Kalau tidak digagalkan Presiden
Amerika Serikat, Barack Obama, bisa jadi berikut ini menjadi kado awal tahun
yang paling membahagiakan buat bangsa Palestina. Kado itu berisi bahwa
Madinatul Quds (Jerusalem Timur) merupakan Ibu Kota Negara Palestina,
pembebasan para pejuang Palestina dari penajara-penjara Israel, dan realisasi
kesepakatan damai yang adil dan menyeluruh antara Palestina-Israel. Termasuk di
dalam ‘kesepakatan damai yang adil dan memenyeluruh’ itu adalah penarikan
pasukan dan warga sipil Israel ke batas sebelum Perang 1967 dalam dua tahun,
penyelesaian persoalan air dalam jangka waktu 12 bulan, serta adanya pihak
ketiga untuk mengawasi penarikan pasukan Israel dan menjamin kedaulatan Negara
Palestina dan Israel.
Sayangnya, kado yang berupa
rancangan resolusi untuk mengakhiri penjajahan Zionis Israel atas Tanah Air
Palestina itu langsung ditolak oleh Obama tepat menjelang pergantian tahun.
Dalam sidang Dewan Keamanan (DK) Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang membahas
rancangan resolusi yang diajukan Yordania -- mewakili 22 negara Arab -- pada 30
Desember lalu, delapan dari 15 negara anggota DK mendukung. Mereka adalah
Prancis, Rusia, Cina, Argentina, Chad, Cile, Luksemburg, dan Yordania. Lima
negara abstain alias tidak memberikan suara, yaitu Inggris, Lithuania, Nigeria,
Korea Selatan, dan Rwanda. Sementara itu, dua negara -- Amerika Serikat (AS)
dan Australia -- menolak.
Namun, lantaran AS merupakan
anggota tetap DK PBB yang mempunyai hak veto, rancangan resolusi tersebut
otomatis gugur seketika. Empat negara lain yang menjadi anggota tetap DK PBB
adalah Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis. Pengajuan rancangan resolusi untuk
mengakhiri penjajahan Israel atas Tanah Air Palestina itu dilakukan lantaran
Palestina marah terhadap AS dan Israel. Palestina -- yang kemudian didukung
Liga Arab -- menuduh Presiden Obama lewat delegasi yang dipimpim menteri luar
negerinya, John Kerry, tidak serius ketika memprakarsai perundingan antara
Palestia dan Israel. Presiden Palestina, Mahmud Abbas, menuding AS terlalu
didikte oleh Zionis Israel.
Ia menunjuk tentang persyaratan
perundingan yang diajukan Palestina selalu ditolak AS, sementara mereka selalu
menerima persyaratan Israel. Sebagai misal, Palestina menuntut agar sebelum
dimulai perundingan Israel harus menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di
tanah Palestina. Namun, hal ini selalu diabaikan oleh AS. Obama menyatakan
perundingan harus tanpa syarat apapun. ‘‘Jangan dokar disuruh menarik kuda,’’
ujarnya ketika ia berkunjung ke Timur Tengah beberapa waktu sebelum proses
perundingan dimulai dua tahun lalu. Lantaran AS sebagai pemrakarsa perundingan
terlalu berat sebelah, maka sudah bisa diprediksi bahwa pembicaraan perdamaian
antara Palestina dan Israel akan menemui jalan buntu alias gagal total.
AS sendiri mengakui perundingan
damai selama genap setahun telah berakhir pada April tahun lalu tanpa
membuahkan hasil. Karena itu bisa dimaklumi bila kemudian Palestina mendesak
Liga Arab lewat Duta Besar Yordania untuk PBB, Dina Kara, untuk mengajukan
rancangan resolosi ke DK PBB bagi mengakhiri pendudukan Zionis Israel di Tanah
Air Palestina. Namun, lagi dan lagi, rancangan itu pun ditolak mentah-mentah
oleh AS. Apalagi negara Tuan Barack Obama itu mempunyai senjata pamungkas yang
bernama ‘hak veto’. Alasannya pun sangat klasik. Seperti disampaikan juru
bicara departemen luar negeri AS, rancangan resolusi Palestina itu tidak
konstruktif dan tidak memenuhi kebutuhan keamanan Israel.
Menanggapi penolakan AS itu,
Presiden Palestina dikabarkan sangat marah. Ia pun langsung menandatangani
Statuta Roma buat bergabung dengan Mahkamah Kejahatan Internasional
(International Criminal Court/Pengadilan Kriminal Internasional) atau ICC.
Dengan bergabung dengan ICC, maka akan memungkinkan pihak-pihak di Palestina
untuk menuntut para pejabat Israel -- sipil maupun militer -- dengan dakwaan
kejahatan perang. Langkah Presiden Mahmud Abbas ini akan semakin mudah setelah
Majelis Umum PBB pada November 2012 meningkatkan status Palestina menjadi
‘negara pengamat bukan anggota. Statuta Roma atau yang sering disebut sebagai
The International Criminal Court Statute adalah sebuah penjanjian atau pakta
untuk mendirikan the International Criminal Court (ICC).
Ide pembentukan ICC muncul dari
sebuah konferensi yang diikuti para delegasi diplomatik di Roma pada 1998. Pada
2002, ICC yang berada di bawah payung PBB ini mulai diterapkan. Kini sebanyak
122 negara telah ambil bagian. ICC atau Pengadilan Kriminal Internasional ini
bermarkas di Den Haag, Belanda. Fokus ICC adalah untuk menyeret dan mengadili
para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap perikemanusiaan, dan
kejahatan perang -- baik secara individu maupun kelompok. Bila proses
pengadilan di ICC dilakukan dengan adil dan jujur tanpa ada campur tangan
kekuatan besar dunia, para pejabat Palestina yakin bahwa mereka akan bisa
menyeret para pejabat Negara Zionis Israel -- baik yang masih menjabat maupun
yang mantan pejabat -- dengan tujuhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Namun, langkah menuju ke sana
-- menyeret para pejabat dan mantan pejabat Israel yang terlibat terhadap
kejahatan perang dan kemanusiaan -- masih sangat panjang dan berliku.
Kekuatan-kekuatan besar dunia seperti AS dan beberapa negara Barat lainnya akan
terus melindungi kepentiangan Zionis Israel. Karena itu, berbagai pihak yang
peduli kepada kemerdekaan, kemanisaan, dan anti penjajahan diharapkan untuk
terus menerus mendukung perjuangan bangsa Palestina. (hikmah, keyakinan, takwa, sabar, )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar