Agaknya tidak mudah untuk
mendefinisikan budaya Islam secara menyeluruh. Namun, kita bisa saksikan
kekuatan pengaruhnya hampir di belahan dunia mana pun. Islam sejak masa Nabi
Muhammad, Khulafaurrasyidin, hingga renaisans di Cordoba, Spanyol, telah mengembangkan
suatu khazanah kebudayaan yang kaya dan beragam. Sejarah Islam sebagai kekuatan
budaya telah memunculkan apa yang disebut oleh Gustave von Grunebaum sebagai
"unity and variety". Kekuatan budaya Islam telah melakukan
"sintesis" yang kaya dan adaptif dengan unit-unit kebudayaan lokal,
di mana Islam dapat merambah masuk. Dinamika kebudayaan tidak pernah berjalan
linier. Setiap perkembangannya memiliki varian-varian yang kaya dan bernuansa.
Tak ayal, kebudayaan dalam puspa ragam bentuk dan isinya telah dipahami sebagai
"jaringan-jaringan makna" hidup yang dikembangkan dan mengisi batin
kehidupan sosial umat manusia. Kekuatan budaya Islam di ranah budaya telah
menunjukkan dinamikanya yang unik. Di samping sebagai kekuatan budaya, Islam,
misalnya, telah muncul sebagai gerakan perlawanan menghadapi kolonialisme. Di
Indonesia, meski Islam telah menjadi "wajah" bangsa, perjalanan
sejarahnya telah melahirkan beberapa tafsiran pemikiran yang dipandang secara
berbeda. Tafsiran ini dengan sendirinya telah menunjukkan bahwa khazanah
kebudayaan Islam tidak terbatas pada pemahaman-pemahaman teologis yang kaku dan
doktrinal belaka. Bahkan, pengembangan kekayaan intelektual (turats) Islam yang
berimplikasi pada pengembangan budaya telah banyak mengisi kekuatan-kekuatan spiritual
Islam dalam budaya. Munculnya pemikiran Fazlur Rahman, Arkoun, Hasan Hanafi,
Amir Ali, sampai Nurcholish Madjid menunjukkan adanya pengayaan dalam
mengembangkan pemikiran Islam dalam lintas budaya. Lalu, bagaimana sejatinya
hubungan agama dengan kebudayaan? Kita bisa melihat derasnya saling
keterpengaruhan antara agama dan budaya. Agama memberi ajaran kepada
penganutnya, tetapi juga berbicara mengenai alam. Misalnya, tentang kosmos dan
hubungan antarmanusia. Inilah yang membuat pendekatan agama dan budaya amat
penting. Pada sisi paradoks, Islam sebagai agama yang merupakan kekuatan budaya
telah menimbulkan berbagai gejolak yang sering didakwa secara kurang adil.
Dewasa ini kerap dikampanyekan bahwa Islam sebagai agama peradaban telah
menjadi "ancaman" bagi dunia Barat kontemporer. Pandangan ini pernah
menimbulkan polemik memanas ketika Samuel Huntington mengungkapkan bahwa
setelah Perang Dingin pupus dan perang ideologi antara Uni Soviet dan Amerika
lenyap, Islam menjadi kekuatan potensial yang mengancam kehadiran peradaban
lain. Meski demikian, ada perkembangan positif di Barat: Islam dijadikan teman
dialog yang akan membuka cakrawala baru untuk bisa saling memahami. Inilah
salah satu upaya mencari apa yang disebut Fritjhof Schuon sebagai "titik
temu agama-agama" atau inter-religius. Sebagai realitas kebudayaan, Islam
selalu diklaim berdimensi universal dan melakukan berbagai adaptasi. Bahkan,
dalam perkembangan sejarahnya, Islam sering melakukan persentuhan terbuka
dengan berbagai wilayah budaya lokal yang menjadi sasaran syiarnya. Islam pun
menjadi toleran terhadap budaya-budaya lokal. Dalam pandangan lokal, kita tentu
tak terlampau merasa heran, bagaimana Islam sebagai pandangan teologi,
misalnya, mampu bersenyawa dengan paham sinkretisme Jawa dan Hindu yang sudah
ratusan tahun saling memengaruhi. Islam sebagai kebudayaan telah memberi
sentuhan "luwes dan mesra" terhadap nilai-nilai budaya lokal. Dengan
sendirinya, ini menunjukkan Islam sebagai realitas budaya telah menampilkan
dirinya. Kebutaan budaya Kini kerap muncul di kalangan Muslim pandangan
"antibudaya". Mereka meneriakkan puritanisme dan hendak melenyapkan
segala bentuk budaya. Radikalisme agama dan terorisme juga muncul akibat
penolakan budaya. Inilah fakta bersemayamnya sikap "kebutaan budaya".
Sejauh yang dapat dipetakan, "kebutaan budaya" justru terjadi dalam
wilayah dasarnya, yakni berada pada dimensi psikologis-mental, sehingga
aktualitas berbudaya kebanyakan orang Islam banyak yang justru merugikan
perkembangan kebudayaan Islam. Bila Islam sungguh-sungguh sebagai agama yang
diturunkan untuk kemaslahatan seluruh semesta alam beserta isinya, sudah
saatnya batas-batas formal-struktural yang kaku dihindari. Maka, harus dihapus
kesan bahwa ketika peradaban dan kebudayaan maju, justru agama (Islam)
menghambatnya. Tugas agama (Islam) semestinya memicu kemajuan dan seraya
membimbingnya Kita tak sekadar menghibur diri dan berapologi, dengan mengatakan
bahwa kontribusi Islam dalam peradaban dunia sangatlah besar. Tetapi, kita
sudah semestinya membuktikan bahwa agama Islam memicu peradaban sekaligus
membela kepentingannya. Dengan demikian, kita tidak akan menjalankan strategi
kebudayaan yang keliru. Dalam konteks historis kenegaraan di negeri kita,
misalnya, kalau kita menganggap kemerdekaan bangsa sangat diwarnai atau
ditentukan oleh kontribusi umat Islam, maka tidak perlu menciptakan distansi
antara negara dan agama secara frontal. Dalam arti lain, Islam tidak bertugas
hanya memerdekakan bangsa dalam arti formal, tetapi juga harus terus bersama-sama
mengolah kehidupan selanjutnya Sampai di sini, sudah seharusnya segera
dihindari klaim sosiologis yang menyesatkan. Slogan seperti "Islam untuk
Islam" tidak selalu tepat. Bahkan, dalam fase peradaban seperti sekarang
bisa merugikan secara strategis ataupun subtantif karena misi Islam tidak
pernah menganjurkan singularitas. Dalam konteks ini, dakwah Islam bukan semata
"Islamisasi" dalam arti semua menjadi Islam, melainkan menjadi
"Islami". Kearifan antroposentris jadi pertimbangan. Manusia adalah
khalifah, karena itu harus mampu menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan yang
benar. Kecenderungan praktik memperebutkan status dan bukan substansi
sepatutnya dihindari. Islam harus mendorong proses kedewasaan budaya. Prinsip
nilai kelayakan karena kepantasan harus sama-sama dijalankan. Dalam konteks
kebangsaan, misalnya, tentu orang Islam di mana pun bangga kalau pemimpinnya
beragama Islam, tetapi tidak berarti harus dipaksakan. Kepemimpinan yang Islami
adalah berada dalam format dan alur kelayakan dan kepantasan. Seseorang yang
menjadi pemimpin bukan karena dia Muslim, melainkan karena dia layak dan
pantas. Walhasil, agama memang perlu menyatu dengan budaya. Langgengnya agama
karena menyatu dengan budaya. Agama sebagai sesuatu yang sakral, datang dari
Tuhan, turun dari langit, kepada manusia yang parsial, lemah, terbatas, terikat
ruang dan waktu. Maka, agama harus sesuai dengan kondisi manusia, bukan kondisi
Tuhan. Agama untuk manusia, dan karena itu agama harus sesuai dengan tantangan
yang dihadapi manusia.
(Da'wah, hidayah, keyakinan, takwa,)***)Said Aqil Siroj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar