Sejak 21 Agustus lalu jemaah calon haji Indonesia
secara bertahap mulai terbang menuju tanah suci Mekkah. Gelombang migrasi
religius sesaat ini seharusnya mampu melahirkan pribadi Muslim yang
bertransformasi menjadi lebih saleh secara individual ataupun sosial. Sama
halnya dengan peristiwa keagamaan lain, rukun Islam kelima ini mengandung makna
simbolik-metaforis tentang harmoni hubungan vertikal manusia dengan Tuhan (habl
min Allah) serta hubungan horizontal antarmanusia (habl min al-nas). Sayangnya,
idealitas itu tidak selamanya terwujud dalam keseharian setelah jemaah haji
kembali ke Tanah Air. Fenomena ini secara mudah bisa ditangkap dari keberadaan
olok-olok masyarakat yang menyebut sosok hajimabur (terbang, Jawa) sebagai
pelesetan untuk jemaah yang sekadar terbang naik pesawat ke Mekkah. Sindiran
lain adalahhajingan sebagai pelesetan "bajingan", merujuk orang
yang sudah berhaji, tetapi masih berkutat dengan kemaksiatan. Harus diakui,
masyarakat awam di negeri ini cukup lihai dalam mengolah berbagai kata menjadi
berbagai pelesetan yang ternyata sangat filosofis. Apa saja bisa jadi bahan
olok-olok, termasuk masalah konsekuensi sosial kemabruran haji atau sebaliknya.
Diksi hajingan merupakan sindiran yang secara faktual menggambarkan
adanya distorsi sosial orang yang sudah berhaji, tetapi kelakuannya tetap
seperti preman dan bajingan. Kosakata hajingan tentu tidak lahir
secara tiba-tiba, tetapi karena ada fenomena sekitar yang mendukungnya. Ia bisa
saja lahir karena adanya jemaah haji yang keberangkatannya ke Mekkah dilakukan
dengan cara-cara manipulasi, korupsi, hingga menyerobot kuota orang lain. Meski
sama-sama sedikit kuantitasnya, ia juga lahir dari keberadaan sosok yang tetap
banyak melakukan kemungkaran, baik sebelum maupun sesudah berhaji. Kemungkaran
sosial Potret hajingan juga bisa dilihat dari tetap semaraknya
kemungkaran sosial meski jumlah haji selalu bertambah setiap tahun. Coba hitung
berapa banyak para koruptor di Indonesia yang notabene sudah melaksanakan
ibadah haji, termasuk berapa pula yang terjerat dalam kasus pidana lainnya.
Meski belum ada penelitian yang serius, fakta sosiologis menunjukkan adanya
orang yang sudah berhaji terlibat dalam ragam tindak pidana. Tentu secara
kuantitas jumlah dan persentasenya tidak banyak, tetapi keberadaan mereka
secara kualitas cukup mengganggu. Hajingan juga bisa dirujuk pada pelaku
kejahatan yang menggunakan haji sebagai salah satu alat mengelabui Tuhan agar
mencuci dosa-dosanya. Lihatlah bagaimana koruptor menggunakan hasil
kejahatannya untuk keperluan haji, selain tentu saja sedekah, zakat, umrah, dan
lainnya. Koruptor legendaris Gayus Tambunan, misalnya, memberikan testimoni
miris ini di pengadilan, bahwa uang hasil korupsinya juga digunakan untuk
mendanai "proyek akhirat", membiayai umrah seorang hakim yang
menangani perkaranya. Ironisnya, dalam beberapa kasus, ketidakberesan moralitas
juga berusaha menyeret-seret Mekkah untuk dijadikan tameng. Hampir dalam setiap
kasus korupsi yang melibatkan elite negeri ini, selain lari ke beberapa negara
luar negeri, ternyata ada juga yang menggunakan Mekkah sebagai tempat
berlindung. Baik untuk mengulur-ulur proses hukum maupun membangun citra
sebagai orang saleh yang tidak terlibat dalam tindakan pidana. Ibadah yang
tidak membawa efek dalam kehidupan sosial adalah fenomena yang jamak ditemui
dalam keseharian umat Islam di Indonesia. Umat begitu rajin menunaikan ibadah
untuk mengejar balasan yang bersifat eskatologis (surga), tetapi melupakan
keharusan dampak kebaikan dalam konteks kekinian dan "kedisinian".
Ragam doktrin Islam yang universal dipahami dan dilaksanakan secara personal
sehingga tidak punya implikasi signifikan dalam dinamika kehidupan sosial.
Agama didistorsi Daya tangkap jangka pendek (myopic) terhadap doktrin Islam
semacam inilah yang oleh Asmuni MTH diistilahkan dengan
religiositas casing, yaitu sikap beragama yang cenderung menampakkan
dimensi eksoteris dalam bentuk praktik ritual, tetapi mengabaikan dimensi
esoterisnya yang mengharuskan bukti sosial. Model keberagamaan ini sudah tentu
tidak berefek pada kesalehan sosial karena ia mengabaikan agama sebagai sinaran
etik-moral bagi kerja perubahan dalam masyarakat. Bisa jadi penafsiran
serampangan tentang "sifat" Tuhan membuat mereka semakin
"berani" bermaksiat, atau bahkan malah yakin kesalahannya tetap
diampuni Tuhan. Pendistorsi agama seperti ini tentu sangat berbahaya karena
mereduksi nilai luhur agama, termasuk keberaniannya "mengakali" Tuhan
dalam bentuk pseudo-agamis. Apalagi dibuat modal untuk "menyuap"
Tuhan dari hasil korupsi dalam bentuk haji, umrah, sumbangan masjid, sedekah,
dan lain-lain. Berbagai tindakan distortif dalam manasik haji ini sudah tentu
membuat hubungan kausalitas antara ritual dan kesalehan (sosial) semakin
renggang. Padahal, meminjam istilah Ali Shariati (1993), ritual haji
sesungguhnya dipenuhi simbol-simbol semangat kemanusiaan yang luhur dan
fundamental. Pascahaji seyogianya mampu melahirkan kebaikan yang bersifat transendental-humanis
dalam dimensi yang luas dan sarat nilai-nilai kemanusiaan yang didasari oleh
spirit ilahiyah. Sekembalinya dari Mekkah, jemaah mestinya mampu meningkatkan
kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahhatian, dan keadilan. Ragam
motivasi jemaah membuat ibadah haji dimaknai beragam oleh jemaah, bahkan ada
yang berhenti pada pemahaman yang formalistik dan simbolistik. Sebagian besar
mampu menangkap dan mengaplikasikan nilai-nilai kemanusiaan-isoteris yang
dikandung haji dalam kehidupan sehari-hari, tetapi ada pula yang gagal
memahaminya. Di situlah mengapa ada haji mabrur, haji yang
sekadar mabur,hingga haji yang kurang ajar atauhajingan. Allah a'lam
bi al-shawab.
***)Muhammad Kholid Asyadulloh
***)Muhammad Kholid Asyadulloh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar