Seusai shalat Zhuhur di Masjid
Nogotirto Yogyakarta. Pada 30 Desember 2014, sahabat saya H Hartoyo, pensiunan
Pertamina, berkisah tentang mimpi anak sulungnya yang cukup mengerikan
berkaitan dengan utang neneknya pada sebuah bank yang belum sempat terbayar
sampai saat wafatnya. Jumlahnya hanyalah Rp 3juta dan itu pun bukan utang
pribadinya, tetapi utang adiknya atas nama dia.
Ketika menceritakan kembali
isi mimpi anak tentang ibunya ini, tangan Bung Hartoyo masih gemetar. Begitu mencekam,
begitu menakutkan, sehingga anak Hartoyo menjerit sambil terbangun. Komentar
Hartoyo, “Ternyata ada hubungan batin antara anak dan neneknya yang sudah
wafat.”
Tidak mustahil karena memang
mimpi penting untuk menyadarkan orang dari kealpaan.
Apa yang terlihat oleh anak
Hartoyo dalam mimpi itu dan apa pula tafsiran Hartoyo terhadap mimpi itu?
inilah gambarannya yang saya turunkan dari hasil tuturan Hartoyo: Ada sebuah
bak besar berisi iair yang sedang mendidih, panas sekali. Di dalam nya terapung
ibu kandung Hartoyo yang sedang berteriak mina tolong. Sambil menangis, anak
Hartoyo mengadu kepada bapaknya tentang apa yang dilihatnya dalam mimpi itu.
Hartoyo ternyata cepat tanggap. Ini, katanya, pasti
bertalian dengan masalah ibunya yang semasa hidup yang tidak diceritakan kepada
anak-anaknya. Benar, ternyata ada utang adik ibunya sejumlah diatas. Hartoyo
segera menghubungi pihak bank untuk melunasi hutang itu. Setelah utang
dilunasi, lagi anak Hartoyo bermimpi bahwa neneknya mengucapkan terima kasih kepada
Hartoyo, anak kandungnya itu.
Kita tidak tahu pasti takwil sebuah mimpi, tetapi tuturan
Hartoyo diatas penting unutk direnungkan. Bukankah, jika seorang
Muslim/Muslimah wafat, sebelum dimakamkan, pihak keluarga terntu tidak lupa
menanyakan kepada para pelayat tentang kemungkinan si mayat punya utang atau
tidak?
Jika ada utang, hendaklah pihak keluarga diberitahu agar
semua masalah dunia itu diselesaikan segera atau direlakan demi perjalanan
arwah si mayat ke lain tidak terhambat oleh utang yang masih belum terbayar.
Kesulitan sebagian kita adalah kebiasaan berutang sampai menumpu, tetapi tidak
cepat dibayar sehingga menjadi kumulatif.
Biasanya jika utang sudah berlapis-lapis kepada banyak
pihak lagi, lama-lama kepekaan batin seseorang menjadi tumpul, sekrup ubun-ubun
nya menjadi longgar. Namanya menjadi gunjingan di mana-mana. Seolah-olah utang
bukan lagi sebuah beban yang dapat membuat kepalanya jadi pusing tujuh
keliling.
Rasanya pintu rezrki akan terbuka lebar dengan syarat
kita bersedia memulihkan kepekaan batin untuk secepatnya membayar utang itu.
Jangan dibiarkan larut tersandung oleh tumpukan utang yang dapat sangat
merepotkan pihak keluarga jika sewaktu-waktu kita didatangi malaikat maut.
Dulu kami pernah pula punya utang untuk keperluan anak
dan untuk membayar uang muka rumah kredit perumahan rakyat (KPR) dan angsuran
bulanannya setelah sekitar 20 tahun hidup dalam dalam rumah sewaan sampai
pindah berkali-kali. Maklumlah nasib pegawai negeri dengan penghasilan yang
serbakurang.
Saya sekeluarga baru bernafas secara ekonomi sejak tahun
1990 karena diminta mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia selama dua
tahun atas dorongan almarhum DR Imaduddin Abdurrahim. Rampung d Malaysia, ada
saja pintu rezeki yang dibukakan Allah. Pernah mengajar di Institute of Islamic
Studies, bagian dari Universitas McGill, Kanada, atas rekomendasi Menteri Agama
almarhum Munawir Sjadzali.
Tak selang beberapa tahun kemudian diminta pula oleh pak
Akbar Tandjung (mensekneg ketika itu) untuk menjadi anggota DPA tahun 1998-2003
sejarang saya tidak miskin dan tidak kaya, sedang saja, tetapi tanpa untang dan
kamsudah punya rumah pribadi. Alhamdulillah, Allah maha pemberi rezeki pribadi.
Alhamdulillah, Allah maha pemberi rezeki yang tak putus-putusnya sampa hari
ini. Ada doa yang baik, “Allahumma a’udzubika min al-dain” Ya Allah, aku
berlindung kepada engkau dari jeratan utang.
hidayah, sabar, syukur, takwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar