Merasa cukup (qanaah) terhadap apapun yang kita peroleh memang
gampang-gampang susah. Ego diri, kurang bersyukur serta melihat seseorang yang
lebih tinggi dan memiliki dari kita adalah penyakit-penyakit yang semestinya
harus kita obati. Kendati demikian, tak sedikit pula orang-orang di sekeliling
kita yang memilih untuk zuhud meski ia memiliki banyak harta, jabatan yang
tinggi dan kekayaan yang tak ada habisnya. Lalu, apa definisi zuhud yang
sebenarnya?
Zuhud dalam sesuatu (al-zuhd fi al-sya’i) menurut bahasa
artinya berpaling dari sesuatu yang bersifat duniawi karena menganggapnya hina,
remeh, dan yang lebih baik adalah tidak membutuhkannya. Di dalam Alquran banyak
disebutkan tentang zuhud di dunia, kabar tentang kehinaan dunia, kefanaan dan
kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat,
dan kabar tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu
kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti
penguat yang membuatnya bisa membedakan hakikat dunia dan akhirat, lalu dia
memprioritaskan mana yang lebih penting.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata zuhud artinya meninggalkan
apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara’ ialah
meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat.
Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury zuhud di dunia artinya tidak mengumbar
harapan tetapi bukan pula memakan makanan yang sudah kering atau mengenakan
pakaian yang kurang layak (lusuh).
Sedangkan pengertian zuhud yang paling baik dan
menyeluruh menurut Hasan bin Ali bin Abu Thalib, seperti dikutip oleh Ibnul
Qayyim Al Jauziyah ialah zuhud di dunia bukan hanya berarti mengharamkan yang
halal dan menyia-nyiakan harta tetapi jika engkau meyakini bahwa apa yang ada
di tangan Allah itu lebih baik daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada
musibah yang menimpamu maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada
tidak tertimpa musibah sama sekali.
Definisi terakhir inilah yang dinilai paling baik dan
menyeluruh oleh Ibnul Qayyim sebab di dalamnya ada keridhaan seorang hamba
terhadap takdir yang menghampirinya; baik maupun buruk. Itu artinya, Ibnul
Qayyim tidak hanya memberikan pandangan bahwa secara fisik zuhud itu harus
miskin dan lusuh, tapi juga lebih dari itu. Hakikat zuhud ialah membuahkan
keridhaan terhadap takdir Allah dan Allah pun akhirnya meridhai kita.
Menurut Imam Ahmad zuhud menunjukkan tiga perkara.
Pertama, meninggalkan yang haram dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam.
Kedua, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan
zuhudnya orang-orang khas atau khusus. Ketiga, meninggalkan kesibukan selain mengingat
Allah dan inilah zuhudnya orang-orang yang ma’rifatullah (orang-orang yang
memahami betul zat Allah dan kekuasaan-Nya).
Sehubungan dengan keutamaan zuhud, hadits berikut ini
menggambarkan tentang anjuran Rasulullah untuk bersikap zuhud. Dari Abul Abbas,
Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, ia berkata, seorang lelaki datang kepada
Rasulullah Saw lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu
perbuatan yang jika aku mengerjakannya maka saya akan dicintai Allah dan
manusia,” maka Rasulullah bersabda, “Zuhudlah engkau di dunia niscaya Allah
mencintaimu dan zuhudlah engkau dalam hal yang dicintai manusia, niscaya
manusia mencintaimu,” (HR Ibnu Majah)
Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa
seutama-utamanya perbuatan yang dapat mendatangkan cinta Allah dan manusia
ialah zuhud. Rasulullah melalui hadits ini juga menganjurkan kita supaya
menahan diri dari memperbanyak harta dunia dan bersikap zuhud. Beliau bersabda,
‘Jadilah kamu di dunia ini laksanan orang asing atau pengembara,’ dan beliau juga
besabda, ‘Cinta kepada dunia menjadi pangkal perbuatan dosa,’ atau dalam hadits
lain Rasul juga bersabda, ‘Orang yang zuhud dari kesenangan dunia menjadikan
hatinya nyaman di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang yang mencintai dunia
hatinya menjadi resah di dunia dan di akhirat,’
Menurut Ibn Daqiqil dalam Syarhul Arba’in Nawawiyyah,
melalui beberapa hadits tentnag zuhud di atas, bahwa Rasul menasehati
(khususnya) salah seorang sahabat yang bertanya di atas dan umumnya untuk para
umatnya agar menjauhkan diri dari menginginkan sesuatu yang berlebih-lebihan,
yang dimiliki orang lain. Jika seseorang ingin dicintai lalu meninggalkan
kecintaanya kepada dunia, mereka tidak akan berebut dan bermusuhan hanya karena
mengejar kesenangan dunia yang sifatnya sementara.
Rasulullah Para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu
merupakan perjalanan hati dari negeri dunia dan menempatkannya di akhirat.
Dengan pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud
seperti Ibnul Mubarak, Imam Ahmad, Waki’, Hanad bin As-Siry dan lain-lainnya.
Perkara-perkara yang berkaitan dengan zuhud ada enam
macam, dan seseorang tidak layak mendapat sebutan zuhud kecuali menghindari
enam macam yakni harta, wajah, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain
daripada Allah. Namun, menghindari enam macam disini bukan berarti menolak hal
milik atau sengaja memiskinkan diri. Kita tahu bahwa Nabi Daud as dan Sulaiman
as adalah orang yang paling zuhud pada zamannya tapi dua Nabi Allah ini
memiliki harta yang tak terbilang banyaknya, kekuasaan dan juga isteri yang
tidak dimiliki orang lain selain mereka. Dan hal-hal yang telah kita ketahui
pula bahwa pastilah Rasulullah Saw ialah orang yang paling zuhud tapi beliau
dianugerahi sembilan isteri. Para sahabat pun; semisal Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman
bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang yang zuhud tetapi mereka
memiliki harta-harta yang melimpah ruah.
***) Ina Salma Febriany (Republika Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar