(Hidayah, Kisah, Tuhan). Sehari sesudah Abu Bakar as-Shiddiq dilantik menjadi seorang khalifah
untuk memimpin kaum Muslimin. Esok paginya ia pergi ke pasar Madinah berjualan.
Ia tetap seperti biasanya menjalani profesinya sebagai saudagar. Beberapa
sahabat lain pun protes kepada beliau. “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau berjualan di pasar lantas siapa
yang akan mengurusi kami?” tanya salah seorang
sahabat. Abu Bakar juga membalas
pertanyaan itu dengan pertanyaan. “Jika saya tidak berdagang. Lantas bagaimana
saya menghidupi keluarga saya?” ujar beliau.
Akhirnya para sahabat senior
kala itu bermusyawarah dan menetapkan gaji untuk Khalifah pertama itu.
Gali yang diberikan hanyalah sebatas
untuk bisa menghidupi Abu Bakar dan
keluarganya. Setelah itu Abu Bakar tidak lagi berjualan. Ia fokus mengurusi
negara hingga dua tahun berikutnya. Ia
dipanggil menghadap Allah SWT.
Demikianlah seperti dikisahkan dalam Ibnu Katsir.
Begitulah kepemimpinan yang
dicontohkan seorang sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah. Ia mengajarkan
kekuasaan dan jabatan bukanlah media
untuk mencari kekayaan. Amanah yang
terpikul dipundaknya bukanlah alat untuk mengumpulkan harta. Memimpin rakyatnya
semata-mata untuk menjalankan amanah.
(Hidayah, Kisah, Tuhan). Hal yang sama juga dicontohkan oleh
kahalifah sesudahnya, Umar bin Khattab. Sudah menjadi tradisi ketika itu untuk
membagikan pakaian kepada dua golongan dari umat Islam. Golongan itu adalah assabiqunal awwalun (orang yang
pertama-tama masuk Islam). Dan ahlun nabi
(karib kerabat nabi) Muhammad SAW.
Kendati ia seorang Khalifah, Umar bin Khattab tak mendapatkan jatah
pakaian tersebut. Karena ia memang tidak termasuk dari salah satu golongan itu.
Ia bukan orang yang pertama masuk Islam dan juga bukan berasal dari kerabat
Rasulullah.
Hingga ada pembagian jatah
pembagian untuk seluruh kaum Muslimin, Umar bin Kattab mendapat jatah satu stel
pakaian. Namun ketika itu, ia diprotes salah seorang sahabat. “Wahai Amirul
Mukminin, masing-masing kami mendapat jatah pakaian satu. Lalu mengapa engkau
mendapatkan dua?” protes salah seorang sahabat tersebut di hadapan sebuah
majelis.
Menjawab pertanyaan itu, putra
beliau Abdullah bin Umar bin Khattab pun berdiri “hadirin sekalian badan Bapak
saya ini (Umar bin Khattab) seperti kita
ketahui sangatlah besar. Jadi, jatah satu pakaian tidak muat di tubuh beliau.
Tapi kendati demikian, beliau tidak mengambil dua buah. Jatah sayalah yang saya
berikan kepadanya,” papar Abdulah.
Jelaslah, menjadi pejabat
negara bagi Umar bin Khattab bukanlah
bukanlah wadah untuk mengumpulkan kekayaan. Tidak ada korupsi baginya, kendati
hanya sehelai pakaian. Tidak ada istilah nepotisme kendati beliau adalah
seorang presiden umat Islam ketika itu. Dan masih banyak lagi kisah-kisah lain
yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab.
(Hidayah,Kisah, Tuhan). Tak
ada alasan untuk memanfaatkan jabatan untuk korupsi atau memperkaya diri waktu
di zaman sahabat dahulu. Sesuatu yang jelas berbeda terllihat ketika masa
kampanya saat ini. Sudah menjadi pameo di masyarakat, sekian milyar dana yang
digelontorkan seorang caleg di masa kampanye. Tentu setelah ia duduk sebagai
anggota dewan, ia akan mengembalikan lagi uangnya yang hilang waktu kampanye.
Rasulullah dalam sabdanya,
“setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka lebih berhak
baginya.” (HR Ahmad). Apakah tidak ada
lagi yang takut dengan api neraka, sehingga menjadikan jabatan sebagai sarana
memakan harta haram? Tidaklah cukup kekayaan yang sudah diberikan oleh Allah,
sehingga harus mati-matian mencari jabatan untuk memakan uang haram ? Tentu mereka ini tak akan mencium surga Allah di akherat
kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar