Seputar umat, ada
persatuan umat dan persatuan antarumat. Dua-duanya penting. Persatuan umat
dalam urusan ukhuwah Islamiah dan hal-hal yang mengikutinya. Pengaruhnya
keurusan ekonomi, pendidikan, bahkan politik.
Persatuan
antarumat, yakni antara umat Islam dan umat-umat lain yang beragam. Pengaruhnya
juga besar ke urusan ekonomi langsung tidak langsung, ke urusan pendidikan,
hingga kemudian juga ke urusan politik. Khususnya, dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Jadi, tema
persatuan itu penting. Namun, persatuan itu tidak harus menjadi sama.
Persis seperti yang dianut negeri ini, Bhinneka Tunggal Ika. Benar-benar tidak
harus sama identik. Kembar identik saja ada bedanya.
Dalam perbedaan,
tetap terbuka peluang untuk bersatu. Idul Adha 2014 jatuh pada hari Ahad. Ada
cerita di Markas Brimob, masyarakat Mus lim/ Muslimah butuh lapangan.
Sementara, hari Ahad ada jadwal kebaktian bagi anggota, keluarga anggota, dan
masyarakat Kristiani. Lapangan itu biasanya dijadikan lapangan parkir jemaat
gereja.
Lalu, apa yang
terjadi? Gereja memiliki jam ibadah yang berbeda dengan Muslimin yang terikat
dengan waktu (mauquutaa). Yang terjadi kemudian gereja di markas Brimob
menyepakati menunda ibadatnya. Setelah Muslimin usai melaksanakan shalat Idul
Adha yang memakai lapangan. Sementara itu, anggota Brimob yang non-Muslim ikut
membantu parkiran, keamanan, dan lain-lain. Sehingga, seluruh anggota Brimob
yang Muslim/Muslimah dan masyarakat Muslim/Muslimah bisa terfokus melaksanakan
ibadah.
Selalu ada peluang
untuk bersatu, berdampingan, bersama-sama, tanpa perlu berubah. Kristiani tidak
perlu ikut shalat Idul Adha untuk menunjukkan bisa bersatu. Begitu juga kaum
Buddha, Hindu, dan lain-lain.
Dan, sebaliknya.
Saat Natal dan ibadah-ibadahnya, kawan-kawan dari agama lain, dari Muslim ikut
membantu menjaga keamanan, parkiran, dan lain- lain. Tanpa perlu ikut
kebaktian. Sesungguhnya, jika ini saja yang dilakukan, sudah sangat cukup.
Belakangan, muncul polemik yang tak perlu.
Sebagai ustaz yang awam, saya bingung. Sekian tahun tak pernah ada masalah dengan kawan-kawan umat lain, bahkan para pemimpin agamanya.
Sebagai ustaz yang awam, saya bingung. Sekian tahun tak pernah ada masalah dengan kawan-kawan umat lain, bahkan para pemimpin agamanya.
Meski saya tidak
mengucapkan selamat Natal atau selamat hari Waisak. Masih banyak cara. Senyum
ketika papasan, sering mengadakan pertemuan, tidak harus pas hari raya
masing-masing.
Bertemu di rumah makan, berbisnis bareng, dan lain-lain. Dan, mereka juga nyaman-nyaman saja saya tak masuk gerejanya, wiharanya, kelentengnya, dan sebaliknya. Juga, nyaman-nyaman saja tak menerima ucapan apa pun.
Bertemu di rumah makan, berbisnis bareng, dan lain-lain. Dan, mereka juga nyaman-nyaman saja saya tak masuk gerejanya, wiharanya, kelentengnya, dan sebaliknya. Juga, nyaman-nyaman saja tak menerima ucapan apa pun.
Umat lain tidak
akan cacat toleransinya sebab tidak mengucapkan Idul Fitri. Sebaliknya, tidak
akan cacat toleransi kita meski kita tidak mengucapkan. Jaga mereka, hormati
mereka, sayangi mereka, tanpa perlu menjadi mereka dan tetap menjaga batas
toleransi yang aman bagi akidah kita.
Satu hal yang pasti, saya tetap akan, bahkan membela kawan-kawan lain, dari hati saya, walau saya tidak mengucapkan. Sebab, saya sayang mereka dan menghormati mereka. Dan, mereka pun kawan dan saudara saya, sebangsa, dan setanah air.
Satu hal yang pasti, saya tetap akan, bahkan membela kawan-kawan lain, dari hati saya, walau saya tidak mengucapkan. Sebab, saya sayang mereka dan menghormati mereka. Dan, mereka pun kawan dan saudara saya, sebangsa, dan setanah air.
***)republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar