Kamis, 01 Januari 2015

MEMULIAKAN GURU, MEMULIAKAN ILMU


Pendidikan,  takwa.      Tersebutlah seorang ulama yang disegani bahkan oleh penguasa ketika itu. Ia adalah Fakhruddin al-Arsabandi. Dalam ketenarannya, ia mengungkap sebuah rahasia atas rahmat Allah yang luar biasa didapatkannya. “Aku mendapatkan kedudukan yang mulia ini karena berkhidmat (melayani) guruku, “ujar sang Imam.
Ia menuturkan,  khidmat yang dia berikan kepada gurunya Imam Abu Zaid ad-Dabbusi, bak seorang budak kepada majikan. Ia pernah memasakkan makanan untuk gurunya selama 30 tahun tanpa sedikit pun mencicipi makanan yang disajikannya.
Begitulah cara orang-orang terdahulu mendapatkan keberkahan ilmu dari memuliakan gurunya. Mencintai ilmu berarti mencintai orang yang menjadi sumber ilmu. Menghormati ilmu berarti harus menghormati pula orang yang memberi ilmu. Itulah guru. Tanpa pengajaran guru, ilmu tak akan pernah bisa didaptkan oleh si murid.
Berbeda dengan sesuatu yang bersifat nasihat. Nasihat tak perlu memandang dari mulut siapa keluarnya. Berlakulah di sana pepatah Arab, unzur ma Qala wala tanzar man qala (lihatlah kepada apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakannya). Namun, bagi ilmu-ilmu Islam sejenis tafsir, hadis, akidah, dan cabang ilmu sejenisnya, perlu diperhatikan dari siapa si murid menerimanya. Inilah yang dipesankan Muhammad bin Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu.”
Fakhruddin al-Arsabandi benar-benar memperhatikan sang guru sebagai tempat ia mengambil ilmu. Ia tak ubahnya seperti budak di hadapan gurunya. Hal yang sama juga ditunukkan oleh Ali bin Abi Thalib RA yang pernah mengatakan, “Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka akan siap menjadi budaknya.”
Pendidikan, takwa.        Lantas seperti apakah penghormatan para pelajar saat ini kepada guru mereka? Petuah ilmu yang diberikan guru hanya bak angin lalu. Guru tak perlu didengarkan atau dituruti. Take it, Or leave it. Tak masalah jika tak menuruti arahan dari guru. Ibarat kata pepatah, “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”
Mengapa para guru dipandang sedemikian rendah oleh anak bangsa saat ini? Mungkin, mereka tidak merasakan kebermanfaatan ilmu yang mereka pelajari. Atau, model pembelajaran yang tidak dimulai dari bab Adabu Mu’alim wa Muta”allim. Atau kesalahan juga terdapat pada guru yang punya orientasi materi. Ilmu hanya sebatas seremonial dan dihargai dengan uang. Semua bercampur aduk kemudian melahirkan sebuah model pendidikan yang rusak.
Guru pada umumnya tidak meminta untuk dihormati oleh si murid. Namun, orang yang sadar bahwa dirinya seorang muridlah yang harusnya tahu diri untuk menghormati gurunya. Si Murid harus memahami, tak ada kesuksesan yang ia raih tanpa ada peran seorang guru. Ia tak akan mampu melakukan apa pun, jika gurunya tak mengajarinya membaca. Ia pasti akan jauh dengan agama, jika gurunya tak mengenalkannya dengan aksara Alquran.

Pendidikan, takwa.       Membalas kebaikan guru merupakan suatu kewajiban bagi murid. Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firman Nya, “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah terbuat baik kepadamu.” (QS al-Qashash 22:7). Seorang murid harus berfikir, ilmu yang bermanfaat yang diajarkan guru merupakan pahala yang tak pernah putus di sisi Allah. Ia akan terus mengalir kepada si guru selama ilmu tersebut terus diajarkan dan diamalkan. Itulah kewajiban si murid untuk mengembangkannya dan kemudian mengamalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar