Senin, 30 November 2015

3 SYARAT MENUJU SURGA

Dalam kitab sahihnya, Imam Muslim menyebutkan sebuah hadis riwayat dari Abu Hurairah RA yang menyatakan, Rasulullah SAW pernah bersabda kepada para sahabat, "Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai antarsesama. Maukah kalian, aku tunjukkan suatu perbuatan, jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai, yaitu tebarkan salam di antara kalian."
Hadis ini menegaskan, syarat-syarat yang harus dilakukan seseorang jika ingin masuk surga dan syarat-syarat ini saling berkelindan antara yang satu dengan yang lain.
Pertama, orang tersebut harus beriman. Iman dalam arti yang sesungguhnya, yaitu mempercayai adanya Allah SWT dan meyakini bahwa Allah merupakan Tuhan alam semesta, Yang Maha Pencipta dan Mahakuasa atas segalanya. Percaya adanya malaikat-malaikat Allah dan meyakini bahwa mereka tidak pernah membangkang kepada Allah dan selalu melaksanakan semua perintah-perintah-Nya.
Percaya bahwa Allah menurunkan kitab suci sebagai pedoman bagi umat manusia agar mereka selamat di dunia dan akhirat. Percaya bahwa Allah mengutus para nabi dan para rasul untuk membimbing umatnya ke jalan yang benar. Percaya akan adanya hari kiamat dan kehidupan-kehidupan setelahnya sebagai hari pembalasan. Dan, percaya akan qadha dan qadar yang telah Allah tentukan bagi segenap makhluk-Nya.
Kedua, saling mencintai antarsesama. Ini merupakan syarat seseorang untuk bisa beriman. Karena, tanpa adanya syarat ini, seseorang tidak bisa disebut beriman. Mencintai sesama maksudnya adalah memperlakukan orang lain sama dengan dirinya.
Jika ia senang diperlakukan dengan baik oleh orang lain maka senyatanya orang lain juga ingin diperlakukan dengan baik pula olehnya. Demikian juga sebaliknya, ketika ia tidak ingin diperlakukan buruk oleh orang lain maka orang lain juga tidak ingin mendapat perlakukan yang tidak baik darinya.
Dalam hadis yang lain disebutkan, "Tidak beriman seseorang dari kalian sampai ia mencintai sesuatu untuk orang lain, sebagaimana ia mencintainya untuk dirinya sendiri." (HR Bukhari). Bahkan, dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Syuraih Nabi Muhammad sampai bersumpah tiga kali, "Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!" Para sahabat bertanya, "Siapa wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Orang yang membuat orang-orang dekatnya tidak aman dari keburukannya." (HR Bukhari).
Dari berbagai hadis ini, syarat agar seseorang mendapat kesempurnaan iman maka ia harus mencintai antarsesama manusia, bahkan sesama makhluk Allah. Dan, di antara bukti kecintaan seseorang pada orang lain adalah ia memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan oleh orang lain.
Ketiga, menyebarkan salam. Ini merupakan petunjuk dari Nabi agar seseorang bisa mencintai antarsesama manusia. Menyebarkan salam maksudnya setiap bertemu orang mengucapkan, "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" yang artinya kita mendoakan mereka, "Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkahnya tercurah pada kalian!" 
Jika ada orang yang setiap bertemu orang lain selalu menyampaikan pesan damai ini maka orang yang ada di sekitarnya akan merasa aman, nyaman, dan damai. Sehingga, orang tersebut akan dicintai oleh masyarakat sekitarnya.
Dan, jika ketiga syarat ini terpenuhi, yaitu menyebarkan salam, saling mencintai antarsesama, dan mendasari keduanya dengan keimanan maka ia pantas masuk surga dengan damai.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Abdul Syukur

Minggu, 29 November 2015

KILAU (HARTA) YANG MENIPU

Hati siapa yang tidak tertarik dengan godaan harta. Terlebih seseorang seharusnya mendapatkan bagian harta tertentu setelah ia berjuang keras. Berjuang hingga risiko antara hidup dan mati hanya dipisahkan benang tipis.
Ketertarikan atas harta yang lantas tak sesuai dengan harapan tentu memunculkan gundah. Keresehan itu pula yang dialami oleh kaum Anshar saat Perang Hunain nan berat itu sudah usai. Kaum Muslimin mendapat kemenangan yang besar.
Seperti laiknya perang-perang lain, kaum Muslimin pun berhak mendapat harta rampasan perang (ghanimah). Namun alangkah kecewanya kaum yang menerima Nabi SAW saat ia diusir dari kaummnya itu. Nabi SAW justru memberikan bagian harta ghanimah kepada orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam semisal Abu Sufyan, 'Uyainah, Al Aqra' dan Suhail bin 'Amar.
Maka jiwa-jiwa manusia biasa kaum Anshar menyeruak protes. Kenapa orang yang dulunya memusuhi Nabi SAW dan baru masuk Islam mendapat bagian? sementara mereka yang menolong Nabi SAW dan kaum muhajirin, pulang dengan tangan hampa.
Rasulullah seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad, lantas menemui dan menjawab kegundahan sahabat-sahabatnya dari Anshar itu. "Tidakkah kamu ridha, hai orang-orang Anshar," ujar Nabi SAW dalam kalimatnya yang bersejarah, "manusia pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kamu pulang ke kampung halamanmu membawa Rasulullah? Demi yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Anshar."
Kita paham bagaimana akhir dari kisah ini. Siapakah yang lebih beruntung bisa membawa serta Rasulullah SAW bersama mereka dibandingkan sampah dunia bernama harta. Sesenggukan wajah-wajah Anshar itu terdengar saling bersahutan. Air mata penyesalan mereka basah mengaliri hingga janggut-janggut mereka.
Begitulah kita sejatinya diajarkan untuk bersikap terhadap harta. Memiliki keinginan untuk menguasai harta adalah sesuatu yang wajar. Namun pada hakikatnya, harta hanyalah sebuah sarana. Seperti hanya Rasulullah SAW memberikan harta kepada kaum Quraisy yang baru masuk Islam. Semua itu hanya sarana untuk mengikat hati mereka agar tetap bersama dakwah.
Sementara Rasulullah SAW paham, sejatinya kaum Anshar tak memerlukan itu semua. Bagi mereka yang mengutamakan kaum muhajirin di atas diri mereka sendiri, tentu harta bukanlah yang paling utama. Jika kaum Anshar menangis tersedu karena mereka "mendapat" Rasulullah SAW, kita justru tergugu jika harta kita berkurang. 
Otak kita seakan disetting hanya untuk mencari uang dan materi. Bukan dengan niat jihad mencari nafkah, namun demi memenuhi buas nafsu diri. Terkadang waktu yang kita miliki tak cukup 24 jam guna mencari pundi-pundi rupiah. Demi sebuah tas bermerk agar tak lagi dijauhi dalam kumpulan arisan-arisan masa kini.
Kehidupan kini hanya berjalan dari satu transaksi ke transaksi berikutnya. Dari satu lembur ke lembur yang sama keesokannya. Muara semuanya itu hanya kelelahan raga dan jiwa yang tak pernah tenang. Terlalu keras mengais emas terkadang turut melenakan kita pada hal-hal kecil yang sejatinya butuh perhatian.
Mengejar tender milyaran bagi kita masih terlalu penting dibanding mengajari anak-anak kita belajar huruf hijaiyah agar mereka dapat membaca kitab sucinya. Kita lupa membantu mengejakan hukum-hukum tajwid agar kelak saat kita mati, si anak dengan lancar memimpin barisan shalat jenazah.
Padahal bisa jadi bekal yang sangat ia perlukan bukanlah properti tak bergerak senilai puluhan miliar. Yang mereka butuhkan sejatinya adalah apa yang kaum Anshar butuhkan. Kehadiran sosok Rasulullah SAW. Mereka jauh lebih beruntung membawa pulang Nabi Muhammad SAW ke kota mereka. Lantas menyerap saripati hidup yang sebenarnya.
Semoga kita ini seperti orang-orang Anshar yang mendapat keistimewaan untuk "membawa pulang" Rasulullah SAW bersama mereka. Karena mereka sadar, meski ketertarikan pada kilau harta sangatlah normal namun tak akan bisa menggantikan kilau cahaya hakiki dari Muhammad SAW.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa., )


***) Hafidz Muftisany

Sabtu, 28 November 2015

CARA PERBEKALAN TERBAIK DI AKHIRAT, INI CARANYA

Hidup di dunia ini sungguh sekejap saja. Sementara, kesempatan mengumpulkan bekal teramat sebentar. Kita akan hidup selama-lamanya, tidak akan ada akhir lagi, yaitu kelak nanti di akhirat. Dan, hamba Allah yang beriman pasti akan menyibukkan diri dengan amal ketaatan supaya di kehidupan nanti mendapatkan kebahagiaan yang sempurna.
Salah satu amal ketaatan seorang hamba itu adalah bersemangat dalam menghidupkan ihyaaus sunnah. Tiada waktu, hari, jam, menit, detik berlalu kecuali bernilai ibadah, amal saleh, manfaat, dan mencari perbekalan terbaik di akhirat. Karena itulah, ia hidupkan sunah harian Rasulullah SAW.
Gambaran indah amal yaumiyah (amal sunah harian Nabi SAW) adalah bermula ketika hendak tidur. Ia pasti akan tidur lebih awal karena kerinduannya bangun di tengah malam. Saat terjaga, ia bersegera membangunkan keluarga dan sahabatnya untuk menikmati indahnya shalat malam.
Pencinta amal yaumiyah Nabi SAW pasti tidak akan pernah beranjak dari Tahajud kecuali setelah membaca istighfar dengan bilangan yang banyak, dilanjutkan tadabur Alquran. Lalu, dengan hati gembira, ia melangkah dengan kaki diayun untuk berjamaah Subuh di masjid. Kemudian, ia biasakan tidak keluar dari masjid kecuali ikut kajian ilmu dan zikir hingga waktu shalat sunah Isyraq.
Dan, pagi pun menjelang. Ia tidak akan keluar rumah untuk ikhtiar yang halal kecuali diiringi doa, pamit kepada keluarga dengan ciuman, lambaian salam dan terjaga selalu wudhunya. Hatinya pun selalu terpaut zikir kepada Allah SWT.
Dalam beraktvitas selalu dengan belas kasih, rendah hati, murah senyum, ringan tangan, penebar salam dan salaman, bersih-wangi bersahaja dengan sesederhana mungkin penampilannya. Hal ini terbaca dari isyarat mata, tubuh, dan penampilannya yang tidak sombong. Bicaranya santun dan selalu berbaik sangka pada setiap takdir-Nya, jauh dari sifat dengki.
Tiba waktu Zhuhur atau Ashar, maka shalatnya pasti tepat waktu dan berjamaah. Ia tidak sungkan untuk memulai dan mendatangi serta menjulurkan tangan silaturahim. Diam-diam hatinya berdoa untuk keluarganya, negerinya, saudara-saudaranya yang tertindas, seperti di Palestina, Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Yaman, Rohingya.
Bahkan, terhadap mereka yang berbeda keyakinan, doa pun dipanjatkannya agar Allah SWT memberi hidayah. Kepada siapa pun yang dijumpai, ia selalu ingatkan tentang dahsyatnya kehidupan akhirat tanpa merasa dirinya paling suci. Dan, puncaknya bermuhasabah diri, sama sekali tidak tertarik membahas, apalagi mencari aib saudaranya.
Inilah amal ringan, tapi padat penuh makna. Orang beriman akan menjadikan tiada waktu yang sia-sia. Fokus dalam ketaatan yang prima dengan menjaga amal yaumiyah. Semoga Allah SWT terus dan terus membimbing kita semangat beriman dan beramal saleh hingga wafat dalam keridhaan-Nya. Aamiin.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )


***) Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Jumat, 27 November 2015

BERILMU SEPANJANG HAYAT

Baqi bin Makhlad, seorang murid Imam Ahmad Bin Hanbal, layak menjadi teladan bagi para pencari ilmu. Ketika berusia 20 tahun, ia melakukan perjalanan dari Andalusia menuju Baghdad dengan berjalan kaki demi mencari ilmu. 
Ia rela menempuh perjalanan yang begitu panjang, melewati padang pasir, melintasi lautan, dan mendaki pegunungan. Upaya itu dilakukan Baqi bin Makhlad untuk belajar hadis pada ulama terkemuka bernama Imam Ahmad bin Hambal. 
Di tengah perjalanan ke Kota Baghdad, ia mendengar kabar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal sedang menghadapi ujian.Saat itu, Imam Ahmad bin Hanbal berkukuh pada pendapatnya bahwa Alquran bukanlah makhluk. 
Akibatnya, penguasa melarang sang imam untuk mengajar atau membuka majelis ilmu. Ia dipenjara di rumahnya. Mengetahui hal itu, Baqi pun bersedih. Namun, langkahnya untuk berguru pada sang imam tak berhenti.
Ia tetap melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Setibanya di ibu kota Dinasti Abbasiyah, Baqi meletakkan perbekalannya dan pergi menuju Masjid Agung. Ia lalu pergi mencari rumah Imam Ahmad bin Hanbal. 
Ia kemudian mengetuk pintu dan mengucap salam dan Imam Ahmad pun menjawab salam serta membuka pintu. “Aku adalah orang yang asing di negeri ini dan ingin mencari ilmu, tidaklah aku melakukan perjalanan mencari ilmu ini kecuali kepadamu,” ujar Baqi. 
Imam Ahmad lalu bertanya, “Dari manakah asalmu?” “Dari Barat jauh. Aku mangarungi lautan untuk menuju ke sini,” jawab Baqi. Sang imam lalu berkata, “Tempat tinggalmu jauh sekali, dan sebetulnya aku ingin membantumu, tetapi aku sedang dalam tahanan rumah dan tidak boleh mengajarkan sesuatu.” 
“Wahai Abu Abdillah (sebutan Imam Ahmad)... aku adalah orang yang asing, tidak ada satupun dari orang Baghdad yang mengenaliku. Jika engkau mau aku akan datang kepadamu setiap hari sebagai seorang pengemis kemudian aku ketuk pintu rumahmu aku meminta sedekah, kemudian engkau membacakan kepadaku walaupun satu hadis dalam sehari,” ucap Baqi.
“Baiklah...,” ujar Imam Ahmad bin Hanbal. “Engkau boleh seperti itu tetapi dengan syarat tidak menceritakannya kepada para pencari hadis yang lain karena nanti mereka akan iri kepadamu.”
Kisah di atas memberi pesan pada kita, sejauh apa pun jarak akan ditempuh oleh orang-orang yang haus akan ilmu dan kebenaran. Orang terdahulu lebih baik keluar dari tempat tinggal untuk hijrah dari kondisi kebodohan. 
Mencari ilmu atau belajar adalah proses yang harus dilakukan terus-menerus meskipun kita tidak lagi berada di lingkungan sekolah atau universitas. 
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim). 
Ilmu begitu penting dalam kehidupan umat manusia yang hendak mempertebal keimanan. Karena, ilmu dan keimanan laiknya dua sisi mata uang logam yang tidak terpisahkan. 
Tanpa ilmu pengetahuan, keimanan kita bakal keropos. Sedangkan, tanpa keimanan, ilmu kita laksana kapal terbang tak berpilot, dapat mencelakakan para penumpang. 
Itulah mengapa Allah SWT memerintahkan kita untuk selalu berlapang-lapang dalam majelis keilmuan (QS al-Mujaadilah [58]: 11). Di dalam Islam, belajar harus terus-menerus dilakukan tanpa mengenal usia, waktu, dan kesempatan. 
Karena itu, ketika prinsip belajar sepanjang hidup tidak kita tanamkan dalam keyakinan, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggutnya. Tetapi, dengan mewafatkan para ulama cendekia sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. 
Dengan demikian, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan dia memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan,” (HR Mutafaqalaih). Wallahu alam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa., )


***) Dadang Kahmad 

Kamis, 26 November 2015

MENGEJAR TOBAT

Acap kali manusia melalaikan atau bahkan mengabaikan kealpaan-kealpaan yang dilakukan. Sehingga, kelalaian dan pengabaian itu menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah.
Padahal, hal itu bisa berdampak kepada dirinya atau merugikan orang lain. Inilah posisi di mana seseorang merasa dirinya bersih dari noda dan dosa.
Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitabnya, al-Hikam, memasukkan sebuah kajian penting yang senada dengan itu. Ma'shiyyatun auratsat dzullan wahtiqaran khoirun min tha'atin awratsat 'izzan wastikbaaran,"Kemaksiatan yang melahirkan rasa hina dan butuh pada Allah SWT lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan sikap merasa mulia dan sombong."
Tidak ada manusia yang terbebas dari belenggu dosa meski hanya sebesar biji zarah. Hal ini karena kealpaan dan kelupaan melekat pada dirinya.
Sebaik-baik manusia bukanlah yang dapat mengelak dari dosa, tetapi sebaik-baik manusia adalah dia yang selalu mengiringi langkahnya dengan merefleksikan dosa-dosa yang diperbuat.
Sikap peka terhadap dosa bukan hanya menyelamatkan manusia dari azab neraka. Tetapi juga melindungi manusia dari kegelapan dan kesengsaraan di dunia.
Kepekaan itu akan melahirkan empati dan simpati sehingga tidak akan sekali-sekali mendekati sesuatu yang bukan haknya, apalagi memperkaya diri dengan menyengsarakan dan membahayakan orang lain.
Dalam hal itu, ketika manusia tidak mengetahui keutamaan yang diberikan Allah SWT kepada orang yang bertobat, ketika itu dia tidak akan mempercepat tobatnya.
Ibnu Qayyim al-Jauzi menyebutkan, "Sesungguhnya senjata yang disenangi oleh setan untuk melumpuhkan orang untuk melakukan kebaikan adalah taswif, yaitu menunda kebaikan."
Maka itu, dalam beberapa ayat Allah SWT menyeru agar manusia segera mengejar ampunan Allah SWT, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS Ali Imran [3]: 133).
Bahkan berlomba, "Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya." (QS al-Hadid [51]: 21).
Bukankah Allah SWT mencintai manusia yang senantiasa berintrospeksi diri dari kealpaan-kesalahannya. "... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS al-Baqarah [2]: 222).
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, sabar, syukur., )


***) Ahmad Syaikhu

Rabu, 25 November 2015

HATI YANG BERSINAR

Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku Rabb-mu, Mereka menjawab: Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb).” (QS al-Araaf: 172)
Ketika ruh masuk ke dalam jasad, maka beragam tuntutan jasad pun memberikan perubahan yang berpengaruh langsung kepada hati. Bila cahaya menyinari hati begitu kuat, maka seseorang dapat menahan beragam desakan tubuh yang diharamkan.
Rasulullah SAW adalah teladan kita. Beliau SAW merupakan cermin seorang yang mampu menahan pengaruh kehidupan dunia, sehingga hatinya selalu bercahaya. Hal itu tecermin dari akhlak beliau, baik terhadap Allah SWT maupun terhadap mahluk-Nya. 
Syekh Ahmad bin Muhammad Ataillah berkata, “Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya bila cermin hati kita memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat.''
''Bagaimana mungkin seorang dengan keinginan kerasnya untuk masuk ke hadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya.”
Dua hal tersebut di atas tentu saja sangat mustahil dikumpulkan menjadi satu. Bahkan, orang akan keheranan apabila ada orang yang menghendaki berbinar-binar cahaya, padahal ia sendiri belum mampu memisahkan diri dari gambaran dunia yang mengasyikkan. 
Tidak mungkin cahaya Allah itu dapat ditangkap untuk menghiasi hatinya apabila cermin hatinya masih tertutup oleh kegelapan dunia. Karena cermin hati dapat cahayanya apabila telah mendapat sinar keimanan.
Bagi hati yang telah mendapatkan cahaya, persoalan dunia bukanlah tujuan utamanya. Mereka akan tetap beribadah walaupun hidup dalam kesederhanaan. Rezeki terkadang datang dari pintu yang tidak terduga, setelah kita berusaha semaksimal mungkin untuk berusaha dan terus berdoa. 
Kisah tukang sol sepatu, misalnya, pernah melintasi cerita inspiratif tentang makna keimanan seorang hamba. Di tengah usahanya yang terus berjalan dan tanpa order, tukang sol sepatu terus berusaha dan tidak berhenti berdoa dan shalat dalam setiap perjalanannya. 
Namun, di tengah kesedihan karena sepinya order, justru rezeki diberikan Allah lewat seorang tetangga melalui istrinya yang sedang ada di rumah.
Sang lelaki itu tak mampu menahan air mata, seraya berucap, Allahu Akbar, sambil bersujud dan berucap, ''Ya Allah, benar Engkau Mahakaya, Pengasih, serta Penyayang, muliakan tetangga kami serta tambahkan rezekinya, amin, ya Allah.”
Allah SWT berfirman dalam Alquran surah al-Mukmin ayat 61, ”Allahlah yang menjadikan malam untukmu supaya kamu beristirahat, dan menjadikan siang terang benderang. Sungguh besar karunia Allah kepada manusia! Tetapi kebanyakan manusia tidak mau bersyukur.”
Kini lihatlah diri kita yang setiap hari bergelimang dengan harta. Setiap saat kita berdiskusi untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, bahkan terkadang kita membicarakan jabatan agar bisa meraihnya. 
Padahal semua itu akan kita tinggalkan ketika malaikat maut datang menjemput. Ketika hati kita sudah diisi dengan hawa nafsu dunia, maka cahaya Allah makin redup dalam diri kita. 
Dunia sudah kita besarkan setiap saat, sementara Allah SWT yang telah menciptakan dan mencukupkan rezeki kita justru dikecilkan kedudukannya. Di manakah cinta kita kepada Allah SWT yang Rahman dan Rahim? 


***)Asep Effendi Al Faqir

Selasa, 24 November 2015

KISAH TUKANG SOL SEPATU

Hati yang Bersinar "Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku Rabb-mu, Mereka menjawab: Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb).'" (QS al-A'raaf: 172) Ketika ruh masuk ke dalam jasad, maka beragam tuntutan jasad pun memberikan perubahan yang berpengaruh langsung kepada hati.
Bila cahaya menyinari hati begitu kuat, maka seseorang dapat menahan beragam desakan tubuh yang diharamkan. Rasulullah SAW adalah teladan kita. Beliau SAW merupakan cermin seorang yang mampu menahan pengaruh kehidupan dunia, sehingga hatinya selalu bercahaya. Hal itu tecermin dari akhlak beliau, baik terhadap Allah maupun terhadap mahluk-Nya.
Syekh Ahmad bin Muhammad Ataillah berkata, "Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya bila cermin hati kita memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang dengan keinginan kerasnya untuk masuk ke hadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya.
Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya." Dua hal tersebut di atas tentu saja sangat mustahil dikumpulkan menjadi satu. Bahkan, orang akan keheranan apabila ada orang yang menghendaki berbinar-binar cahaya, padahal ia sendiri belum mampu memisahkan diri dari gambaran dunia yang mengasyikan.
Tidak mungkin cahaya Allah itu dapat ditangkap untuk menghiasi hatinya apabila cermin hatinya masih tertutup oleh kegelapan dunia. Karena cermin hati dapat cahayanya apabila telah mendapat sinar keimanan. Bagi hati yang telah mendapatkan cahaya, persoalan dunia bukanlah tujuan utamanya. Mereka akan tetap beribadah walaupun hidup dalam kesederhanaan.
Rezeki terkadang datang dari pintu yang tidak terduga, setelah kita berusaha semaksimal mungkin untuk berusaha dan terus berdoa. Kisah tukang sol sepatu, misalnya, pernah melintasi cerita inspiratif tentang makna keimanan seorang hamba. Di tengah usahanya yang terus berjalan dan tanpa order, tukang sol sepatu terus berusaha dan tidak berhenti berdoa dan shalat dalam setiap perjalanannya.
Namun, di tengah kesedihan karena sepinya order, justru rezeki diberikan Allah lewat seorang tetangga melalui istrinya yang sedang ada di rumah. Sang lelaki itu tak mampu menahan air mata, seraya berucap, "Allahu Akbar," sambil bersujud dan berucap, "Ya Allah, benar Engkau Mahakaya, Pengasih, serta Penyayang, muliakan tetangga kami serta tambahkan rezekinya, amin, ya Allah." Allah SWT berfirman dalam Alquran surah al-Mukmin ayat 61, "Allahlah yang menjadikan malam untukmu supaya kamu beristirahat, dan menjadikan siang terang benderang.
Sungguh besar karunia Allah kepada manusia! Tetapi kebanyakan manusia tidak mau bersyukur." Kini lihatlah diri kita yang setiap hari bergelimang dengan harta. Setiap saat kita berdiskusi untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, bahkan terkadang kita membicarakan jabatan agar bisa meraihnya. Padahal semua itu akan kita tinggalkan ketika malaikat maut datang menjemput.
Ketika hati kita sudah diisi dengan hawa nafsu dunia, maka cahaya Allah makin redup dalam diri kita. Dunia sudah kita besarkan setiap saat, sementara Allah yang telah menciptakan dan mencukupkan rezeki kita justru dikecilkan kedudukannya. Di manakah cinta kita kepada Allah yang Rahman dan Rahim?
(Da'wah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )

***) Asep Effendi Al Faqir  

Senin, 23 November 2015

KEUTAMAAN BERSIKAP LEMAH LEMBUT

Diriwayatkan bahwa seorang badui memasuki masjid, sementara Rasulullah SAW sedang duduk. Orang itu berkata, "Ya Allah, ampuni aku dan Muhammad, dan jangan Engkau ampuni seorang pun selain kami." Lalu Rasulullah SAW tertawa dan berkata, "Engkau telah menghalangi banyak orang." 
Kemudian orang itu beranjak hingga ke sudut masjid untuk kencing. Setelah melalui peristiwa itu, orang badui itu berkata, "Beliau berdiri menghampiriku. Sungguh, beliau tidak mencela dan tidak menghardik. Beliau malah berkata, "Sesungguhnya masjid ini tidak untuk kencing di dalamnya, tetapi dibangun untuk berzikir kepada Allah dan shalat." Selanjutnya beliau memerintahkan agar disiramkan air pada bekas teresebut (HR Ibnu Majah dan Bukhari).
Hadis di atas menjelaskan kepada kita bagaimana sikap dan tutur kata Rasulullah SAW yang penuh dengan kelembutan saat beliau menghadapi orang yang kurang tepat dalam berdoa dan kencing di sudut masjid. Beliau tidak mencela dan tidak pula menghardiknya, akan tetapi menasihatinya dengan lembut dan menyelesaikan apa yang menjadi inti permasalahannya, yakni menyiram kencing orang tersebut dengan air. Kelemahlembutan Rasulullah SAW ini membuat orang badui tersebut sadar dan kian hormat dan mencintai kepadanya.
Lembah lembut sendiri mengandung pengertian kelembutan yang berupa perkataan dan perbuatan, Tegasnya, lawan dari sikap kasar. (al-Qamus al-Muhith). Dalam keseharian, kita harus mengedepankan sikap dan tutur kata yang lembut dan menjauhkan diri dari sikap kasar karena kelembutan akan mendatangkan kedekatan dan kebaikan. Sebaliknya, sikap kasar akan menjauhkan persaudaraan dan mendatangkan keburukan. 
Disebutkan, "Sesungguhnya kelembutan tidak terjadi pada sesuatu kecuali akan mengindahkannya, dan tidaklah tercabut dari sesuatu kecuali akan memburukkannya." Kelembutan tutur kata dan perbuatan merupakan landasan dalam membangun keharmonisan antarsesama, kunci dalam menasihati dan penyelesai permasalahan serta penyebab datangnya kebaikan. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang tidak memiliki kelemahlembutan maka tidak dihampiri kebaikan." (HR Muslim).
Lebih daripada itu, ketika kita memiliki sikap dan tutur kata yang lembut tidak hanya akan menjadikan hidup kita penuh dengan kedamaian dan keharmonisan dengan sesama, juga di akhirat kelak kita akan dimasukkan ke dalam surga. Rasulullah SAW bersabda, "Maukah kalian aku kabari tentang orang yang diharamkan terhadap neraka atau orang yang neraka diharamkan terhadapnya? Yaitu setiap orang yang bersikap dekat serta berlaku mudah dan gampang (bersikap lemah lembut)." (HR Tirmidzi).
Oleh karena itu, kita harus berupaya menyandang sifat ini karena termasuk sifat yang dicintai oleh Allah SWT lagi penuh dengan keutamaan. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Mahalembut, dia menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada orang yang lemah lembut apa yang tidak diberikan kepada yang kasar dan apa yang tidak diberikan kepada yang selainnya." (HR Muslim)
(Da'wah, hidayah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )


***) Moch Hisyam

Minggu, 22 November 2015

MEMAKNAI PERTANYAAN

Dalam kitab suci Alquran dan hadis Nabi SAW ditemukan banyak teks yang berisi pertanyaan. Tidak semua pertanyaan tersebut dijawab langsung, tetapi ada juga yang bersifat retoris, yakni tidak perlu jawaban karena akan terjawab dengan sendirinya. Kalimat pertanyaan dapat dikenali dari kata yang digunakan, seperti ara-aita (QS 107:1), wa maa adraaka (QS 97:2), serta hal  (QS 88:1).
Dalam hidup ini, ada empat esensi pertanyaan yang dalam filsafat ilmu disebut ontologi (apa, hakikat), epistemologi (mengapa dan bagaimana, cara), dan aksiologi (untuk apa, nilai).  Pertanyaan (as-suaal) berkaitan dengan empat unsur: siapa yang bertanya (as-saail), apa yang ditanyakan (al-mas`alah), siapa yang ditanya (al-mas`ul), dan di mana tempatnya (mas'al).
Setidaknya ada lima makna pertanyaan. Pertama, ingin tahu. Bertanya, karena ingin tahu sesuatu atau fenomena adalah awal mula ilmu pengetahuan. Orang yang bertanya bukan bodoh, melainkan orang yang tahu kalau dia tidak tahu (rajulun yadri annahu laa yadri). Ada ungkapan, assuaalu nishful jawabun (pertanyaan separuh dari jawaban). Alquran mendorong untuk bertanya jika tidak tahu (QS 16:43), tetapi jangan banyak bertanya yang justru buat susah sendiri (QS 5:101).
Kedua, perhatian. Orang tua atau guru mesti memberikan perhatian kepada anak atau murid dengan menanyakan sesuatu. Karena, pada dasarnya anak-anak ingin diperhatikan. Dalam Alquran banyak pertanyaan sebagai bentuk perhatian atau pendidikan. Seperti pertanyaan Nabi Yakub AS kepada anak-anaknya tentang apa yang akan disembah mereka (QS 2:131-133), Nabi Ibrahim AS kepada Nabi Ismail AS (QS 37:102).
Ketiga, menasihati. Ada pertanyaan yang bermakana nasihat (petuah) agar lebih menghunjam ke relung lubuk hati. Begitulah orang tua dan para guru-guru kita dahulu menasihati. Nabi SAW juga bertanya kepada sahabatnya untuk menasihati mereka sesuatu yang penting. Misalnya, Nabi SAW bertanya tentang siapakah orang yang bangkrut itu (HR Bukhari).
Keempat, pertanggungjawaban (al-mas'uliyah). Pertanyaan untuk meminta pertanggungjawaban pasti dialami setiap orang. Anak ditanya oleh orang tua, murid ditanya guru, mahasiswa ditanya dosen, begitu pun sebaliknya. Tidak suatu amal pun yang akan luput dari pertanyaan (QS 2:134, 4:43-44, 17:36). Pesan Nabi SAW, "Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban kepemimpinannya" (HR Bukhari).
Pada hari kiamat kelak, manusia akan ditanya tentang perbuatannya di dunia. Jika lulus, akan dimasukkan ke dalam surga dan jika tidak bisa jawab, akan dijerumuskan ke neraka sesuai predikat penilaiannya.
Kelima, keangkuhan. Ada pula pertanyaan karena keangkuhan. Bertanya hanya untuk menunjukkan ke-aku-an dan meremehkan orang lain. Seperti Firaun kepada Nabi Musa AS (QS 26:23) dan Raja Namrudz kepada Nabi Ibrahim AS (QS 2:258, 21:62). Termasuk pula pertanyaan jebakan Kafir Quraisy kepada Nabi SAW tentang tiga hal, yakni ruh (QS 17:85), Dzulqarnaen (QS 18:83), dan Ashabul Kahfi (QS 18:9-22). 
Kehidupan ini sejatinya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam keseharian. Untuk itu, diperlukan persiapan (bekal) yang cukup, yakni keyakinan (tauhid, iman), ilmu pengetahuan, kearifan (hikmah, intuisi), dan pengalaman. Perlu diingat, bagi orang yang menjadi tempat bertanya, kelak akan ditanya jawaban yang diberikannya. Orang yang bertugas bertanya pun, akan ditanya soal pertanyaannya. Allahu a'lam bish-shawab.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, pendidikan., sabar, syukur., takwa., )

***)Hasan Basri Tanjung

Sabtu, 21 November 2015

PECINTA AMAL YAUMIYAH

Hidup di dunia ini sungguh sekejap saja. Sementara, kesempatan mengumpulkan bekal teramat sebentar. Kita akan hidup selama-lamanya, tidak akan ada akhir lagi, yaitu kelak nanti di akhirat. Dan, hamba Allah yang beriman pasti akan menyibukkan diri dengan amal ketaatan supaya di kehidupan nanti mendapatkan kebahagiaan yang sempurna.
Salah satu amal ketaatan seorang hamba itu adalah bersemangat dalam menghidupkan ihyaaus sunnah. Tiada waktu, hari, jam, menit, detik berlalu kecuali bernilai ibadah, amal saleh, manfaat, dan mencari perbekalan terbaik di akhirat. Karena itulah, ia hidupkan sunah harian Rasulullah SAW.
Gambaran indah amal yaumiyah (amal sunah harian Nabi SAW) adalah bermula ketika hendak tidur. Ia pasti akan tidur lebih awal karena kerinduannya bangun di tengah malam. Saat terjaga, ia bersegera membangunkan keluarga dan sahabatnya untuk menikmati indahnya shalat malam.
Pencinta amal yaumiyah Nabi SAW pasti tidak akan pernah beranjak dari Tahajud kecuali setelah membaca istighfar dengan bilangan yang banyak, dilanjutkan tadabur Alquran. Lalu, dengan hati gembira, ia melangkah dengan kaki diayun untuk berjamaah Subuh di masjid.
Kemudian, ia biasakan tidak keluar dari masjid kecuali ikut kajian ilmu dan zikir hingga waktu shalat sunah Isyraq. Dan, pagi pun menjelang. Ia tidak akan keluar rumah untuk ikhtiar yang halal kecuali diiringi doa, pamit kepada keluarga dengan ciuman, lambaian salam dan terjaga selalu wudhunya. Hatinya pun selalu terpaut zikir kepada Allah SWT.
Dalam beraktvitas selalu dengan belas kasih, rendah hati, murah senyum, ringan tangan, penebar salam dan salaman, bersih-wangi bersahaja dengan sesederhana mungkin penampilannya. Hal ini terbaca dari isyarat mata, tubuh, dan penampilannya yang tidak sombong. Bicaranya santun dan selalu berbaik sangka pada setiap takdir-Nya, jauh dari sifat dengki.
Tiba waktu Zhuhur atau Ashar, maka shalatnya pasti tepat waktu dan berjamaah. Ia tidak sungkan untuk memulai dan mendatangi serta menjulurkan tangan silaturahim. Diam-diam hatinya berdoa untuk keluarganya, negerinya, saudara-saudaranya yang tertindas, seperti di Palestina, Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Yaman, Rohingya. Bahkan, terhadap mereka yang berbeda keyakinan, doa pun dipanjatkannya agar Allah SWT memberi hidayah.
Kepada siapa pun yang dijumpai, ia selalu ingatkan tentang dahsyatnya kehidupan akhirat tanpa merasa dirinya paling suci. Dan, puncaknya bermuhasabah diri, sama sekali tidak tertarik membahas, apalagi mencari aib saudaranya. Inilah amal ringan, tapi padat penuh makna.
Orang beriman akan menjadikan tiada waktu yang sia-sia. Fokus dalam ketaatan yang prima dengan menjaga amal yaumiyah. Semoga Allah SWT terus dan terus membimbing kita semangat beriman dan beramal saleh hingga wafat dalam keridhaan-Nya. Aamiin.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Ustaz Arifin Ilham

Jumat, 20 November 2015

DOA KORBAN FITNAH

Memfitnah berarti menebar tuduhan kepada orang lain dengan fakta palsu atau dusta secara sengaja. Tujuannya untuk memberikan stigma negatif sehingga wibawa dan reputasi orang yang menjadi sasaran fitnah tersebut jatuh, apakah di hadapan orang tertentu ataupun di mata publik.
Bentuk dan motif fitnah ini bisa macam-macam. Misalnya, bentuk fitnah yang dikenal dengan istilah play victim, yaitu melukai diri atau merusak reputasinya sendiri dengan motif mencari simpati, keserakahan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Dan pada saat yang sama, ia pun harus melemparkan tuduhan bahwa pihak lawanlah yang melakukannya.
iasanya, jenis fitnah di atas sering kita temukan, baik di tengah masyarakat lokal maupun global. Kecanggihan teknologi informasi dan jejaring media sosial menjadi salah satu andalan untuk memuluskan tipu muslihatnya tersebut.
Tak aneh jika fitnah serupa atau bentuk-bentuk fitnah lainnya sering terjadi, terutama di saat menjelang kampanye pemilu atau pilkada serentak yang tidak lama lagi dilaksanakan di negara kita.
Disadari atau tidak, menebar fitnah hanya akan mengundang malapetaka dan penderitaan yang sangat melelahkan. Entah bagi diri, lingkungan keluarga, ataupun masyarakat yang lebih luas.
Dan, penting diketahui bahwa penderitaan akibat fitnah ini tidak hanya dirasakan oleh orang yang difitnah saja, akan tetapi aktor utama yang menebar fitnah pun akan merasakan akibatnya yang lebih besar jika ia tidak segera meminta maaf dan bertaubat.
Sebab, orang yang suka memfitnah orang lain sebenarnya ia sedang menata penderitaan hidupnya sendiri, cepat ataupun lambat. Seolah-olah dirinya tidak pernah memikirkan perbuatannya itu sebagai sebuah dosa. Padahal, perbuatannya itu justru mengantarkan dirinya ke dalam jurang kehinaan di dunia. Lebih-lebih di akhirat.
Salah satu kisah menarik yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang konflik antara Sa'id Ibn Zaid Ibn 'Amr Ibn Nufail dan Arwa binti 'Aus. Sa'id ditentang dan dilaporkan oleh Arwa binti 'Aus kepada Marwan Ibn al Hakam.
Wanita itu menuduhnya mengambil sebagian dari tanahnya. Sa'id pun berkata, "Apakah aku mengambil sebagian dari tanah miliknya setelah aku mendengar ucapan dari Rasulullah SAW?"
Marwan bertanya, "Apa yang Anda dengar dari Rasulullah SAW?" Ia menjawab, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim maka Allah akan mengalungkan ke lehernya tujuh lapis bumi.'"
Maka, Marwan berkata, "Aku tidak akan memintamu bukti-bukti setelah ini." Lalu Sa'id berkata, "Ya Allah, jika perempuan ini bohong maka butakanlah matanya dan matikan dia di tanahnya."  Sehingga, Urwah berkata, "Wanita itu tidak meninggal dunia sehingga matanya menjadi buta dan ketika ia berjalan di tanahnya, tiba-tiba ia terjatuh dan masuk terperosok lubang dan meninggal." (HR Bukhari Muslim).
Dalam riwayat lain dengan makna yang sama, Muhammad Ibn Zaid melihat wanita tersebut dalam keadaan buta dan sedang meraba-raba dinding seraya berkata, "Aku tertimpa doanya Sa'id, dan sesungguhnya ia melewati sumur di rumah yang ia pertentangkan kemudian ia terjatuh ke dalam sumur dan itu menjadi kuburnya." (HR Muslim).
Kisah di atas menunjukkan betapa buruk dan bahayanya dosa menuduh atau memfitnah, sekaligus memberi peringatan kepada kita bahwa perangai ini termasuk perbuatan jahat (zalim) yang semestinya ditinggalkan.
Di sisi lain, kisah di atas memberi hikmah dan pesan yang sangat penting untuk kita bahwa tangisan dan rintihan doa orang yang dizalimi hendaklah ditakuti karena ia akan didengar dan dikabulkan Allah. Termasuk tangisan dan rintihan doa orang yang difitnah.
Senada dengan pesan Nabi SAW kepada Mu'adz ketika akan diutus ke Yaman, "Takutlah kamu akan doa seorang yang dizalimi karena doa tersebut tidak ada hijab (penghalang) di antara dia dengan Allah." (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu'alam bish shawab.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa., )


***) Imron Baehaqi

Kamis, 19 November 2015

DERAJAT KEMULIAAN GURU

Rasulullah SAW adalah contoh terbaik figur seorang guru. Tak dinyana, posisi dan peran guru sangat menentukan potret peradaban manusia. Imam Al-Ghazali bahkan mengumpamakan guru seperti matahari yang menerangi dan memberikan kehidupan bagi umat manusia.
Lewat warisan ilmu dan keteladanan akhlaknya, guru mengarahkan manusia untuk mengetahui yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk, sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan dunia dan kenikmatan akhirat.
Sosok Muslim, Mukmin, dan Muttaqin bisa menjadi guru. Tentu dengan tingkat kualitas hidup dan derajat ketakwaan yang berbeda. Guru Muslim banyak, tetapi berapa banyak kita menemukan sosok guru Mukmin? Siapapun dapat mengaku Muslim.
Bila yang mengaku Muslim ini guru, dia punya posisi strategis, tapi tak selamanya mampu jadi uswah hasanah bagi murid-murid. Sebagai seorang hamba, tugas guru adalah beribadah kepada Allah SWT (QS Adz-Dzaariyaat: 56).
Karena gagal memahami dan memaknai hakikat hidup, guru Muslim mengalami disorientasi tujuan hidup. Peran dan tanggung jawab menjadi guru tak dimaknai sebagai ladang amal dan ibadah kepada Allah SWT. Tapi hanya sekadar menjalani rutinitas pekerjaan sehari-hari untuk menggugurkan kewajiban sebagai guru.
Memandang pekerjaan guru hanya berkutat dengan urusan duniawi. Tak ada kaitannya dengan kehidupan akhirat kelak. Guru berstatus Muslim banyak, guru Mukmin sedikit. Karena menjadi Mukmin lebih sulit ketimbang sekadar menjadi Muslim.
Mengaku mukmin banyak, tapi yang benahi tauhid sedikit. Menjadi Mukmin artinya membenahi tauhid, agar tahu dan kenal Allah SWT. Mengenal Allah tak lain adalah mengenal diri sendiri.
Kenalilah dirimu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Mengenal diri adalah mengenal jiwa. Mengenal jiwa adalah mengendalikan nafsu.
Siapa yang dapat mengendalikan nafsu, nikmatnya terasa di hati. Siapa yang mendapat kenikmatan hati, dia kenali jiwanya. Mengenal jiwa, itulah dia telah mengenal Allah SWT. Siapa yang kenal Allah SWT, pasti cinta, takut dan rindu kepada-Nya menjadi satu.
Siapa yang cinta kepada Allah SWT, pasti dia tak akan lagi khawatir pada apapun urusan dunia. Memanipulasi dana bantuan operasional sekolah, merekayasa nilai rapor murid, korupsi jam kerja, memberi sogokan untuk licinkan jalan meraih sertifikasi guru, dan apapun yang berbau duniawi tak lagi mengusik.
Inilah takwa, milik orang-orang Muttaqin. Guru muttaqin, hidupnya selamat dan menyelamatkan. Yang belajar jadi Mukmin banyak, namun yang berhasil jadi Muttaqin sedikit. Sebab orang takwa telah melewati jihadun nafsi, jihad akbar.
Berapa banyak guru yang mampu mengendalikan nafsu? Hawa nafsu lebih cenderung kepada sifat-sifat tercela. Maka, berjuanglah untuk mengendalikan hawa nafsu agar guru tak tersesat dari jalan Allah SWT (QS Shaad: 26).
Orang takwa sudah pasti tawadhu. Arti tawadhu adalah meninggalkan hal apapun yang tak ada kaitannya untuk mengabdi pada Allah SWT. Guru takwa bisa jadi kaya raya. Tetapi ruahan kekayaan itu sungguh-sungguh untuk mengabdi pada Allah SWT.
Jika guru takwa berlimpah ilmu dan harta, dia pasti sedekahkan ilmu dan harta di jalan Allah. Rasulullah SAW bersabda: “Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pecinta ilmu, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga kamu menjadi rusak.” (HR Abu Daud dan Turmizi).
Jika kita memilih jalan hidup sebagai guru, sadarkah masa depan murid-murid ada di tangan kita? Maka pahamilah, tugas utama guru adalah mendidik diri sendiri.
Jika guru berhasil mendidik diri sendiri, semoga keteladanannya bisa menginspirasi para murid. Oleh karena itu, teruslah menjadi pembelajar sejati yang istiqomah membenahi kualitas ilmu dan derajat keimanan. (QS Al-Mujadalah: 11).
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur., takwa, )


***) Asep Sapa’at

Rabu, 18 November 2015

CARA MENGENDALIKAN AMARAH

Saat terjadi Perang Khandaq, terjadi pertarungan sengit antara Ali bin Abi Thalib RA melawan Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot kaum Musyrikin yang paling ditakuti. Hanya tinggal satu tebasan saja, sepupu Rasulullah SAW itu akan memenangkan pertarungan. 
Belum sempat membunuh, musuh meludahi muka Ali. Bukannya langsung menebaskan pedangnya, Ali malah mundur beberapa saat, seolah ingin membuang amarah. "Aku tak ingin membunuhnya karena marah. Sampai lenyap amarah ini karena aku ingin membunuhnya semata-mata karena Allah," katanya menegaskan.
Kisah masyhur tersebut memberikan kita pelajaran berharga bahwa amarah harus dikendalikan. Seperti berita yang masih hangat, karena senggolan kendaraan, seorang oknum TNI tega membunuh warga sipil yang tak bersenjata. Bukankah itu tak seharusnya terjadi?
Dalam kehidupan ini, kekecewaan atas suatu kondisi atau putusan tentu pernah dialami siapa pun. Rasanya sangat menyedihkan, bahkan menyakitkan. Marah, cemburu, iri, bahkan dengki tak bisa dihindari hinggap dalam sanubari.
Padahal, Rasulullah SAW amat melarang umatnya saling membenci satu sama lain. Jangankan dengan sesama Muslim, dengan musuh sekalipun, bukan kemarahan sebagai dasar pembenaran terjadinya pembunuhan. Nabi SAW bersabda, "Janganlah kalian saling memutuskan tali silaturahim, janganlah saling membelakangi, janganlah saling membenci, dan janganlah saling menghasut. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan, tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan Muslim yang lainnya melebihi dari tiga hari." (HR Bukhari dan Muslim).
Bagi kita orang beriman, jadikanlah kemarahan, cemburu, dan iri menjadi energi positif. Tentu saja, mengubah energi negatif menjadi positif itu tidaklah mudah. Dibutuhkan kekuatan batin, ketangguhan iman, dan penguasaan diri yang lebih baik. Itulah modal dasarnya.
Selanjutnya, energi iri itu harus diubah menjadi energi untuk berlomba dalam kebaikan. Yakinlah emas itu akan tetap emas walau berada di sistem yang buruk sekalipun. Tetaplah berfokus pada produktivitas diri, menyebar kebaikan sebaik mungkin.
Menjadi pemaaf atas kekecewaan dan kemarahan ialah bukti teguhnya keimanan. Firman-Nya, "Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh." (QS al-A'raf:199).
Ketika kita kecewa pada seseorang atau kondisi, marah tentu membakar jiwa. Sadarilah, energi negatif itu kadang membakar semua kebaikan, melampaui batasan yang ada. Dendam itu kadang menuntut lebih karena puasnya saat orang lain lebih menderita dari kita. Ketahuilah, bagi mereka yang bersabar dan dapat mengendalikan amarah, Allah Yang Maha Pengampun menjanjikan kenikmatan di akhirat kelak. 
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang mampu menahan marah, padahal sebenarnya ia bisa untuk melampiaskannya, maka pada hari kiamat Allah SWT akan memanggilnya di hadapan para makhluk, kemudian ia diminta untuk memilih bidadari yang cantik jelita sesuai dengan yang diinginkan." (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Terkadang, kemarahan dan kebencian sering dipicu oleh prasangka-prasangka yang belum jelas kebenarannya. Kedepankan tabayun untuk semua informasi yang tengah ditudingkan. Berpasrahlah kepada Allah Yang Pengasih dan Penyayang untuk segala yang dialami. Ambillah pengalaman dari kejadian itu dan keluarlah dari kepungan api kebencian.
Hiruplah udara segar dan berhusnuzhanlah pada siapa pun. Bertobatlah dan bersabar untuk semua pengalaman yang menyakitkan itu. Maka, biarkan hati ini kembali diterangi kebaikan, ketenteraman, dan kebahagiaan. Wallahu a'lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa., )


***)Iu Rusliana

Selasa, 17 November 2015

MENJAGA ETIKA KOMUNIKASI

Rasulullah SAW bersabda, “Perkataan kotor menunjukkan kekotoran tabiat, dan kekotoran tabiat kelak di neraka.” (HR Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).
Di dunia internet yang kian maju saat ini, komunikasi antarmanusia seperti tak berjarak jauh. Orang di satu negara bisa berkomunikasi dengan orang lain di negara berbeda dalam waktu yang sama. Apalagi ditambah dengan adanya media-media sosial.
Pendek kata, masalah komunikasi antarmanusia di abad ini relatif tidak ada hambatan. Yang bermasalah justru adalah isi atau materi dari komunikasi itu. 
Dulu, sebelum ada internet yang berlanjut pada munculnya media-media sosial, komunikasi antarmanusia berlangsung lewat lisan. Sebagian orang yang belum terambah teknologi itu atau enggan memanfaatkan kemajuan teknologi, masih berkomunikasi lewat lisan.
Saat ini, komunikasi berlangsung juga di media-media sosial. Bukan lagi lewat bahasa lisan, tapi bahasa tulisan yang mewakili bahasa lisan. Di situ, orang bisa menulis, menanggapi, dan menilai apa pun. Dari yang positif hingga yang negatif.
Untuk yang positif, tentu saja tidak ada masalah. Yang masalah adalah yang negatif. Seperti halnya bahasa lisan yang oleh Rasulullah SAW pada hadis di awal diingatkan untuk dijaga, karena Allah tidak suka orang yang berkata kotor, dalam bahasa tulisan juga demikian. 
Berkata kotor di sini adalah berkata yang isinya antara lain menghujat, mengejek, atau menjelek-jelekkan yang biasa disebut bullying, hingga memfitnah. Beda halnya jika isinya adalah kritik, koreksi, masukan, dan sejenisnya yang positif.
Dalam hadis disebutkan, “Sesungguhnya Allah SWT benci terhadap orang yang berkata kotor.” (HR Ath-Thahawi). Allah SWT tidak suka kata-kata kotor, karena akan berdampak buruk pada pelaku dan korbannya. 
Bagi pelaku akan menjadi terbiasa, kemudian menganggapnya tiada masalah. Dengan kata lain, ia meremehkan dosa, lalu lambat laun karena sudah terbiasa, pelaku akan menganggapnya sebagai bukan dosa. Adapun bagi korban, secara psikologis ia akan tertekan. 
Dalam kondisi ini, bisa jadi ia akan membalas dengan hal yang sama, hingga lahir perang kata-kata kotor. Atau, ia diam saja, tapi perasaannya terganggu.
Seorang muslim yang baik akan selalu menjaga segala ucapan dan perilakunya. Karena, ia tahu dampak yang bakal terjadi nantinya. Seperti disebutkan pada hadis di awal, perkataan kotor menunjukkan tabiat yang kotor, dan tabiat yang kotor menjadi penyebab seseorang masuk neraka. 
Lidah memang tak bertulang, tapi ia tak kalah tajam jika digunakan. Seperti halnya senjata, lidah juga bisa membunuh, yakni membunuh karakter, bahkan menjadi sarana yang menuju pada perbuatan membunuh.
Maka Rasulullah SAW memberikan wejangan, jika seseorang tak mampu berkata yang baik-baik, lebih baik diam. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). 
Alquran mengingatkan dengan tegas, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yanglain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (QS Al-Hujurat [49]: 11). Wallahu a’lam.
(Da'wah, hidayah, hikmah, takwa, )



***)Nur Faridah

Minggu, 15 November 2015

MENYELAMI SAKARATUL MAUT

Siapakah yang ingin mengetahui besarnya penderitaan saat sakaratul maut. Pedihnya tidak dapat dikethui dengan sebenarnya kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Dan kita, pada saatnya nanti akan merasakan kepedihan itu.
Maka saksikanlah bagaimana penuturan sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali bagaimana kala ajal menjelang dalam Ihya Ulumuddin. Sang Imam menyebut sakaratul maut hanya akan dialami oleh makhluk yang memiliki ruh.
Ruh lah yang sejatinya merasakan kepedihan sakaratul maut. Jika badan seseorang terimpa luka maka bekas kepedihan fisik itu akan menjalar sampai ke ruh. Jika ia terbakar, maka rasa sakit yang dialami badan akan terasa jua oleh ruh.
Saat kepedihan pencabut nyawa menyerang ruh, rasanya akan menenggelamkan semuanya. Ruh lah yang ditarik dari badan. Dicerabut dari tiap urat badan, ditarik perlahan dari urat syaraf, dari sendi-sendi, dari pokok setiap rambut dan kulit dari ujung kepala hingga tapak kaki. Tergambar betapa menyakitkannya.
Manusia pada hari itu benar-benar kepayahan. Seorang penyair pernah berkata tentang sakaratul maut. "Sungguh kematian itu lebih sakit daripada pukulan dengan pedang, gergajian dengan gergaji dan guntingan dengan gunting."
Sang Imam melanjutkan, akal manusia pada saat itu benar-benar kacau balau. Lisan telah dibisukan, tak sanggup berkata apa-apa tanpa pertolongan Allah SWT. Semua anggota badan telah dilemahkan. Tak ada upaya dan usaha kecuali hanya dari Allah SWT. Persis seperti zikir yang kita sebut setiap saat.
Jika saja ia mampu berteriak, maka ia akan berteriak karena rasa sakitnya. Namun ia tidak sanggup. Jika tersisa kekuatan pada seseorang yang dicabut nyawanya, tentu ia akan mengerahkan semua kekuatan untuk menahan rasa sakit. 
Kepedihan itu semakin dalam menuju dua biji mata, naik terus ke pelupuknya. Kedua bibir sudah mengkerut. Anak jemarinya berubah menjadi kehijau-hijauan. Jika satu urat saja ditarik, sakitnya pun akan luar biasa. Apalagi ruh diangkat dari setiap inchi urat tanpa kecuali.
Lalu setiap anggota badan dari seluruh anggota badan mati secara bertahap. Dinginlah kedua tapak kakinya, lalu ke betisnya kemudian menjalar ke pahanya. Dari setiap badan ada anggota yang sekarat tahap demi tahap hingga mencapai kerongkongannya.
Jika sudah seperti ini maka terputuslah pandangannya pada dunia dan ditutup baginya pintu tobat. Rasulullah SAW bersabda, "Diterima tobat seorang hamba selama belum sekarat." (HR Tirmidzi).
Maka lihatlah kesaksian Ummul Mukminin Aisyah RA yang menemani Rasulullah SAW hingga saat-saat terakhirnya. Beliau berkata, "Tidaklah aku iri hari kepada seseorang yang Allah memudahkan atas kematiannya sesudah yang aku lihat dari kesulitan wafatnya Rasulullah SAW.."
Benarlah jika kematian yang tiba-tiba itu sejatinya sebuah kenikmatan. Rasulullah SAW bersabda, "Kematian secara tiba-tiba adalah kesenangan bagi orang Mukmin dan penyesalan atas orang yang berbuat maksiat. " (HR Ahmad)
Tidak ada yang lebih baik dibandingkan menyambut kepedihan sakaratul maut dengan terus tegap di atas iman. Kita tak pernah lagi tahu kapankah sakaratul maut itu akan bertamu. Kepedihan apa yang akan menghadap.
Seorang Mukmin sejati hakikatnya adalah mereka yang bahagia dengan perjumpaan dengan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang menyukai perjumpaan dengan Allah, niscaya Allah menyukai perjumpaan dengannya, dan siapa saja yang tidak menyukai perjuampaan dengan Allah, niscaya Allah tidak menyukai perjumpaan dengannya." (HR Bukhari Muslim)
Tiap kita pun pantas terus berdoa, agar detik-detik sakaratul maut kita akan berakhir dengan khusnul khatimah. Sebuah cara yang paling indah untuk memulai perjuampaan dengan Zat yang menciptakan kita dari tanah lalu memberikan amanah besar untuk mengurus dunia.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa., 


***)Hafidz Muftisany

Sabtu, 14 November 2015

ISI PESAN SHALAT

Alquran dan hadis Nabi SAW telah menerangkan tentang kedudukan ibadah shalat, termasuk menjelaskan fungsi dan keutamaannya, baik secara eksplisit maupun implisit. 
Misalnya, apabila shalat dikerjakan dengan sempurna, hati dan jiwa seseorang menjadi tenang dan tenteram (QS ar-Ra'du [13]: 28). Shalat juga bisa mencegah diri dari sifat keluh-kesah atau galau (QS al-Ma'arij [70]: 19-23).
Shalat pun dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut [29]: 45). Dengan shalat pintu keberkahan dari langit dan bumi akan terbuka (QS al-Araf [7]: 96). Ibadah shalat akan menjadi penolong di saat seorang hamba berada dalam kondisi serbasulit dan susah (QS al-Baqarah [2]: 45-46). Dan sejumlah pesan spiritualitas kehidupan lainnya.
Khusus hubungannya dengan pesan shalat sebagai media yang menolong di saat kompleksnya terpaan kebutuhan mendesak dan kesulitan hidup, terdapat kisah inspiratif dari Rasulullah SAW yang penting untuk kita teladani. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad disebutkan, "Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW apabila dirundung persoalan hidup, beliau segera mengerjakan shalat." (HR Ahmad).
Hudzaifah Ibnu al-Yaman RA juga menuturkan, "Pada malam berlangsungnya Perang Ahzab, saya menemui Rasulullah SAW, sementara beliau sedang shalat seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Apabila Nabi SAW menghadapi permasalahan, beliau akan mengerjakan shalat." 
Ali bin Abi Thalib RA pernah menuturkan keadaan Rasulullah SAW ketika Perang Badar. "Pada malam berlangsungnya Perang Badar, kami semua tertidur kecuali Rasulullah SAW. Beliau shalat dan berdoa sampai pagi." 
Fakta di atas menunjukkan betapa penting dan besarnya kedudukan shalat. Ia bukan hanya sebagai ritual ibadah seorang hamba kepada Allah semata, tetapi shalat mampu melahirkan kesan dan pengaruh positif terhadap pembentukan karakter dan realitas kehidupan. Termasuk fungsi dan keutamaannya sebagai penolong di saat kondisi yang serbasulit karena banyaknya permasalahan yang dihadapi, baik secara personal, kolektif, keluarga, kerja tim, maupun dalam konteks kebangsaan dan negara. 
Sebagaimana penderitaan nasional yang saat ini masih dirasakan, seperti tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kebodohan, korupsi yang semakin merajalela, lemahnya ekonomi dan tumpulnya penegakan hukum dan sebagainya. Demikian juga kasus kabut asap karena pembakaraan hutan belakangan ini, jelas telah mengakibatkan kemudaratan yang sangat besar, seperti kerusakan alam, kerugian material, dan bahkan hilangnya nyawa.
Di saat kondisi sulit seperti ini, maka sabar dan shalat hendaklah menjadi kekuatan yang menolong bagi setiap individu Muslim. Sebab, shalat merupakan cerminan totalitas ketundukan dan ketakwaan kepada Allah. 
Sedangkan, bagi orang-orang yang bertakwa, Allah menjamin untuk memberi pertolongan, jalan keluar, rezeki yang tidak diduga-duga, dan kemudahan dalam setiap urusannya. Belum lagi di akhirat kelak, orang-orang yang bertakwa akan mendapat ampunan dan balasan pahala yang besar. (QS atThalaq [65]: 2-5).
Yakin seyakin-yakinnya, shalat dapat membentuk kepribadian luhur dan terpuji bagi setiap hamba yang mengerjakannya. Bahkan, shalat bisa menjadi kekuatan yang menolong sekaligus menempatkannya pada derajat hidup yang mulia jika dikerjakan dengan baik dan sempurna. Wallahu Al Musta'an.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, takwa., )



***)Imran Barhaqi

Jumat, 13 November 2015

SHALAT SEBAGAI PENOLONG

Alquran dan hadis Nabi SAW telah menerangkan tentang kedudukan ibadah shalat, termasuk menjelaskan fungsi dan keutamaannya, baik secara eksplisit maupun implisit.
Misalnya, apabila shalat dikerjakan dengan sempurna, hati dan jiwa seseorang menjadi tenang dan tenteram (QS ar-Ra'du [13]: 28). Shalat juga bisa mencegah diri dari sifat keluh-kesah atau galau (QS al-Ma'arij [70]: 19-23).
Shalat pun dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut [29]: 45). Dengan shalat pintu keberkahan dari langit dan bumi akan terbuka (QS al-Araf [7]: 96). 
Ibadah shalat akan menjadi penolong di saat seorang hamba berada dalam kondisi serbasulit dan susah (QS al-Baqarah [2]: 45-46). Dan sejumlah pesan spiritualitas kehidupan lainnya.
Khusus hubungannya dengan pesan shalat sebagai media yang menolong di saat kompleksnya terpaan kebutuhan mendesak dan kesulitan hidup, terdapat kisah inspiratif dari Rasulullah SAW yang penting untuk kita teladani. 
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad disebutkan, “Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW apabila dirundung persoalan hidup, beliau segera mengerjakan shalat.” (HR Ahmad).
Hudzaifah Ibnu al-Yaman RA juga menuturkan, “Pada malam berlangsungnya Perang Ahzab, saya menemui Rasulullah SAW, sementara beliau sedang shalat seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Apabila Nabi SAW menghadapi permasalahan, beliau akan mengerjakan shalat.
Ali bin Abi Thalib RA pernah menuturkan keadaan Rasulullah SAW ketika Perang Badar. “Pada malam berlangsungnya Perang Badar, kami semua tertidur kecuali Rasulullah SAW. Beliau shalat dan berdoa sampai pagi.
Fakta di atas menunjukkan betapa penting dan besarnya kedudukan shalat. Ia bukan hanya sebagai ritual ibadah seorang hamba kepada Allah semata, tetapi shalat mampu melahirkan kesan dan pengaruh positif terhadap pembentukan karakter dan realitas kehidupan. 
Termasuk fungsi dan keutamaannya sebagai penolong di saat kondisi yang serba sulit karena banyaknya permasalahan yang dihadapi, baik secara personal, kolektif, keluarga, kerja tim, maupun dalam konteks kebangsaan dan negara.
Sebagaimana penderitaan nasional yang saat ini masih dirasakan, seperti tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kebodohan, korupsi yang semakin merajalela, lemahnya ekonomi dan tumpulnya penegakan hukum dan sebagainya.
Demikian juga kasus kabut asap karena pembakaraan hutan belakangan ini, jelas telah mengakibatkan kemudaratan yang sangat besar, seperti kerusakan alam, kerugian material, dan bahkan hilangnya nyawa.
Di saat kondisi sulit seperti ini, sabar dan shalat hendaklah menjadi kekuatan yang menolong bagi setiap individu Muslim. Sebab, shalat merupakan cerminan totalitas ketundukan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Sedangkan, bagi orang-orang yang bertakwa, Allah menjamin untuk memberi pertolongan, jalan keluar, rezeki yang tidak diduga-duga, dan kemudahan dalam setiap urusannya. Belum lagi di akhirat kelak, orang-orang yang bertakwa akan mendapat ampunan dan balasan pahala yang besar. (QS atThalaq [65]: 2-5).
Yakin seyakin-yakinnya, shalat dapat membentuk kepribadian luhur dan terpuji bagi setiap hamba yang mengerjakannya. Bahkan, shalat bisa menjadi kekuatan yang menolong sekaligus menempatkannya pada derajat hidup yang mulia jika dikerjakan dengan baik dan sempurna. Wallahu Al Musta'an.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa., )



***) Imron Baehaqi

Kamis, 12 November 2015

WASPADAI KESERAKAHAN & PERUSAKAN ALAM

Bencana asap yang menerpa di berbagai wilayah, terutama di Sumatra, di antaranya karena ulah keserakahan manusia. Keserakahan manusia untuk terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam.
Termasuk, membakar lahan dengan cara tak bertanggung jawab, telah berdampak pada kerugian material dan nonmaterial yang tidak sedikit. Di sisi lain, upaya untuk mengatasi bencana asap ini belum juga menemukan titik terangnya.
Padahal, Allah SWT telah mengingatkan dalam Alquran bahwa, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS ar-Rum [30]: 41).
Terkadang, ketika manusia berinteraksi dengan sesama manusia, hewan, dan alam semesta, sering kali lupa akan tugas dan kewajibannya sebagai khalifah di muka bumi untuk menjaga keseimbangan ekosistem kehidupan di muka bumi. Sebab itu, Allah SWT mengingatkan manusia untuk memperlakukan apa saja yang ada di bumi dengan baik.
Penyakit serakah pada dasarnya bermuara dari sikap hidup berlebih-lebihan dalam penggunaan harta benda dan kekayaan alam, tanpa memikirkan kehidupan selanjutnya di masa depan. Keserakahan tidak hanya merugikan sesama manusia, tetapi juga dapat mengancam keseimbangan ekosistem alam.
Oleh karenanya, ajaran Islam mengingatkan manusia untuk memperlakukan alam dengan sebaik mungkin. Hal ini terlihat ketika tentara Muslim memasuki sebuah wilayah yang ditaklukkan. Salah satu larangan tegas yang dilarang adalah menebangi pohon tanpa ada alasan yang benar. Peristiwa ini memperlihatkan Islam adalah agama yang ramah terhadap lingkungan.
Berbagai upaya pelestarian alam harus dilaksanakan oleh setiap Muslim yang menaati perintah agamanya. Tentunya, setiap perilaku yang menyebabkan kerusakan di muka bumi harus dilarang dan dicegah. Sebab, dalam Alquran surah Ali-Imran ayat 104 dikemukakan, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung."
Mengajak kepada yang ma'ruf (pelestarian alam) dan mencegah tindakan yang mungkar (perusakan alam) merupakan perintah Allah SWT kepada umat Islam. Dalam kehidupan sosial bermasyarakat sekarang ini, umat Islam diharuskan berperan aktif menjadi agen-agen pelestarian alam, baik individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat Muslim yang lebih luas.
(Da'wah, hidayah, hikmah, takwa, )


***) Muslimin

Rabu, 11 November 2015

H U J A N

Hujan adalah salah satu anugerah agung dari Allah SWT yang diberikan kepada makhluk-Nya di bumi, terutama bagi manusia.
Hujan tidak hanya memberikan curahan air segar, tapi juga menjadi sebab terbukanya pintu rezeki, menyuburkan tanah yang gersang, dan membantu memperbaiki kualitas udara bagi manusia.
Karena itu, dalam Alquran, hujan sering disebutkan dengan kata rahmat (kasih sayang), rizqan (rezeki), dan ghaits (pertolongan).
Allah SWT berfirman, “Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), dan Kami turunkan air dari langit yang amat bersih agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.” (QS Al-Furqan [25]: 48-49).
Di tengah meluasnya bencana asap dan kekeringan yang melanda wilayah Indonesia saat ini, kita benar-benar sedang membutuhkan curahan air hujan. Allah SWT dan Rasul-Nya telah mengajarkan beberapa langkah yang hendaknya kita lakukan untuk “memancing” turunnya hujan.
Pertama, memperbanyak istighfar. Istighfar berarti mohon ampun kepada Allah SWT dengan mengakui dosa-dosa yang kita lakukan. Istighfar sebagai salah satu cara untuk memancing turunnya hujan pernah diajarkan oleh Nabi Nuh AS ketika berdakwah kepada kaumnya.
Allah SWT berfirman dalam Alquran surat Nuh (71) ayat 10-11 yang artinya, “Maka, aku (Nuh) katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.”
Kedua, istiqamah di jalan Allah SWT. Selain beristighfar, cara lain untuk memancing datangnya hujan adalah dengan istiqamah, yaitu konsisten melakukan kebaikan dan konsisten menjauhi larangan.
Allah SWT berfirman, “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap istiqamah (berjalan lurus) di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air (hujan) yang segar.” (QS Al-Jin [72]: 16).
Ketiga, memperbanyak doa. Doa adalah senjata utama kaum Muslimin. Ketika berbagai usaha telah kita lakukan maka doa adalah pelengkapnya.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa suatu hari ada orang datang kepada Rasulullah SAW mengadukan musnahnya harta benda dan terputusnya pintu rezekinya karena hujan yang tak kunjung turun.
Rasulullah SAW kemudian berdoa, “Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan, Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan, Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan.” Tak lama setelah itu, tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai, lalu menyebar dan menurunkan hujan hingga seminggu berikutnya. (HR Bukhari Muslim).
Keempat, shalat Istisqa. Shalat Istisqa adalah shalat dua rakaat yang diniatkan untuk meminta hujan kepada Allah SWT. Selain berdoa, Rasulullah SAW juga pernah mencontohkan shalat Istisqa ketika hujan tak kunjung datang.
Sahabat Abdullah bin Zaid pernah berkisah, “Rasulullah SAW pernah keluar rumah meminta hujan, lalu beliau shalat dua rakaat, di mana beliau mengeraskan bacaan pada kedua rakaatnya.” (HR An-Nasai). Wallahu A'lam
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar, syukur, takwa, )

***)Jauhar Ridloni Marzuq

Selasa, 10 November 2015

MEMBERIKAN PINJAMAN KEPADA ALLAH

Diriwayatkan dari Tsabit bin al-Bunani dari Anas mengisahkan, dahulu ada dua orang bertetangga yang terlibat sengketa karena memperebutkan sebatang pohon kurma. Salah satunya ingin memagar tanah, namun terhalang sebatang pohon kurma milik tetangganya yang tumbuh melewati pekarangannya. Persengketaan ini berlanjut sampai ke hadapan Rasulullah SAW.
"Berikanlah batang kurma itu kepada saudaramu (agar ia bisa memagar tanahnya), engkau akan mendapatkan ganti sebuah kebun kurma di surga," bujuk Rasulullah SAW. Namun tetap saja, ia tidak tidak mau.
Tiba-tiba seorang sahabat bernama Abu Dahdah datang menghampiri Rasulullah. "Benarkah demikian (apa yang baru engkau sabdakan itu), wahai Rasulullah?" ujarnya. Rasulullah pun mengiyakan.
Dengan wajah sumrigah, Abu Dahdah langsung berujar kepada kedua orang yang bersengketa itu. “Juallah sebatang pohon kurmamu itu kepadaku. Aku beli dengan seisi kebunku,” ujar Abu Dahdah kepada si pemilik batang kurma.
Ia pun terkejut. Siapa yang tidak kenal dengan kebun kurma milik Abu Dahdah. Di kebun tersebut setidaknya ada 600 pohon kurma. Tidak itu saja, kebun tersebut juga mempunyai sumur, vila, dan taman-taman yang indah. Benarkah Abu Dahdah rela menjualnya hanya untuk mendapatkan satu batang kurma yang dipertikaikan itu? Setengah tak percaya, si pemilik batang kurma itupun mengangguk.
“Wahai Rasulullah, aku telah membeli pohon kurma itu, aku bayar dengan kebunku. Sekarang pohon kurma itu aku berikan kepadamu,” tutur Abu Dahdah.
Rasulullah pun terkesima dengan perbuatan Abu Dahdah. “Alangkah banyaknya tandan kurma yang harum baunya milik Abu Dahdah di surga kelak,” Sabda Beliau SAW seraya mengulang-ulang kalimat tersebut.
Abu Dahdah pun pulang menemui istrinya. Ia ceritakanlah apa yang baru saja ia lakukan. Ia pun mengajak istri beserta anak-anaknya untuk keluar dari kebun kurma yang baru saja ia jual itu. Dengan wajah berseri-seri, istrinya pun setuju. “Alangkah beruntungnya jual belimu, suamiku,” ujar ummu Dahdah, istrinya. Demikian seperti dikisahkan dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/300 nomor 763.
Kisah inilah yang melatarbelakangi turunnya Ayat Alquran Surat al-Baqarah ayat 245, “Siapa yang memberi pinjam kepada Allah dengan pinjaman yang baik, pasti Allah berikan ganjaran kepadanya dengan gandaan yang banyak."
Demikian manisnya Allah SWT membahasakan infak dan sedekah. Allah menamakan infak dan sedekah dengan istilah pinjaman. Mereka yang bersedekah berarti meminjamkan sesuatu kepada Allah. Kemudian, di akhirat kelak pinjaman tersebut dibayarkan Allah dengan kenikmatan surga. Tentulah, Sang Khaliq tidak akan ingkar kepada hamba-Nya yang telah mengeluarkan pinjaman.
Keyakinan inilah yang dipegang secara bulat oleh Abu Dahdah dan istrinya. Tanpa keyakinan penuh akan janji Allah, tentu tak akan ada orang yang mau menginfakkan sebuah kebun yang sangat luas dan indah itu. Keyakinan yang mantap itulah yang harus ada dalam diri setiap mukmin.
Pertanyaannya, seberapa yakinkah kita dengan janji Allah? Benarkah kita yakin, dengan sedekah yang kita keluarkan akan mendapatkan ganjaran yang berlipat-lipat di dunia hingga di akhirat kelak? Jika yakin itu benar-benar ada, maka tentu kita akan meminjamkan semua benda keduniawian kita kepada Allah, kemudian mengharapkan pengembaliannya di akhirat kelak.
(Da'wah, hidayah, hikmah, keyakinan, sabar,  syukur., takwa., )


***) Hannan Putra