Upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman dalam perjalanan
Republik Indonesia selama 69 tahun menarik untuk dikaji. Sejak dalam
persidangan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang berlangsung
28 Mei-22 Agustus 1945, hubungan agama (Islam) dan negara (Indonesia) telah
menjadi masalah pelik. BPUPKI telah merumuskan Piagam Jakarta yang menjadi
Pembukaan UUD. Rancangan UUD itu akan disahkan dalam persidangan PPKI. Namun,
sehari sebelumnya sekelompok pemuda yang mengaku mewakili umat Kristen dari
Indonesia timur mendatangi Bung Hatta dan menyatakan tak akan bergabung dengan
Republik Indonesia karena Piagam Jakarta ada kalimat "Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Esoknya Bung
Hatta mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam, yaitu Ki Bagus
Hadikusumo, KHA Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohamad
Hasan untuk membahasnya. Dengan jiwa besar, rasa tanggung jawab, semangat
mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, mereka berani
mencoret tujuh kata Piagam Jakarta sehingga Pembukaan UUD berbunyi dan tertulis
seperti sekarang. Kementerian Agama Sejarah menunjukkan, penyatuan kekuasaan
politik dan agama pada kerajaan di Jawa, khususnya Mataram, bukan hanya terjadi
di tingkat pusat, melainkan juga di tingkat bawah. Salah satu lembaga yang
diwarisi dari masa lalu dan tumbuh subur masa penjajahan Belanda adalah
kepenghuluan. Tugasnya mengawasi pernikahan, perceraian, dan pembagian warisan
menurut hukum Islam. Zaman pendudukan Jepang, dibentuk Shumubu (Kantor Urusan
Agama). Dalam Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada November
1945, anggota KNI Daerah Banyumas KH Abu Dardiri dkk mengusulkan pembentukan
Kementerian Agama. Usul didukung anggota KNIP dan diterima dengan Menteri Agama
pertama HM Rasyidi. Kementerian Agama (Kemenag) menurut saya merupakan
konvergensi atau paduan antara keindonesiaan dan keislaman. Pengadilan Agama
yang semula berada di Kemenag telah pindah ke dalam lingkungan Mahkamah Agung.
Pendidikan Islam berada di bawah Kemenag dan pendidikan umum berada di bawah
Kemdikbud. Sayang sekali bahwa Kemenag belakangan ini tercemar akibat (dugaan)
korupsi. Kalau diperbaiki, Kemenag akan menjadi kementerian yang berperan amat
strategis. Syaratnya: sang menteri harus bersih dan membersihkan, paham
masalah, khususnya posisi agama di mata konstitusi, dan berani. Perkembangan
Munas Ulama NU pada 1983 mengesahkan Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang
diperkuat dengan Keputusan Muktamar NU 1984. Secara resmi NU menerima
Pancasila. Sikap NU itu diikuti oleh PPP dan hampir semua ormas Islam.
Penerimaan Pancasila oleh umat Islam melalui ormas-ormas Islam tak berarti
masalah sudah selesai. Masih terdapat perbedaan dalam menafsirkan Pancasila.
Salah satunya ialah perbedaan persepsi terhadap HAM. Perbedaan di dalam
kalangan Islam juga tampak dalam menyikapi kelompok Ahmadiyah dan Syiah.
Sebagian ulama mendasarkan sikapnya semata-mata berdasar ajaran agama Islam dan
sebagian lain mendasarkan diri pada ketentuan UUD. Pemerintah lamban menghadapi
kelompok pelaku kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah atau Syiah. Kini kita juga
melihat perkembangan yang amat berbeda. Muncul keinginan memberlakukan syariat
Islam, tetapi tak diuraikan syariat Islam seperti apa yang dimaksud. Juga
muncul kelompok yang menginginkan berdirinya negara Islam. Munculnya Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) dan ISIS yang membahayakan keberadaan negara Republik
Indonesia membuat kita sadar bahwa cukup besar potensi masalah yang bisa
mengancam kita. Dasar negara Pancasila ternyata tak mampu menghasilkan negara
yang adil secara hukum dan secara sosial, masih banyak orang miskin dan
kekurangan gizi. Masih banyak penduduk yang belum bersekolah. Kekayaan sumber
daya alam kita banyak dikuasai pihak asing. Lebih dari lima juta tenaga kerja
terpaksa bekerja di luar negeri. Pancasila itu baru di atas kertas, belum
terwujud secara nyata di dalam kehidupan. Itu terjadi karena birokrasi
pemerintah dan pejabat banyak yang menyalahgunakan kekuasaan. Hukum belum tegak
sehingga penyalahgunaan kekuasaan leluasa. Tak ada jaminan bahwa mendirikan
daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah akan mampu secara langsung mewujudkan
negara hukum dan memperbaiki birokrasi pemerintah. Selama kita belum berhasil
menerapkan Pancasila dalam kehidupan nyata, dimulai dari sila keadilan sosial
dan sila ketuhanan YME, kita akan terus menghadapi kelompok-kelompok yang
beranggapan bahwa Pancasila harus diganti dengan Islam sebagai dasar negara.
(hidayah, hikmah, keyakinan, toleransi, takwa, )
***)Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
(hidayah, hikmah, keyakinan, toleransi, takwa, )
***)Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar