Kamis, 27 November 2014

JABATAN BUKAN UNTUK PERKAYA DIRI

 JABATAN BUKAN UNTUK PERKAYA DIRI

(Hidayah, Kisah, Tuhan).    Sehari sesudah Abu Bakar  as-Shiddiq dilantik menjadi seorang khalifah untuk memimpin kaum Muslimin. Esok paginya ia pergi ke pasar Madinah berjualan. Ia tetap seperti biasanya menjalani profesinya sebagai saudagar. Beberapa sahabat lain pun protes kepada beliau. “Wahai Amirul Mukminin,  jika engkau berjualan di pasar lantas siapa yang akan mengurusi kami?” tanya salah seorang  sahabat.   Abu Bakar juga membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan. “Jika saya tidak berdagang. Lantas bagaimana saya menghidupi keluarga saya?” ujar beliau.
Akhirnya para sahabat senior kala itu bermusyawarah dan menetapkan gaji untuk Khalifah pertama itu. Gali  yang diberikan hanyalah sebatas untuk bisa menghidupi  Abu Bakar dan keluarganya. Setelah itu Abu Bakar tidak lagi berjualan. Ia fokus mengurusi negara hingga dua tahun  berikutnya. Ia dipanggil menghadap  Allah SWT. Demikianlah seperti dikisahkan dalam Ibnu Katsir.
Begitulah kepemimpinan yang dicontohkan seorang sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah. Ia mengajarkan kekuasaan dan jabatan bukanlah  media untuk mencari kekayaan. Amanah  yang terpikul dipundaknya bukanlah alat untuk mengumpulkan harta. Memimpin rakyatnya semata-mata untuk menjalankan amanah.
(Hidayah, Kisah, Tuhan).     Hal yang sama juga dicontohkan oleh kahalifah sesudahnya, Umar bin Khattab. Sudah menjadi tradisi ketika itu untuk membagikan pakaian kepada dua golongan dari umat Islam. Golongan itu adalah assabiqunal awwalun (orang yang pertama-tama masuk Islam). Dan ahlun nabi  (karib kerabat nabi) Muhammad SAW.  Kendati ia seorang Khalifah, Umar bin Khattab tak mendapatkan jatah pakaian tersebut. Karena ia memang tidak termasuk dari salah satu golongan itu. Ia bukan orang yang pertama masuk Islam dan juga bukan berasal dari kerabat Rasulullah.
Hingga ada pembagian jatah pembagian untuk seluruh kaum Muslimin, Umar bin Kattab mendapat jatah satu stel pakaian. Namun ketika itu, ia diprotes salah seorang sahabat. “Wahai Amirul Mukminin, masing-masing kami mendapat jatah pakaian satu. Lalu mengapa engkau mendapatkan dua?” protes salah seorang sahabat tersebut di hadapan sebuah majelis.
Menjawab pertanyaan itu, putra beliau Abdullah bin Umar bin Khattab pun berdiri “hadirin sekalian badan Bapak saya ini  (Umar bin Khattab) seperti kita ketahui sangatlah besar. Jadi, jatah satu pakaian tidak muat di tubuh beliau. Tapi kendati demikian, beliau tidak mengambil dua buah. Jatah sayalah yang saya berikan kepadanya,” papar Abdulah.
Jelaslah, menjadi pejabat negara bagi Umar bin Khattab  bukanlah bukanlah wadah untuk mengumpulkan kekayaan. Tidak ada korupsi baginya, kendati hanya sehelai pakaian. Tidak ada istilah nepotisme kendati beliau adalah seorang presiden umat Islam ketika itu. Dan masih banyak lagi kisah-kisah lain yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab.
(Hidayah,Kisah, Tuhan).     Tak ada alasan untuk memanfaatkan jabatan untuk korupsi atau memperkaya diri waktu di zaman sahabat dahulu. Sesuatu yang jelas berbeda terllihat ketika masa kampanya saat ini. Sudah menjadi pameo di masyarakat, sekian milyar dana yang digelontorkan seorang caleg di masa kampanye. Tentu setelah ia duduk sebagai anggota dewan, ia akan mengembalikan lagi uangnya yang hilang waktu kampanye.
Rasulullah dalam sabdanya, “setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka lebih berhak baginya.” (HR Ahmad).    Apakah tidak ada lagi yang takut dengan api neraka, sehingga menjadikan jabatan sebagai sarana memakan harta haram? Tidaklah cukup kekayaan yang sudah diberikan oleh Allah, sehingga harus mati-matian mencari jabatan untuk memakan uang  haram ? Tentu mereka  ini tak akan mencium surga Allah di akherat kelak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar