Kamis, 19 Februari 2015

UNDANG-UNDANG HALAL BUKAN ISLAMISASI



Denpasar  Undang-Undang (UU) Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) bukan dimaksudkan untuk Islamisasi. Sebaliknya, UU JPH dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di dalam dan luar negeri.
Penegasan itu disampaikan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali H Roichan Muhlis seusai menghadiri rapat dengar pendapat antara anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali, Arya Wedakarna, dengan tokoh-tokoh agama di Bali, pekan lalu. "Sertifikasi itu kan untuk produknya, bukan untuk konsumen atau produsennya," ujar Roichan.
Pertemuan yang digelar di Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali tersebut dihadiri tokoh agama Hindu, Islam, dan Kristen. Pada kesempatan itu, Arya memaparkan sejumlah hal, di antaranya soal lemahnya peran lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Hindu di Bali.
Peserta lainnya yang juga berasal dari kalangan Hindu mengusulkan agar Peraturan Pemerintah (PP) JPH memasukkan unsur sukla. Sukla adalah ketentuan dalam agama Hindu tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh umat agama mayoritas di Bali ini.
Menurut Roichan, usulan apa saja memang bisa ditampung sebagai masukan untuk penyusunan PP JPH. Hanya saja, kata dia, penyusunan sebuah UU atau PP tentu harus memperhatikan sejarah  munculnya UU itu.
"Kita semua mengetahui bahwa UU JPH diinisiasi oleh umat Islam, untuk kepentingan daya saing produk-produk Indonesia di dalam dan luar negeri," katanya.
Mengutip beberapa pendapat, mantan pengurus Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Bali ini mengatakan, JPH bukan urusan agama, melainkan untuk daya saing produk. Di Amerika Serikat, misalnya, setiap produk yang masuk ke negara itu harus dilengkapi sertifikat kosher bagi kaum Yahudi dan halal bagi umat Islam.
"Di Brunei, kalau ada produk yang akan masuk ke negara itu, harus bersertifikat halal. Kalau tidak ada sertifikasinya, maka akan dikembalikan ke negara pengirim," kata Roichan.
Di Bali, kata dia, kini sudah banyak produk yang bersertifikat halal. Hal itu memang sudah menjadi pilihan pengusaha dalam upaya memudahkan pemasaran. ''Sedangkan yang tidak ingin mengurus sertifikasi halal juga tidak dipaksakan.''
Para pengusaha di Bali, termasuk pengusaha non-Muslim, tampaknya sangat menyadari pentingnya sertifikat halal. Dari 338 sertifikat halal yang dikeluarkan LPPOM MUI Bali, sebanyak 60-70 persennya dimiliki para pengusaha non-Muslim.
"Mereka merasa perlu untuk mengurus sertifikasi karena dianggap sebagai peluang pasar," kata Wakil Direktur LPPOM MUI Bali, Badrutamam.
Para pengusaha di Bali, menurut dia, semakin menyadari pentingnya sertifikasi halal karena sudah menjadi tuntutan konsumen. ''Sudah pasti konsumen akan memilih produk yang ada label halalnya,'' katanya.
Saat dikonfirmasi hal ini, Direktur LPPOM MUI Pusat Lukmanul Hakim mengatakan, jika dilihat dari komposisi penduduk Bali yang mayoritas non-Muslim maka sangat dimungkinkan bahwa mayoritas pengusaha yang melakukan sertifikasi halal di Pulau Dewata adalah non-Muslim.
Namun, yang lebih menjadi perhatian LPPOM MUI, menurut Lukmanul, adalah bagaimana para pengusaha mampu memenuhi standardisasi dalam proses sertifikasi halal. LPPOM MUI tidak fokus pada profil pengusaha terkait keyakinan yang dianut. 
''Yang terpenting, pengusaha yang ingin memperoleh sertifikat halal harus memenuhi kriteria halal yang diberikan oleh LPPOM MUI,'' ujar dia.
Dalam pengamatannya, semangat  untuk melakukan sertifikasi halal sudah merata di berbagai tempat, baik di kota yang didominasi pengusaha Muslim maupun non-Muslim. Hal ini karena sertifikat halal sudah menjadi hal penting dalam bisnis. ''Sehingga kesadaran pengusaha untuk melakukan sertifikasi halal pada produknya semakin banyak dan merata.''
Sejauh ini, menurutnya, tidak ada kendala berarti yang dihadapi pengusaha dalam melakukan sertifikasi halal. Biasanya, pengusaha hanya mengalami kesulitan dalam proses adaptasi untuk memenuhi kriteria halal dari MUI.  (hidayah, hikmah, keyakinan, syukur., takwa., pendidikan, )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar