Selasa, 31 Mei 2016

MEMULIAKAN PEREMPUAN

Suatu ketika, seseorang melukai kepala seorang budak perempuan dengan batu sampai terluka. Kemudian salah seorang sahabat Nabi SAW menanyai budak wanita tersebut, siapa yang berbuat demikian kejam terhadapnya. Ketika disebutkan nama seseorang yang memukulinya. Wanita tersebut menganggukkan kepalanya. 
Kemudian, orang yang melukai budak wanita tersebut dihadapkan kepada Rasulullah, tetapi ia tidak mengakui perbuatannya sampai waktu yang cukup lama. Tetapi pada akhirnya, ia mengakui perbuatannya dan Rasulullah SAW memerintahkan sahabat untuk menghukum orang tersebut.  
Riwayat dari Anas RA di atas menunjukkan, betapa ajaran Islam sangat memuliakan wanita dengan menjadikannya manusia yang sama kedudukannya dengan laki-laki dalam setiap lini kehidupan, kecuali yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, tanggung jawab, dan karier yang tidak sesuai dengan fitrahnya sebagai wanita.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Alquran, "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana," (QS. at-Taubah [91]: 71)
Islam memberikan kemuliaan dan penghargaan yang tinggi kepada kaum wanita. Sebagai contoh, Ummul Mukminin Aisyah RA banyak sekali meriwayatkan hadis yang disertai dengan penjelasannya. Aisyah sering berdiskusi dengan para sahabat Nabi SAW. Beliau juga termasuk yang menjadi salah satu sumber rujukan untuk memahami wahyu dan sunah Nabi.
Oleh karenanya, dalam Islam wanita juga memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk menuntut ilmu sepanjang hayat dikandung badan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap Muslim laki-laki maupun Muslim perempuan." (HR Ibnu Abdil Barr)
Terkait masalah ekonomi, seorang wanita berhak memiliki harta benda dan menafkahkannya sesuai dengan keinginannya. Tidak seorang pun berhak memaksanya untuk menafkahkan hartanya. Termasuk kerabat dekat dan suaminya sekalipun.
Termasuk memilih pendamping hidup, seorang wanita berhak menolak ketika akan dinikahkan oleh walinya apabila dilakukan tanpa seizinnya. Rasulullah SAW bersabda, "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Seorang perawan dimintakan izin darinya (ketika hendak dinikahkan), sedangkan pertanda izinnya adalah diamnya."
Begitulah Islam memposisikan sosok wanita, sebagai manusia yang sama kedudukannya dengan pria. Dia adalah sosok ibu, saudara perempuan, anak perempuan, dan istri yang harus dihormati dan dihargai keberadaannya. 


***) Muslimin –(Pusat Data Republika

Minggu, 29 Mei 2016

MENJAGA ANAK DAN PEREMPUAN

 Manusia kini sedang dihadapkan dengan persoalan yang seolah-olah tidak merusak iman. Sebagian ada yang menunda menikah karena takut persoalan impitan kehidupan saat menikah. Memilih pacaran dalam waktu yang lama, kemudian menikah. 
Meski satu sisi pacaran itu tak layak secara agama, banyak yang memilih cara ini. Alasannya karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga, menunggu agar lebih mampu secara ekonomi, dan banyak lagi alasan. Hingga perintah yang harus disegerakan itu tertunda. Setelah sekian lamanya berpacaran, hingga tak pula menjadi istrinya. 
Sudah melakukan banyak dosa, justru menumpuk pula dosa itu. Fakta ini menjadi realitas dalam lingkungan sosial kini. Seharusnya, alasan tidak menikah bukan karena takut tidak dapat rezeki, melainkan karena belum dapat jodoh pilihan yang sesuai. Proses ini yang akan menentukan banyak atau tidaknya rezeki saat sudah menikah tadi. Saat setelah menikah, banyak pula yang menunda punya anak. 
Akhirnya, kembali diberikan cobaan kemiskinan sebab Allah belum akan melepaskan kemiskinan itu selagi ia menunda mempunyai anak. Alasannya karena ingin santai dan bahagia. Ada juga karena khawatir tidak bisa mengurus anak. Bahagia apa yang dimaksudkan jika tidak punya anak. Justru punya anak perempuan dan laki-laki, kebahagiaan yang memberikan motivasi hidup. Selain ditahan rezekinya, juga diberikan cobaan baru lagi, yaitu tidak punya anak sampai sekian tahun. 
Percayalah bahwa itulah salah satu penyebab mengapa tak dapat anak dan tak pula kaya. Kita tidak bisa berdiam diri atas kelahiran putra dan putri kita. Terbayang selalu wajah senyum mereka di rumah dan merasa bersalah jika tidak memberikan nafkah kepadanya. Seketika itu pula, Allah memberikan jalan terbaik, yaitu menitipkan rezeki istri dan anak kepada kepala keluarga. Terkumpullah menjadi banyak porsi itu jika mau mengejar harta yang disediakan Allah. 
Satu sisi keyakinan ini tidak tumbuh dalam diri manusia kini. Meyakini jika usahanya yang lebih penting. Ia tidak yakin jika ada porsi-porsi rezeki yang dititipkan Allah untuk ditangkap berupa rezeki di permukaan bumi itu. Akhirnya, ia tak sadar jika perbuatannya itu justru membuatnya tertunda menjadi manusia yang terkaya, baik di dunia maupun akhirat. Manusia kaya di dunia karena banyaknya harta yang kita peroleh titipan Allah dari anak perempuan tadi. Banyaknya rezeki dari istri tadi untuk kita. 
Akhirnya, memberikan dorongan bagi kepala keluarga untuk mencari rezeki sebanyak mungkin. Kedua, kita akan dapat pahala yang lebih banyak dengan membesarkan anak perempuan. Hal ini terkait dengan sulitnya menjaganya. Banyak yang menginginkannya di luar sana, baik yang beriman maupun tidak. Banyak pula yang ingin melamarnya. Jika nanti jatuh kepada laki-laki yang tidak benar secara agama, banyak sekali aliran dosa kepada orang tua. 
Mari kita jaga anak perempuan kita dengan baik dan yakin ada rezeki yang lebih banyak dengan membesarkan anak perempuan. Bahkan, jaminan surga bagi kita. Ketiga, berikan hak perempuan, yaitu sekolah. Jangan anggap karena mau mengurus anak sehingga tidak sekolah. Justru karena ingin mendidik anaklah maka perhatikan sekolah anak perempuan. Padanya bertumpu nasib anak-anak pada kemudian hari. 
Itulah kenikmatan yang tertinggi. Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Barang siapa dapat mengasuh dua orang anak perempuannya hingga dewasa, aku akan bersamanya pada hari kiamat kelak.' Beliau merapatkan kedua jarinya." 


***) Bahagia –(Pusat Data Republika

Sabtu, 28 Mei 2016

JAMINAN REJEKI


Rezeki adalah segala hal yang dapat dimanfaatkan manusia, baik yang halal atau haram, yang baik maupun yang buruk. Rezeki yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak hanya berupa harta, tetapi meliputi semua karunia dan bakat yang ada pada manusia, seperti ilmu, kecerdasan otak, kefasihan lidah berbicara, dan kekuatan tubuh.
Semua yang tidak dimanfaatkan, meskipun milik kita, belum tentu rezeki kita. Boleh jadi itu rezeki orang lain. Sesuatu baru menjadi rezeki kita apabila dapat kita manfaatkan.
Rezeki yang dimanfaatkan menuju pada tiga arah. Apa yang dimakan akan menjadi kotoran, apa yang dipakai menjadi sampah, dan apa yang disedekahkan menjadi tabungan abadi di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, ''Anak Adam berkata hartaku, hartaku. Sesungguhnya harta milik seseorang menuju tiga arah, apa yang dimakan akan lenyap, atau apa yang dipakai akan rusak, atau apa yang disedekahkan akan abadi.'' (HR Muslim).
Semua rezeki datang dari Allah dan Dia menjamin rezeki setiap makhluk, termasuk manusia yang ingkar sekalipun. Allah SWT berfirman, ''Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh).'' (QS 11: 6).
Meskipun rezeki semua manusia dijamin Allah, tetapi mereka tetap diperintahkan berusaha dan bekerja keras menggunakan ilmu dan keterampilan untuk mendapatkan rezeki tersebut. Allah SWT menilai setiap kerja yang dilakukan manusia. Firman-Nya, ''Dan katakanlah, 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kenakan'.'' (QS 9: 105).
Iman, takwa, dan sikap tawakal yang melekat pada diri seseorang merupakan garansi mendapatkan rezeki dan karunia Allah. Allah SWT berfirman, ''Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.'' (QS 65: 2-3).
Ridho dan syukur terhadap rezeki dan nikmat yang telah diterima dapat mengundang datangnya rezeki Allah lebih banyak dari sebelumnya. Allah SWT berfirman, ''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'' (QS 14: 7).
Mereka yang selalu memohon ampun dan memperbanyak istighfar kepada Allah atas dosa yang pernah dilakukan membukakan curahan rezeki dari-Nya dengan cara tiada diduga. Rasulullah SAW bersabda: ''Siapa yang senantiasa ber-istighfar, Allah akan melapangkannya dari berbagai kesempitan hidup, akan membebaskannya dari berbagai kedukaan, dan memberinya curahan rezeki dari berbagai arah yang tiada diperkirakan sebelumnya.''
***)Firdaus –(Pusat Data Republika

Kamis, 26 Mei 2016

DUA HIKMAH ISTIMEWA PERISTIWA ISRA MI’RA

 "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjid Al-Haram ke Al-Masjid Al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS Al-Isra [17]: 1).
Setiap tanggal 27 Rajab, umat Islam memperingati peristiwa Isra Mi’raj. Menurut cendekiawan Muslim Prof DR KH Didin Hafidhuddin MSc peristiwa ini adalah peristiwa mukjizat terbesar kedua yang diterima Rasulullah SAW setelah Alquran. Karena itu, maka peristiwa Isra diabadikan dalam Alquran Surat Al-Isra ayat 1. Sedangkan peristiwa Miraj diabadikan dalam Surat An-Najm ayat 13 dan 14.
Ada beberapa hikmah dan pelajaran penting dari peristiwa ini. Yang pertama, kata dia, peristiwa ini adalah menunjukkan ke-Mahakuasaan dan kebesaran Allah. Dia akan mengangkat derajat setinggi-tingginya hamba-Nya yang ingin menjadi Abdullah yakni orang yang mewakafkan dirinya untuk kepentingan agama Allah,'' tandas Direktur Pasca Sarjana UIKA Bogor.
Ia juga mengatakan, Abdullah atau hamba Allah adalah gelar tertinggi yang harus diraih oleh setiap Mukmin. ''Jadi, gelar tertinggi itu bukan profesor atau doktor dan juga bukan kiai, bukan ustaz tapi gelar yang tertinggi adalah menjadi hamba Allah.
Hamba Allah, kata dia, artinya ia hanya ingin dikendalikan oleh Allah SWT. Artinya dia menafikan pengendalian-pengendalian lainnya. Hamba Allah yang baik dia tidak akan dikendalikan oleh harta, oleh jabatan, kedudukan sehingga dia tidak menjadi abdul mal (hamba harta), abdul kursi (hamba jabatan), abdul butun (hamba syahwat), dan lain sebagainya.


***)Pusat Data Republika

Rabu, 25 Mei 2016

IMAN KEPADA YANG GAIB

Salah satu ciri utama orang bertakwa adalah beriman kepada sesuatu yang gaib. ''Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan.'' (QS Al-Baqarah [2]: 3).
Iman kepada yang gaib menjadi syarat fundamental dalam Islam. Keimanan ini berarti percaya seyakin-yakinnya (haqqu al-yaqiin) bahwa ada entitas di luar dunia indrawi. Entitas ini adalah sesuatu yang nyata, bukan sekadar ajaran filosofis abstrak ataupun perumpamaan (majaz).
Tuhan bukannya ajaran filosofis yang muncul dari renungan orang-orang yang kalah (teralienasi) menghadapi realitas kehidupan sebagaimana dituduhkan kaum ateis. Surga dan neraka bukanlah sekadar ajaran penghibur dan alat untuk menakut-nakuti seseorang agar dia tidak berbuat semena-mena.
Tapi, semuanya benar-benar ada (al-haq). Dengan kata lain, orang mukmin wajib meyakini bahwa ada realitas yang tak terjangkau oleh kemampuan manusia. Ada entitas nonlogis di luar daya visual (quwwah an-nadzri) dan daya pikir (quwwah al-fiqri) manusia.
Ajaran inilah yang membedakan Islam dengan materialisme. Angin modernisme yang datang dari Barat (westernisasi) agaknya ingin menggusur akidah Islamiah digantikan dengan akidah jahiliyah ini. Kepercayaan seseorang kepada yang gaib semakin menipis. Mereka terlalu mengedepankan rasionalitas empiris. Dimensi nonmateri dipojokkan dan dituduh sebagai sesuatu yang serba mitos. Orang yang percaya pada sesuatu yang gaib dikatakan sebagai orang yang kurang modern.
Kelompok inilah yang disebut oleh Alquran dengan Al ad-dahr. ''Dan mereka berkata, kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.'' (QS Al-Jaatsiyah [45]: 24).
Kelompok materialis (ahlu ad-dahr) hanya memercayai kehidupan materi. Mereka percaya hanya hukum alamlah yang menyebabkan semuanya hancur. Tak ada kuasa di balik semua yang riil. Keadaan dunia ini tak ada kaitannya dengan dimensi gaib termasuk kuasa Tuhan.
Keimanan seorang mukmin pada yang gaib akan menjadi cara pandang yang membedakannya dengan orang materialis. Keimanan ini menjadi alat kontrol, sehingga akan senantiasa berbuat jujur di manapun berada.
Ia menjadi manusia yang mandiri dan sadar atas dirinya. Komitmennya dalam berbuat baik akan dilakukan kapanpun dan di manapun ia berada. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang egois, ambisius, dan penuh motif. Keimanan pada hal gaib inilah yang kiranya mampu menepis egoisme manusia sehingga ia berbuat dengan tulus dan ikhlas.


***) Tohirin el Ashry—( Pusat Data Republika

Senin, 23 Mei 2016

GIAT BEKERJA, JALANKAN SUNNAH PARA NABI

Mencari nafkah hidup merupakan perintah agama. Dengan mencari nafkah, atau istilah populernya bekerja, tentu saja yang dimaksud di sini adalah pekerjaan yang halal, seseorang menjadi bisa mandiri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain.
Ketika muda, Rasulullah SAW adalah seorang pekerja yang sangat giat. Beliau menjual jasa menjadi gembala kambing kepada kaum kaya Makkah. Beliau juga menjualkan dagangan milik Khadijah ke Syam, untuk mendapatkan bagi hasil.
Bekerja tidak hanya sunah Rasulullah SAW, tetapi juga nabi-nabi pendahulunya. Misalnya Nabi Daud AS, ia mencari nafkah dari hasil pekerjaan tangannya sendiri, yakni melunakkan besi. Di tangan Daud AS, besi tak ubahnya adonan dan lilin, ia membuatnya menjadi baju zirah (baju besi), kemudian menjualnya ke pasar untuk menghidupi diri dan keluarganya dari hasil penjualannya.
Suatu hari Nabi Sulaiman AS minta ditunjukkan oleh Allah hamba yang lebih bersyukur daripadanya. Allah lalu mengutus Jibril untuk mengajari Sulaiman cara menyepuh perhiasan dengan emas, dan ia membuatnya pada kapak, lalu menjualnya. Begitulah, manusia pertama yang membuat hiasan dengan sepuhan emas adalah Nabi Sulaiman AS.
Allah SWT pun sangat cinta kepada orang yang bekerja. Sebagaimana diriwayatkan Thabrani dalam Al-Kabir, Rasulullah bersabda, ''Allah mencintai setiap Mukmin yang bekerja untuk keluarganya dan tidak menyukai Mukmin pengangguran, baik untuk pekerjaan dunia maupun akhirat.'' Tsabit al-Banani RA, seorang sufi, berkata, ''Telah sampai kepadaku kabar bahwa ampunan terletak dalam sepuluh persoalan: sembilan terdapat dalam sikap diam dan satunya adalah lari dari manusia (uzlah). Ibadah ada sepuluh: sembilan di antaranya dalam mencari penghidupan (bekerja), dan satunya dalam ritual.''
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, ''Siapa mencari dunia secara halal, membanting tulang demi keluarga dan cinta tetangga, maka pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya dengan wajah berbinar layak rembulan bulan purnama.'' (Kitab al-Ittihaf, 5/414).
Sebaliknya, Islam juga sangat menentang sikap meminta-minta. Jabir bin Abdullah meriwayatkan, Nabi bersabda, ''Siapa yang membuka pintu meminta-minta, maka Allah pasti akan membuka pintu kefakiran. Sedangkan siapa yang ber-'iffah (menjaga kehormatan diri, tidak meminta-minta), Allah akan menjaganya. Siapa yang mohon kecukupan kepada Allah, dia akan dicukupkan. Seseorang yang membawa tali ke lembah untuk mencari kayu, kemudian membawanya ke pasar untuk dibelikan satu mud kurma, lebih baik baginya daripada meminta-minta baik ia diberi atau tidak.'' (Lihat, Musnad Ahmad, 2/418, Majma' al-Zawa'id, 3/95).
Meski demikian, Islam di sisi lain mencela orang yang mengabaikan peminta-minta. Sebuah hadis meriwayatkan, sabda Nabi, ''Jika datang peminta-minta, berilah meskipun ia mengendarai kuda.'' Hal ini didukung oleh surat Ad-Dhuha 10, yang melarang kita menghardik dan mengusir peminta-minta. Wallahu a'lam.


***) Sabrur R Soenardi –( Pusat Data Republika

Minggu, 22 Mei 2016

MEMBANGUN KAPAL KEHIDUPA

Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. (Luqman: 31).
Pada ayat di atas, Allah SWT memperlihatkan salah satu kekuasaan-Nya berupa kapal yang berlayar di lautan. Kapal itu dapat berlayar mengarungi samudera berkat nikmat dari Allah. Allah memberikan contoh kapal sebagai tanda kekuasaan-Nya untuk kita jadikan pelajaran bagi kehidupan kita.
Perumpamaan sebuah kapal itu dapat dipahami. Bukankah kehidupan kita layaknya mengendarai kapal yang sedang terapung mengarungi samudera kehidupan? 
Sebelum digunakan mengarungi samudera, kapal haruslah dipersiapkan dengan baik. Misalnya, dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tingi, yaitu berupa amal saleh (suatu perbuatan yang bukan sekadar baik, tapi perbuatan baik yang sesuai dengan aturan-aturan agama). Kita berusaha memilih perbuatan yang bukan saja baik untuk diri kita, tapi baik untuk kepentingan orang lain.
Kapal juga harus dibangun oleh ahlinya. Bila kapal dibuat oleh sembarang orang, pasti dalam waktu yang tidak lama kapal itu akan rusak dan membahayakan bagi kehidupan kita. Rasulullah SAW pernah berpesan, kalau suatu urusan itu diserahkan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggu saja saat kehancurannya.
Selanjutnya, kapal tadi harus dijalankan oleh seorang yang mengerti cara mengendalikan kapal, tahu ke mana tujuan kapal, memahami seluk beluk samudera yang dilalui, dan menguasai ilmu yang terkait dengan pelayaran. 
Demikian pula kapal kehidupan yang kita bangun, harus dijalankan oleh orang yang baik. Kapal kehidupan yang akan mengantarkan kita pada kehidupan yang kekal dan abadi, tidak mungkin diserahkan kepada seorang pemimpin yang bodoh, egois, dan tiran. Kita mesti memilih pemimpin yang adil, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, visi dan misi jelas, jujur, dan mendahulukan kepentingan penghuni kapal. 
Dalam mengarungi samudera, para penumpang kapal tidak selamanya berada dalam kondisi yang tenang. Tidak jarang ombak gulung-gemulung menyerang, badai dahsyat menghantam, dan karang tajam menghadang. Dalam kondisi seperti inilah para pemimpin harus mampu menenangkan para penumpang dan menjamin keselamatan mereka. Dalam konteks beragama, penyelamatan penumpang itu, antara lain, dengan menyeru manusia kembali kepada Allah, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya sedekat-dekatnya.
Bukan hanya dalam kondisi kesempitan, dalam kelapangan pun pemimpin juga terus harus mengingatkan rakyatnya. Sudah menjadi kecenderungan, ketika harta telah diraih, kepandaian telah dikuasai, jabatan dan kekuasaan telah didapat, dan segala nikmat dirasakan, seringkali Allah kita lupakan, ibadah kita ditinggalkan. Kita lupa bersyukur. Kita lupa bahwa kapal kehidupan ini berlayar di atas samudra Allah Sang Maha Kuasa. 


***) Oleh Shobahussurur—( Pusat Data Republika

Sabtu, 21 Mei 2016

HARGAI WAKTU

Pada suatu hari, Umar bin Abdul Aziz dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk hingga ia letih dan capai. Dalam kondisi seperti ini datanglah seorang sahabat berkata, "Tunda saja pekerjaan itu sampai besok!"
Umar menjawab, "Pekerjaan satu hari saja sudah menyebabkanku letih. Bagaimana jika pekerjaan yang seharusnya dilakukan dalam dua hari digabung dalam satu hari? Besok adalah waktunya orang-orang yang lemah yang tidak mampu mengatur waktu dengan baik. Janganlah suatu hari pekerjaan ditunda karena kemalasan sampai besok pagi. Karena, besok pagi adalah harinya orang-orang yang lemah tidak berdaya."
Waktu adalah modal manusia yang sangat berharga, seyogianya tidak dipenuhi dengan berbagai macam kelalaian dan keteledoran. Kita harus mampu melepaskan diri dari belenggu kebiasaan menunda-nunda pekerjaan. Kita harus memiliki komitmen yang kuat untuk selalu sadar menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya.
Imam Hasan al-Bashri berkata, "Saya pernah bertemu dengan sekelompok orang yang lebih mementingkan memanfaatkan waktunya dengan baik daripada mengurusi dan memburu dirham dan dinar."
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam masalah ini, begitu juga para utusan Allah SWT yang lain. Dalam hidupnya, Rasulullah SAW banyak membuat prestasi yang tiada tandingannya.
Dalam waktu 23 tahun, Rasulullah SAW mampu mendidik kader-kader dakwah yang akan meneruskan perjuangannya. Jika kita membandingkan prestasi Nabi SAW dengan diri kita, akan terasa bahwa diri kita amatlah kerdil.
Dalam buku Al-Waqtu fi Hayatil Muslim disebutkan, orang yang dianugerahi petunjuk oleh Allah SWT untuk menggunakan waktunya dengan baik mampu memanjangkan umurnya. Ia bisa memperpanjang kehidupannya hingga waktu yang dikehendaki oleh Allah SWT meskipun jasadnya telah mati. Ia tetap hidup, meskipun tubuhnya tidak bernyawa lagi. Ia masih terus menyampaikan misi-misi mulia, sedangkan jasadnya terkubur di dalam tanah.
Keberkahan waktu akan didapat oleh mereka yang menyadari dan mengetahui arti pentingnya waktu. Orang yang sadar dan waspada, waktunya akan selalu bermakna dan berharga. Pada dasarnya, baik buruknya waktu bergantung orang yang menggunakannya.
Orang yang lalai dan teledor, umur dan waktunya juga tidak bernilai dan berharga. Karena itu, tidak heran bila salah satu tanda datangnya hari kiamat adalah hilangnya keberkahan waktu.
Sahabat Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Kiamat tidak akan datang hingga masa terasa berjalan dengan cepat, setahun terasa sebulan, sebulan terasa seminggu, seminggu terasa sehari, sehari terasa satu jam, dan satu jam terasa bagai sepercikan api (yang hidup kemudian padam)." (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Mari kita renungkan apa yang disampaikan Imam al-Hakim, "Banyak umur yang panjang masanya, tapi sedikit kemanfaatannya. Banyak juga umur yang pendek masanya, tapi banyak kemanfaatannya. Barang siapa umurnya diberkahi, niscaya dalam hidupnya akan menemukan beragam anugerah dari Allah SWT." Wallahu a'lam.


***) Ahmad Agus Fitriawan---(Pusat Data Republika

Jumat, 20 Mei 2016

MIRAS INDUK DARI SEGALA KEJAHATAN

 Dampak buruk dari miras dan sejenisnya terhadap masyarakat kiranya sudah diketahui secara terang benderang. Sayangnya, sikap yang ditunjukkan sebagian masyarakat dan bahkan pemerintah belum seragam dan tegas dalam melarang produksi dan peredaran miras tersebut. 
Walau kita akui, sebagian pemda, ormas, serta masyarakat telah mengambil sikap sendiri terhadap peredaran miras dengan sikapnya yang tegas, menolak peredaran miras. Terjadinya tindak kriminal, tidak jarang dimulai dari pengaruh minuman keras yang ditenggaknya. 
Karena dengan miras, konon keberanian pelaku menjadi meningkat, rasa takut dan minder menjadi hilang, kontrol dan akal sehat menjadi lemah bahkan hilang, sehingga perbuatannya menjadi ngawur dan lepas kendali. 
Akibatnya, ia bisa bertindak nekat dan di luar batas kemanusian. Ia bisa menodong, menjambret, melukai dan bahkan membunuh. Yang memprihatinkan seperti kejadian baru-baru ini, sudah memperkosa korban lalu membunuhnya, sunguh sangat biadab. 
Sikap Islam sangat tegas mengenai miras. Hukumnya haram, dan pelakunya dianggap telah melakukan dosa besar serta dikenakan hukuman had berupa dicambuk/dipukul dalam hitungan 40 atau 80 kali cambukan. 
Nabi Muhammad SAW juga menyatakan khamr (miras) adalah ummul khaba 'its (induk dari segala kejahatan) sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar, barang siapa meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabrani) 
Dengan redaksi yang sedikit berbeda, Abdullah bin Amr meriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda, "Khamr adalah induk dari segala kejahatan, barang siapa meminumnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang Jahiliyyah.” (HR ath-Thabrani) 
Bahaya miras juga telah diingatkan oleh salah seorang sahabat Rasulullah SAW, Utsman bin Affan. Diriwayatkan, suatu ketika Utsman sedang menyampaikan khutbah sembari berpesan, “Waspadalah terhadap miras karena sesungguhnya miras merupakan induk segala perbuatan keji. Sungguh, pernah terjadi pada seorang pria saleh sebelum kalian dari kalangan ahli ibadah. Ia rajin beribadah ke masjid. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang perempuan nakal." 
"Perempuan tersebut memerintahkan kepada pembantunya agar mempersilakan lelaki tersebut masuk ke dalam rumah. Kemudian pintunya dikunci rapat-rapat. Di sisi perempuan tersebut terdapat miras dan seorang bayi. kemudian perempuan tadi berkata, 'Kamu tidak bisa keluar dari rumah ini sebelum engkau memilih minum segelas arak ini atau engkau berzina dengan aku, atau engkau membunuh bayi ini. Jika kamu tidak mau, maka saya akan berteriak dan saya katakan bahwa kamu ini memasuki rumahku. Siapa yang akan percaya kepadamu?' 
Lelaki tersebut menjawab, “Saya tidak mau melakukan perbuatan keji (berzina) atau pun membunuh jiwa seseorang.” Akhirnya ia minum segelas miras. Demi Allah, ia menjadi mabuk sehingga ia pun berbuat zina dengan perempuan tersebut dan membunuh si bayi. 
Utsman RA pun berpesan, “Jauhilah minum minuman keras, karena minuman keras merupakan induk segala perbuatan keji. Demi Allah, sungguh, iman dan minuman keras tidak akan bersatu di dalam hati seseorang melainkan hampir pasti salah satu di antaranya melenyapkan yang lain.”
Setelah menyadari bahaya miras, masihkah kita bersikap lembek terhadapnya? Ataukah masih butuh korban lebih banyak lagi baru mau mengambil tindakan? 

***) Ali Trigiyatno –(Republika online

Kamis, 19 Mei 2016

HARUSKAH MENUNGGU TUA

 Tidak sedikit Alquran menceritakan sosok pemuda ideal. Tidak sekadar memuji, Alquran bahkan menjadikannya sebagai teladan zaman. Ada Ibrahim, potret pemuda yang gigih menegakkan tauhid di tengah para penggiat syirik. "Sungguh Ibrahim adalah imam yang layak dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukanlah pelaku syirik" (QS an-Nahl [16]: 120).
Putra beliau, Ismail, adalah tipe pemuda yang berhati jujur dan suci. Ketika Ibrahim mengabarkan wahyu Allah untuk menyembelih dirinya, jawaban Ismail adalah, "Wahai Ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah aku termasuk orang-orang yang sabar" (QS as-Shaffat [37]: 102). 
Alquran juga mengabadikan kisah Yusuf. Pemuda tampan ini sungguh luar biasa. Ketika dirayu Zulaikha, wanita cantik yang juga istri pembesar Mesir, Yusuf sanggup menundukkan gelombang syahwatnya sebagai lelaki normal. Dia lebih memilih penjara ketimbang berbuat mesum. "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku" (QS Yusuf [12]: 33).
Dan, yang juga terkenal adalah kisah Ashabul Kahfi. Cave of the Seven Sleepers, itulah nama situs bersejarah di Yordania yang jadi saksi atas tujuh pemuda bersama anjing mereka. Ngumpet demi mempertahankan akidah, mereka diselamatkan Allah dari kezaliman penguasa setempat. Tujuh pejuang tauhid itu ditidurkan Allah selama 309 tahun. "Sungguh mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula petunjuk untuk mereka" (QS al-Kahfi [18]: 13).
Cukuplah cuplikan kisah pemuda teladan itu. Hal yang penting kita cermati, masing-masing pemuda itu hebat ternyata bukan sekadar berotak cerdas atau berbadan kesatria. Mereka punya idealisme iman. Dan, kita tahu, iman adalah kemantapan hati yang diikrarkan dengan lisan, kemudian dinyatakan via tindakan. Itulah kunci keunggulan dan kehebatan diri.
Sekarang mari kita becermin: sudahkah pemuda kita punya keimanan prima itu? Minimal berusaha mematut-matutkan diri agar dapat seperti mereka. Kita tengok masjid kita. Berapa banyak pemuda kita yang aktif jamaah di sana? Ketika Maghrib mungkin bisa dikatakan lumayan, tetapi bagaimana dengan Isya dan terlebih lagi Subuh? Juga dalam majelis taklim, sudahkah penuh oleh pemuda atau justru para tua?
Oleh:”Replubika online

Oleh M Husnaeni

Rabu, 18 Mei 2016

HARUS MENUNGGU TUA

Tidak sedikit Alquran menceritakan sosok pemuda ideal. Tidak sekadar memuji, Alquran bahkan menjadikannya sebagai teladan zaman. Ada Ibrahim, potret pemuda yang gigih menegakkan tauhid di tengah para penggiat syirik. "Sungguh Ibrahim adalah imam yang layak dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukanlah pelaku syirik" (QS an-Nahl [16]: 120).
Putra beliau, Ismail, adalah tipe pemuda yang berhati jujur dan suci. Ketika Ibrahim mengabarkan wahyu Allah untuk menyembelih dirinya, jawaban Ismail adalah, "Wahai Ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah aku termasuk orang-orang yang sabar" (QS as-Shaffat [37]: 102). 
Alquran juga mengabadikan kisah Yusuf. Pemuda tampan ini sungguh luar biasa. Ketika dirayu Zulaikha, wanita cantik yang juga istri pembesar Mesir, Yusuf sanggup menundukkan gelombang syahwatnya sebagai lelaki normal. Dia lebih memilih penjara ketimbang berbuat mesum. "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku" (QS Yusuf [12]: 33).
Dan, yang juga terkenal adalah kisah Ashabul Kahfi. Cave of the Seven Sleepers, itulah nama situs bersejarah di Yordania yang jadi saksi atas tujuh pemuda bersama anjing mereka. Ngumpet demi mempertahankan akidah, mereka diselamatkan Allah dari kezaliman penguasa setempat. Tujuh pejuang tauhid itu ditidurkan Allah selama 309 tahun. "Sungguh mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula petunjuk untuk mereka" (QS al-Kahfi [18]: 13).
Cukuplah cuplikan kisah pemuda teladan itu. Hal yang penting kita cermati, masing-masing pemuda itu hebat ternyata bukan sekadar berotak cerdas atau berbadan kesatria. Mereka punya idealisme iman. Dan, kita tahu, iman adalah kemantapan hati yang diikrarkan dengan lisan, kemudian dinyatakan via tindakan. Itulah kunci keunggulan dan kehebatan diri.
Sekarang mari kita becermin: sudahkah pemuda kita punya keimanan prima itu? Minimal berusaha mematut-matutkan diri agar dapat seperti mereka. Kita tengok masjid kita. Berapa banyak pemuda kita yang aktif jamaah di sana? Ketika Maghrib mungkin bisa dikatakan lumayan, tetapi bagaimana dengan Isya dan terlebih lagi Subuh? Juga dalam majelis taklim, sudahkah penuh oleh pemuda atau justru para tua?


***) M Husnaeni –(Pusat Data Republika

Senin, 16 Mei 2016

SAHABAT RASULULLAH PUN CINTA FITNAH DAN BENCI AL HAQ

 Pada suatu hari Umar bin Khattab, Hudzaifah bin Al Yaman, dan Ali bin Abi Thalib bertemu di suatu tempat. Kemudian, Umar bertanya pada Hudzaifah bin Al Yaman, "Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah?" Hudzaifah menjawab, "Wahai Amirul Mukminin! Pagi ini aku mincintai fitnah, membenci al haq, shalat tanpa berwudhu, dan aku memiliki sesuatu di muka bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit."
Mendengar jawaban seperti ini, Umar bin Khattab marah, "Demi Allah! Kamu membuatku marah!" Lantas Ali bin Abi Thalib yang dari sebelumnya mendengarkan perbincangan keduanya bertanya pada Umar, "Apa yang membuatmu marah, wahai Amirul Mukminin?" "Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh Hudzaifah?" kata Umar.
Ali bin Abi Thalib kemudian menjelaskan, "Wahai Amirul Mukminin! Sungguh benar Hudzaifah dan aku pun seperti dirinya. Adapun kecintaannya pada fitnah maksudnya adalah kecintaannya pada harta dan anak-anak, sebagaimana firman Allah, 'Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah cobaan.' (QS al-Taghabun [64]: 15).
Sementara, kebenciannya terhadap al haq, maksudnya adalah dia membenci kematian. Shalatnya yang tanpa wudhu itu adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan, yang dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki Allah di langit adalah istri dan anak. Bukankah Allah tidak memiliki keduanya?"
Percakapan ketiga sahabat Nabi ini mengajarkan kejelian kepada kita tentang hakikat sesuatu. Allah SWT menyebut harta benda yang kita miliki dan anak-anak yang berada di bawah tanggung jawab kita sebagai fitnah (ujian), jika kita bisa memperlakukan keduanya sesuai dengan ridha Allah maka kita termasuk orang yang lulus ujian. Sebaliknya, ketika kita tidak bisa memperlakukan keduanya sesuai dengan yang diinginkan Allah maka kita termasuk orang yang tidak sanggup mengatasi fitnah dunia.
Oleh karena kecintaan kita terhadap fitnah, yakni pada harta dan anak-anak, serta kesenangan dunia lainnya, kita bisa membenci al haq, sesuatu yang kedatangannya sudah pasti, yaitu kematian, sebagaimana firman Allah, "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kepada Kami-lah kalian akan kembali." (QS al-Anbiya': 35).
Sementara, maksud dari shalat yang tanpa wudhu adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Keduanya memiliki arti sama dalam arti bahasa, shalat artinya doa, shalawat pun maksudnya adalah berdoa untuk kebaikan Rasulullah SAW.
Sedangkan, yang dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh Allah adalah istri dan anak. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Surah al- Ikhlas ayat 3, "Tidak beranak dan tidak diperanakkan (tidak ada yang melahirkan-Nya)." Percakapan seperti ini banyak memberikan manfaat kepada kita, di antaranya, pertama, mengasah otak kita karena percakapan seperti ini memerlukan kecerdasan ekstra bagi yang menyatakannya sekaligus bagi yang mencernanya.
Kedua, kesadaran diri bahwa kita sering tidak kuasa menghadapi fitnah (cobaan) yang diberikan Allah kepada kita. Sehingga, kita bisa terjerumus dengan mencintainya secara berlebihan. Ketiga, penyucian terhadap Allah dengan menyadari perbedaan antara kita sebagai makhluk dan Allah sebagai khalik. 

***) Abdul Syukur –Republika Online

Minggu, 15 Mei 2016

WASPADAI PEMAKAN KEBAIKAN

WASPADAI PEMAKAN KEBAIKAN
Ada dua penyakit yang senantiasa menyerang manusia, yaitu penyakit fisik (jasmani) dan penyakit psikologis (jiwa). Kedua penyakit ini sama-sama berbahaya jika dibiarkan bersemayam di tubuh dan jiwa.
Di antara penyakit fisik yang sangat berbahaya adalah kanker. Penyakit jenis ini dapat memakan sel-sel sehat pada tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian bagi manusia. Pada jiwa pun terdapat penyakit berbahaya seperti kanker, yaitu dengki (hasad). Jika kanker memakan sel-sel sehat, dengki dapat memakan berbagai kebaikan yang berada dalam diri kita. Jika dibiarkan hidup dan tumbuh dalam diri, penyakit ini akan menyebabkan kematian pada hati.
Dengki (hasad) berarti tidak senang melihat orang lain mendapat nikmat dan berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Menurut Alquran, tidak senang jika orang lain mendapat kebaikan merupakan salah satu sifat buruk orang kafir. Hal tersebut dijelaskan oleh firman-Nya, "Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan." (QS Ali Imran: 120).
Jika sifat dengki dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam diri, ia akan memakan dan menggerus semua kebaikan yang kita perbuat. Hal tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW, "Jauhilah oleh kamu (sifat) dengki, sebab (sifat) dengki itu akan memakan berbagai kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
Sebanyak apa pun kebaikan yang diperbuat, tidak akan bermakna jika bersamaan dengan itu kita masih memelihara sifat dengki. Bahkan, kebaikan tersebut akan berubah menjadi keburukan. Jika pada jiwa kita yang tertinggal adalah keburukan, yang akan tampak adalah keburukan. Oleh karena itu, orang dengki tidak pernah melihat kebaikan pada diri orang yang didengkinya. Semua akan terlihat buruk. Ketika orang yang didengkinya tersenyum, dia maknai sebagai "sedang mengejek", sebaliknya jika cemberut, dimaknainya sebagai "memusuhi".
 Jadi, bagi pendengki, semua yang ada pada orang lain terlihat buruk. Tentu saja keadaan demikian tidak akan merugikan orang lain, tapi sebaliknya akan merugikan dirinya sendiri. Seorang Arab Badui pernah bersenandung, "Aku tidak melihat orang zalim yang menyerupai orang yang terzalimi karena perbuatan dengkinya, sesungguhnya ketika dia melihat kamu mendapat nikmat, namun menjadi kutukan (siksaan) bagi dirinya."
Dampak buruk sifat dengki tidak hanya akan dirasakan oleh diri sendiri tapi juga oleh masyarakat. Dalam berinteraksi sosial terkadang kita terjebak pada konflik dengan orang lain. Sebabnya bisa beragam, mulai karena bercanda, salah paham, sampai karena ketidaktahuan. Semua konflik tersebut akan mudah diselesaikan, kecuali konflik atau permusuhannya dikarenakan kedengkian.
Sahabat Muawiyah pernah berkata, "Semua permusuhan bisa diharapkan dapat diselesaikan, kecuali permusuhan yang disebabkan oleh kedengkian." Melihat begitu bahayanya sifat dengki bagi diri kita, menghindarinya merupakan keharusan.
Salah satu cara menghindarinya adalah dengan memahami hakikat dengki. Perbuatan dengki tidak akan merugikan orang yang didengki, tapi malah akan merugikan diri sendiri. Wallahu a'lam.


:”” Oleh: Karman-- (REPLUBIKA ONLINE)

Sabtu, 14 Mei 2016

UCAPAN CERMINAN HATI

 Orang Mukmin di mata Allah adalah manusia yang paling mulia. Dalam hadis disebutkan, Nabi SAW bersabda, “Tidak ada orang yang lebih mulia di sisi Allah SWT dari seorang Mukmin.” (HR Ath-Thabrani).
Saking mulianya, di hadis lain Beliau SAW bersabda, “Mencaci-maki seorang Mukmin adalah suatu kejahatan dan memeranginya adalah suatu kekufuran.” (HR Muslim).
Mukmin yang dimaksud di sini tentu saja mukmin sejati, bukan Mukmin yang sebatas pengakuan semata. Namun, Mukmin lahir dan batin. Mukmin yang antara ucapan dan perbuatan selaras. Lisan mengatakan beriman, seluruh anggota badan melakukan segala konsekuensi dari keimanan itu.
Mukmin sejati adalah orang yang bertakwa kepada Allah SWT dengan sepenuh hati, totalitas, kaaffah. Salah satu ciri dari orang Mukmin sejati, antara lain, seperti disebutkan dalam hadis Nabi SAW, ''Seorang Mukmin bukanlah pengumpat dan yang suka mengutuk, yang keji, dan yang ucapannya kotor.” (HR Al-Bukhari).
Jadi, Mukmin itu adalah orang yang tidak suka mengumpat, mengutuk, berkata keji, dan berkata kotor. Ini semua berkaitan dengan lisan. Dengan kata lain, Mukmin sejati adalah yang senantiasa mengontrol dan menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak baik. Baik itu kata-kata di dunia nyata maupun di dunia maya (internet).
Betapa banyak kita saksikan di jalan raya, misalnya, kata-kata kotor berhamburan saat terjadi cekcok antarpengemudi kendaraan hanya gara-gara kendaraan bersenggolan sedikit.
Dari cekcok dan kata-kata kotor tersebut terkadang berlanjut ke perkelahian yang sia-sia dan tidak perlu. Beruntung kemudian ada yang melerai, sebagian yang lain malah hanya melihat dan menonton, tak peduli, malah seperti menikmati pertikaian.
Di dunia maya tidak kalah parah. Di media-media sosial, misalnya, kata-kata kotor, caci-maki, hujatan, hingga fitnah berhamburan tanpa terkendali. Kritik yang mestinya disampaikan dengan santun dan beradab justru tersampaikan dengan cara-cara yang sebaliknya.
Pada akhirnya, bukannya kebaikan yang muncul, justru keburukan. Orang yang tadinya diam tiba-tiba jadi ikut-ikutan, seperti terbawa arus.
Padahal, Alquran sudah sangat jelas mengingatkan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl [16]:125).
Mukmin sejati selalu menjaga lisan. Lisannya selalu digunakan untuk kebaikan. Karena, kata-kata sesungguhnya adalah cerminan dari hati. Hati yang baik akan mengeluarkan kata-kata yang baik.
Sementara, hati yang buruk akan mengeluarkan kata-kata yang buruk juga. Mukmin sejati hatinya jernih, bersih, dan penuh dengan cahaya petunjuk dari Allah SWT. Maka, yang keluar dari lisan pun kata-kata yang jernih, bersih, dan selaras dengan petunjuk Allah SWT.
Rasulullah SAW mewanti-wanti secara tegas, “Sesungguhnya seorang hamba itu berbicara dengan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan (baik atau buruknya) maka dengan sebab perkataannya itu ia dapat tergelincir ke neraka yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara sudut timur dan sudut barat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Wallahu alam.

***) Nur Faridah __Republika Online


Rabu, 11 Mei 2016

DOSA KORUPSI

Siang itu, panas terik matahari begitu menyengat. Jalanan yang kami lalui macet parah. Namun, tak mengurangi niat kami untuk sampai pada tujuan. Apa itu? Misi suci (holy mission), yaitu menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan dalam lingkup kerja.
Ketika sampai pada tujuan, kami disambut dengan ramah dalam suasana kekeluargaan. Kami hanyut dalam pembicaraan. Sampai akhirnya kami kaget karena tuan rumah sudah tidak memiliki apa-apa. Selain niat dan semangat untuk melunasi utang-utangnya. Istrinya masih bekerja ketika kami asyik dalam pembicaraan.
Sebut saja namanya Rudi. Menyesali semua perbuatannya. Menurut pengakuannya, selama ini ia melakukan tindakan salah dan berdosa itu karena ikut-ikutan seniornya. Rudy yang baru satu tahun bekerja terkena masalah fraud (pencurian dengan menyalahgunakan amanah) yang membuatnya malu dan terpuruk.
Ia malu karena perbuatannya membuat sang istri harus menanggung akibat dari perbuatannya. Terpuruk karena sudah bisa dipastikan kantor tempat ia bekerja akan memberhentikannya. Pengakuan dosa dan salah ternyata tidak cukup.
Karena dosa dan salah terkait dengan Allah (hablum minallah). Sementara kerugian yang timbul atas tindakan fraud-nya (meski barang yang diambil dikembalikan seutuhnya), terkait dengan manusia (hablum minannas).
Artinya, hukuman bagi pelaku fraud tetap berjalan. Bukan menghukum orangnya namun tindakannya. Mengapa? Karena dengan menghukum tindakannya, kita sudah berkampanye amar makruf nahi munkar.
Seperti tertuang dalam Alquran, "Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan. Menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar." (QS Ali Imran: 104).
Inilah filosofi pentingnya hukum ditegakkan di bumi Indonesia. Para pelaku korupsi meski uang yang dikorup dikembalikan kepada negara lagi, tetap saja terkena hukum atas tindakannya.
Pertanyaannya, mengapa pelaku kesalahan atau tindakan kriminal ini tetap saja marak dilakukan? Padahal hukum sudah ditegakkan? Inilah yang dalam bahasa saya menyebut, "Dosa itu tak tampak, maka harus ditampakkan dengan terapi kejut (shock therapy) sampai pelaku jera dan tidak akan mengulanginya lagi."
Jika hukuman mati bagi koruptor adalah cara terbaik agar pelaku jera dan tak mengulanginya lagi atau membuat takut orang yang berniat melakukan korupsi, maka jangan sampai ditunda lagi.
Karena, memberantas korupsi, fraud, dan semacamnya ibarat kita mencukur kumis tiap hari. Jika kita biarkan satu atau dua hari saja, maka kumis akan terus tumbuh dan tumbuh. Makanya, harus terus dicukur dan dicukur.
Jangan sampai lengah dan dibiarkan tumbuh apalagi sampai lebat. Karena kalau lebat akan semakin sulit mencukurnya. Apakah korupsi dan fraud di Indonesia sudah lebat atau sangat lebat tumbuhnya? Sehingga, sepertinya kita kesulitan untuk memberantasnya.
Jika dosa fraud, korupsi dan sejenisnya ini dibiarkan merajalela, maka kita akan masuk pada kegelapan peradaban (The dark of civilization). Dan ini adalah awal kehancuran sebuah bangsa.
Maka dari itu, mari menjadi bagian dari penegak kebenaran dan pemberantas kebatilan di Indonesia. Jika tidak bisa, minimal jangan menjadi bagian dari kebatilan tersebut.
Seperti sindiran hadis Nabi SAW, "Barangsiapa melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jikapun tetap saja tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya (doa). Karena itulah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim).


***) Abdul Muid Badrun

Selasa, 10 Mei 2016

SAAT IMAN NAIK TURUN

''Tidaklah kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat, kecuali seperti saat salah seorang di antara kamu mencelupkan jari telunjuknya di samudra lautan, lalu lihatlah yang tersisa di jari telunjuknya itu (itulah dunia).'' (HR Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Keimanan senantiasa naik turun. Saat iman naik, saat itu kita merasakan betapa lezatnya iman itu. Hidup terasa tenang, dada lapang, mata terasa sejuk, pikiran jernih, kata-kata manis, penuh tawakal, ibadah terasa ringan dan nikmat, kadang air mata ikut menetes untuk ikut merasakan kenikmatannya. Namun, iman bisa turun kalau penjagaannya tidak optimal, karena gerusan kemaksiatan setiap hari pasti dijumpai karena kita tidak hidup sendiri. Tarik-menarik antara keimanan dan kemaksiatan terus akan terjadi.
Kita juga akan merasakan bagaimana kondisi jiwa ketika iman dalam kondisi turun (futur). Hidup penuh dengan ketegangan, dada terasa sempit, penuh dengki, mata liar ke sana-kemari, pikiran kotor, kata-kata tidak terkontrol, ibadah terasa berat, penuh kekhawatiran terhadap dunia, takut kehilangan rezeki, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Semakin banyak sifat dan perbuatan buruk dilakukan semakin deras luncuran iman itu menuju titik terendah. Sebaliknya semakin tinggi kuantitas dan kualitas ketaatan semakin cepat iman itu menanjak ke puncak.
Sebagaimana dijelaskan para ulama, iman naik karena ketaatan dan iman turun karena kemaksiatan. Pertanyaannya bagaimana membangunkan iman ketika sedang terbujur lemah? Ada tiga hal yang bisa kita lakukan, pertama, pakar motivasi mengatakan tips mendobrak kemalasan dan ketakutan dengan cara melakukan sebaliknya. Jika dia malas shalat segera bangun shalat maka rasa malas itu akan berangsur-angsur hilang.
Kedua, menyadarkan diri kita bahwa kita diciptakan untuk akhirat, bukan dunia. Maka, segala aktivitas dunia jangan sampai mengalahkan tujuan akhirat kita. 
Ketiga, menyadarkan diri kita kehidupan dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan akhirat. Hadis di atas setidaknya menggambarkan tentang perbedaan keduanya yaitu antara setetes air kehidupan dunia dan luasnya samudera kehidupan akhirat. Sungguh sebuah perumpamaan yang sangat jelas dipandang mata.
Maka, merugilah orang-orang yang hanya mengejar dunia dan melupakan akhirat. Namun, bila kita senantiasa menjadikan akhirat sebagai motivasi berkarya, maka dunia pun sudah pasti dalam 'genggaman' kita. Wallahu a'lam. 


Pusat Data Republika

Sabtu, 07 Mei 2016

KELEDAI HILANG MALAH SUJUD SYUKUR

Dalam sebuah kisah anekdot Idris Shah, diceritakan bahwa suatu kali, di dalam sebuah perjalanan, Nasruddin mampir di sebuah masjid untuk istirahat. Ia menambatkan keledai kesayangannya di halaman masjid, kemudian ia mengambil air wudhu untuk shalat sunah. 
Rehat sejenak, begitu pikir Nasruddin selesai sembahyang. Ia tak pernah berpikir, tempat yang ia sangka paling aman justru paling rawan tindak kejahatan. Dan itulah yang terjadi ketika ia melihat ke halaman masjid: keledainya lenyap!
Nasruddin mencari ke sana ke mari. Namun sayang, usahanya sia-sia. Ia tidak menemukan keledainya. Seorang jamaah masjid menghampirinya dan bertanya yang terjadi. Nasruddin menceritakan apa adanya. Orang tersebut terperanjat. Ia bercerita, bahwa tadi ada orang yang membawa keledai tersebut dari halaman masjid. Karena dikiranya orang itu adalah si pemilik, ia membiarkan saja.
Nasruddin kini sadar bahwa keledainya memang benar dicuri orang, bukannya lepas dari tambatan. Apa yang dilakukannya? Sejenak kemudian ia bersujud syukur. Tentu saja tingkahnya itu membuat si jamaah masjid heran bukan kepalang. Kisanak, katanya, apakah Anda kurang waras? Bagaimana mungkin, kehilangan keledai Anda malah sujud syukur. Bukannya sedih?
Nasruddin menjawab, aku selalu melihat hikmah di balik setiap peristiwa. Aku merasa bersyukur karena hanya keledaiku yang hilang. Aku masih beruntung bukan diriku, kesadaranku, yang lepas.
Umumnya kita, ketika kehilangan fasilitas duniawi, langsung gelap mata alias hilang kesadaran. Akibatnya, kita kemudian mengekspresikan tindakan-tindakan yang abnormal dan irasional, misalnya uring-uringan, mencari-cari kambing hitam (menyalahkan orang lain), atau malah anarkis (bertindak melawan aturan), pendek kata, kita mengidap penyakit baru, yakni post-power syndrome.
Kesadaran kita hilang bersamaan hilangnya fasilitas duniawi kita. Jika merujuk pada klasifikasi Eric Fromm, kita termasuk orang-orang yang bermodus eksistensi memiliki, bukannya menjadi. 
Bagi yang bermodus memiliki, yang terpenting dalam hidup ini adalah memiliki sesuatu. Maka ketika sesuatu itu hilang, serta merta ia kelimpungan. Ia tidak pernah menjadi diri sendiri, diri yang mandiri dan bebas dari segala bentuk ketergantungan, sehingga memungkinkannya untuk memahami setiap kenyataan hidup ini dalam kerangka proses dan pengalaman.
Penyakit seperti itu lebih berbahaya daripada penyakit-penyakit biasa, bahkan dari sakit gila (hilang ingatan) sekalipun. Sebab, seperti kata Nabi SAW, orang yang mengidap penyakit tersebut disebut sebagai haqqul majnun, gila yang segila-gilanya. 
Dia memang waras, tetapi sebenarnya jiwanya sakit, karena terpenjara, diperbudak hukum-hukum materi dan tubuh. Karena ia tidak sadar akan penyakitnya itu, ironisnya, ia malah merasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya, seakan-akan semuanya beres. Betapa kasihan. Andai ia tahu, tentu ia akan mendatangi psikoanalis, untuk konsultasi dan meminta terapi kesembuhan.Na'udzubillah.


 ***) Sabrur R Soenardi-- Pusat Data Republika

Jumat, 06 Mei 2016

JABAT TANGAN MALAIKAT

Salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Hanzhalah Al Usaidi bercerita, "Saya pernah bertemu Abu Bakar, lalu ia bertanya, 'Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?' Aku menjawab, 'Hanzhalah telah menjadi munafiq!' Abu Bakar tersentak kaget seraya berkata, 'Subhanallah! Apa yang engkau katakan?'”
Aku sering bersama Rasulullah SAW, beliau mengingatkan tentang surga dan neraka seolah-olah aku melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika aku keluar dari sisi beliau dan bercengkerama dengan istri, anak dan sibuk dengan pekerjaan, aku pun sering melupakannya,” jawabku.
Abu Bakar mengiyakan perasaan seperti itu, “Demi Allah! Kami juga merasakan hal seperti itu!” Kemudian aku dan Abu Bakar berangkat bersama-sama untuk menemui Rasulullah SAW. Aku memulai pembicaraan, “Hanzhalah telah menjadi munafiq wahai Rasulullah! 
Rasulullah balik bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah! Ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan tentang surga dan neraka seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala kami. Namun ketika kami keluar dari sisi mu dan bercengkerama dengan istri, anak dan sibuk dengan pekerjaan, kami sering melupakannya.
Rasulullah SAW menjawab, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan selalu berdzikir, niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Tetapi wahai Hanzhalah, suatu waktu seseorang bisa merasakan hal itu, dan di waktu yang lain ia merasakan hal yang lain.” (HR Muslim).
Apa yang dirasakan oleh Hanzhalah Al Usaidi dan sahabat Abu Bakar juga sering kita rasakan di masa sekarang. Ketika kita mendengar ceramah di masjid-masjid atau melalui media elektronik kita merasa dekat dengan Allah, merasakan nikmatnya menjadi penghuni surga, dan merasa betapa mengerikannya kobaran api neraka. 
Dalam suasana hati seperti itu, tidak jarang di antara kita ada yang berjanji untuk mengikuti semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya, dengan tujuan agar kita benar-benar menjadi penghuni surga, dan benar-benar dijauhkan dari api neraka. 
Tapi, perasaan seperti itu tiba-tiba menguap sedikit demi sedikit ketika kita keluar dari masjid atau berkumpul bersama keluarga dan mulai asyik dengan aktifitas sehari-hari kita. 
Perubahan suasana hati seperti ini yang dikhawatirkan oleh Hanzhalah dan Abu Bakar sebagai suatu kemunafikan, karena ketidakistiqamahan hati untuk selalu mengingat janji dan ancaman Allah SWT dalam segala kondisi.
Namun, jawaban Rasulullah menegaskan bahwa perasaan seperti itu bukan merupakan kemunafikan, tapi sebuah perasaan yang lumrah dirasakan setiap orang, pada satu waktu ingat pada janji dan ancamannya Allah, dan di waktu yang lain lupa akan janji dan ancaman tersebut.
Dan orang yang mampu selalu mengingat janji dan ancaman Allah dalam setiap aktivitasnya, maka ia akan menjadi manusia yang sangat istimewa, karena akan mendapat jabat tangan malaikat (doa) di jalan-jalan dan di tempat tidurnya. 

***) Abdul Syukur –Repulika Online

Selasa, 03 Mei 2016

3 NASIHAT RASULULLAH SAW UNTUK WANITA

3 NASIHAT RASULULLAH SAW UNTUK WANITA Di antara bukti kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada kaum wanita adalah nasihat yang selalu disampaikan kepada umat Islam agar menjaga dan menghormatinya. Sebab wanita merupakan makhluk yang unik, tidak dapat diperlakukan dengan kasar dan tidak bisa pula dibiarkan (HR Bukhari).
Nabi SAW pernah menasihati dan memerintahkan kaum wanita agar bertakwa kepada Allah, menaati suami, dan banyak bersedekah. Nabi SAW bersabda, "Sungguh di antara kalian ada orang-orang yang masuk surga (beliau sambil merapatkan jari-jari tangannya) dan sebagian besar kalian akan menjadi bahan bakar api neraka (lalu beliau membuka jari-jarinya). Seorang wanita bertanya, ‘Mengapa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Karena kalian banyak melaknat, mengingkari kebaikan suami, dan menunda-nunda kebaikan'." (HR Ibnu Hibban). 
Dari hadis di atas, ada tiga nasihat Nabi SAW yang diperuntukkan khusus untuk kaum wanita sebagai bekal masuk surga. Jika diamalkan maka akan memudahkan kaum wanita meraih surga, yaitu bertakwa kepada Allah, taat kepada suami, dan banyak sedekah. 
Sebaliknya, jika seorang wanita melakukan tiga hal berikut ini maka akan menjadi orang yang celaka (sebagai penghuni neraka). Pertama, wanita yang suka melaknat. Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci, termasuk yang sedang ada masalah dengannya. 
Sangat tidak patut jika seseorang yang mengaku mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Rasulullah SAW bersabda, “Bukanlah seorang mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR Bukhari).
Kedua, wanita yang suka mengingkari kebaikan suami. “Tidaklah seorang istri yang menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya (di akhirat kelak): bidadari yang menjadi pasangan suaminya (berkata): “Jangan engkau menyakitinya, kelak kamu dimurkai Allah, seorang suami bagimu hanyalah seorang tamu yang bisa segera berpisah dengan kamu menuju kami.” (HR Tirmidzi).
Ketiga, wanita yang suka menunda-nunda kebaikan. Salah satu hal yang menjadikan wanita suka menunda kebaikan itu adalah terlalu larut dalam perasaan dan emosi. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi SAW. (HR Bukhari dan Muslim).

Karena itu, ingat akan nasihat Nabi SAW untuk segera melaksanakan amal saleh sebelum datang tujuh hal yang menghancurkan, yakni;kefakiran yang melupakan, kekayaan yang menyesatkan, sakit yang merusakkan, ketuaan yang melemahkan, kematian yang mendadak, Dajjal yang merupakan seburuk-buruk hal ghaib yang akan datang, dan hari kiamat (HR Tirmidzi).
Semoga Allah SWT membimbing kita para wanita agar dapat menjalankan tiga nasihat Nabi SAW sebagai bekal masuk surga, dan meninggalkan tiga hal larangan agar dapat terhindar dari neraka. Aamin.  


***) Siti Mahmudah

Senin, 02 Mei 2016

5 GOLONGAN YANG MENDAPAT CINTA ALLAH

Allah menginformasikan dalam Alquran tentang golongan orang yang dicintai-Nya. Mereka dicintai Allah karena iman, takwa, dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama serta sikap dan perilaku yang baik kepada sesama manusia dan makhluk lain.
Pertama, orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bagi Muslim, yang paling dicintai adalah Allah dan Rasul-Nya (al mahabbatul ula). Kecintaan kepada keduanya merupakan tolok ukur mencintai yang lain, seperti istri, suami, anak, keluarga, harta, pangkat, dan jabatan.
Cinta kepada Allah memotivasi untuk menjalankan semua perintah-Nya dengan ridha. Allah berfirman, ''Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 3: 31).
Kedua, orang-orang yang berbuat adil (muqsithin). Adil berarti melakukan suatu perbuatan dengan tidak menzalimi orang lain dan diri sendiri. Adil juga berarti melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan dan menerima hak sebagai imbalan. Keadilan harus ditegakkan dalam semua aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, maupun hukum.
Allah berfirman, ''Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.'' (QS 5: 42).
Ketiga, berlaku sabar (shabirin). Sabar yang sempurna terwujud manakala seseorang tunduk sepenuhnya tanpa syarat kepada kehendak Allah. Allah berfirman, ''Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.'' (QS 3: 146).
Keempat, orang-orang yang bertawakal (mutawakilin). Tawakal adalah menyerahkan apa yang telah dilakukan kepada Allah. Sikap ini muncul karena keyakinan bahwa apa saja yang diperbuat manusia, hasilnya tidak bisa dipastikan. Allah berfirman, ''Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS 3: 159).
Kelima, orang-orang yang menyucikan diri (mutathohhirin). Setiap Muslim dilatih selalu suci secara fisik dengan bersuci dari hadas besar dan kecil ketika akan shalat. Kebiasaan ini diharapkan memberikan pengaruh positif untuk bersih diri dan lingkungan. Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.'' (QS 2: 222).
Sikap dan perilaku golongan yang dicintai Allah ini harus dicontoh dalam kehidupan. Sebab, sikap dan perilaku itu membawa kemaslahatan bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.


***) Firdaus  (Pusat Data Republika

Minggu, 01 Mei 2016

BAGAIMANA SEHARUSNYA NEGARA MENGHADAPI KEMISKINAN

Diriwayatkan dari Jabir RA, ''Sekali peristiwa kami bersama Rasulullah pada pagi hari di Madinah, tiba-tiba datang serombongan orang berpakaian compang-camping. Tampak saat itu kesedihan di wajah Rasulullah lantaran melihat kesengsaraan mereka. Rasulullah kemudian masuk ke dalam rumah dan keluar kembali, lalu menyuruh Bilal mengumandangkan azan dan ikamah, kemudian beliau memimpin shalat.''
''Selesai shalat, Rasulullah berpidato, 'Hai sekalian manusia, hendaklah setiap orang menyedekahkan sebagian dari dinarnya, sebagian dari dirhamnya, sebagian dari pakaiannya, segantang dari gandumnya, dari segantang kurmanya, biarpun dengan sekeping kurma.'''
Berkata Jabir selanjutnya, ''Maka, datanglah seorang laki-laki dari golongan ansar membawa sebuah pundi yang hampir-hampir tangannya tidak kuat membawanya. Kemudian orang banyak membawa pakaian dan makanan, sehingga aku melihat dua tumpukan terdiri atas makanan dan pakaian, aku melihat uang yang banyak sekali, dan kulihat wajah Rasulullah berseri-seri bagaikan sesuatu bersepuh emas layaknya.''
Sambil menyerahkan bantuan yang terkumpul saat itu, Rasulullah bersabda, ''Barang siapa membuat suatu aturan yang baik, maka baginya pahala ditambah dengan pahala orang-orang yang menjalankan aturan itu di belakangnya, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari pahala mereka.'' (HR Muslim).
Dari cuplikan peristiwa di atas, terdapat ajaran yang sangat penting seputar tanggung jawab kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah, yakni menggerakkan orang-orang yang berkecukupan supaya menginfakkan hartanya dalam keadaan yang mengharuskan mereka berbuat demikian. Dalam kondisi seperti itu, kaum Muslimin tidak lagi berhitung soal zakat, tetapi yang diterapkan adalah infak atas dasar keikhlasan yang "diwajibkan" sewaktu-waktu saat keadaan memaksa.
Bagian yang diterima oleh fakir-miskin bukan suatu belas kasihan, melainkan hak yang telah ditentukan melalui mekanisme yang digerakkan oleh negara. ''Demi Allah, andaikata mereka tak mau menyerahkan kepadaku seutas tali unta yang dahulu diserahkan kepada Rasulullah, niscaya mereka kuperangi karena-Nya,'' demikian ditegaskan oleh Abu Bakar Siddik selaku kepala negara Islam di abad pertama Hijriyah.
Ulama besar kelahiran Andalusia (Spanyol), Ibnu Hazm al-Andalusy berpendapat bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi dengan kesediaan orang-orang kaya memberikan hak orang miskin yang diamanatkan Allah kepadanya. Ibnu Hazm mengutip sebuah hadis bahwa ada hak-hak fakir miskin selain zakat yang harus dikeluarkan oleh orang-orang kaya. Apabila zakat tidak mencukupi sebagai jaminan sosial bagi masyarakat yang tidak mampu, maka ulil amri (pemerintah) diberi hak untuk memungut pajak sosial lainnya dari orang-orang kaya.
Jika ajaran Islam dilaksanakan secara kafah dan konsekuen oleh umatnya, baik selaku anggota masyarakat maupun ulil amri yang memegang amanah kekuasaan, maka tak akan ditemukan seorang fakir pun yang menahan lapar di antara warga masyarakat lainnya yang hidup berkecukupan. Tak akan ada orang miskin yang telantar. Penduduk yang tak punya tempat tinggal karena sangat miskinnya atau kehilangan kesempatan membina keluarga, atau terlunta di hari tuanya.

***) M Fuad Nasar : Pusat Data Republika