Rabu, 30 September 2015

KHAIR AL-USRAH

Pendidikan dalam Islam bukan hanya dimulai dari anak usia dini, tetapi selagi masih dalam kandungan, bahkan sewaktu memilih pasangan hidup pun telah berproses hingga akhir hayat. 
Proses pembelajaran anak  ditopang  oleh  empat pilar pendidikan yakni : Pertama; al-madrasah al-uula (sekolah pertama dan utama), yakni keluarga. Kedua; al-madrasah al-tsaaniah (sekolah kedua) yakni lembaga pendidikan formal (sekolah). 
Ketiga; al-madrasah al-tsaalitsah (sekolah ketiga) yakni lembaga-lembaga sosial, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, politisi, artis. Keempat; al-madrasah al-raabi’ah (sekolah keempat) yakni media massa dalam segala jenisnya.   
Pilar paling penting dalam pendidikan adalah lembaga keluarga (usrah). Oleh karena itulah agama menekankan pentingnya menata keluarga yang utuh dan kuat agar menjadi keluarga terbaik (khair al-usrah).
Khair al-usrah hanya mungkin terbentuk jika ayah dan ibu juga pribadi-pribadi terbaik (khair al-bariyyah, [QS.98:7-8]). 
Dua insan terbaik itulah berpadu dalam ikatan cinta yang berakar pada tauhid, berbatang dahan pada syariat, berdaun dan berbuah pada akhlak (adab). Kedua orang tualah yang akan menjadi pemimpin sekaligus Guru kehidupan bagi anak-anak. 
Allah SWT memberikan otoritas kepada orang tua membentuk anak sesuai kemauannya. “Setiap anak itu dilahirkan fitrah (suci, bersih). Lalu, kedua orang tua yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim). 
Jangan sampai salah asuh, salah didik, salah sekolah dan salah teman. Bibit yang unggul sekali pun, jika ditanam di atas tanah gersang, tak disirami air dan pupuk, tak dijaga dan dirawat, akan tumbuh kerdil. Kewajiban orang tua menjaganya dari segala petaka dan derita (neraka), baik duniawi maupun ukhrawi (QS.66:6)
Anak itu juga dipengaruh oleh lingkungan. Jika temannya baik ia ikut baik. Jika temannya buruk, ia pun ikut buruk. Tidak sedikit yang terjerat narkoba, tawuran, pornografi, seks bebas, dan kekerasan seksual, karena pengaruh teman. 
Kekerasan seksual terhadap 20 anak di bawah umur di Jakarta Utara pekan lalu harus jadi i’tibar. Pelakunya ternyata pernah menjadi korban sodomi. Nabi SAW.  mengingatkan; “al-mar`u ‘ala diini khaliilhi, fa al-yandzuru ahadukum man yukhaalil” Artinya, seseorang itu akan mengikuti agama temannya, maka hendaklah memperhatikan siapa teman bergaulnya. (HR. Abu Daud).
Setiap musim Haji dan Hari Raya Idul Adha, kita selalu diingatkan pada napak tilas keluarga Nabi Ibrahim as (QS.3:33). Khalilullah yang berjuang mencari Tuhan ini (QS.6:75-79) adalah nenek moyang Nabi Muhammad SAW dari anaknya Ismail as. dan Nabi-Nabi Bani Israil dari anaknya Ishak as. 
Keluarga Nabi Ibrahim as adalah model keluarga yang dibangun dalam bingkai tauhid dan kecintaan kepada Allah SWT. Figur ayah dan ibu (Siti Hajar) yang beriman, sabar dan tawakkal, telah melahirkan anak yang saleh dan sabar pula, yakni Nabi Ismail As. (QS,37:100-102). 
Itulah peran seorang pendidik sejati dalam menanamkan akidah tauhid, syariat dan berbakti kepada orang tua dan mencintai sesama manusia (akhlak karimah).
Ibrahim as. pun mewasiatkan Islam kepada anak turunannya (QS.2:130133). Hatta, keluarga Ibrahim as  disandingkan dengan kemuliaan keluarga Nabi Muhammad SAW dalam shalawat Nabi.
Sejatinya, orang tua bekerja keras mencai nafkah untuk membangun keluarga berkualitas dalam iman, ilmu, amal dan adab (khair al usrah). Nabi SAW berpesan, “khairukum khairukum li ahlihi, wa anaa khairukum li ahlii Artinya, sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Aku adalah orang terbaik diantara kalian terhadap keluargaku. (HR. At-Tirmidzi).
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, dalam sebuah tulisan Refleksi diRepublika (7/6/2015), menekankan perlunya keluarga dikokohkan dengan Al-Quran.
Keluarga bukan sekadar tempat berkumpulnya orang-orang yang terikat pernikahan maupun keturunan, tetapi mempunyai fungsi yang luas termasuk internalisasi nilai-nilai positif. 
Keluarga adalah pondasi masyarakat dan negara.  Kalau begitu, back to family (kembali kepada keluarga), agar rumah kita menjadi surga duniawi (baitii jannatii). Insya Allah. Allahu a’lam bish-shawab. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )


***) Ustaz H Hasan Basri Tanjung, MA

Selasa, 29 September 2015

NIKMATNYA DAMAI DI TOLIKARA

Pelaksanaan Shalat Idul Adha 1436 Hijriah berlangsung aman dan khusyuk. Masjid dipenuhi ratusan umat Islam yang datang dari segala penjuru Karubaga, Tolikara.
"Alhamdulillah, hari ini kita melihat perjuangan semua pihak, pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI dan Polri terkait amannya pelaksanaan shalat," kata Syekh Ali Jaber sesuai pelaksanaan Shalat Idul Adha 1436 Hijriah.
Syekh Ali Jaber juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang berjuang untuk mendamaikan seluruh elemen masyarakat Tolikara.
"Harapannya, kedamaian ini juga terjadi di seluruh Indonesia. Karena perdamaian kunci kebahagiaan. Dengan perdamaian, manusia menikmati surga Allah di dunia," katanya.
"Semoga Allah melindungi kita semua di masa depan."
Syekh Ali Jaber tiba di Tolikara pada Rabu (23/9) kemarin. Bagi Ali Jaber ini perjalanan istimewa dari Barat-Timur pada dua hari besar Islam. ‎Pada Idul Fitri lalu, Syekh Ali Jaber melaksanakan Shalat Idul Fitri di Banda Aceh, Aceh Naggroe Darussalam. Hari ini, ia melaksanakan shalat Idul Adha di Tolikara, Papua.
"Alhamdulillah," katanya.‎
(Da'wah, hidayah, hikmah, takwa,)


***)Agung Sasongko--Republika

Senin, 28 September 2015

HABLUMINALLAH & HABLUMINANNAS, KUNCI SUKSES SEBUAH USAHA

Pengalaman masa lalu yang kelam tak membuat Dede Suparman (57 tahun) terpuruk. Pernah terjerumus narkoba selama belasan tahun dan mengalami kebangkrutan dalam usaha menjadi pelajaran hidup baginya.
Saat duduk di kelas satu SMA pada 1973, pergaulan Dede tak terkendali. Dia bergaul dengan teman-teman yang mengonsumsi ganja dan obat-obatan terlarang (narkoba). Dede kemudian menjadi pecandu yang menyebabkan sekolahnya berantakan. Pada 1974, Dede dikeluarkan oleh pihak SMA 1 Cianjur.
Orang tuanya yang tergolong mampu kemudian memberikan jalan bagi Dede agar keluar dari lingkungan narkoba. Dia diberikan usaha peternakan ayam telur untuk dikelola. Dede mulai bertanggung jawab terhadap usaha yang diberikan oleh orang tuanya itu. Bahkan, dia bisa membentuk sebuah keluarga dengan bersandar pada usaha peternakannya tersebut.
Namun, pengaruh narkoba yang dia kenal sejak SMA terlalu besar. Dede tak bisa melepaskan diri dari ketergantungannya atas barang haram tersebut. Usaha peternakan telur yang dia kelola jalan di tempat. Ini akibat keuntungan usaha digunakan untuk membeli narkoba. Bahkan, gaji untuk para pekerja juga terkadang dia salah gunakan untuk membeli narkoba.
Pada 1989, Dede dibawa oleh keluarga ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati, Jakarta Selatan. Dia direhabilitasi selama satu tahun. Dede kemudian berhasil menyembuhkan diri dari ketergantungan narkoba.
Dia pun kembali ke Cianjur untuk melanjutkan usahanya. Akan tetapi, dia kaget karena usaha peternakan ayam telurnya bangkrut. "Saya sangat kaget saat itu. Di saat saya sembuh, tapi usaha saya malah bangkrut," ujar Dede mengenang kepada Republika beberapa waktu lalu.
Dede kemudian berjualan di Pasar Cianjur. Dia membuka toko klontong yang menjual kebutuhan sehari-hari. Namun, itu pun hanya bertahan selama satu tahun karena tak menguntungkan.
Dede kemudian sering berdiam diri di depan rumahnya, di Jalan DR Muwardi 153, Cianjur. Dia merenung, usaha apa lagi yang akan dia geluti. Dede melihat banyak mobil yang lalu-lalang di jalanan. Dari tepi jalan itulah, dia menemukan ide. "Dari situ saya mendapat gagasan, ini kalau buka bengkel pasti laku," kata Dede.
Dede memulainya pada 1991 dengan membeli satu drum oli. Dia juga membeli etalasenya. Modal yang dia keluarkan waktu itu sebesar Rp 1,9 juta. Pada awalnya, bengkel Dede hanya melayani ganti oli, tidak ada pelayanan servis untuk mobil.
Pada 1996, di Cianjur sedang ramai berkembang informasi bahwa PT Astra International Tbk akan membina bengkel-bengkel yang ada di sana. Dede sama sekali tidak tertarik dengan informasi itu.
Hingga akhirnya, kakaknya menegur dan menyarankan kepada Dede untuk mendatangi kantor Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA), salah satu yayasan milik PT Astra International Tbk untuk meminta pembinaan.
"Nah, pada 1997 saya datang ke kantor Astra yang di Jakarta dengan mengantongi rekomendasi dari Dinas Perindustrian Kota Cianjur. Alhamdulillah, Astra mau membina bengkel saya," kata Dede.
Pada 1998, YDBA membuka angkatan pertama untuk kelas pelatihan manajemen bengkel. Ada 20 orang pemilik bengkel yang didatangkan ke Jakarta untuk mendapat pelatihan. 
Selain mendapat pelatihan manajemen bengkel, Dede juga mendapat ilmu lainnya, seperti mekanik. Melalui YDBA, Dede bersama dengan 19 teman lainnya bisa mempelajari perbengkelan mobil-mobil yang penjualannya di bawah Astra, seperti Isuzu, Toyota, dan Daihatsu.
Selepas pelatihan, YDBA memberikan lisensi kepada Dede untuk membuat bengkel resmi Daihatsu. Kemdian, mulailah dia meningkatkan usaha perbengkelan mobilnya.
Pihak PT Astra International Tbk, melalui YDBA, tidak melepas Dede setelah dia mendapatkan lisensi untuk membuat bengkel resmi. Namun, Dede dan bengkelnya terus mendapat pembinaan.  Selain didorong oleh pembinaan teknis oleh YDBA tentang perbengkelan, Dede juga mendapat bantuan pinjaman dari PT Astra Mitra Ventura (AMV). Modal inilah yang akhirnya membawa Dede berhasil melebarkan usahanya.
Putus asa
Meski sudah meningkat, tetapi ternyata perjalanan usaha bengkel Dede jalan di tempat. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Di antaranya,layout perbengkelan yang belum tertata dan  bangunan bengkel yang masih kurang layak. Hal tersebut berpengaruh pada omzet usahanya. Di mana, pelanggan masih belum banyak yang mau datang ke bengkel Dede.
Padahal, pihak YDBA terus membantu Dede untuk mendorong pengembangan usahanya. Oleh YDBA, Dede terus diberikan pelatihan dan saran-saran membangun usaha lainnya, tetapi itu pun tak membuahkan hasil.
Dede pun kemudian mendapat cibiran dari banyak orang. Tidak hanya orang luar, tetapi juga dari kalangan internalnya sendiri, yakni para pegawainya. Pada umumnya, mereka menyatakan bahwa Dede dimanfaatkan oleh pihak PT Astra Internastional Tbk sebagai sarana promosi semata.
"Di saat saya lagi galau karena usaha tidak maju-maju, saya juga mendapat tekanan dari komentar-komentar miring seperti itu. Saya nyaris putus asa dan pada waktu itu ingin menjual bengkel saya," kata Dede.
Kemudian, datanglah perwakilan YDBA, Mohammad Iqbal, yang menangani pembinaan bengkel Dede. Sekarang, Mohammad Iqbal merupakan general manager YDBA.
Menurut Dede, pada waktu itu Iqbal juga heran dengan usaha Dede yang tak kunjung maju. Padahal, menurut dia, YDBA sudah banyak membantu berbagai cara untuk pengembangan bisnis Dede. "Dede, kamu jangan menyerah. Kamu harus yakin bisa mengatasi persoalan ini," kata Dede menirukan nasihat Iqbal waktu itu.
Dede melihat Iqbal tak menyerah mendorong dia untuk maju. Setelah diberikan berbagai pelatihan dan pinjaman modal oleh PT Astra International Tbk, Iqbal kemudian menasihati Dede.
"Dede, ini YDBA sudah banyak membantu kamu. Tetapi, kenapa kamu masih seperti ini. Sekarang saya tanya ke kamu, apakah kamu sudah shalat, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan apakah kamu sudah benar-benar bertobat atas masa lalu kamu yang pernah menjadi pecandu narkoba. Coba kamu tingkatkan amal ibadah kamu dan kamu perbanyak shalat Tahajud," kata Dede menirukan nasihat Iqbal.
Ternyata, saran Iqbal itulah yang membuat Dede berubah. Dia menyadari bahwa pada waktu itu meski sudah lepas dari ketergantungan narkoba, dia masih belum dekat kepada Tuhan. Dia masih belum menjalankan kewajiban shalat lima waktu. Dede pun mulai menjalankan nasihat Mohammad Iqbal tersebut.
"Alhamdulillah, setelah saya benar-benar bertobat, kemudian shalat lima waktu dan memulai shalat Tahajud, mulailah terbuka rezeki saya lebar-lebar," kata Dede.
Menurut Dede, saran Mohammad Iqbal itulah yang menambah kekuatan mentalnya. Pihak YDBA melalui Iqbal benar-benar ikhlas mendorongnya untuk maju dan berubah jadi lebih baik. "Ini kan pembinaan di luar nalar Astra terhadap UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Biasanya saya hanya dibina secara teknis, seperti manajemen pengelolaan usaha atau mekanik. Tetapi, Astra juga mengajarkan saya bahwa ada campur tangan Tuhan dalam sebuah keberhasilan," ujar Dede.
Sekarang, Dede telah menuai hasil dari pembinaan teknis maupun mental dari PT Astra International Tbk melalui YDBA. Bengkelnya yang bernama resmi Bengkel UKI Daihatsu Cianjur telah jauh berkembang. Omzetnya mencapai Rp 160 juta per bulan dengan karyawan sebanyak 12 orang.
Selain itu, karena usahanya semakin maju, PT Astra International Tbk memercayakan kepada Dede untuk menambah usahanya. Yakni, dengan membukakan bengkel resmi khusus sepeda motor Honda. Saat ini, bengkel tersebut dikelola oleh istrinya.
Hingga sekarang, Dede masih terus berhubungan dengan YDBA. Dan, YDBA masih terus menantang Dede untuk lebih maju lagi. Target dia ke depan adalah mengembangkan usahanya dalam bidang manufaktur. Selain itu, dia juga berencana mengembangkan bengkelnya dengan menyediakan layanan auto body repair.   
Mental dasar
General Manager YDBA Muhammad Iqbal membenarkan cerita Dede tersebut. Dia membina Dede dengan pendekatan kerohanian karena pesan dari pendiri PT Astra International Tbk William Soeryadjaya yang menginginkan perusahaannya seperti pohon rindang. Di mana, orang-orang di sekitar pohon, dalam hal ini perusahaan, bisa bernaung di bawahnya, baik dalam keadaan panas terik maupun hujan.
“Nah, pada saat itu kondisi bengkel Dede yang sedang kita bina kondisinya sedang panas atau tidak maju. Tapi, kita tetap menaungi Dede,” kata Iqbal kepada Republika, Jumat (18/9).
Apalagi, filosofi YDBA, yakni berikan kail bukan ikan, yang berarti YDBA memang tidak memberikan bantuan berupa uang, tetapi memberikan cara atau ilmu agar Dede atau pihak yang dibina Astra bisa menggunakan potensi yang dimilikinya. “Kalau diberikan ikan pasti habis, tapi kalau diberikan kail, dia bisa memanfaatkan dan mengembangkannya untuk mencari ikan,” kata Iqbal.
Karena itulah, YDBA menerjemahkan pesan dari pendiri Astra tersebut adalah dengan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) dari pihak yang dibina YDBA. Yakni, dengan mengembangkan kompetensi dari pihak yang bersangkutan.
“Karena itu, untuk kasus Pak Dede inilah, kita bukan hanya membina keterampilannya, tetapi juga karakternya. Kalau masalah karakter ini berarti ada hubungan habluminallah atau hubungan antara manusia dan tuhannya,” kata Iqbal.
Tidak hanya mengingatkan hubungan antara manusia dan tuhan, dalam kasus Dede ini, YDBA juga mengingatkan hubungan Dede dengan sesama manusia (habluminannas). Yakni, Dede tidak hanya diingatkan soal ibadah dengan Tuhan, tetapi juga ibadah sosial, seperti melakukan zakat dan infak.
Menurut cerita Iqbal, pada waktu itu Dede sempat ragu bahwa keuntungan bengkelnya tidak besar sehingga membuatnya enggan untuk berzakat dan berinfak. Akan tetapi, oleh Iqbal diingatkan bahwa keuntungan adalah nomor sekian, yang terpenting adalah apa yang dipunya Dede sedikit banyaknya ada yang disumbangkan untuk warga sekitar.
Masukan-masukan seperti itu bukan hanya saran pribadi Iqbal terhadap pengelola UKM yang dibina YDBA, melainkan YDBA juga memberikan materi basic mentality atau penanaman mentalitas dasar.“Nah, basic mentality ala Astra itu mengajarkan semangat berbagi, memuliakan pelanggan, dan kerja sama. Hal-hal seperti itu lebih dari sekadar pemberian bantuan berupa uang,” kata Iqbal. 


***) Muhammad Hafil/Wartawan Republika

Sabtu, 26 September 2015

TELADAN IBRAHIM UNTUK ORANG TUA

Ibrahim dan Ismail merupakan utusan Allah SWT yang darinya tumbuh generasi-generasi pilihan. Allah SWT melalui Alquran memerintahkan Muhammad SAW agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif, seperti difirmankan dalam surah an-Nahl ayat 123, “Kemudian Kami Wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama Ibrahim yang hanif, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.” 
Ajaran Ibrahim AS sampai sekarang masih kekal dan diamalkan umat Islam, salah satunya yaitu melaksanakan ibadah kurban pada 10 Dzulhijah dan pada hari-hari tasyrik. Bentuk pengorbanan berupa ibadah kurban yang dimulai pada zaman Ibrahim dengan mengorbankan putranya, Ismail, bukanlah pengorbanan yang kecil. 
Setelah beberapa lama belum dianugerahi putra, akhirnya Allah SWT mengabulkan doa Ibrahim dengan menganugerahinya seorang putra bernama Ismail. Namun, setelah Ismail mencapai usia remaja, Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya itu. 
Ibrahim yang sudah sangat lama mendambakan seorang putra harus dihadapkan pada sebuah kenyataan yang sangat dilematis, yaitu harus menyembelih anaknya. Jika tidak ada keyakinan yang kuat di antara kedua manusia saleh ini, pastilah tidak akan terjadi pengabdian yang total atas perintah Allah SWT. 
Ibrahim dan Ismail begitu yakin pada perintah Allah SWT. Ismail pun yakin sang ayah tak akan mencelakainya. Apa yang bisa diambil pelajaran dari perjalanan Ibrahim dan Ismail? 
Pertama, kedekatan orang tua dan anak mampu menumbuhkan rasa saling percaya yang kuat dalam ketaatan kepada Allah SWT sehingga menjadikan sebuah pengorbanan besar itu bisa dilaksanakan dengan totalitas tanpa keraguan sedikit pun. 
"....Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang Diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS al-Shafat: 102). Tidak ada penolakan sama sekali dari Ismail atas perintah penyembelihan itu. 
Kedua, keberanian berkorban Ismail pada usia belia karena berada dalam bimbingan Ibrahim sebagai orang tua yang pantas dipercaya. Kepercayaan seseorang bisa menjadi bekal lahirnya pengorbanan. 
Bagaimana mau berkorban jika keyakinan dan kepercayaan tidak ada. Mengajarkan dan memberikan contoh berkorban terhadap anak sejak awal merupakan investasi untuk masa depan anak. 
Bahkan keluarga, bukan sekadar untuk mendapatkan pahala, melainkan juga untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik karena sebelumnya dibiasakan sikap ikhlas untuk berkorban. 
Berkorban waktu untuk beribadah, belajar, membantu orang tua, membantu dan menolong sesama, sehingga nantinya memiliki life skilldan soft skill sebagai bekal bidup. 
Ketiga, orang tualah yang mengajak dan memberikan contoh, melatih putra-putrinya untuk berkorban sejak dini agar nanti di kemudian bisa terbiasa. 
Semoga kita tidak kesulitan dalam mengajak putra-putri kita dalam melakukan kebaikan karena kita sudah membangun kepercayaan dan keyakinan yang kuat dengan keluarga dan putra-putri kita. 
Berguru kepada Ibrahim dan Ismail tentang berkorban adalah belajar bagaimana membangun keyakinan dan kepercayaan serta berkorban dengan ikhlas terhadap Allah SWT serta membangun sikap saling percaya yang dibangun dalam keluarga dengan ikatan tauhid. 
Dengan sikap saling percaya itulah sikap berkorban akan mudah ditunaikan minimal di lingkungan keluarga, terlebih di masyarakat. Berani berkorban sejak dini berarti berani untuk mendapatkan kebaikan dan mudah untuk berkorban di saat dewasa nanti. Wallahu'alam. 
(Da'wah, hidayah, keyakinan ., hikmah, takwa, )

***) Abdul Hopid 

Jumat, 25 September 2015

KETELADANAN KESABARAN

Allah berfirman, "Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka, tidak ada yang dibinasakan kecuali kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah)." (QS al-Ahqaf [46]: 35).
Semua nabi dan rasul Allah adalah orang-orang yang sabar. Dari sekian banyak nabi dan rasul, ada yang dikenal dengan sebutan rasul Ulul Azmi. Mereka ini adalah para nabi dan rasul yang paling penyabar di antara yang lainnya. Mereka adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Ulul Azmi berarti pemilik keteguhan hati.
Nabi Nuh disebutkan berdakwah dengan begitu sabar selama 950 tahun, mengajak umatnya untuk beriman kepada Allah, tetapi hanya sedikit yang mengikuti beliau. (QS al-'Ankabut [29]: 14).
Nabi Ibrahim disebutkan berdakwah dengan sangat sabar tidak hanya kepada kaumnya, tetapi juga kepada Azar, ayahnya, sang pembuat berhala, dan seorang raja yang kejam bernama Namrud. (QS al-An'am [6]: 74). Ibrahim bahkan harus menjalani siksaan kejam, yakni dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud, tapi Allah menyelamatkannya sehingga tidak mempan dibakar.
Nabi Musa juga sangat sabar menghadapi kaumnya, Bani Israil, yang suka ngeyel dan ingkar janji. Padahal, Allah telah melimpahkan kepada mereka begitu banyak nikmat, misalnya, diselamatkan dari kekejaman Fir'aun serta diberikan makanan berupa manna dan salwa.
Alquran menyebutkan, "Wahai Bani Israil! Sungguh, Kami telah menyelamatkan kamu dari musuhmu dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (Gunung Sinai) dan Kami telah menurunkan kepada kamu mann dan salwa. Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu dan janganlah melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Barang siapa ditimpa kemurkaan-Ku, sungguh, binasalah dia." (QS Thaha [20]: 80-81).
Nabi Isa juga begitu sabar menghadapi kaumnya yang mengingkari Allah dan mendustakan dakwahnya. Tidak hanya itu, sebagian mereka malah ada yang menganggap Isa sebagai Tuhan. Sesuatu yang sangat keras dibantah oleh beliau.
Alquran menyebutkan, "Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, 'Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?' (Isa) menjawab, 'Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.'" (QS al-Ma'idah [5]: 116).
Nabi Muhammad, rasul terakhir sekaligus penutup para rasul, tidak kurang sabarnya seperti para rasul sebelumnya. Pada ayat di awal tulisan ini disebutkan, Allah memang telah menyuruh beliau untuk bersabar. Beliau tidak boleh mendoakan hal-hal buruk kepada kaumnya, seperti berdoa agar disegerakan azab atau siksa kepada mereka.
Allah menegaskan, tugas beliau dan para rasul terdahulu hanyalah menyampaikan risalah. Soal hidayah ada di tangan Allah. Selama lebih kurang 23 tahun: 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, Rasulullah berdakwah dengan sangat sabar dan tekun. Pada akhirnya, hasilnya sungguh mencengangkan. Dalam tempo itu, seluruh jazirah Arab mayoritas telah menjadi Muslim yang kemudian menyebar ke pelbagai belahan dunia.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, )


***) Nur Farida

Kamis, 24 September 2015

AYO SHALAT ISTISQA

Sebagian besar wilayah Indonesia dilanda musim kemarau panjang dan kekeringan sehingga berakibat kekurangan air bersih. Banyak sumur masyarakat yang mulai kering. Lahan pertanian dan perkebunan mengalami gagal panen. Akibat suhu panas, banyak hutan terbakar sehingga berdampak kabut asap yang mengganggu aktivitas kehidupan. Dengan kata lain, kita semua sangat mengharapkan turunnya hujan lebat.
Aisyah RA menuturkan bahwa masyarakat Madinah pernah mengeluhkan musim paceklik dan kemarau panjang kepada Rasulullah SAW. Beliau lalu memerintahkan untuk menyiapkan mimbar di tempat shalat dan menjanjikan untuk bersama-sama melaksanakan shalat Istisqa pada suatu hari.
Lalu Rasulullah keluar dari rumah menuju tempat shalat di tanah lapang ketika matahari sudah mulai terik (waktu Dhuha), lalu naik mimbar. Beliau memulai khutbahnya dengan bertakbir lalu memuji Allah. Dalam khutbahnya Rasulullah berkata, "Kalian semua mengeluhkan kekeringan, kesulitan air di rumah-rumah kalian, terlambatnya turun hujan. Padahal, Allah SWT telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya, dan Dia telah menjanjikan untuk mengabulkan doa kalian.
Beliau kemudian berdoa, "Alhamdu lillahi Rabbi al-'Alamin ar-Rahman ar-Rahim. Maliki yaumi ad-din. La ila illa Allah…" (Dia berbuat menurut kehendak-Nya. Ya Allah, Engkau adalah Allah yang tiada tuhan selain Engkau. Engkau Mahakaya, sedangkan kami sangat fakir. Turunkanlah hujan dan jadikanlah apa yang engkau turunkan itu sebagai kekuatan dan penyambung kehidupan hingga masa tertentu."
Rasul kemudian tetap mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi hingga terlihat bulu ketiaknya yang berwarna putih, lalu beliau berpaling membelakangi para sahabat (menghadap kiblat) dan mengubah sarung selendangnya sambil menengadahkan kedua tangannya. Beliau kembali menghadap kepada para sahabat, lalu turun dari mimbar kemudian shalat dua rakaat.
Tidak lama setelah itu, Allah membuat langit menjadi mendung, berawan tebal, bergemuruh suara guntur, dan berkilatan petir, lalu turun hujan lebat sehingga menggenangi masjid. Beliau tidak ke masjid sampai air surut. Ketika melihat para sahabat bergegas pulang ke rumah masing-masing, beliau tertawa sehingga terlihat gigi gerahamnya." (HR Abu Daud).
Ketika terjadi Perang Tabuk, perang antara Rasulullah SAW bersama pasukannya melawan pasukan Bizantium, para sahabat tidak hanya menghadapi krisis logistik, tetapi juga mengalami krisis air. Mereka mengadu kepada Rasulullah, lalu beliau mengajak sebagian pasukan untuk melaksanakan shalat Istisqa. Tidak lama kemudian, turunlah hujan lebat. Para pasukan Muslim dapat menghimpun perbekalan air untuk keperluan mereka dan binatang yang dijadikan kendaraannya (kuda dan unta).
Shalat Istisqa merupakan salah satu solusi jitu untuk mengatasi kekeringan, kesulitan air, kebakaran hutan, krisis pangan, dan krisis pencemaran udara karena banyak debu dan asap akibat kebakaran hutan. Shalat Istisqa itu sarat dengan nasihat spiritual bagi kita semua bahwa tobat, beristighfar, shalat, dan berdoa kepada Allah merupakan amalan yang tidak pernah sia-sia, jika kita menyadari keterbatasan dan kefakiran diri kita di hadapan Allah.
Melalui shalat Istisqa, kita dididik untuk semakin percaya bahwa Allah itu Mahakaya, Mahakuasa, Maha Pengasih dan Penyayang yang memedulikan kesulitan hidup hamba-Nya. Kalau bukan kepada Allah, lantas kepada siapa lagi kita mengadu dan memohon pertolongan?  Melalui shalat Istisqa kita diajak untuk mengingat Allah dan menyakini bahwa Allah itu pasti menolong apa yang sedang dikeluhkan oleh hamba-Nya.
Karena itu, umat perlu digerakkan untuk melaksanakan shalat Istisqa karena berulang kali Rasulullah memberi contoh shalat Istisqa dan terbukti tidak lama setelah itu (atau bahkan saat sedang shalat) hujan turun lebat. Ayo kita shalat Istisqa!
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan ., sabar, syukur., takwa, )


***) Muhbib Abdul Wahab

Rabu, 23 September 2015

AMAL TERBAIK

Suatu hari Abu Dzarr bin Jundah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya.
Aku bertanya, “Memerdekakan budak yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Memerdekakan budak ketika sangat disayangi tuannya dan yang paling mahal harganya.
Aku bertanya, “Seandainya aku tidak mampu berbuat yang sedemikian, lalu bagaimana?” Beliau menjawab, “Kamu membantu orang yang bekerja atau kamu menyibukkan diri agar hidupmu tidak sia-sia. 
Aku bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tidak mampu melakukan sebagian pekerjaan itu? “Beliau menjawab, “Janganlah kamu berbuat kejahatan kepada sesama manusia, karena sesungguhnya yang demikian itu termasuk sedekah untuk dirimu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menunjukkan betapa banyak jalan untuk kebaikan. Iman menjadi amalan yang paling utama, bahkan menduduki peringkat teratas. Tentu saja bukan tanpa sebab, tanpa iman yang kokoh, sikap tauhid, segala amal kebaikan menjadi tak ada nilai spiritualnya.
Iman kepada Allah Yang Maha Kuasa menjadi sarana pembebasan manusia dari penghambaan pada yang lainnya. Tidak ada lagi tuhan-tuhan kecil yang diperhamba, selain Tuhan sejati, Allah SWT.
Rasulullah Saw bersabda, “ Iman itu mempunyai tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan malu adalah cabang dari iman.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam praktiknya, ikhlas dalam seluruh kegiatan ibadah merupakan kunci untuk memperoleh amalan terbaik. Firman Allah SWT, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus,” (QS Al-Bayyinah:5).
Niat yang tulus dalam beribadah tentu menjadikan setiap kebaikan memiliki keutamaan yang lebih di hadapan Allah. Rasul bersabda, “Setiap amal disertai dengan niat. Setiap amal seseorang tergantung dengan apa yang diniatkannya. Karena itu, siapa saja yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima dan diridhai Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barang siapa yang melakukan hijrah demi kepentingan dunia, atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan mendapat apa yang menjadi tujuannya,” (HR Bukhari Muslim).
Hanya saja, berhati-hatilah dengan jebakan setan yang begitu halus dan lembut. Bahkan, jebakannya bisa hadir di tengah-tengah ibadah dan amalan yang dilakukan. Merasa benar, riya dan ingin dipuji orang lain merupakan jebakan syetan yang harus dihindari.
Amalan terbaik juga merupakan amalan yang tidak memberatkan dan yang dilakukan terus menerus. Berlebihan dalam beribadah pun bukanlah merupakan amalan terbaik. 
Hal ini pernah dikisahkan ketika Rasul SAW masuk ke rumah Siti ‘Aisyah, waktu itu ada seorang wanita, dan beliau bertanya, “Siapakah dia?” ‘Aisyah menjawab: “Ini adalah si Fulanah yang terkenal shalatnya.
Nabi bersabda, “Wahai Fulanah, beramallah sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Dia tidak akan bosan untuk menerima amalmu, sehingga kamu sendirilah yang merasa bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah, yaitu yang dikerjakan secara terus menerus.” (HR Bukhari Muslim).
(Da'wah, hidayah, hikmah, takwa,)

***)  Iu Rusliana

Selasa, 22 September 2015

RAHASIA PERINTAH SUJUD

Subhanallah walhamdulillah diantara rahasia perintah sujud dan ruku'. Simaklah Kalam Allah dengga iman : "Wahai hamba hamba yg beriman! Ruku'lah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung" (QS AL-Hajj 77). "...Bersujudlah dan mendekatlah kepada Allah (QS Al Alaq 19).
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya apabila seseorang hamba berdiri untuk shalat maka diletakkan semua dosa-dosanya di atas kepala dan kedua bahunya. Setiap kali, ia ruku' atau sujud berjatuhanlah dosa-dosanya itu" (HR At-Tabrani).
Rasulullah bersabda, "Apabila imam bangun dari ruku' serta membaca doa, maka hendaklah kamu membaca 'Allahuma Rabbana lakal hamdu' karena siapa yang bersamaan bacaannya dg bacaan Malaikat, niscaya diampunkan dosanya yang telah lalu" (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah bersabda, "Sedekat-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya ialah ketika dia sedang bersujud, karena itu perbanyaklah doa" (HR Muslim).
Jangan pernah mempercepat sujud ruku' lagi, jangan menganggap biasa lagi sujud, ruku' itu, hayatilah, nikmatilah, rasakanlah saat saat sujud ruku' itu, kita sedang berhadapan dg serba Maha, Yang Menguasai, Yang Mengatur, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, Yang Menatap, dan Yang Mendengar kita saat saat sujud ruku' dihadapanNya.
Ridha, rahmat, ampunan dan berkahNya, ia kucurkan saat saat sujud ruku' dihadapanNya, Allahu Akbar.
Allahumma ya Allah terimalah sujud ruku' kami...aamiin.


Sumber: Akun Facebook Ustaz Arifin Ilham
(Da'wah, keyakinan ., takwa, )

Senin, 21 September 2015

HINA DINA YANG MULIA

Alkisah, ada seorang lelaki dari kaum Bani Israil yang dijuluki Khali', orang yang gemar berbuat maksiat besar. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang 'abid dari kaum Bani Israil, orang yang ahli berbuat ketaatan dan di atas kepalanya terdapat payung mika.
Kemudian Khali' bergumam, "Aku adalah pendosa yang gemar berbuat maksiat, sedangkan dia adalah 'abid-nya kaum Bani Israil, lebih baik aku bersanding duduk dengannya, semoga Allah memberi rahmat kepadaku."
Lalu si Khali' tadi duduk di dekat si 'abid. Lantas si 'abid pun bergumam, "aku adalah seorang 'abid yang alim, sedangkan dia adalah khali' yang gemar bermaksiat, layakkah aku duduk berdampingan dengannya?"  Tiba-tiba saja si 'abid menghujat dan menendang si khali' hingga terjatuh dari tempat duduknya. 
Lalu Allah memberikan wahyu kepada Nabi Bani Israil dengan firmannya, "Perintahkan dua orang ini yakni 'abid dan khali' untuk sama-sama memperbanyak amal, Aku benar-benar telah mengampuni dosa-dosa khali', dan menghapus semua amal ibadah 'abid." Maka, berpindahlah payung mika yang dikenakan 'abid tersebut kepada khali'.
Kisah itu sejatinya menjadi cambuk bagi kita. Seringkali kita merasa bangga dengan ibadah dan amal saleh yang telah dikerjakan. Namun itu menjadi sia-sia karena dengan kebanggaan itu lantas menghujat dan menghakimi orang lain. 

Syekh Ibnu Athaillah dalam Kitab al-Hikam menegaskan bahwa, "Maksiat yang melahirkan rasa hina pada dirimu hingga engkau menjadi butuh kepada Allah, itu lebih baik daripada taat yang menimbulkan perasaan mulia dan sombong atau membanggakan dirimu." 
Dengan kata lain, hina dan butuh kepada Allah keduanya adalah sifat orang yang menghamba. Adapun mulia dan agung adalah sifat Tuhan, sehingga tidak ada kebaikan bagi seorang hamba yang taat tapi menimbulkan perasaan mulia dan agung, sebab keduanya adalah sifat Tuhan. 
Tawadhu-nya orang yang berbuat maksiat dan perasaan hina dan takut kepada Allah, itu lebih utama daripada takabbur-nya orang alim atau orang yang 'abid. Ibnu Athaillah membesarkan hati orang yang telah berbuat dosa agar tidak putus asa terhadap ampunan Allah.
Bahkan orang yang berdosa namun bertobat dengan penuh rasa hina dina dihadapan Allah itu dinilai lebih baik, dibanding orang yang ahli ibadah yang merasa paling hebat, suci, mulia dan sombong dengan ibadahnya.  Rasulullah bersabda,  "Jikalau kalian tak pernah berbuat dosa, niscaya yang paling saya takutkan pada kalian adalah yang lebih dahsyat lagi, yaitu 'ujub (kagum pada diri sendiri)." (HR Imam Ahmad)
Sifat hina dina adalah wujud kehambaan kita. Manusia akan sulit mengakui kehambaannya manakala ia merasa lebih mulia, sombong, ujub, hebat dibanding yang lainnya. Wallahu 'alam
(Da'wah, hidayah, keyakinan ., takwa, )

***)Republika onlene


Minggu, 20 September 2015

HAJI DAN KESALEHAN SOSIAL

Sejak 21 Agustus lalu jemaah calon haji Indonesia secara bertahap mulai terbang menuju tanah suci Mekkah. Gelombang migrasi religius sesaat ini seharusnya mampu melahirkan pribadi Muslim yang bertransformasi menjadi lebih saleh secara individual ataupun sosial. Sama halnya dengan peristiwa keagamaan lain, rukun Islam kelima ini mengandung makna simbolik-metaforis tentang harmoni hubungan vertikal manusia dengan Tuhan (habl min Allah) serta hubungan horizontal antarmanusia (habl min al-nas). Sayangnya, idealitas itu tidak selamanya terwujud dalam keseharian setelah jemaah haji kembali ke Tanah Air. Fenomena ini secara mudah bisa ditangkap dari keberadaan olok-olok masyarakat yang menyebut sosok hajimabur (terbang, Jawa) sebagai pelesetan untuk jemaah yang sekadar terbang naik pesawat ke Mekkah. Sindiran lain adalahhajingan sebagai pelesetan "bajingan", merujuk orang yang sudah berhaji, tetapi masih berkutat dengan kemaksiatan. Harus diakui, masyarakat awam di negeri ini cukup lihai dalam mengolah berbagai kata menjadi berbagai pelesetan yang ternyata sangat filosofis. Apa saja bisa jadi bahan olok-olok, termasuk masalah konsekuensi sosial kemabruran haji atau sebaliknya. Diksi hajingan merupakan sindiran yang secara faktual menggambarkan adanya distorsi sosial orang yang sudah berhaji, tetapi kelakuannya tetap seperti preman dan bajingan. Kosakata hajingan tentu tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi karena ada fenomena sekitar yang mendukungnya. Ia bisa saja lahir karena adanya jemaah haji yang keberangkatannya ke Mekkah dilakukan dengan cara-cara manipulasi, korupsi, hingga menyerobot kuota orang lain. Meski sama-sama sedikit kuantitasnya, ia juga lahir dari keberadaan sosok yang tetap banyak melakukan kemungkaran, baik sebelum maupun sesudah berhaji. Kemungkaran sosial Potret hajingan juga bisa dilihat dari tetap semaraknya kemungkaran sosial meski jumlah haji selalu bertambah setiap tahun. Coba hitung berapa banyak para koruptor di Indonesia yang notabene sudah melaksanakan ibadah haji, termasuk berapa pula yang terjerat dalam kasus pidana lainnya. Meski belum ada penelitian yang serius, fakta sosiologis menunjukkan adanya orang yang sudah berhaji terlibat dalam ragam tindak pidana. Tentu secara kuantitas jumlah dan persentasenya tidak banyak, tetapi keberadaan mereka secara kualitas cukup mengganggu. Hajingan juga bisa dirujuk pada pelaku kejahatan yang menggunakan haji sebagai salah satu alat mengelabui Tuhan agar mencuci dosa-dosanya. Lihatlah bagaimana koruptor menggunakan hasil kejahatannya untuk keperluan haji, selain tentu saja sedekah, zakat, umrah, dan lainnya. Koruptor legendaris Gayus Tambunan, misalnya, memberikan testimoni miris ini di pengadilan, bahwa uang hasil korupsinya juga digunakan untuk mendanai "proyek akhirat", membiayai umrah seorang hakim yang menangani perkaranya. Ironisnya, dalam beberapa kasus, ketidakberesan moralitas juga berusaha menyeret-seret Mekkah untuk dijadikan tameng. Hampir dalam setiap kasus korupsi yang melibatkan elite negeri ini, selain lari ke beberapa negara luar negeri, ternyata ada juga yang menggunakan Mekkah sebagai tempat berlindung. Baik untuk mengulur-ulur proses hukum maupun membangun citra sebagai orang saleh yang tidak terlibat dalam tindakan pidana. Ibadah yang tidak membawa efek dalam kehidupan sosial adalah fenomena yang jamak ditemui dalam keseharian umat Islam di Indonesia. Umat begitu rajin menunaikan ibadah untuk mengejar balasan yang bersifat eskatologis (surga), tetapi melupakan keharusan dampak kebaikan dalam konteks kekinian dan "kedisinian". Ragam doktrin Islam yang universal dipahami dan dilaksanakan secara personal sehingga tidak punya implikasi signifikan dalam dinamika kehidupan sosial. Agama didistorsi Daya tangkap jangka pendek (myopic) terhadap doktrin Islam semacam inilah yang oleh Asmuni MTH diistilahkan dengan religiositas casing, yaitu sikap beragama yang cenderung menampakkan dimensi eksoteris dalam bentuk praktik ritual, tetapi mengabaikan dimensi esoterisnya yang mengharuskan bukti sosial. Model keberagamaan ini sudah tentu tidak berefek pada kesalehan sosial karena ia mengabaikan agama sebagai sinaran etik-moral bagi kerja perubahan dalam masyarakat. Bisa jadi penafsiran serampangan tentang "sifat" Tuhan membuat mereka semakin "berani" bermaksiat, atau bahkan malah yakin kesalahannya tetap diampuni Tuhan. Pendistorsi agama seperti ini tentu sangat berbahaya karena mereduksi nilai luhur agama, termasuk keberaniannya "mengakali" Tuhan dalam bentuk pseudo-agamis. Apalagi dibuat modal untuk "menyuap" Tuhan dari hasil korupsi dalam bentuk haji, umrah, sumbangan masjid, sedekah, dan lain-lain. Berbagai tindakan distortif dalam manasik haji ini sudah tentu membuat hubungan kausalitas antara ritual dan kesalehan (sosial) semakin renggang. Padahal, meminjam istilah Ali Shariati (1993), ritual haji sesungguhnya dipenuhi simbol-simbol semangat kemanusiaan yang luhur dan fundamental. Pascahaji seyogianya mampu melahirkan kebaikan yang bersifat transendental-humanis dalam dimensi yang luas dan sarat nilai-nilai kemanusiaan yang didasari oleh spirit ilahiyah. Sekembalinya dari Mekkah, jemaah mestinya mampu meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahhatian, dan keadilan. Ragam motivasi jemaah membuat ibadah haji dimaknai beragam oleh jemaah, bahkan ada yang berhenti pada pemahaman yang formalistik dan simbolistik. Sebagian besar mampu menangkap dan mengaplikasikan nilai-nilai kemanusiaan-isoteris yang dikandung haji dalam kehidupan sehari-hari, tetapi ada pula yang gagal memahaminya. Di situlah mengapa ada haji mabrur, haji yang sekadar mabur,hingga haji yang kurang ajar atauhajingan. Allah a'lam bi al-shawab. 


***)Muhammad Kholid Asyadulloh

Sabtu, 19 September 2015

KISAH MUSLIM UGANDA

KISAH MUSLIM UGANDA
Ahmed Twalib Kamya Kalungi, seorang warga Uganda, akhirnya bisa mewujudkan mimpi untuk melaksanakan ibadah Haji di tanah Arab Saudi. Selama sepuluh tahun secara terus menerus, ia sebelumnya hanya bisa mengantar calon jamaah haji Uganda menuju Bandara Internasional Entebbe.
Dilansir On Islam, Ahad (13/9), sehari-hari, Ahmed Twalib menjual sepatu bekas dan kayu kontruksi. Dengan pekerjaannya itu, Ahmed sadar bahwa tidak akan mampu untuk melakukan pembayaran untuk melaksanakan ibadah haji yang pembiayaannya terus meningkat tiap tahunnya
Menyadari hal tersebut, Ahmed memulai peluang baru pada tahun 2005. Dari uang hasil penjualan sepatunya, ia membeli satu acre tanah dan pohon eucalyptus yang bisa langsung ditanam. Melalui itulah Ahmed bisa mulai mencicil membayar setoran untuk biaya ibadah haji.
Pada bulan Januari tahun ini, Ahmed Twalib menyetor sebanyak 409 dolar AS sambil menunggu pohon untuk tumbuh dewasa dan siap untuk dipanen. Pada bulan Mei, ayah dari 12 anak ini sudah dapat memanen pohon dan dan membayar angsuran lainnya sebesar 2.182 dolar. Untuk menggenapi biaya haji sebesar 4.150 dolar, ia terus membayar secara angsuran selama lima bulan hingga saat masuk bulan Ramadhan jumlah tersebut telah tergenapi.   
"Sangat senang dan merasa bangga bahwa aku termasuk orang yang dipilih oleh Allah untuk pergi ke Makkah. Saya tidak tahu itu akan terjadi tahun ini, saya masih tidak percaya, " katanya. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )

***)Republika online

Jumat, 18 September 2015

PARA PENIKMAT TAHAJUT

Semoga tidak pernah ada kata bosan untuk selalu saling mengingatkan. Ada kenikmatan yang tak terkatakan dalam setiap Tahajud kita. "Sesungguhnya bangun tengah malam lebih tepat untuk khusyuk dan bacaan kala itu sungguh sangat berkesan mendalam." (QS al-Muzammil: 6).
Dengan tadabur dan dibaca pelan, inilah sungguh keistimewaan shalat Tahajud. Tahajud adalah syariat Allah, sebuah upaya meraih cinta dan rahmat-Nya. Tahajud adalah sunah utama Rasulullah, sebuah ikhtiar untuk meraih syafaat Rasulullah.Penikmat Tahajud akan dicintai, dikagumi, didoakan, dan diaminkan doanya oleh para malaikat.
Allah tuntun mencapai "maqooman mahumuudan", kedudukan mulia di sisi-Nya, juga di hadapan makhluk-Nya.Tahajud adalah shalat yang paling nikmat dan mengesankan. Hidup damai, tenang, dan sangat bahagia. Ada aura "haibah" penuh wibawa dan karismatik. Penikmat Tahajud pada akhirnya dalam skrip tulisan-Nya akan terunduh cinta dan sayang dari hamba-hamba-Nya yang beriman.
Disegani manusia dan ditakuti musuh, manusia, dan jin.Orang yang bersenyap dalam Tahajud akan memiliki "qoulan tsaqiilan", bicaranya didengar dan nasihatnya membangkitkan semangat ibadah dan amal saleh. Doanya sangat mustajab. Kunci sukses ikhtiar, berdagang, dan semua aktivitas. 
Allah juga akan memuliakan para penikmat Tahajud dengan "wujuuhun nuuri", wajah yang bercahaya, nyaman, dan menyenangkan jika ditatap. "Thiiban nafsi", nafsunya hanya semangat dalam ketaatan dan berakhlak mulia. Ia juga adalah "manhaatun anil itsmi", Allah cabut keinginannya pada maksiat.Tahajud adalah "daf'ul bala", sebuah upaya untuk menolak bala bencana.
Kalau terjadi, membawa hikmah besar. Sehat, segar, kuat, cerdas, obat jasmani ruhani, dan obat antipikun Kepastian akan didapat bagi mereka yang istiqamah Tahajud. Di antaranya membuka jalan rezeki, kemudahan urusan, dan kebahagiaan rumah tangga. Berbuah belas kasih, dermawan, dan rendah hati. Saat kondisinya sakaratul maut, insya Allah husnul khatimah.

Kuburnya "Rowdoh min riyaadhil jinaani", taman surga. "Miftaahul jannati" meraih kunci surga."Hamba-hamba Allah yang beriman itu sedikit sekali rehatnya di waktu malam. Dan, selalu memohon ampunan Allah pada waktu pagi sebelum fajar." (QS adz-Dzariyat: 17-18). Semoga dengan cara-Nya ternikmati shalat Tahajud kita. Amiin. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, syukur, sabar, takwa, )

***)Hikmah republika

Kamis, 17 September 2015

Menjadi Haji Sesungguhnya

Ibadah haji terdiri dari rangkaian ritual yang saling berkesinambungan satu sama lain. Pemahaman pesan ritus-ritus ibadah haji sangat dibutuhkan ketika mengerjakannya. Tanpa pemahaman yang baik dan mendalam, seseorang bisa terjebak dalam kelelahan fisik semata dan bahkan bisa terjebak dalam kemusyrikan ritual. 
Untuk menghindari itu, bekal ketakwaan mutlak diperlukan. Salah satu dari bekal ketakwaan ini adalah memahami simbol-simbol ibadah haji. Dan, sebagai bahan renungan, mari kita resapi kisah berikut ini.
Alkisah, antara al-Syibli dan seorang tokoh sufi bernama Zainal Abidin. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, al-Syibli segera menemui Zainal Abidin, seorang sufi besar dari keluarga Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu, Zainal Abidin bertanya kepada al-Syibli secara bertubi-tubi.
Ketika engkau sampai di miqat di mana engkau menanggalkan pakaian berjahit sebagai simbol keduniawian, apakah engkau berniat juga menanggalkan pakaian kemaksiatan dan berganti dengan pakaian ketakwaan. Apakah saat itu saja engkau tanggalkan riya dalam segala hal. Apakah engkau juga menanggalkan sifat kemunafikan dan yang sibhat?
Ketika engkau berihram tanda engkau memulai kegiatan haji, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah, lalu engkau mencari yang halal dan thayib. Ketika engkau menuju Kota Suci Makkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah karena di sana terdapat Baitullah. 
Ketika engkau memasuki Masjidil Haram, di mana manusia dari seluruh dunia datang, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak berucap apa pun kecuali berzikir kepada Allah Ketika engkau sa'i, apakah engkau merasa sedang menuju dan lari menuju Allah di antara cemas dan penuh harap, sebagaimana disimbolkan oleh Siti Hajar yang sedang mencari air demi kelangsungan hidup putranya, Ismail.
Ketika engkau wukuf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan masa lalumu yang tersembunyi dan engkau sengaja menyembunyikannya. Ketika engkau berangkat ke Muna (Mina), apakah engaku bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu, dan hatimu seperti yang dilakukan oleh setan terhadap Nabi Ibrahim AS. Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau juga berniat memerangi iblis yang sering bersarang di hatimu.
Mendengar pertanyaan Zainal Abidin yang bertubi-tubi itu, al-Syibli diam seribu bahasa. Ia hanya berkata, "Tidak". Mendengar jawaban al-Syibli itu, Zainal Abidin lalu berkata, "Wahai kawan, Engkau belum pergi ke miqat, belum berihram, belum thawaf, belum sa'i, belum wukuf, belum ke Muna, dan belum melempar jumrah."
Mendengar itu, al-Syibli menangis, karena pertanyaan yang diajukan Zainal Abidin bukan saja benar, malainkan telah menghunjam hatinya, hingga ia sadar bahwa ibadah hajinya baru kulit belum isi, baru lahiriah belum yang esensi. Kisah ini dapat menjadi cermin untuk kita semua, baik yang sudah pernah haji maupun untuk yang sedang melaksanakan haji, sehingga bisa lebih berhati-hati. 
(Da'wah, hidayah, sabar syukur., )

Rabu, 16 September 2015

KESABARAN POKOK SETIAP AMAL

Sifat sabar. Inilah sifat yang harus menjadi perhiasan bagi setiap jamaah haji. Kesabaran tak hanya dituntut pada saat puncak pelaksanaan haji, tetapi dalam seluruh proses haji. Ya, mulai dari pendaftaran, keberangkatan, ketika berada di Tanah suci, hingga kembali ke Tanah Air.
Berdasarkan pengalaman, biasanya ujian kesabaran muncul akibat ketidaksesuaian antara rencana dan realitas, antara harapan dan kenyataan. Hal itu mulai terasa sejak keberangkatan dari daerah asal ke asrama haji lalu ke bandara.
Kesabaran jamaah haji diuji melalui kemacetan lalu lintas menuju asrama, pemeriksaan dokumen yang memakan waktu relatif lama, menunggu pesawat berjam-jam, mencari koper di tengah ratusan koper jemaah lain yang sama bentuk, ukuran, dan warna.
Ujian kesabaran pun kerap muncul di Tanah suci, baik Makkah maupun Madinah. Kondisi penginapan juga bisa membuat jengkel. Memiliki empat lantai, tapi tak dilengkapi lift, toilet yang mampet, atau tempat tidur yang tak nyaman. Begitu pula dengan makanan yang terkadang datang terlambat, sudah basi, atau tak sesuai dengan selera. Dan, puncak ujian kesabaran muncul pada puncak pelaksanaan ibadah haji.
Selain meninggalkan segala larangan ketika berihram, para jamaah pun tak diperkenankan rafats dan jidal. Setiap musim haji, jutaan orang dari seluruh dunia berkumpul di tempat yang sama dengan tujuan yang sama pula. Jalanan macet, kendaraan terjebak berjam-jam sehingga terlambat tiba di tujuan. Di Arafah dan Mina, jamaah harus sabar mengantre makanan dan buang hajat.
Jika tak menghiasi diri dengan kesabaran, semua itu berpotensi membuat jamaah tak henti berkeluh kesah, stres, serta mudah tersinggung dan marah. Celakanya lagi, nilai ibadah bisa rusak. Bahkan, ibadah haji yang telah dilaksanakan bisa tertolak (batal).
Oleh karena itu, di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk meminta pertolongan kepada-Nya dengan sabar. "Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat ...." (QS al-Baqarah [2]: 45).
Kesabaran adalah pokok dari setiap amal. Bila kesabarannya hilang, amal akan rusak. Ali bin Abi Thalib berkata, "Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang, keseluruhan tubuh itu akan membusuk."
Jika kesabaran hilang, seluruh permasalahan akan rusak. Agar kita dapat menghiasi diri dengan sabar saat melaksanakan prosesi haji, hal yang harus dilakukan jamaah adalah senantiasa melatih diri dan bermujahadah (usaha maksimal) untuk selalu bersabar.
Sabar merupakan akhlak yang bisa diperoleh dengan dua hal itu. Selanjutnya, jamaah harus senantiasa berzikir. Zikir akan menumbuhkan ketenangan hati sehingga jamaah bisa menyikapi berbagai hal yang dihadapinya dengan kepala dingin.
Selain itu, hendaknya jamaah meyakini takdir Allah, baik yang sesuai dengan keinginannya maupun tidak. Takdir itu akan terus berlangsung dan itulah keputusan yang adil buat jamaah, sabar ataupun tidak. Jika jamaah bersabar, Allah SWT menjanjikan pahala dan kebaikan. Itulah yang akan menumbuhkan kekuatan pada diri jamaah. "Dalam kesabaran terhadap perkara yang tidak disukai itu banyak kebaikannya." (HR Tirmidzi)
Satu hal yang tak kalah penting, hendaknya jamaah haji mencari informasi tentang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji sejak dari berangkatan, ketika berada di Tanah suci, hingga kepulangan ke Tanah Air. Dengan demikian, jamaah haji tak akan kaget ketika kemungkinan itu menjadi kenyataan dan bisa menyikapinya dengan sabar. Wallahualam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***)Moch Hisyam

Selasa, 15 September 2015

YAKINLAH! SKENARIO ALLAH ITU INDAH

Allah SWT. berfirman: "... Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada...". (QS. Ali Imran: 140).
Penggalan ayat suci Alquran tersebut seakan menegaskan bahwa kehidupan manusia ibarat roda yang terus berputar. Kegembiraan dan kesedihan datang silih berganti menghiasi hari-hari yang kita lalui. Sebagian dari kita merasa bahagia dengan nikmat yang sedang diterima dan sebagian lainnya dituntut untuk memperbanyak sabar dan istighfar atas musibah yang sedang menerpa. 
Namun demikian, kondisi tersebut tidaklah abadi melainkan dapat berubah sesuai kehendak Sang Pencipta. Disinilah Allah SWT menggambarkan kekuasaan-Nya sekaligus mengajarkan manusia untuk selalu bersyukur dan bersabar dalam menghadapi nikmat ataupun musibah yang sedang dihadapi.
Ketidaktahuan kita selaku manusia akan gambaran masa depan, terkadang membuat diri merasa dihantui kekhawatiran yang berlebihan. Jika kita lebih dalam menyelami kitab suci Al Quran, maka sesungguhnya rasa takut dan khawatir tersebut tidak seharusnya muncul. 
Allah SWT telah ‘membocorkan’ sedikit rahasia-Nya kepada manusia agar tetap tegar dalam menghadapi kehidupan. Allah SWT berfirman: “… Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…” (QS. Ghafir: 60).
Doa merupakan senjata yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman dalam menghadapi seluruh permasalahan kehidupan. Namun demikian, tidak sedikit dari kita yang tidak sabar dalam menunggu terkabulnya doa-doa yang telah dipanjatkan. 
Padahal, Rasulullah SAW, telah menjelaskan dalam sebuah Hadits bahwa “Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan, atau akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal.” (HR. Ahmad).
Subhanallah, tiga kemungkinan dalam Hadits tersebut semuanya mengandung kebaikan dan pada hakikatnya, tidak ada yang mengetahui hal terbaik bagi manusia kecuali Allah Swt. Hal ini dapat kita analogikan dengan kondisi pengamen yang sedang mencari nafkah di jalanan atau warung-warung kaki lima.
Pengamen pertama baru memetik senar gitarnya dan melantunkan satu bait dari lagu yang didendangkan, saat itu juga kita langsung memberikan selembar uang kepadanya. Sedangkan pengamen kedua, harus rela berkeringat menarik suaranya guna menyelesaikan satu buah lagu bahkan lebih dan barulah kita memberinya uang yang diharapkan.
Dalam kasus pengamen pertama terdapat dua kemungkinan: a) kita merasa kasihan kepada sang pengamen sehingga kita mengambil sikap untuk segera membantunya, dan b) kita merasa terganggu dengan kebisingan yang dirasa sehingga kita memutuskan untuk segera menghentikan ketidaknyamanan tersebut.
Begitu juga dengan doa, bisa jadi Allah SWT menganggap kita sebagai hamba yang taat lagi membutuhkan serta doa yang kita panjatkan dinilai telah memenuhi adab dan syarat dikabulkannya sebuah doa, maka Allah kabulkan permintaan kita dengan segera. Akan tetapi, boleh jadi Allah Swt merasa ‘bising’ dengan permintaan-permintaan kita yang kadang bersifat memaksa.
Dalam kondisi ini, Allah SWT kabulkan doa kita dan biarkan kita terbuai dengan kenikmatan sembari tetap melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istidraj.
Sedangkan pada kasus pengamen kedua, kemungkinan besar kita menikmati suara dan lantunan lagu yang dinyanyikan sehingga kita memintanya untuk menuntaskan lagu tersebut dan pada akhirnya memberikan upah dengan nominal yang lebih besar dari yang diminta. 
Begitu juga dengan doa, tidak kunjung dikabulkannya doa yang kita panjatkan bukan berarti Allah SWT tidak mendengar dan menjawab doa kita tersebut, melainkan boleh jadi karena Allah Swt begitu sayang dan rindu akan munajat serta doa yang kita panjatkan di sela-sela tangis pada saat melakukan shalat malam dan ibadah-ibadah lainnya. Walhasil, Allah Swt mengabulkan doa kita lebih dari yang kita inginkan baik itu di dunia maupun di akhirat. Maka, yakinlah bahwa skenario Allah Swt itu indah.
Pada akhirnya, selaku hamba, kita dituntut untuk terus berdoa baik dalam suka maupun duka. Selain itu, kita juga tidak semestinya memaksa agar Allah Swt mengabulkan doa kita atau bahkan berburuk sangka kepada-Nya. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku bersamanya apabila dia memanggil-Ku. (HR. Tirmizi).
*) Abu Nashar Bukhari, Lc. Merupakan penerima manfaat Al -Azhar Scholarship Dompet Dhuafa lulusan dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Saat ini sedang menyelesaikan tesis di program Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Abu Nashar Bukhari, Lc.*

Senin, 14 September 2015

ADA BALASAN SETIAP KEJAHATAN

Suatu hari Abu Bakar RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan ayat yang berbunyi: Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (QS al-Nisa' [4]: 123). Apakah setiap kejahatan yang kami lakukan itu akan mendapat balasan?"
Rasulullah SAW menjawab, "Wahai Abu Bakar, bukankah kamu pernah sakit? Bukankah kamu pernah menderita? Bukankah kamu pernah sedih? Bukankah kamu pernah ditimpa kesusahan?" Abu Bakar RA menjawab, "Tentu pernah, wahai Rasulullah." Maka Rasulullah berkata kepada Abu Bakar RA, "Itulah sebagian dari balasan untuk kalian."
Seseorang bisa melakukan kejahatan karena dua sebab. Pertama, karena ada niat melakukan kejahatan itu sendiri. Kedua, karena ada kesempatan. Di antara kedua sebab terjadinya kejahatan ini motif yang pertamalah yang paling kuat.
Ketika seseorang sudah berniat untuk melakukan kejahatan, secara otomatis cara untuk mengeksekusi kejahatan itu akan muncul dengan sendirinya, dan secara otomatis pula kesempatan akan tercipta mengikuti cara yang telah muncul terlebih dahulu.
Misalnya, seseorang punya niat untuk mencuri maka cara untuk melakukan aksi pencuriannya itu, dan kapan waktu (kesempatan) yang tepat untuk melaksanakan aksinya akan muncul dalam benak si pencuri, mengikuti niat yang telah terpatri sebelumnya.
Namun, motif kedua yang berupa kesempatan juga tidak bisa dianggap remeh karena adanya kesempatan bisa membuat orang melakukan kejahatan meski tidak didahului dengan niat untuk melakukan kejahatan tersebut.
Misalkan, seorang laki-laki yang secara kebetulan melihat aurat perempuan bukan muhrimnya, tiba-tiba muncul keinginan untuk melakukan hal tidak senonoh dengan cara memaksanya sehingga terjadilah pemerkosaan.
Kejahatan seperti ini terjadi tidak didahului dengan niat untuk melakukan kejahatan tersebut, tetapi karena ada kesempatan, keinginan untuk melakukan kejahatan itu muncul secara tiba-tiba, dan terjadilah tindak kejahatan.
Pertanyaan Abu Bakar kepada Nabi SAW dalam hadis di atas menjadi peringatan kepada kita bahwa setiap kejahatan yang kita lakukan tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah SWT. Tapi pasti ada perhitungannya, yaitu berupa balasan yang setimpal dengan kejahatan yang kita lakukan. Baik balasan itu terjadi di dunia maupun terjadi di akhirat nanti.
Di dunia balasannya bisa berupa rasa sakit, penderitaan, rasa sedih, kesusahan hidup, dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya. Sedangkan di akhirat, Allahlah Yang Mahatahu dan Mahaadil untuk membalas kejahatan yang pernah kita lakukan, jika kita tak kunjung bertobat hingga ajal menjemput.
Sekecil apa pun dosa yang kita lakukan semasa hidup, Allah pasti akan memperhitungkannya. Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah (komponen atom yang sangat kecil), niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasannya). (QS. Al-Zalzalah [99]: 7-8).
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***)Abdul Syukur---REPUBLIKA

Minggu, 13 September 2015

KISAH SAHABAT HIJRAH KE MADINAH

Umar bin Khatab hijrah ke Madinah bersama 20 orang sahabat lainnya. Salah satu di antaranya teman Umar, Iyash bin Rabiah. Sedangkan, teman Umar lainnya, Hisyam bin Ash, berhalangan hijrah.
Tatkala memasuki Madinah, mereka singgah di perkampungan Bani Amru bin Auf di daerah Quba. Sementara, Abu Jahal dan Harits bin Hisyam menyusul Iyash bin Rabi'ah, saudara sepupu mereka sekaligus saudara seibu. Abu Jahal  berkata, "Wahai Iyash, ibumu telah bersumpah tidak akan menyisir rambutnya dan tidak akan berteduh dari terik matahari sampai ia melihatmu."
Mendengar ibunya tidak mau mandi dan selalu berjemur di terik matahari, Iyash merasa kasihan terhadap ibunya. Umar mencoba untuk menenangkan Iyash dan meyakinkannya bahwa ibunya pasti akan mandi dan mesti berteduh dari terik matahari jika Iyash tidak pulang.
Tetapi, Iyash yang sangat dekat dengan ibunya terpengaruh dengan bujuk rayuan Abu Jahal dan Harits. Iyash berkata, "Saya akan menemui ibuku. Saya juga masih punya harta yang tertinggal di Makkah dan saya akan mengambilnya dulu, setelah itu saya bisa kembali ke Madinah."
Umar khawatir kalau sahabatnya itu akan menjadi murtad karena tidak kuat menghadapi tekanan dari ibu dan kerabatnya. Umar ingin membagi setengah hartanya untuk Iyash asalkan tidak pulang ke Makkah. Iyash menolak tawaran Umar dan tetap memutuskan untuk pulang ke Makkah bersama Abu Jahal.
Umar berujar, "Bila Anda bersikeras untuk kembali ke Makkah, gunakanlah untaku ini! Untaku ini sangat kuat, insya Allah." Iyash akhirnya kembali ke Makkah bersama Abu Jahal dan Harits.
Umar berkata, "Dulu kami berpandangan, Allah tidak akan memaafkan perbuatan Iyash dan Hisyam. Allah tidak akan menerima tobat mereka yang telah mengenal Allah lalu tidak berhijrah dan kembali kepada kekufuran karena tidak kuat menghadapi ujian."
 
Hisyam bin Ash juga mengira bahwa Allah tidak akan mengampuni dosanya akibat tidak berangkat hijrah dan kembali pada kekufuran. Umar berkata, "Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah sampai di Madinah, Allah SWT menurunkan sebuah ayat tentang perkataan kami dan perkataan mereka tentang sikap mereka, yaitu (yang artinya):
"Katakanlah, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kalian kepada Rabbmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepada kalian kemudian kalian tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepada kalian (Alquran) dari Rabb kalian sebelum datang azab kepada kalian secara mendadak, sedang kalian tidak menyadarinya.'" (QS az-Zumar [39]: 53-55)
Umar mengatakan, "Lalu aku menulis firman Allah tersebut di atas secarik kertas dan aku kirimkan kepada Hisyam bin Ash." Hisyam berkata, "Setelah surat Umar itu sampai ke tangan saya, saya membacanya di Dzi Thuwa (nama sebuah lembah di Makkah), saya naik ke puncak bukit sambil membawa surat tersebut. Saya terus membacanya berkali-kali, tapi masih saja saya belum dapat memahaminya. Hingga akhirnya saya berdoa, "Wahai Allah, pahamkanlah aku tentangnya."
"Lalu Allah pun memberikan pemahaman ke dalam dadaku bahwa ayat ini tentang ucapan kami, tentang diri kami, dan pendapat yang diarahkan kepada kami. Aku kemudian menghampiri untaku. Aku naiki dan segera menyusul Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ke Madinah."
Doktor Nabil Al Awadhi menceritakan bahwa akhirnya Hisyam bin Ash dan Iyash bin Rabi'ah berangkat kembali hijrah ke Madinah untuk membuka kembali lembaran hidup mereka yang baru bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Umar bin Khatab, dan sahabat-sahabat lainnya radhiallahu anhum ajma'in.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Fariq Ghasim Anuz,  Republika onlene 

Sabtu, 12 September 2015

TIPOLOGI IBADAH HAJI

Musim haji telah tiba. Jutaan kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia secara bertahap bergerak menuju Tanah Suci untuk menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. 
Dalam pelaksanaannya, banyak hal yang kadang melatarbelakangi seseorang dalam menjalankan ibadah haji, sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah SAW. “
Akan datang suatu masa yang dialami umat manusia, yaitu orang kaya dari umatku yang melaksanakan ibadah haji (niatnya) karena wisata, orang kalangan menengah (niatnya) karena berdagang, orang kalangan ahli pengetahuan (niatnya) karena ria dan sumah, dan kaum fakir di antara mereka (niatnya) karena untuk meminta-minta.” (HR Ibnu Jauzy).
Hadis di atas memberikan peringatan kepada jamaah haji agar selalu menjaga keikhlasan sebelum, selama, dan setelah menjalankan ibadah haji.
Sebab, tidak sedikit orang yang pergi ke Tanah Suci dengan latar belakang (niat) yang berbeda-beda, itulah tipologi seseorang dalam menjalakan ibadah haji. 
Pertama, untuk berwisata. Yaitu, ibadah haji yang dilaksanakan bertujuan untuk jalan-jalan. Sehingga, aktivitasnya di Tanah Suci lebih semangat jika diajak untuk jalan-jalan daripada ke masjid.
 
Dan, ibadah yang dilaksanakan selama di Tanah Suci tidak berpengaruh terhadap perbaikan pribadi, keluarga, dan masyarakatnya, melainkan agar masyarakat menilainya sebagai orang yang kaya.
Kedua, untuk berdagang. Yaitu, seseorang yang menunaikan ibadah haji bertujuan untuk berbelanja. Sehingga, aktivitasnya selama di Tanah Suci lebih banyak aktivitas berdagang atau berbelanja daripada ibadah kepada Allah SWT.
 
Ketiga, karena ria dan
 sum'ah. Yaitu, seseorang yang melaksanakan ibadah haji sekadar untuk mengejar status sosial kemasyarakatan, yakni gelar haji. Sehingga, ia mudah tersinggung jika tidak disebutkan gelar hajinya. 
Keempat, untuk meminta-minta. Yaitu, kalangan kaum fakir yang berangkat ke Tanah Suci untuk mengharap belas-kasihan dengan harapan sekembalinya dari Tanah Suci, ia dapat mengumpulkan harta yang cukup. Sehingga, ia menjadikan aktivitas meminta-minta itu sebagai profesi tahunan baginya.
Dengan demikian, balasan bagi orang yang melandaskan niat ibadah hajinya sebagaimana di atas maka ia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Sabda Nabi SAW, ”
Sesungguhnya, setiap perbuatan bergantung niatnya. Dan, sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.” (HR Bukhari dan Muslim). 
Sedangkan, seseorang yang pergi hajinya atas dasar iman dan ikhlas semata karena Allah, tidak berbuat
 rafats, tidak berbuat fusuk, dan tidak melakukan jidal selama haji (QS al-Baqarah [2]: 197), niscaya ia akan meraih predikat haji mabrur yang balasannya adalah surga (HR Bukhari dan Muslim).
Semoga Allah meluruskan niat kaum Muslimin yang tengah menjalankan ibadah haji dengan niat semata karena-Nya dan meraih haji yang mabrur.
Amin.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, )

***) Imam Nur Suharno

Kamis, 10 September 2015

SETIAP KESULITAN TERKANDUNG PAHALA

SETIAP KESULITAN TERKANDUNG PAHALA
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallampernah bercerita tentang pertemuan seorang laki-laki dengan seekor anjing dalam sebuah tempat tak jauh dari sumur. Kisah perjumpaan itu dimulai ketika tenggorokan lelaki tersebut betul-betul telah kering.
Lelaki ini terus melangkah meski dahaga menyiksanya sepanjang perjalanan, hingga ia menemukan sebuah sumur, lalu terjun dan meminum air di dalamnya. Air yang mengaliri kerongkongnya cukup untuk menyembuhkan rasa haus itu. Lidahnya kembali basah, tenaganya sedikit bertambah.
Saat keluar dari lubang laki-laki ini terperanjat. Di hadapan matanya sedang berdiri seekor anjing dengan muka memelas. Napasnya kempas-kempis. Lidahnya menjulur-julur. “Anjing ini pasti mengalami dahaga sangat seperti yang telah aku derita,” kata si lelaki.
Laki-laki tersebut seperti menyadari bahwa meski haus, anjing sekarat itu tak mugkin turun ke dalam sumur karena tindakan ini bisa malah mencelakakanya. Seketika ia terjun kembali ke dalam sumur. Sepatunya ia penuhi dengan air, dan naik lagi dengan beban dan tingkat kesulitan yang bertambah. Si lelaki bahagia bisa berbagi air dengan anjing.
Apa yang selanjutnya terjadi pada lelaki itu?
Rasulullah berkata, “Allah berterima kasih kepadanya, mengampuni dosa-dosanya, lantas memasukkannya ke surga.” Para sahabat bertanya, “Wahai, Rasulullah! Apakah dalam diri binatang-binatang terkandung pahala-pahala kita?”
“Dalam setiap kesulitan mencari air terkandung pahala,” sahut Nabi.
Kisah di atas mengingatkan kita pada keharusan bersifat welas asih kepada sesama makhluk, termasuk binatang. Tapi, bukankah anjing adalah binatang haram? Bukankah keringat dan air liurnya termasuk najis tingkat tinggi dan karenanya harus dijauhi?
Cerita tersebut Rasulullah justru menyadarkan kita bahwa status haram dan najis tak otomatis berbanding lurus dengan anjuran membenci, melaknat, dan menghinakan. Bukankah Rasulullah pernah berujar, “
Irhamû man fil ardl yarhamkum man fis samâ’ (sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.”
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***)NU online

Rabu, 09 September 2015

PELIHARALAH SHALAT ASHARMU

PELIHARALAH SHALAT  ASHARMU
“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha (Ashar).” (QS al-Baqarah [2]: 238).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk selalu menjaga shalat wustha atau yang kita ketahui adalah shalat Ashar. Begitu istimewanya shalat Ashar sehingga Allah mencantumkannya dalam Alquran.
Selain dalam Alquran, Rasulullah pernah bersabda bahwa malaikat datang untuk mencatat amal hamba-hambanya dan pergi pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika pada waktu datang dan perginya malaikat tersebut kita mendirikan shalat.
Waktu Ashar terletak di ujung sore. Ktika itu, tenaga, pikiran, dan jiwa kita sedang berada di ambang batas. Energi kita nyaris habis. Belum lagi, masih harus menyelesaikan setumpuk amanah yang belum selesai. Tugas kantor, tugas kuliah, ataupun tugas kita sebagai hamba Allah.
Maka, di waktu ini banyak dari kita yang lalai sehingga terpedaya oleh setan. Muaranya, banyak dari kita yang terjerumus dalam lubang kebinasaan lantaran mengabaikan waktu Ashar ini. Hal ini sebagaimana terjadi pada sebagian kaum Quraisy yang sering mengabiskan waktu Ashar untuk bercerita tanpa arah yang jelas.
Cerita mereka bermuatan gunjingan, celaan, dan hinaan kepada sesamanya. Ujungnya, mereka mencela waktu Ashar sebagai waktu yang celaka.
Hal ini sebagaimana diungkap oleh HAMKA dalam menafsirkan surah al-Ashr ayat 1. Ashar banyak menyimpan keutamaan. Pertama, shalat Ashar adalah shalat yang disaksikan oleh malaikat bersamaan dengan shalat Subuh. Kedua, amalan yang mengantarkan ke surga,
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat Subuh dan Ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR Bukhari no 574 dan Muslim no 635). Dalam beberapa riwayat lain, Rasulullah juga menyebutkan tentang konsekuensi negatif bagi siapa saja yang meninggalkan atau melewatkan waktu Ashar dengan sengaja.
Bahkan, mereka yang kehilangan shalat di waktu Ashar, dikatakan oleh Rasulullah, kehilangan harta, keluarga, dan semua amal salehhnya. Dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah bersabda, “Orang yang kehilangan shalat Ashar bagaikan orang yang kehilangan keluarga dan harta kekayaannya.” (HR Bukhari no 552).
Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Dari Buraidah, bahwa dia mengatakan kepada kaum Muslimin ketika cuaca berawan, karena Nabi SAW pernah bersabda, 'Orang yang meninggalkan shalat Ashar hilanglah semua amal baiknya.'" (HR Bukhari no 553).
Tidaklah heran jika Rasulullah memerintahkan seluruh umatnya untuk mengisi waktu Ashar dengan memperbanyak doa dan zikir. Keduanya merupakan sarana yang sengaja Allah ciptakan agar kita senantiasa terbentengi dari kejahatan setan yang terus-menerus menabuh genderang perangnya.
Agar kita tetap bersiap siaga ketika waktu Ashar, meski ketika itu fisik dan pikiran kita berada dalam keadaan lelah lantaran seharian bekerja. Semoga.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar,syukur., takwa,)


***) Ahmad Agus Fitriwan

Selasa, 08 September 2015

HIASI DIRI DENGAN SABAR

Sifat sabar. Inilah sifat yang harus menjadi perhiasan bagi setiap jamaah haji. Kesabaran tak hanya dituntut pada saat puncak pelaksanaan haji, tetapi dalam seluruh proses haji. Mulai dari pendaftaran, keberangkatan, ketika berada di Tanah suci, hingga kembali ke Tanah Air.
Berdasarkan pengalaman, biasanya ujian kesabaran muncul akibat ketidaksesuaian antara rencana dan realitas, antara harapan dan kenyataan. Hal itu mulai terasa sejak keberangkatan dari daerah asal ke asrama haji lalu ke bandara.
 
Kesabaran jamaah haji diuji melalui kemacetan lalu lintas menuju asrama, pemeriksaan dokumen yang memakan waktu relatif lama, menunggu pesawat berjam-jam, mencari koper di tengah ratusan koper jemaah lain yang sama bentuk, ukuran, dan warna.
Ujian kesabaran pun kerap muncul di Tanah Suci, baik Makkah maupun Madinah. Kondisi penginapan juga bisa membuat jengkel. Memiliki empat lantai, tapi tak dilengkapi lift, toilet yang mampet, atau tempat tidur yang tak nyaman.
 
Begitu pula dengan makanan yang terkadang datang terlambat, sudah basi, atau tak sesuai dengan selera. Dan, puncak ujian kesabaran muncul pada puncak pelaksanaan ibadah haji.
Selain meninggalkan segala larangan ketika berihram, para jamaah pun tak diperkenankan
 rafats dan jidal. Setiap musim haji, jutaan orang dari seluruh dunia berkumpul di tempat yang sama dengan tujuan yang sama pula. 
Jalanan macet, kendaraan terjebak berjam-jam sehingga terlambat tiba di tujuan. Di Arafah dan Mina, jamaah harus sabar mengantre makanan dan buang hajat.
Jika tak menghiasi diri dengan kesabaran, semua itu berpotensi membuat jamaah tak henti berkeluh kesah, stres, serta mudah tersinggung dan marah. Celakanya lagi, nilai ibadah bisa rusak. Bahkan, ibadah haji yang telah dilaksanakan bisa tertolak (batal).
Oleh karena itu, di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk meminta pertolongan kepada-Nya dengan sabar. “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat ....” (QS al-Baqarah [2]: 45).
Kesabaran adalah pokok dari setiap amal. Bila kesabarannya hilang, amal akan rusak. Ali bin Abi Thalib berkata, “
Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang, keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Jika kesabaran hilang, seluruh permasalahan akan rusak.'' 
Agar kita dapat menghiasi diri dengan sabar saat melaksanakan prosesi haji, hal yang harus dilakukan jamaah adalah senantiasa melatih diri dan bermujahadah (usaha maksimal) untuk selalu bersabar. Sabar merupakan akhlak yang bisa diperoleh dengan dua hal itu.
Selanjutnya, jamaah harus senantiasa berzikir. Zikir akan menumbuhkan ketenangan hati sehingga jamaah bisa menyikapi berbagai hal yang dihadapinya dengan kepala dingin. Selain itu, hendaknya jamaah meyakini takdir Allah, baik yang sesuai dengan keinginannya maupun tidak. 
Takdir itu akan terus berlangsung dan itulah keputusan yang adil buat jamaah, sabar ataupun tidak. Jika jamaah bersabar, Allah SWT menjanjikan pahala dan kebaikan. Itulah yang akan menumbuhkan kekuatan pada diri jamaah. “
Dalam kesabaran terhadap perkara yang tidak disukai itu banyak kebaikannya.” (HR Tirmidzi). 
Satu hal yang tak kalah penting, hendaknya jamaah haji mencari informasi tentang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji sejak dari berangkatan, ketika berada di Tanah suci, hingga kepulangan ke Tanah Air.
Dengan demikian, jamaah haji tak akan kaget ketika kemungkinan itu menjadi kenyataan dan bisa menyikapinya dengan sabar. Wallahualam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa,)

***)Moch Hisyam