Sabtu, 24 Oktober 2015

SURAU UNTUK PEMUDA

Alkisah seorang kakek penjaga di suatu surau desa. Kakek tersebut menghabiskan hidupnya di surau itu sebagai wujud ketundukannya kepada Tuhan. Suatu hari ia ditemukan meninggal secara mengenaskan (bunuh diri) di surau tersebut setelah sehari sebelumnya mendapat cerita dari seseorang bernama Ajo Sidi mengenai pengadilan Tuhan di akhirat kelak. Terguncang secara batin, lalu meninggalkan dunia menjadi pilihan.
Begitulah gambaran besar cerita pendek "Robohnya Surau Kami" yang ditulis oleh Ali Akbar Navis. Bagaimana ironi sebuah surau yang hanya dinilai sebagai tempat melaksanakan ibadah wajib,  muhdah an sich (relasi vertikal). Namun, nyatanya surau juga perlu untuk melaksanakan fikih yang lain, yang mampu mengeluarkan manusia dari jurang kejumudan dan keterbelakangan, baik dalam sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Sahal Mahfud menyebutnya sebagai fikih sosial.
Bayangkan saja berapa banyak "Surau si Kakek" yang ada di Indonesia. Apalagi, Indonesia ini negara dengan jumlah surau terbanyak di dunia (dari data Kementerian Agama tahun 2010, yaitu sekitar 255.147), mengalahkan jumlah di wilayah Arab. Setiap kecamatan, kelurahan, desa, kantor, hingga dusun rasanya kurang gereget kalau tidak memiliki masjid atau minimal mushalla di dalamnya. Sayangnya, surau tersebut hanya terisi saat melakukan ibadah-ibadah wajib—terutama shalat Jumat. Setelah itu hanya sepi yang terjadi di dalamnya.
Bisa juga kita lihat bagaimana dengan jumlah jamaah yang senantiasa mengisi ibadah wajib di surau ataupun masjid. Jumlah mereka tentu tidak sebanding dengan orang-orang yang mengisi tempat-tempat lainnya. Apalagi sebuah survei dilakukan di media sosial, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa masjid di Indonesia hanyalah memiliki 10 persen jamaah. Masjid dan surau menjadi kehilangan peminat dan sepi pengunjung terlebih lagi anak-anak muda yang semakin kurang memasuki surau.
Pentingnya surau
Berangkat dari sejarah, sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Muhammad SAW tidak mempunyai istana seperti halnya para raja pada waktu itu. Beliau menjalankan roda pemerintahan dan mengatur umat Islam di masjid. Semua permasalahan umat beliau selesaikan bersama-sama dengan para sahabat di masjid, bahkan hingga mengatur strategi peperangan.
Di Indonesia, surau dan masjid yang berdiri bukan semata-mata hanya dijadikan tempat ibadah yang sifatnya kontemplatif dan asketis saja. Namun, lebih dari itu telah menjadi sentral peradaban umat Islam. Jejak-jejak sejarah telah menyebutkan bahwa betapa besar peranan surau dalam menumbuhkembangkan pola pikir umat Islam.
Azyumardi Azra bahkan dalam bukunya, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, menyebutkan, bagaimana peranan penting surau dan masjid dalam pendidikan awal mula Islam di Indonesia. Bahkan, hingga hari ini pendidikan Alquran untuk anak masih dapat kita jumpai di masjid ataupun surau.
Anthony Giddens membedakan antara definisi ruang dan tempat—di mana tempat ditandai oleh hubungan tatap muka dan ruang ditandai dengan adanya relasi antarorang. Masa telah berganti, seharusnya surau dan masjid menjadi media alternatif gerak kaum Muslim di Indonesia ketika ruang dan tempat menjadi salah satu masalah masyarakat kita. Apalagi problematika masyarakat modern berkisar pada kurangnya ruang dan tempat dalam mengembangkan wacana publik dan mengekspresikan berdemokrasi mereka.
Ketika 1 Muharram, kita senantiasa mendapatkan cerita mengenai kelahiran Rasulullah SAW yang ditandai dengan penyerangan Ka'bah oleh Raja Abrahah yang mengomandoi sepasukan gajah. Seluruh warga telah mengungsi dari Makkah, tapi Raja Abrahah harus bertekuk lutut akan hadirnya burung ababil dengan batu-batunya yang menyerang pasukan gajah. Gagallah usaha penghancuran rumah Allah tersebut.
Mari kita melihat pada konteks negara kita. Raja Abrahah di sini lebih besar mengangkang dalam bentuk budaya dan gaya hidup hingga hal-hal yang sifatnya hedonis dan individualis. Raja Abrahah ini merasuk dalam diri kita membentuk suatu konsekuensi yang kemudian menggilas tatanan kita—Anthony Giddens menyebutnya sebagai juggernaut.
Tanpa sadar perilaku kita semakin menjauhi surau atau rumah Allah yang semakin banyak dengan berbagai macam rasionalisasi dan kesibukannya. Mengikis rasa sosial yang terkandung dalam shalat berjamaah sehingga kita tanpa sadar terjebak dalam alienasi yang bertakhta.
Kita membutuhkan agensi-agensi yang mengendalikan dan sebagai pelindung, yaitu burung ababil, yang saya umpamakan sebagai sosok pemuda Islam di Indonesia—terlebih Indonesia menghadapi ledakan jumlah penduduk usia muda. Surau-surau di Indonesia butuh pengolahan sedemikian rupa agar para pemuda di dalamnya senang datang dan memanfaatkan ruang di dalamnya. Dengan begitu, surau dapat lebih optimal dalam peranannya sebagai pemantik fikih sosial.
Sehingga surau-surau dan masjid layak menjadi madrasah kecil ataupun perpustakaan (bayt al-hikmah) sebagai proses pencerdasan umat lewat literasi. Selain itu, sebaiknya surau menjadi ruang intelektualitas tempat di mana ilmu-ilmu Barat dibahas, karya-karya sastra dibedah, wacana-wacana demokrasi dan kemasyarakatan dituangkan, mural-mural dipajang, hingga tempat di mana para pemuda mengembangkan kemampuan berkesenian (dari tari, seni rupa, dan musik)—apalagi rumah budaya dan wadah ruang apresiasi seni di Indonesia masih kurang.
Tantangannya tentu ketika "burung-burung ababil" ini mencari rumah yang cocok buat mereka. Bisa saja dalam bentuk rumah karaoke, mal, kafe, atau warung kopi hingga mungkin saja klub-klub malam. Ketika masjid mengeksklusifkan diri dan tidak mengakomodasi, tentu para pemuda akan mencari ruang di mana mereka akan dibutuhkan dan diapreasiasi.
Para pemuda menjadi pelindung perlu dibuat tidak merasa asing berada di dalamnya. Mereka akan merasa surau dan masjid sebagai bagian dari mereka. Lebihnya lagi mereka akan menganggap ajaran Islam sebagai rahmatan lil 'alamin yang mampu mengakomodasi mereka yang selama ini dianggap tidak cocok dengan lingkungan surau dan masjid.
Tentu kita akan senang ketika barisan dalam shalat wajib senantiasa diisi oleh para anak muda dan intelektual hingga nanti merekalah yang kemudian memakmurkan dan mengisi masjid dengan kegiatan kreatif mereka. Dengan begitu masjid dan surau akan senantiasa hidup dan terus bergenerasi. 
(Da'wah, hidayah, hikmah, sabar, syukur., takwa,  pendidikan, )

***)M Arief Rosyid Hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar