembara,’ dan beliau juga besabda, ‘Cinta kepada dunia menjadi pangkal perbuatan dosa,’ atau dalam hadits lain Rasul juga bersabda, ‘Orang yang zuhud dari kesenangan dunia menjadikan hatinya nyaman di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang yang mencintai dunia hatinya menjadi resah di dunia dan di akhirat,’
Menurut Ibn Daqiqil dalam Syarhul Arba’in Nawawiyyah, melalui beberapa hadits tentnag zuhud di atas, bahwa Rasul menasehati (khususnya) salah seorang sahabat yang bertanya di atas dan umumnya untuk para umatnya agar menjauhkan diri dari menginginkan sesuatu yang berlebih-lebihan, yang dimiliki orang lain. Jika seseorang ingin dicintai lalu meninggalkan kecintaanya kepada dunia, mereka tidak akan berebut dan bermusuhan hanya karena mengejar kesenangan dunia yang sifatnya sementara.
Rasulullah Para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari negeri dunia dan menempatkannya di akhirat. Dengan pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud seperti Ibnul Mubarak, Imam Ahmad, Waki’, Hanad bin As-Siry dan lain-lainnya.
Perkara-perkara yang berkaitan dengan zuhud ada enam macam, dan seseorang tidak layak mendapat sebutan zuhud kecuali menghindari enam macam yakni harta, wajah, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain daripada Allah. Namun, menghindari enam macam disini bukan berarti menolak hal milik atau sengaja memiskinkan diri. Kita tahu bahwa Nabi Daud as dan Sulaiman as adalah orang yang paling zuhud pada zamannya tapi dua Nabi Allah ini memiliki harta yang tak terbilang banyaknya, kekuasaan dan juga isteri yang tidak dimiliki orang lain selain mereka. Dan hal-hal yang telah kita ketahui pula bahwa pastilah Rasulullah Saw ialah orang yang paling zuhud tapi beliau dianugerahi sembilan isteri. Para sahabat pun; semisal Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang yang zuhud tetapi mereka memiliki harta-harta yang melimpah ruah. 


***) Ina Salma Febriany (Republika Online)

Kamis, 10 Maret 2016

5 GEDUNG PEMERINTAHAN INGGRIS MENJADI ISLAMI

Sebanyak lima bangunan penting di London, Inggris, kini dijalankan mengikuti hukum syariah. Dilansir dari Breitbart, Sabtu (5/3), gedung-gedung pemerintah pusat Inggris menaati larangan adanya alkohol.
Aturan tersebut mulai berlaku setelah gedung-gedung pemerintahan itu digadaikan pada para pembeli Muslim sebagai bagian dari skema obligasi Islam. Aturan tersebut muncul dari obligasi khusus yang dikenal sebagai sukuk.
Diluncurkan oleh George Osborne dua tahun lalu, Inggris menjadi negara Eropa yang pertama kali menerbitkan sukuk. Obligasi khusus tersebut ditujukan untuk meningkatkan investor Muslim untuk membeli aset-aset negara Inggris.
Maka aturan mengikuti hukum syariah dilaksanakan sebab para invesor Muslim berusaha menghindari hal-hal haram seperti membayar bunga, minum alkohol, dan berjudi. Bangunan-bangunan yang mulai mengikuti hukum syariah antara lain Old Admirality, tempat diselenggarakannya acara kerajaan, serta Whitehall. Gedung Parlemen Inggris pun kemungkinan akan diatur oleh tata cara serupa.
Pada 2014 lalu, Forum Ekonomi Islam Dunia diadakan di London. Saat itu Perdana Menteri David Cameron menyatakan keinginannya agar London menjadi pusat ekonomi Islam. "Saya ingin London berdiri bersama Dubai dan Kuala Lumpur sebagai salah satu dari pusat keuangan Islam di dunia," ujarnya.

Sejak kanselir meluncurkan obligasi Islam tahun 2014, pengusaha dan dana dari Timur Tengah serta Afrika Utara telah membeli lebih dari 200 juta poundsterling obligasi sukuk tersebut. Sukuk terbukti sangat populer dan lebih dari 10 kali mengalami kelebihan peminat.

***)Republika Online

Rabu, 09 Maret 2016

PESAN BERHARGA RASULLAH

Pada suatu hari, Rasulullah SAW bersama para sahabat menanti musuh hingga matahari condong. Kemudian, beliau berdiri, seraya bersabda, "Wahai saudara-saudara, janganlah mengharap-harap bertemu dengan musuh, mohonlah kesejahteraan kepada Allah. Tetapi, kalau kalian bertemu dengan musuh, sabarlah (berhati teguh). Ketahuilah, sesungguhnya surga itu terletak di bawah bayangan pedang." Kemudian beliau bermunajat, "Ya Allah, Tuhan yang menurunkan Kitab, yang menjalankan awan dan mencerai-beraikan pasukan musuh, ceraikanlah mereka dan tolonglah kami melawan mereka." (HR Bukhari).
Kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di antara sesama umat manusia merupakan karakteristik ajaran Islam. Nilai atau prinsip kehidupan yang agung ini menjadi faktor utama dalam mewujudkan kesejahteraan hidup manusia di bumi ini.
Dari hadis di atas, Rasulullah SAW memberi pesan berharga kepada kita agar mengutamakan dan memohon kesejahteraan hidup kepada Allah. Segala bentuk kebencian dan permusuhan di antara manusia lazimnya dihindari. Lebih-lebih, permusuhan dan pertikaian yang terjadi di internal umat Islam itu sendiri.
Di sisi lain, hadis di atas juga menyampaikan taujih sekaligus peringatan bagi setiap Mukmin bahwa kejahatan dan penderitaan yang ditimbulkan pihak musuh sejatinya adalah bentuk ujian (musibah) dari Allah. Oleh sebab itu, kita diperintahkan untuk bersabar dan berteguh hati dalam menghadapi apa pun tekanan dan ancaman pihak musuh.
Tidak lain, maksud musuh di sini adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kerusakan di atas bumi ini. Wala 'udwaana illa 'alazhalimiin (tidak ada musuh melainkan ke atas orang-orang zalim). Termasuk, orang-orang yang mendukung dan turut membantu pihak musuh untuk merealisasikan aksi kezaliman dan kebatilannya.
Diriwayatkan dari Imam Thabrani dalam kitabnya Al-Kabir, Nabi SAW bersabda, "Barang siapa yang berjalan bersama penzalim untuk membantunya, dan tahu bahwa orang itu penzalim, maka sungguh dia telah keluar dari Islam."
Sifat sabar dalam menghadapi musuh menjadi salah satu parameter kualitas iman dan ketakwaan seorang hamba kepada Allah SWT. "... dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan  melawan musuh. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS al-Baqarah [2]:177).
Apalagi, ketika harus berperang menghadapi musuh yang jumlahnya jauh lebih besar, alat perangnya canggih, senjatanya modern dan lengkap, provokasi dan fitnahnya cukup besar maka sifat sabar yang merupakan faktor kunci kemenangan mutlak dimiliki oleh setiap Mukmin.
Kisah kemenangan tentara Thalut atas tentara Jalut yang diabadikan dalam Alquran hendaklah menjadi spirit dan teladan. Perang di antara dua kekuatan tersebut, pasukan Thalut memperoleh kejayaan gemilang, padahal kekuatan armada pihak musuh jauh lebih besar. Kunci kegemilangan ini tidak lain adalah sifat sabar yang Allah anugerahkan kepada diri mereka, "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, teguhkanlah langkah-langkah kaki kami, dan tolonglah kami atas orang-orang kafir yang memerangi kami." (QS al-Baqarah [2]:250).
Bersabar menghadapi kezaliman yang dilakukan oleh pihak musuh bukanlah berarti pasrah dan patah semangat. Akan tetapi, berusaha sedaya upaya untuk keluar dari belenggu kesulitan dan penderitaan yang diakibatkan oleh kezaliman nafsunya, serta berusaha untuk mencegah dan menghentikannya.
Rasulullah SAW bersabda, "Tolonglah orang zalim dan orang yang dizalimi." Kemudian, seorang sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami dapat mengerti menolong orang yang dizalimi, namun bagaimana menolong orang yang berbuat zalim?" Maka, Nabi SAW menjawab, "Hendaklah kamu  mencegah dan melarangnya dari berbuat zalim. Sesungguhnya yang demikian itu cara menolongnya." (HR Bukhari). Wallahu al musta'aan


***) Imron Baehaqi (Republika Online)

Selasa, 08 Maret 2016

MELAWAN STRATEGI SETAN

Dalam Alquran, tidak kurang dari 88 kali setan disebut. Setan berasal dari kata syathana yang artinya jauh. Jauh dari rahmat Allah dan jauh dari berbagai kebaikan. Setan adalah setiap makhluk yang melanggar hukum Allah dan melampaui batas ketentuan Allah SWT. 
Setan bisa berasal dari bangsa jin, bisa pula dari kalangan manusia (QS al-An'am [6]: 112 dan an-Nas [114]: 6). Setan senantiasa menyeru manusia untuk melakukan perbuatan jahat dan keji (QS al-Baqarah [2]: 169). 
Ia juga menghasut manusia agar saling membenci dan memusuhi, seperti melalui judi dan khamar (QS al-Maidah [5]: 91). Setan juga menakut-nakuti manusia akan kemiskinan (QS Al-Baqarah [2]: 286) sehingga manusia cenderung mengumpulkan harta dengan rakus, kikir, dan menghalalkan segala cara. 
Padahal, semua rayuan dan godaannya hanyalah tipuan belaka dan angan-angan kosong (QS an-Nisa' [4]: 120). Untuk menjalankan seruannya, setan memiliki beberapa siasat atau strategi. 
Pertama, menghiasi keburukan dengan keindahan (QS an-Nahl: 63 dan an-Naml: 24). Suatu perbuatan yang buruk dalam pandangan agama, dipandang indah oleh manusia yang terbujuk rayu setan. 
Misalnya, perempuan yang memperlihatkan aurat, bergoyang dan bernyanyi dengan lirik mengundang syahwat dan berahi, justru dinilai oleh pria dan wanita itu sendiri sebagai seni yang mahal harganya. 
Kedua, menjadikan manusia lupa kepada Allah. “Setan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah.” (Al-Mujadalah 19). Ketika manusia lupa kepada Allah, maka perbuatan maksiat mudah dilakukan. Sebaliknya, orang yang senantiasa ingat kepada Allah, tidak ada celah baginya bermaksiat. 
Ketiga, mengajak manusia mengubah agama. Firman-Nya, “Dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah, (lalu mereka benar-benar mengubahnya).” (QS an-Nisa'[4]: 119). 
Kata ciptaan Allah pada ayat di atas bermakna agama Allah. Jadi, setan memperdaya manusia untuk mengubah agama Allah ini. Mereka frustrasi melihat kondisi umat Islam yang suka berpecah belah, dianggap tokoh agama tetapi masih berani korupsi, diangkat sebagai pemimpin namun menzalimi, kemiskinan dan kebodohan kerap kali diderita umat. 
Setan pun menggoda manusia untuk menganggap Islam tak relevan lagi dengan zaman, maka perlu diperbarui. Agama pun mereka ubah, seakan agama hanya produk budaya. Mereka sesat lagi menyesatkan. 
Keempat, melalui minuman keras (khamar) dan perjudian (QS al-Ma'idah [5]: 91), setan menyesatkan manusia sehingga merusak persaudaraan antarmanusia. Padahal, secara akal, khamar merusak pikiran dan memelihara kebodohan, sedangkan judi mengakibatkan kemiskinan. 
Namun, daya rasionalitasnya tak berfungsi akibat bujuk rayu setan. Meskipun setan melakukan berbagai siasat dan strategi untuk menyesatkan manusia, namun Allah menegaskan, “Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” (QS an-Nisa' [4]: 76). 
Maka siasat setan mesti dilawan. Di antara strategi melawan setan adalah memperkuat iman, bertawakal (QS an-Nahl [16]: 99) dan memperbanyak zikir kepada Allah (QS al-A'raf [7]: 201). 
Di samping itu, Allah SWT menegaskan bahwa setan datang dari arah kanan, kiri, muka, dan belakang untuk menyesatkan manusia (QS al-A'raf [7]: 17). Akan tetapi, setan tidak datang dari atas dan bawah. 
Sebagian mufasir berpendapat bahwa dari arah atas, setan tidak bisa menghampiri manusia selama manusia itu senantiasa mengingat Allah dan bertawakal kepada-Nya. Sementara arah bawah, setan juga tak sanggup menaklukkan bani Adam ketika manusia senantiasa ingat pada kematian (karena manusia berasal dari dan kembali ke tanah) lalu memperbanyak sujud. 
Maka perbanyaklah ibadah, seperti shalat, sedekah dan lain-lain sehingga setan akan menjauh dari manusia. Selanjutnya, perbanyak doa: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan dan aku berlindung (pula) kepada Engkau Ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (QS al-Mukminun: 97-98).

***)  Muhammad Kosim (Republika Online)

Senin, 07 Maret 2016

SHALAT PENGHAPUS DOSA

Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa suatu hari ada seorang lelaki datang kepada Umar bin Khathab. Lelaki itu lantas bercerita, ''Wahai Umar, ada seorang perempuan datang kepadaku untuk membeli dagangan. Karena aku terpikat kecantikannya, maka ia aku ajak masuk ke gudang, dan aku bermesraan dengannya.
Di dalam gudangku itu, semua perbuatan keji aku lakukan, kecuali senggama.'' Umar pun mempertanyakan, ''Kecelakaan buatmu, adakah dia wanita yang ditinggal suaminya berjihad di jalan Allah?'' Lelaki itu menjawab, ''Ya, benar.''
Kemudian masalah ini dibawa kepada Abu Bakar Shiddiq. Abu Bakar pun berkata sebagaimana Umar. Akhirnya, ia dibawa kepada Rasulullah SAW. Maka, tidak lama kemudian, Allah SWT menurunkan ayat, ''Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.''
Firman Allah itu termuat dalam Surat Hud ayat 114. Lelaki itu bertanya, ''Wahai Rasulullah, adakah keringanan ini khusus buatku saja?'' Rasulullah menjawab, ''Untuk seluruh umatku.''
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, ''Tiap anak Adam adalah pembuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah ia yang segera bertobat.'' Bagi seorang manusia, melakukan kesalahan, penyelewengan, dan pelanggaran adalah hal biasa.
Bahkan, tidak ada satu pun manusia yang bersih dari berbuat dosa. Lebih lagi, manusia dilahirkan di dunia ini untuk menghadapi berbagai ujian dan cobaan, godaan dan gangguan, serta tantangan dan hambatan. Karenanya, Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang senantiasa memberi kesempatan kepada manusia untuk bangkit meneruskan perjalanan menuju keridhaan-Nya.
Untuk itu, Allah sangat mempermudah tobat seorang hamba yang berdosa, selama dosanya ini tidak terkait dengan hak-hak anak Adam, seperti dosa perampokan, pencurian, dan korupsi. Pertobatan tidak perlu upacara khusus, mendatangi kiai, apalagi membayar.
Dalam hal ini, Allah SWT telah mengaruniai setiap manusia kekuatan batin berupa kesadaran yang selalu timbul dalam hati setiap manusia yang melakukan kesalahan serta penyimpangan. Allah SWT berfirman, ''Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.'' (Surat Ali Imran ayat 135). Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber : Pusat Data Republika

Minggu, 06 Maret 2016

3 CINTA SURAT THAHA

Ar-rahmaan dan Ar-rahiim, dua asmaaul husna yang akrab di telinga kita. Dua nama baik Allah yang senantiasa pula kita baca dan kita ulang dalam surah al-fatihah lima kali sehari semalam. Itulah mengapa Allah menyebut surah al-faatihah sebagai sab’ul matsaani yang berarti tujuh ayat yang (selalu) diulang-ulang. 
Jika mau diresapi, lafadz bismillahirrahmaanirrahiim memiliki makna yang teramat luar biasa. Selain penamaan khusus dari diri-Nya bahwa Dialah Zat Penebar Cinta, belas kasih dan sayang, secara tersirat juga terdapat keyakinan kuat dari-Nya, bahwa manusia tak perlu risau dan gelisah mengejar kasih sayang atau cinta dari makhluk; sebab sifat kasih sayang dan cinta-Nya sudah melampaui kasih sayang dari para makhluk.
Rahmaan dan rahiim kedua-duanya memiliki energi tersendiri bahwa sifat Allah itulah yang mampu membuat seluruh makhluk ciptaan-Nya; tak terkecuali manusia masih mampu hidup, bernafas, menghembuskan udara segar, berkumpul dengan orang-orang terkasih atau bahkan seluruh organ yang Dia ciptakan berfungsi sebagaimana mestinya. 
Maka, ni’mat Tuhanmu yang mana lagikah duhai (Jin dan Manusia) yang masih dapat kalian dustakan? Demikian, Allah ulangi lagi dan lagi firman-Nya dengan lafadz yang senada dalam surah Ar-Rahmaan kurang lebih hingga 33 kali sebagai anjuran untuk sepenuhnya menyadari bahwa apa yang kita miliki dan peroleh adalah benar-benar karena izin, ridha dan kemurahan-Nya.
Berbicara tentang cinta; pasti berbicara tentang rasa. Ya, lebih tepatnya ada tiga cinta di surah Thaha. Surah Thaha, yang terletak di antara surah Maryam dan Al-Anbiya’ ini memiliki 135 ayat yang di dalamnya memuat dukungan dan keyakinan penuh dari Allah untuk Rasulullah Saw. Cinta kedua, terlimpah kepada Nabiyallah Musa as hingga dalam beberapa ayat, Allah Swt berfirman langsung kepada Musa sebagai bukti bahwa Allah takkan pernah meninggalkannya seorang diri menghadapi kekejaman Fir’aun. Lalu cinta yang ketiga, Allah limpahkan untuk Nabiyallah Adam as.
Surah yang diturunkan di Kota Makkah ini disebut surah Thaha (sesuai dengan ayat pertama surah ini) dengan beberapa alasan yaitu Thaha adalah juga salah satu nama mulia yang ditujukan kepada Nabi Muhammad. Dipanggil demikian sebagai penghormatan dan penghibur hati beliau atas segala pertentangan dan pembangkangan dari kaum kafir Quraisy. Oleh karenanya, surah ini dibuka dengan Thaha sebagai panggilan lembut dari Sang Pecinta kepada yang dicinta.
“Thaha. Tidaklah Kami menurunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menjadi susah (celaka). Melainkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut,” (Qs Thaha 1-3)
Gambaran cinta surah Thaha dalam ayat 1-3 di atas tentu sangat berpengaruh kepada sisi psikologis Rasulullah yang saat masa-masa wahyu diturunkan, kerap merasa ketakutan, gelisah dan khawatir akan keselamatan dirinya dan umat islam saat itu. Tentu perasaan yang dialami beliau sangatlah wajar. Sama halnya dengan kondisi psikis kita saat nyawa terancam, kelaparan, kekurangan uang, terlilit hutang, dan ketakutan-ketakutan manusiawi yang juga sering kita alami.
Dengan panggilan-Nya yang lembut itulah, Rasulullah Saw kembali yakin dan percaya bahwa Allah memang tidak pernah meninggalkan dirinya sekedip matapun. Allah meyakini bahwa proses turunnya Al-Quran sama sekali bukan untuk menyusahkan beliau, melainkan sebagai basyiiran (kabar gembira) bagi orang-orang beriman juga nadziiran (peringatan) agar kita menjaga diri dari perilaku yang kurang baik dan tidak diridhai-Nya.
Bentuk cinta-Nya yang kedua, yaitu untuk Nabi Musa as, tertera dalam surah Thaha ayat 11-16, Allah berfirman, “Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa”.
Dialog luar biasa yang berhasil membuat Musa as gentar kala itu mampu menumbuhkan keyakinan baru dalam diri Nabi Musa sebab sebelumnya beliau ketakutan karena sempat membunuh salah satu kaum Bani Israil karena ketidaksengajaannya. Di lembah Thuwa itulah Allah memperkenalkan diri-Nya sekaligus memproklamirkan pangkat kenabian untuk Nabi Musa bahwa dirinya telah terpilih menjadi utusan Allah. Kepada Nabi Musa, Allah juga memberikan peringatan tentang keesaan-Nya sekaligus pula menegaskan bahwa hari kiamat pasti terjadi.
Pada ayat berikutnya, yaitu ayat 17-20, ini adalah bentuk dukungan penuh dan pembekalan langsung dari Allah bagaimana agar kelak Nabi Musa as nanti sanggup menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya, “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
Pemberian cinta dari Allah berupa mu’jizat ini adalah bentuk kebesaran Allah Swt untuk salah satu hamba-Nya yang terpilih menjadi Nabi agar Nabi Musa pun meyakini bahwa Allah takkan pernah tinggal diam. Allah pasti akan memberikan dukungan, pendampingan, kekuatan dan kemampuan untuk menghadapi orang-orang yang zalim.
Namun pertanyaannya, apakah setelah pertemuan dan dialog di lembah Thuwa Nabi Musa berani total dan tidak lagi ketakutan? Jawabannya, tidak. Sebab, ketika perhelatan ular digelar—sebagai tantangan dari Fir’aun atas pembuktian kenabian Musa as—Nabi yang berada dalam pengawasan Allah sejak ia dihanyutkan ke sungai ini mengalami ketakutan luar biasa. Hingga akhirnya Allah membisikkan dengan lembut, “... Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu lebih tinggi (unggul). Lemparkanlah tongkat yang ada di tangan kananmu, maka ia akan menelan sihir yang mereka buat, sungguh itu hanyalah tipu daya tukang sihir. Dan tidak mungkin menang tukar sihir, darimanapun ia datang,”
Sedangkan bentuk cinta-Nya yang ketiga, ialah terlimpah untuk manusia sekaligus nabi pertama; Nabi Adam as, “Dan sungguh telah Kami janjikan kepada Adam agar tidak memakan buah khuldi sejak dahulu. Lalu dia (Adam) lupa akan janjinya dan tidak kami dapati baginya kemauan yang kuat,” (Qs Thaha: 115).
Kita semua tahu bahwasannya iblis menggelincirkan Nabi Adam dari surga karena godaan dan ajakannya untuk mencicipi buah yang dilarang Allah. Kemudian Nabi Adam menangis dan bertaubat kemudian ia temukan bahwa Allah Maha Pengampun, sehingga Dia mengampuni dosa Nabi Adam serta mengutuskan untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Cinta ketiga inilah sebagai refleksi cinta dari Allah. Bukti cinta yang tertuju tidak hanya kepada Nabi Adam as berupa pengampunan kesalahan tapi juga kepada umat Nabi Muhammad. Jika umat-umat terdahulu, sebut saja umat Nabi Luth, Nabi Hud, Nabi Musa, langsung diazab Allah karena dosa-dosa mereka, maka bukti cinta-Nya untuk kita (umat akhir zaman) adalah pengampunan; yang jika kita melakukan kesalahan dan dosa, lalu bertaubat, maka Allah akan hapuskan segala kesalahan, tak peduli meski dosa sebanyak buih-buih di lautan.


***) Ina Salma Febrian (Repubika Online)