Keyakinan, hidayah, takwa.
Agama selama ini sering kali menjadi bahan untuk memprovokasi terjadinya
konflik. Meski demikian, agama pada akhirnya justru yang menjadi pencegah
berlarut-larutnya konflik.
Kesimpulan tersebut disampaikan oleh
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam Forum Perdamaian Dunia (World Peace
forum, WPF) Kelima yang digelar di Jakarta, sejak.
Dalam pertemuan kemarin, agenda yang
dibahas berkaitan dengan konflik yang terjadi di beberapa tempat yang
berbeda. Yakni, di Aceh dan Maluku (Indonesia), Pattani (Thailand), Rohingnya
(Myanmar), Nigeria, Replubik Afrika Tengah, dan Kosovo.
Selain itu, sekurang-kurangnya ada tiga
formulasi yang ditemukan forum ini terkait resolosi konflik,’’kata Din
Syamsuddin,
Pertama, kata Din Syamsuddin, bahwa
agama selalu menjadi justifikasi. Namun, forum ini juga menemukan, pada saat
yang sama, agama dapat mencegah konflik berkepanjangan. “Hal ini akan terwujud
bila permuka umat beragama bersedia menyingkirkan kepentingan politik dan
mengutamakan nilai-nilai perdamaian universal,” kata Din,
Kedua, perlu pendekatan yang
multimendisional agar sebuah resolosi konflik bersifat menyeluruh. Din
mencontohkan faktor ketimpangan sisoal. Kerap kali, ketika sentimen agama
dianggap sebagai latar konflik maka faktor tersebut terabaikan.
Ketiga, tiap konflik memiliki konteks
yang berbeda satu sama lain. Demikian pula, masing-masing punya tingkat
kerumitan tersendiri. Oleh karena itu, kata Din, forum ini menemukan proses
resolosi konflik harus sesuai dengan keadaan masing-masing tempat. Resolosi
tidak bisa disamaratakan antara satu tempat dan yang lain.
Sementara itu, konflik di Nigeria yang
selalu mengatasnamakan agama dibantah oleh Rafiu Ibrahim Adebayo dari
University of Ilorin, Nigeria. Menurutnya, konflik yang terjadi di Nigeria.
bukanlah konflik agama. Konflik diperparah oleh kesenjangan pendidikan yang
kian subur di kalangan rakyat biasa. Rafiu menambahkan, akar konflik
sesungguhnya di Nigeria hanyalah kurangnya akses pendidikan.
“Warga di wilayah utara Nigeria tidak
dapat mengakses pendidikan sebaik di wilayah seltan yang mayoritas beragama
Kristen. Hal ini membuka lebar peluang tumbuhnya provokasi kekerasan atas nama
agama,” kata Rafiu.
Keyakinan, hidyah, takwa.
Kepala Islamic Center Myanmar Al-Haj U Lwin menyatakan, Myanmar yang sedang
berada dalam proses demokrasi tidak membukan akses terhadap kalangan umat Islam
setempat untuk berkontribusi membangun negara.
“Di Myanmar, orang Muslim tidak bisa
menjadi bagian dari birokrasi ataupun militer,” ungkap Al-Haj U Aye Lwin.
Kesalahpahamam mengenai kaum Muslim Myanmar, kata Al-haj, disebabkan oleh
penyebaran berita yang tidak benar. Oleh oknum Buddihs radikal.
Sedangkan, Menteri Agama Lukman
Hakim Saifuddin mengatakan hasil presentasi makalah dalam acara AICIS XIV dapat
menjadi rujukan dalam merancang draf RUU perlindungan Umat Beragama.
Lukman menjelaskan hasil dari konfrensi
ini dapat melengkapi dan menyempurnakan draf RUU Perlindungan Umat Beragama
yang sedang dirumuskan. Hal ini untuk menjamin dan perlindungan kepada setiap
warga negara dalam memeluk dan menjalankan ajaranagamanya.
***)edifkah fansuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar