Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu“. (QS. Al Hujurat: 6).
Al Baghawy dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat di atas
turun berkenaan dengan Al Walid bin Uqbah bin Abi Muith yang diutus oleh Rasulullah
saw kepada Bani Al-Musthaliq. Di masa jahiliyah Al Walid bermusuhan dengan Bani
Musthaliq. Tatkala dia mendengar bahwa kaum bani Musthaliq akan menjumpainya
sebagai sikap takzim terhadap perintah Rasulullah saw, syaitan justru
membisikinya bahwa mereka akan membunuhnya.
Maka dia kembali kepada Rasulullah memberikan laporan
bahwa Bani Musthalig menolak membayar zakat dan
akan membunuhnya. Mendengar hal itu Rasulullah saw murka kepada mereka dan
bertekad hendak memerangi mereka.
Kabar kembalinya Al Walid sampai kepada Bani Musthaliq.
Mereka segera datang kepada Rasulullah saw. Lalu menyampaikan: Wahai Rasulullah
saw kami sudah mendengar tentang utusanmu. Maka kami keluar untuk menyambutnya
dan memuliakannya dan kami akan membayar kepadanya apa yang sudah kami terima
sebagai hak Allah Azza wa Jalla. Lalu ternyata dia kembali. Kami khawatir
kalau-kalau yang membuatnya kembali adalah perintahmu karena engkau murka
kepada kami. Sungguh kami berlindung kepada Allah dari murka-Nya dan murka
Rasul-Nya.
Rasulullah saw mencurigai mereka. Beliau mengutus
sahabatnya Khalid bin Walid ra secara diam-diam ke perkampungan mereka dengan
membawa pasukan. Beliau memerintahkan agar menyembunyikan kedatangannya. Beliau
bersabda: Perhatikan, Jika engkau melihat adanya bukti keimanan mereka, maka
ambillah zakat dari harta mereka. Jika engkau tidak melihat, maka gunakan untuk
mereka apa yang digunakan terhadap orang-orang kafir.
Maka Khalid melaksanakan perintah itu. Khalid mendengar
adzan sholat Maghrib dan Isya di perkampungan mereka. Maka Khalid mengambil
zakat dari mereka. Khalid hanya melihat kebaikan dan ketaatan mereka. Lalu
Khalid pulang ke Madinah menjumpai Rasulullah saw dan mengabarkan apa yang dia
lihat.
Maka turunlah firman Allah SWT: “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang seorang fasik (yakni Al Walid bin Uqbah)
membawa kabar, maka telitilah terlebih dahulu supaya kalian tidak menimpakan
pembunuhan atau peperangan kepada suatu kaum lantaran tidak tahu sehingga
menyesali kesalahan yang kalian lakukan! ”
Allah SWT telah menggelari Al Walid bin Uqbah bin Abi
Muith dalam ayat di atas sebagai seorang fasik lantaran telah membuat laporan palsu, kabar
bohong, yang tidak sesuai dengan faktanya tentang Bani Musthaliq yang membuat
Rasulullah saw murka dan hendak memeranginya.
Cap fasik itu tepat untuknya karena telah melakukan
perbuatan dosa besar, yakni bohong, apalagi kabar bohongnya itu bisa membuat
fitnah yang besar yakni peperangan. Dalam beberapa ayat Al Quran orang-orang disebut
sebagai orang fasik. Tentu ini juga merujuk kepada kebiasaan mereka membuat
berita bohong atau berita bias yang menyudutkan umat lslam.
Sebagai contoh adalah gambaran yang sering diberikan
media massa Barat terhadap Isiam dan umat Islam . Mereka sering menyebut bahwa
Islam bukanlah agama atau paling tidak mereka sebut islam adalah agama yang
berbahaya. Jihad mereka sebut teror dan mujahid mereka sebut teroris. Kasus
pengeboman yang meruntuhkan gedung Federal di Oklahoma pada tahun 1997 mereka
kabarkan sebagai perbuatan teroris yang buta dari Mesir yang bernama Oemar
Abdurrahman.
Mereka blow up kasus itu sebagai kasus terorisme dan
mereka membuat UU Anti Terorisme. Tetapi setelah diketahui bahwa pengebomannya
adalah mantan anggota marinir AS yang bernama Timothy Mc Veigh. Lalu mereka
memberitakan kasus tersebut sebagai kasus kriminal biasa. Kegemaran mereka
membuat berita bohong, stigma, hipokrit, dan standar ganda yang intinya selalu
kampanye hitam kepada Islam dan umat Islam membuat mereka layak disebut sebagai
kaum fasik.
Kebiasaan pers Barat membuat berita bohong, stigmatis,
hipokrit, dan standar ganda yang intinya selalu kampanye hitam kepada Islam dan
umat Islam tampaknya menular kepada pers kita yang memang mayoritas dikuasai
oleh orang-orang kafir.
Sebagai contoh adalah mereka memblow up seruan pembubaran
FPI oleh segelintir orang liberal yang mengerahkan bencong, gadis bertato, dan
pemuda berambut gimbal di bunderan HI beberapa waktu lalu dengan porsi yang
over dosis.
Umat Islam harus memahami bahwa media massa sekuler yang
mengidap islamophobia yang gemar membuat berita miring kepada umat Islam adalah
media fasik yang umat Islam harus mengecek secara teliti kebenaran berita
mereka.
Umat Islam jangan sampai menimpakan fitnah kepada
saudaranya sendiri lantaran saudaranya telah dicap oleh media massa fasik
sebagai pihak yang buruk, seperti organisasi anarkis, organisasi preman, preman
berjubah, dan julukan-julukan negatif lainnya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
sesama umat Islam bersaudara…” (QS. Al Hujurat 10).
Mengingat Kematian
Seseorang yang sibuk hanya mengurusi dunia
dapat dipastikan dia tidak suka mendengar kata kematian karena takut kalau
kesenangan yang dinikmatinya akan hilang tiba-tiba.
Sekalipun mengingat mati, dia menganggap
kematian itu hanya akan menyebabkan dirinya kehilangan kesenangan dan
kenikmatan dunia sehingga dia pasti alergi membicarakan kematian.
Kematian termasuk permasalahan yang sangat besar, namun manusia sekarang telah menganggapnya enteng, tak mau mengenalnya, tak acuh saja, bahkan menantang dengan menjadikannya berbagai tontonan dan tertawaan, seperti yang banyak kita lihat di televisi.
Kematian terucap sebatas di bibir, dianggap tidak bermanfaat untuk direnungkan, padahal maut telah mempertontonkan aksinya melalui musibah beruntun, longsor, kecelakaan darat, laut dan udara, berbagai penyakit atau bahkan saat seseorang berada dalam istana yang tinggi dan gedung megah, kematian pasti datang dengan cara yang tak pernah ia duga.
Jarak antara kehidupan dan kematian amatlah tipis, seseorang yang tampak sehat dan tertawa pada siang hari, malamnya mendadak meninggal dunia.
Kematian termasuk permasalahan yang sangat besar, namun manusia sekarang telah menganggapnya enteng, tak mau mengenalnya, tak acuh saja, bahkan menantang dengan menjadikannya berbagai tontonan dan tertawaan, seperti yang banyak kita lihat di televisi.
Kematian terucap sebatas di bibir, dianggap tidak bermanfaat untuk direnungkan, padahal maut telah mempertontonkan aksinya melalui musibah beruntun, longsor, kecelakaan darat, laut dan udara, berbagai penyakit atau bahkan saat seseorang berada dalam istana yang tinggi dan gedung megah, kematian pasti datang dengan cara yang tak pernah ia duga.
Jarak antara kehidupan dan kematian amatlah tipis, seseorang yang tampak sehat dan tertawa pada siang hari, malamnya mendadak meninggal dunia.
Ini menunjukkan kematian menjemput
tiba-tiba, bahkan saat seseorang tengah merencanakan pesta kegembiraan untuk
bersenang-senang, tiada yang menyangka akan mengalami musibah. Tak ada seorang
pun jika ditanya dia menginginkan kematian dengan cara dirampok seperti itu.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya maka sesungguhnya kematian itu akan menemuimu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS al-Jumu’ah [62]: (8).
Sesungguhnya manusia mesti dipaksa untuk selalu mengingat maut. Bagi mereka yang selalu mengingatnya, segala musibah dunia akan menjadi mudah, berkurang angan-angan akan harta.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya maka sesungguhnya kematian itu akan menemuimu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS al-Jumu’ah [62]: (8).
Sesungguhnya manusia mesti dipaksa untuk selalu mengingat maut. Bagi mereka yang selalu mengingatnya, segala musibah dunia akan menjadi mudah, berkurang angan-angan akan harta.
Selain itu, mengingat kematian membantunya
mengumpulkan harta juga demi untuk akhirat, jujur bekerja, serta tidak
menzalimi dan melanggar hak orang lain.
Intinya mengingat maut sangat banyak manfaatnya, bahkan mendapatkan pahala, menjadikan orang beruntung karena bersiap menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja, dan ikhlas karena telah bersiap menyambutnya
Abu Hurarra berkata, “Suatu ketika kami bersama Rasulullah SAW mengantar jenazah. Setibanya di tanah pekuburan Rasulullah SAW duduk di dekat sebuah kubur, lalu berkata, ‘Tidak berlalu satu hari pun di dalam kubur kecuali kubur akan mengatakan dengan fasih dan jelas, ‘Wahai anak Adam, mengapa kamu melupakan aku, padahal aku adalah tempat kesunyian, aku adalah rumah pengasingan, aku adalah tempat yang penuh ulat dan cacing. Aku adalah tempat yang sangat sempit kecuali bagi orang yang dikehendaki-Nya maka da menjadi luas. Kubur merupakan sebuah taman surga atau sebuah lembah dari lembah neraka’.”
Karena hidup di dunia singkat, sedangkan akhirat kekal maka barang siapa yang banyak mengingat kematian, dia akan mendapat banyak kemuliaan, hidayah untuk segera bertobat, merasa puas dengan apa yang ada, bersungguh-sungguh dan merasa senang dalam beribadah.
Sedangkan siapa yang lalai akan maut sehingga membencinya, dia malas bertobat, selalu merasa pendapatannya kurang sehingga dia tak pernah puas dan terus merasa miskin, dirinya juga akan malas beribadah yang membuatnya celaka di akhirat.
Perbanyaklah mengingat maut, sekiranya kamu tahu apa yang terjadi pada dirimu setelah kematian, niscaya kamu tidak berselera makan dan minum barang segelas air pun.
Intinya mengingat maut sangat banyak manfaatnya, bahkan mendapatkan pahala, menjadikan orang beruntung karena bersiap menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja, dan ikhlas karena telah bersiap menyambutnya
Abu Hurarra berkata, “Suatu ketika kami bersama Rasulullah SAW mengantar jenazah. Setibanya di tanah pekuburan Rasulullah SAW duduk di dekat sebuah kubur, lalu berkata, ‘Tidak berlalu satu hari pun di dalam kubur kecuali kubur akan mengatakan dengan fasih dan jelas, ‘Wahai anak Adam, mengapa kamu melupakan aku, padahal aku adalah tempat kesunyian, aku adalah rumah pengasingan, aku adalah tempat yang penuh ulat dan cacing. Aku adalah tempat yang sangat sempit kecuali bagi orang yang dikehendaki-Nya maka da menjadi luas. Kubur merupakan sebuah taman surga atau sebuah lembah dari lembah neraka’.”
Karena hidup di dunia singkat, sedangkan akhirat kekal maka barang siapa yang banyak mengingat kematian, dia akan mendapat banyak kemuliaan, hidayah untuk segera bertobat, merasa puas dengan apa yang ada, bersungguh-sungguh dan merasa senang dalam beribadah.
Sedangkan siapa yang lalai akan maut sehingga membencinya, dia malas bertobat, selalu merasa pendapatannya kurang sehingga dia tak pernah puas dan terus merasa miskin, dirinya juga akan malas beribadah yang membuatnya celaka di akhirat.
Perbanyaklah mengingat maut, sekiranya kamu tahu apa yang terjadi pada dirimu setelah kematian, niscaya kamu tidak berselera makan dan minum barang segelas air pun.
Siapa yang banyak mengingat mati, hatinya
akan hidup dan kematian menjadi mudah baginya, bahkan Rasululullah SAW
bersabda, “Orang yang cerdas adalah mereka yang selalu banyak mengingat
kematian.”
ittiba
Secara bahasa Mba’ artinya : “mengikuti”. Sedangkan
secara Istilah Mba’ yaitu : “mengikuti atau mengerjakan hal-hal yang sesuai dan
dicontohkan oleh Rasulullah dalam masalah agama, seperti aqidah,
ibadah dan akhlak.
Tanda dan Bukti Ittiba’
Ta’dzim (hormat) kepada nash-nash syar’i.
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qsan-Nur 24) :51)
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qsan-Nur 24) :51)
Takut tergelincir dan berpaling dari kebenaran.
Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya seorang mumin adalah seseorang yang memandang dosa-dosanya seakan-akan seperti orang yang duduk di bawah gunung yang dia takut jika gunung itu menjatuhi dirinya. Sebaliknya, seorang fasiq adalah seseorang yang menganggap dosa-dosanya hanyalah bagaikan seekor lalat yang lewat di depan hidungnya, lalu dia menghalaunya” (HR. al-Bukhari)
Hasan al-Bashri berkata: “Seorang mukmin adalah seseorang yang beramal dalam ketaatan dengan penuh rasa takut (tidak diterima). Sedangkan seorang yang fajir adalah seseorang yang merasa aman walaupun bergelimang dalam perbuatan maksiat“
Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya seorang mumin adalah seseorang yang memandang dosa-dosanya seakan-akan seperti orang yang duduk di bawah gunung yang dia takut jika gunung itu menjatuhi dirinya. Sebaliknya, seorang fasiq adalah seseorang yang menganggap dosa-dosanya hanyalah bagaikan seekor lalat yang lewat di depan hidungnya, lalu dia menghalaunya” (HR. al-Bukhari)
Hasan al-Bashri berkata: “Seorang mukmin adalah seseorang yang beramal dalam ketaatan dengan penuh rasa takut (tidak diterima). Sedangkan seorang yang fajir adalah seseorang yang merasa aman walaupun bergelimang dalam perbuatan maksiat“
Meneladani Rasulullah saw, lahir maupun batin.
Hal ini dilakukan dengan ittiba’ secara totalitas kepada Rasulullah saw, sehingga tidak ada masalah aqidah, ibadah, amaliah, akhlak, moral, perundang-undangan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan lainnya, kecuali sesuai dengan yang telah dicontohkannya, yaitu yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Hal ini dilakukan dengan ittiba’ secara totalitas kepada Rasulullah saw, sehingga tidak ada masalah aqidah, ibadah, amaliah, akhlak, moral, perundang-undangan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan lainnya, kecuali sesuai dengan yang telah dicontohkannya, yaitu yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menjadikan syari’at beliau sebagai hukum, undang-undang
dan penentu kebijakan.
Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.”
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” (QS.an-Nisa’ (4): 59 & 65]
Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.”
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” (QS.an-Nisa’ (4): 59 & 65]
Ridho dengan hukum dan syari’at Rasulullah.
Rasulullah bersabda: “Yang dapat merasakan iman hanyalah seseorang yang ridho kepada Allah sebagai Rabbnya, islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya” (HR. Muslim)
Rasulullah bersabda: “Yang dapat merasakan iman hanyalah seseorang yang ridho kepada Allah sebagai Rabbnya, islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya” (HR. Muslim)
Faedah Ittiba’
Di antara faedah, buah dan manfaat ittiba’ adalah:
Faedah di dunia:
Mendapatkan hidayah.
“…Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus” (Qsal-Ma’idah (5):: 15-16]
“…Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus” (Qsal-Ma’idah (5):: 15-16]
Memperoleh keberuntungan.
“…Maka orang-orang yang beriman kepada Nabi tersebut (Muhammad saw), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS.al-A’raf(7):: 157]
“…Maka orang-orang yang beriman kepada Nabi tersebut (Muhammad saw), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS.al-A’raf(7):: 157]
Tsabat (teguh) di atas kebenaran.
(Yaitu) orang-orang yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia (Abu Sufyan) telah mengumpulkan pasukan (Quraisy) untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhoan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QSAli Imran (3):: 173-174]
(Yaitu) orang-orang yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia (Abu Sufyan) telah mengumpulkan pasukan (Quraisy) untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhoan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QSAli Imran (3):: 173-174]
Mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah swt.
“Wahai Nabi, cukuplah Allah menjadi Pelindung bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu” Qsal-Anfal (8):: 64]
“Wahai Nabi, cukuplah Allah menjadi Pelindung bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu” Qsal-Anfal (8):: 64]
Faedah di akhirat:
Bergabung dengan barisan para nabi.
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang soleh. Mereka itulah sebaik-baik teman“. [QS. an-Nisa' (4): 69]
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang soleh. Mereka itulah sebaik-baik teman“. [QS. an-Nisa' (4): 69]
Mendapatkan keluarga yang ikut menapaki jalan ittiba’.
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dahm keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, di surga dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS.ath-Thur (52):: 21]
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dahm keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, di surga dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS.ath-Thur (52):: 21]
Terhindar dari rasa takut dan sedih.
“Kami berfirman kepada Adam: “Turunlah kamu dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatlran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (qarah (2):: 38]
“Kami berfirman kepada Adam: “Turunlah kamu dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatlran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (qarah (2):: 38]
Memperoleh pintu taubat dan ampunan.
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshor, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” (QS.at-Taubah ((9):: 117]
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshor, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” (QS.at-Taubah ((9):: 117]
Sarana Ittiba.
Taqwa dan takut kepada Allah swt.
Hal ini dikarenakan orang yang bertaqwa dan takut kepada-Nya, maka ia akan mendapatkan furqon (pembeda), yang akan menuntunnya untuk membedakan yang haq dengan yang bathil.
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon…” [Qs. al-Anfal (8): 29]
Hal ini dikarenakan orang yang bertaqwa dan takut kepada-Nya, maka ia akan mendapatkan furqon (pembeda), yang akan menuntunnya untuk membedakan yang haq dengan yang bathil.
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon…” [Qs. al-Anfal (8): 29]
Ikhlas kepada Allah swt dalam mencari kebenaran.
Ibnu Taymiyyah berkata: “Demikian pula halnya orang yang berpaling dari ittiba’ kepada kebenaran karena mengikuti hawa nafsunya, maka hal ini hanya akan mendatangkan kebodohan dan kesesatan hingga mematikan hatinya dari mengetahui kebenaran yang sangat gamblang sekalipun…” (al-Fatawa 10/10)
Ibnu Taymiyyah berkata: “Demikian pula halnya orang yang berpaling dari ittiba’ kepada kebenaran karena mengikuti hawa nafsunya, maka hal ini hanya akan mendatangkan kebodohan dan kesesatan hingga mematikan hatinya dari mengetahui kebenaran yang sangat gamblang sekalipun…” (al-Fatawa 10/10)
Berserah diri dan tadharru’ (merendahkan diri) kepada
Allah serta menampakkan kebutuhan kepada-Nya.
Bahkan hal ini dapat dianggap sebagai salah satu sarana yang paling utama, sebagaimana sikap Rasul
Bahkan hal ini dapat dianggap sebagai salah satu sarana yang paling utama, sebagaimana sikap Rasul
Mempelajari hukum-hukum syar’i.
Karena tidak ada sarana untuk mengamalkan hukum-hukum Islam dan ittiba’ kepada Rasulullah kecuali dengan mempelajari ajaran wahyu dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Karena tidak ada sarana untuk mengamalkan hukum-hukum Islam dan ittiba’ kepada Rasulullah kecuali dengan mempelajari ajaran wahyu dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Memahami dan mentadabburi nash-nash yang shahih.
Semoga kita senantiasa mengikuti Rasulullah saw dalam
melaksanakan syari’at agama yang sangat kita cintai ini. Amin. (hidayah, hikmah, keyakinan, takwa, )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar